29. Validasi (2)
Untungnya mereka sampai di rumah Wiwin belum terlalu terlambat. Asti dan beberapa staf QA yang menjenguknya masih disana ketika mereka datang.
"Bu Lidya, Pak Randu, makasih ya sudah datang menjenguk si kecil," kata Wiwin ramah. Bayi berusia 1 bulan di gendongannya tampak sedang tertidur. "Mau minum apa, Pak, Bu?"
Wiwin nampak bersiap ke dapur untuk mengambilkan minum, tapi Lidya segera mencegahnya. "Santai aja Win. Kami kesini bukan buat minta minum. Tapi buat jenguk kamu dan si kecil. Duduk aja, santai aja," kata Lidya.
Wiwin nyengir mendengarnya. Sepertinya ia lega juga karena tidak harus meletakkan bayinya dan menyiapkan minum lagi.
Lidya dan Randupun segera bergabung dengan obrolan Wiwin, Asti dan staf QC lain yang sudah lebih dulu datang. Mereka menanyakan keadaan Wiwin dan bayi lelakinya itu, serta proses kelahirannya.
"Bu Lidya mau coba gendong?" tanya Wiwin menawarkan.
"Oh, nggak usah," jawab Lidya segera. "Saya kan baru pulang kantor. Banyak kuman. Kasihan si kecil," lanjutnya beralasan.
Alasannya masuk akal sih. Tapi Randu juga paham mengapa Lidya tidak ingin menggendong bayi itu. Lidya belum pernah melahirkan dan punya anak, jadi mungkin wanita itu tidak tahu cara menggendong bayi yang baru berusia satu bulan.
Belum sampai 10 menit mereka disana, tiba-tiba sesosok makhluk kecil berlari dan menubruk Wiwin yang sedang duduk. Karena gerakan tiba-tiba itu, bayi di gendongan Wiwin terbangun dan mulai merengek.
"Ma, pup, Ma! Aku mau pup! Temenin!" Bukan hanya si bayi yang merengek, anak lelaki kecil yang baru saja datang itu juga merengek minta ditemani buang air besar oleh ibunya.
"Sebentar ya Bang," bujuk Wiwin.
Sementara itu, mendengar kakaknya merengek, rengekan si bayi juga makin keras dan akhirnya menangis.
Suasana di ruang tamu tersebut jadi agak kikuk. Wiwin bingung karena masih banyak tamu di rumahnya, sementara kedua anaknya menangis. Yang satu minta ditemani buang air besar, yang satu terbangun karena kakaknya rewel. Sementara ia di rumah sendirian. Suaminya belum pulang kerja dan ARTnya sudah pulang.
"Boleh saya gendong si kecil?" tiba-tiba sebuah suara terdengar menawarkan bantuan. Semua menoleh pada suara itu.
Tampak Lidya sedang mengoleskan hand sanitizer ke tangannya, lalu mengambil kain bedong yang tersampir di sofa ruang tamu. Ia melebarkan kain tersebut dan menutupi seluruh lengan dan dadanya dengan kain tersebut sehingga seluruh pakaian kerjanya tertutup kain. Wanita itu menatap Wiwin, merentangkan lengan, bersiap menerima bayi itu.
Sementara itu Wiwin nampak agak bingung harus melakukan apa. Bukan hanya Wiwin sepertinya, tamu lain juga tampak agak kaget, karena tadi Lidya menolak menggendong bayi itu saat Wiwin menawari, tapi sekarang malah menawarkan diri menggendong si bayi. Apakah Lidya memang mampu menggendong bayi itu?
Anak sulung Wiwin nampak merengek lagi sehingga Wiwin tidak punya pilihan lain selain meminta tolong seseorang menggendong dan menenangkan bayinya sementara ia mengurus si sulung. Tapi belum selesai Wiwin memindahkan bayinya ke lengan Lidya, rengekan si sulung makin keras. Sepertinya ia sudah kebelet sekali.
Melihat kondisi yang kacau itu, Randu segera maju dan menatap mata anak sulung Wiwin. "Bang, ditemenin pup sama Om aja ya?"
"Eh Pak, jangan. Nanti bau," refleks Wiwin menjawab. Masih separuh jalan memindahkan bayinya ke lengan Lidya, Wiwin menoleh pada Randu.
Tapi si sulung, saking nggak tahan, langsung menyambar tangan Randu dan mengajaknya ke toilet.
Meski anak sulungnya sudah menghilang bersama Randu, Wiwin jadi bingung sendiri. Apa yang harus ia lakukan? Tetap merepotkan Manajer QA untuk menggendong bayinya, atau membiarkan Manajer Produk Transfer menceboki anak sulungnya? Wiwin jadi serba salah sendiri.
"Nggak apa-apa. Si kecil sama saya dulu," kata Lidya tegas. Agar Wiwin juga tidak galau memilih. "Saya pernah gendong newborn juga kok."
"Ada kami juga kok," Asti, atasan Wiwin di QC, menimpali.
