Kebetulan adalah serangkaian takdir Tuhan yang sedang menyamar.
Begitu kata si tengil Randu saat berfilsafat. Jadi apa maksudnya Tuhan beberapa bulan terakhir ini terus-terusan mempertemukannya kembali dengan Angga? Padahal selama dua tahun sebelumnya ia berhasil tidak kontak sama sekali dengan pria itu. Lidya jadi geram sekali memikirkan kebetulan-kebetulan yang terus terjadi belakangan ini.
"Aku pikir hubunganmu dan Pak Haris serius," Lidya mendengar Angga berkomentar, ketika mereka berdua telah keluar pagar rumah. "Tapi kok kamu sekarang malah dekat sama laki-laki itu, sampai sudah kamu bawa ketemu Papa?"
Dalam hal ini Angga belum terlalu berubah banyak. Jika ia tidak suka pada seseorang, maka akan terlihat jelas sekali dari ekspresi dan suaranya. Kali itu Lidya menangkap kesan bahwa Angga tidak suka dengan Randu.
Apa hak kamu ngatur-ngatur aku dekat dengan siapa?, pikir Lidya sewot. Meski ia berhasil menahan diri, hanya mengatakannya dalam hati.
"Mas masih sering ketemu Papa ya?" Lidya mengalihkan.
"Oh, nggak kok. Cuma kadang-kadang aja. Ini juga sebenarnya kebetulan aja aku abis mampir dari restoranku yang disini. Trus inget Papa. Jadi aku bawain laksa kesukaan Papa."
Lidya mengangguk-angguk. "Makasih ya Mas, masih inget dan perhatian sama Papa."
"Papa kan papaku juga."
"Tapi sekarang nggak bisa begitu lagi," potong Lidya dingin.
Dahi Angga berkerut melihat ekspresi dan mendengar nada suara Lidya yang dingin.
"Apa istri baru Mas tahu bahwa Mas mampir kesini?"
"Eh?" Angga terlihat kaget dengan pertanyaan Lidya yang tiba-tiba dan tidak terduga.
Tapi Lidya tidak memberi waktu kepada Angga untuk mencerna maksud dan implikasi pertanyaan tersebut. Sebelum Angga sempat merespon, Lidya sudah melanjutkan kalimatnya.
"Papa itu papaku. Dan karena kita bukan suami-istri lagi, Mas nggak perlu terus mengingat kami. Aku dan Papa adalah masa lalu Mas. Bayangkan, gimana perasaan istri baru Mas kalau dia tahu Mas masih berkunjung ke rumah mantan mertua Mas?"
"T-tapi Lid, bukan gitu___"
"Mas nggak perlu lagi seperti ini," potong Lidya dengan cepat. "Hati-hati di jalan, Mas."
Lalu sebelum Angga sempat menjawab, Lidya sudah berbalik dan melenggang pergi dari hadapan pria itu.
Lidya tahu hal itu tidak sopan. Tapi kali ini dia merasa harus bertindak tegas agar ia tidak bertemu lagi dengan pria itu. Karena pertemuan kembali dengan mantan suaminya itu, dan melihat keadaannya baik-baik saja kini bersama wanita lain, membuat Lidya marah. Padahal ia tidak berhak marah. Oleh karena itu, hal paling tepat adalah tidak lagi bertemu atau mendengar kabar tentangnya, agar penyakit di dalam hatinya tidak makin menggerogotinya.
* * *
Kalau bukan karena dikenalkan langsung oleh Lidya, Randu pasti tidak percaya bahwa lelaki di hadapannya ini adalah ayah Lidya. Lha wong Lidya tegas begitu, tapi ini ayahnya Lidya kelihatan sebagai orang yang santai dan ramah.
"Jadi ini Mas Randu bukan nganterin dari Jakarta?" tanya ayah Lidya, tampak masih bingung. Sebab tadi saat Lidya bilang bahwa pria ini yang jauh-jauh mengantarnya pulang, ayah Lidya pikir mereka datang dari Jakarta. Tapi barusan lelaki ini bercerita bahwa ia hanya mengantar Lidya dari salah satu hotel di Bandung.
Ayah Lidya sudah mengantisipasi kalau-kalau pria ini adalah teman dekat Lidya yang baru, karena sampai jauh-jauh menemani Lidya pulang ke Bandung. Tapi setelah mendengar penjelasan Randu bahwa mereka adalah rekan sekantor dan memang ada office gathering di Bandung, harapan ayah Lidya segera pupus kembali.
"Tapi kenapa Mas Randu sendirian bawa mobil? Kenapa nggak naik bis seperti yang lain?"
