27. Diluent (6)

Yak! Jawaban Kakak2 tepat sekali!
Yang paling susah saat menulis cerita EKSIPIEN ini adalah karena sifat Lidya dan Randu sama sekali berbeda dengan sifat saya sendiri. Jadi menghidupkan karakter yang berbeda dengan karakter penulis, apalagi penulisnya amatir begini, syulit sekali.

Udah pada tahu kan sifat saya mirip tokoh siapa? Nah, bayangin aja, saya dengan sifat seperti itu harus membayangkan bagaimana tokoh Lidya yang cantik, cerdas, percaya diri dan tegas harus bersikap saat menghadapi kejadian tertentu. Bayangkan juga, saya yang sifatnya begini harus memikirkan jokes apa lagi yang bisa bikin Randu terlihat lucu tanpa harus menjadi Tukul.

Jadi mohon maklum kalau jokes-nya garing ya Kak. Itu udah sepenuh effort mikirnya hahaha.

Ceritanya romantic-comedy, tapi proses penulisannya ga komedi sama sekali. Malah harus serius banget. Hahaha. Jadi yaaaaa beginilah, berbulan-bulan kagak kelar-kelar.

Terima kasih Kakak2 selalu mendukung, meski ceritanya kagak kelar2.

* * *

"Kok Teteh nggak pernah cerita bahwa Angga udah nikah lagi?"

Padahal selama ada Randu yang ikut makan siang bersama mereka tadi, sang ayah nampak jenaka dan cengengesan saja. Tapi begitu Randu pulang, barulah Lidya menyadari bahwa sejak tadi ada hal yang ditahan oleh sang ayah untuk ditanyakan.

"Emang Iya belum cerita ya Pah?" Lidya malah balik bertanya, pura-pura. Padahal memang Lidya sengaja tidak menceritakan hal tersebut kepada ayahnya. Tapi sikap Angga yang masih perhatian pada ayahnya membuat Lidya marah, sehingga tadi ia terpaksa membuka fakta itu di hadapan ayahnya. Akhirnya. "Maaf ya Pah. Mungkin Iya lupa."

Tentu saja ayah Lidya nampak tidak percaya dengan jawaban tersebut. "Kapan dia nikah lagi?"

"Hmmm? Satu atau dua tahun yang lalu kayaknya."

"Udah lama ya? Tapi kenapa selama ini Angga masih sering kesini?"

"Pah," Lidya mengusap bahu pria itu dengan lembut.

Terdengar sang ayah menghembuskan nafas berat. "Teteh nggak apa-apa?"

"Kenapa harus apa-apa, Pah? Iya dan Mas Angga udah pisah. Kami nggak akan bersama lagi. Iya sendiri yang ingin pisah. Jadi kalau Mas Angga nikah lagi sama orang lain, sah-sah aja," Lidya menjawab dengan lancar.

"Bukan itu maksud Papa. Papa bukannya masih berharap kalian rujuk. Tapi selama ini Angga masih main kesini, jadi Papa pikir dia juga belum berumah tangga lagi. Kalau ternyata dia sudah memulai hidup baru, kenapa Teteh belum memulai hidup baru?"

"Selama ini Iya udah menjalani kehidupan yang baru, Pah."

Sang ayah menghela nafas lagi mendengar jawaban tersebut. "Setelah sekian tahun, Teteh belum juga mau cerita alasan sebenarnya kalian pisah?"

"Pah..." Hanya itu jawaban yang bisa Lidya berikan.

Karena itu, sang ayahpun tidak berkomentar apa-apa. Beliau hanya beranjak dari tempatnya, dalam diam. Kekecewaan dan kesedihan terpancar jelas di wajah tuanya. Lidya tahu sudah menyakiti hati sang ayah. Tapi ia tidak punya pilihan lain.

Cepat atau lambat, sebongkah hati harus siap kehilangan sesuatu yang memang bukan miliknya lagi.

Karena ada orang-orang yang tidak ditakdirkan menetap di hidup kita. Ia hanya singgah, mengisi diri kita dengan pengalaman, seperti diluent/filler pada tablet. Kadang mereka mengisi dengan pengalaman dan memori indah, kadang dengan pengalaman dan memori buruk.

Seperti Angga yang mengisi hidup Lidya dengan keduanya. Tapi tidak menetap di dalamnya.

* * *

Sekarang Randu baru sadar. Kalau diingat-ingat, selama beberapa bulan ia bekerja di Gezonde Pharma, baru kali ini Lidya mengambil cuti. Biasanya, jangankan cuti, perempuan itu malah lebih sering lembur hingga malam, atau lembur di hari Sabtu. Sehingga setiap hari Randu bisa bertemu dengan Lidya.

Kemarin, sebelum Randu pulang dari rumah ayah Lidya, perempuan itu sempat memberi tahu sih bahwa ia mengambil cuti 1 hari agar bisa lebih lama di Bandung. Tapi sekarang saat Randu benar-benar menyadari bahwa perempuan itu tidak ada di kantor, Randu merasa ada aura yang berbeda di Gezonde Pharma tanpa kehadiran Lidya.