Meski tidak sepenuhnya yakin pada Lidya, tapi Wiwin juga tidak punya banyak pilihan. Apalagi bosnya sendiri sudah meyakinkannya. Jadi ia mencoba memercayai Lidya. Toh ada beberapa orang lain yang akan mengawasi Lidya dan bayinya.
Wiwin menyerahkan bayinya yang menangis, sepenuhnya di lengan Lidya. Kemudian ia menyusul Randu dan putra sulungnya ke kamar mandi. Di sana terlihat putra sulungnya sudah duduk di toilet. Sementara Randu mengambil kursi plastik pendek dan duduk di hadapan bocah lelaki itu.
"Aduh, maaf ya Pak. Si abang emang biasanya minta papanya untuk nemenin pup. Maaf ya Pak. Sini sama saya aja Pak," kata Wiwin sungkan. Masa manajer disuruh nungguin anak pup.
Tapi sepertinya Randu tidak terlihat keberatan. "Nggak apa-apa. Biar sama saya aja, Mbak Wiwin," jawab Randu dengan santai. "Mungkin nanti abis pup, si abang butuh celana baru. Tadi sempat pipis dikit di celana."
Randu menunjuk celana dalam dan celana pendek bocah lelaki itu yang tergantung di pintu toilet. Melihat hal itu, Wiwin pun tanggap langsung mengambil kedua celana kotor itu dan membawanya ke tempat cuci baju. Kemudian ia ke kamar untuk mengambil celana baru untuk si sulung.
Ia sudah berencana menceboki si sulung setelah ini. Tapi saat ia kembali ke kamar mandi, ternyata Randu sudah selesai menceboki puteranya.
"Aduh, Pak. Harusnya saya aja. Saya jadi nggak enak ini," kata Wiwin, malu sekali karena membuat sang manajer menceboki puteranya.
"Nggak apa-apa Mbak. Saya anak bungsu, jadi udah biasa disuruh cebokin anak-anaknya kakak-kakak saya," jawab Randu santai, sambil terkekeh.
Pria itu kemudian mengambil celana dan celana dalam di tangan Wiwin, lalu membantu bocah kecil di hadapannya memakainya.
"Bilang apa sama Om?" kata Wiwin pada puteranya.
"Makasih, Om," kata si sulung sambil nyengir lebar.
Randu tertawa dan menggandeng tangan bocah itu untuk kembali ke ruang tamu.
Tanpa sempat Randu antisipasi, saat memasuki ruang tamu Randu melihat pemandangan yang menakjubkan. Bayi yang tadi sempat terbangun dan menangis keras saat kakaknya menemui ibunya dengan heboh, kini sudah kembali tertidur dengan tenang di dada seorang wanita cantik berambut panjang.
Di sisi lain ruang tamu tersebut, Lidya refleks menoleh pada tiga orang yang baru kembali ke ruang tamu, dan ia mendapati seorang pria dengan lengan baju yang digulung hingga siku, sedang menggandeng tangan seorang anak lelaki kecil.
Keduanya sempat saling bertatap selama sepesekian detik, sebelum akhirnya saling melempar senyum.
Di industri farmasi, harus dilakukan produksi terhadap 3 bets awal terlebih dahulu untuk setiap produk baru, sebelum bisa dinyatakan bahwa fomula dan proses produksinya tervalidasi. Begitupun dengan Randu. Hanya butuh tiga momen seperti ini untuk membuat Randu memvalidasi perasaannya, bahwa ia memang tertarik pada wanita yang sedang tersenyum padanya saat ini.
Kebetulan adalah takdir yang menyamar. Tiga kali kebetulan yang membuatnya belakangan ini lebih sering berinteraksi lebih dekat dengan Lidya di luar urusan kantor, itu bukan kebetulan semata. Ia yakin, itu takdir. Untuk membuatnya yakin pada perasaannya sendiri.
Tapi apakah Lidya merasakan hal yang sama tentang ketiga kebetulan tersebut, dan merasakan hal yang sama pada Randu? Entahlah. Yang Randu tahu, saat ini, saat melihat wanita itu menggendong bayi kecil itu di dadanya, ia bisa membayangkan masa depannya bersama wanita itu. Masa depannya sepertinya tidak terlalu samar lagi kini.
"Wah, Bu Lidya jago juga ya gendong bayi," terdengar komentar itu dari salah seorang teman Wiwin di QC.
Lidya memutus tatapannya dari Randu dan tertawa menatap orang yang tadi berkomentar.
"Saya anak sulung. Tapi adik saya sudah punya 2 anak. Jadi saya sudah biasa bantu pegang bayi," kata Lidya.
Anak sulung? pikir Randu refleks. Gue anak bungsu! Cocok banget tuh kan! Emang takdir kayaknya nih. Anak sulung kan emang cocoknya sama anak bungsu, ia mulai mengeluarkan teori cocoklogi-nya.
* * *
Happy weekend Kakak2 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top