Jadi saat ia membuka aplikasi WAnya tiba-tiba saja Randu merasa tangannya  gatal untuk mengklik sebuah nama disana.

Mbak, masih di Bandung?

Lidya yang memang sedang online, langsung terlihat mengetikkan balasan untuk chat Randu barusan.

Meskipun katanya cuti, nyatanya sejak pagi Lidya tetap merespon pertanyaan di WAG Factory Managers. Jadi sebenarnya dia tidak benar-benar cuti. Hanya work from anywhere.

Jaman sekarang memang sudah tidak terbatas lagi work from home atau work from office. Sekarang jamannya work from anywhere. Asal jangan work for anything aja sih (itu mah nasib beta sebagai staf junior hikshikshiks).

Mbak Lidya GPU: Masih, Mas. Kenapa? Ada protokol validasi yang harus di-approve segera?


Gpp, Mbak. Nanya aja.
Nanti balik Jkt naik apa?
Kereta?
Mau dijemput?

Mbak Lidya GPU: Travel, Mas.

Untung Randu masih typing dan belum terlanjur mengirimkan kalimat terakhir: Mau dijemput? Jadi, begitu Lidya membalas chatnya seperti di atas, Randu langsung buru-buru menghapus kembali kalimat terakhirnya tersebut.

Malu banget, njirr!

Balik Jkt jam brp Mbak?

Mbak Lidya GPU: Abis ashar kayaknya. Kenapa Mas?

Gpp, Mbak.

Ni orang kenapa dingin banget ya? Harusnya nanyanya tuh "Kenapa Mas? Kangen ya?" Kan enak balesnya kalau gitu. Gue tinggal bales, "Iya, kangen Mbak."

Buru-buru Randu memukul-mukul kepalanya sendiri supaya tidak makin ngaco.

Tadi Mbak dicariin Ramy.

Akhirnya Randu menggunakan alasan itu supaya nggak awkward-awkward amat.

Mbak Lidya GPU: Ramy van Dijk?

Iya.

Mbak Lidya GPU: Hahaha. Udah kangen banget kayaknya dia, pengen ketemu saya. Nanti saya japri dia deh.

Dih! Malah kangen-kangenan sama cowok lain! Japri-japrian pula!

Randu tidak sepenuhnya membual sih. Memang tadi Ramy van Dijk, Plant Director yang baru, pengganti Rajesh, yang mulai bekerja hari ini menanyakan keberadaan Lidya kepada para manajer yang hadir pada rapat perdana mereka. Bisik-bisik dari manajer yang lain sih, Lidya yang dulu menghadapi Ramy saat pria Belanda berusia 40-an tahun itu melakukan global internal audit ke site Jakarta. Jadi mereka sudah saling mengenal sebelumnya.

Terbukti, keesokan harinya, ketika akhirnya Lidya masuk kantor, Ramy menyambutnya dengan antusias.

"Kata Rajesh, cukup sulit menaklukkan kamu," Randu mendengar Ramy berseloroh sambil menjabat tangan Lidya. "Kalau sama saya, tolong jangan galak-galak ya. Hahaha."

"Ya kalau Anda nggak mancing keributan, saya juga nggak bakal galak," Lidya juga menimpali dengan tawa.

Elah! Salamannya lama amat! Randu melirik jabat tangan mereka berdua dengan sewot.

Setelah kembali ke ruang kerjanya sendiri, Randu meneguk air mineral dari tumblernya banyak-banyak untuk menenangkan diri.

Tenang! Benteng begitu tinggi, sulit untuk mereka gapai, pikir Randu. (siapa yang bacanya sambil nyanyi?)

Banyak perbedaan diantara Lidya dan Ramy, mulai dari kewarganegaraan hingga agama. Pasti sulit bagi mereka untuk berhubungan lebih dekat daripada hubungan profesional di kantor kan.

"Eh, katanya Mr. Ramy itu muslim?"

Pintu ruangan Randu memang sedang tidak ditutup. Jadi ia masih bisa mendengar beberapa staf wanita yang sedang bergosip di depan ruangannya.

"Ah masa? Katanya dia orang Belanda?"

"Tapi ibunya orang Turki. Jadi mungkin bapaknya convert."

"Kemarin gue lihat dia ke mushola abis lunch."

"Astaga! Astaga! Mana doi duda katanya. Jadi pengen minta dihalalin kan."

Lalu riuh kikikan perempuan-perempuan itu. Sama riuhnya dengan isi kepala Randu.

Belakangan Randu jadi bingung sendiri. Kenapa dirinya jadi ikut pusing. Kalaupun Ramy seorang duda dan seorang muslim, apa urusannya dengan dirinya?

* * *

Happy weekend Kakak2!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top