Randu cengengesan sambil mengusap tengkuknya, salah tingkah. Ia lalu terpaksa menceritakan keterlambatannya kemarin dan sakit perutnya tadi pagi.
"... Ndilalah pas saya turun, ketemu Mbak Lidya di lobby. Dan ternyata dia bukannya mau belanja. Jadi mumpung saya bawa mobil, sekalian saya tawarin anter Mbak Lidya, Pak," tutur Randu.
"Mas Randu orang Jawa ya?"
"Lho? Kok Bapak tahu? Dari nama saya ya?" refleks Randu menjawab. Belakangan dia baru sadar, memangnya dirinya orang terkenal sampai orang yang baru dikenalnya tahu namanya? Haha, dasar GR!
"Lho, memang nama Mas Randu siapa?" tanya ayah Lidya, jadi penasaran.
"Randu Ranggalawe. Hehehe."
Kombinasi jawaban dan kekehan Randu membuat ayah Lidya ikutan tertawa juga.
"Namanya Jawa banget, Mas," kata ayah Lidya, masih terkekeh. "Tapi tadi saya curiga Mas orang Jawa karena Mas refleks bilang ndilalah. Mas ngomong Jawa sehari-hari?"
"Wah, nggak Pak. Saya nggak bisa ngomong Jawa. Tapi kalau ada orang yang ngrasani saya dengan bahasa Jawa, saya ngerti, Pak. Soalnya tiap hari saya dirasani ibu saya pakai bahasa Jawa."
Ayah Lidya tertawa. "Orang tua Mas Randu orang Jawa?"
Randu mengangguk. "Dulu saya mudik ke kota yang banyak bapak-bapaknya, Pak."
Meski tidak bermaksud melawak, karena kebiasaan, Randu refleks menjawab seperti itu. Dia sudah bersiap memberikan jawaban serius kepada ayah Lidya, tapi beliau justru sudah tahu lebih dulu.
"Purwodadi tho?" terka ayah Lidya, tepat.
Dari tadi Randu tidak menyadarinya. Tapi saat barusan ayah Lidya mengatakan "purwodadi" dengan huruf "d" yang dilafalkan tebal, Randu menduga pria ini juga berbahasa Jawa.
Ketika Lidya memasuki rumah, ia mendapati kedua pria berbeda generasi itu sudah tertawa bersama. Ia yang baru masuk, tentu saja bingung, apa yang sedang ditertawakan kedua orang yang baru ngobrol selama 5 menit itu?
Dalam waktu sekejap, perasaan kesal Lidya karena bertemu dengan Angga lenyap, dan langsung tergantikan dengan perasaan bingung.
"Lagi ngobrol apa sih, sampai ketawa-ketawa berduaan gitu?" tanya Lidya heran.
"Mas Randu ternyata dari Purwodadi," sang ayah memberi info.
Lidya pernah mendengar info tersebut. Tapi dia tidak tahu dimana lucunya info itu sehingga membuat kedua pria itu tertawa-tawa. Hal itu membuat mata Lidya menyipit memandang kedua pria itu bergantian.
"Papa kan dari Purwokerto," lanjut sang ayah sambil belum berhenti terkekeh. Tapi Lidya masih belum paham dimana lucunya. "Kalau kami berkumpul, bisa bikin orkestra."
"Hah?"
Tiba-tiba lampu di kepala Randu menyala. Sehingga tanpa aba-aba, ia refleks nyeletuk. Dan ndilalah, ayah Lidya ternyata mencetuskan hal yang sama.
"Purwocoroko!"
Keduanya saling berpandangan dengan tatapan yang takjub satu sama lain. Lalu kompak tertawa bersamaan.
Sementara Lidya, menahan diri untuk tidak membanting benda-benda di sekitarnya, langsung ngeloyor masuk ke kamarnya dengan bersungut-sungut. Menghadapi kelakuan dan guyonan ayahnya saja sudah membuat Lidya mengelus dada. Kini ada dua makhluk serupa di rumah ini, double kill sekali.
Tabah ya Lid, ini ujian.
"Saya kira Bapak orang Bandung asli lho Pak. Nggak kedengeran ngapak-ngapak lagi tuh Pak." Samar Lidya masih mendengar komentar Randu, sebelum ia masuk kamarnya.
"Sudah lama sejak saya jatuh cinta sama gadis Bandung, menikah dan akhirnya tinggal disini. Sekarang mungkin saya sudah lebih fasih bahasa Sunda."
Lalu suara tawa keduanya makin samar ketika Lidya menutup pintu kamarnya.
* * *
Halo Kakak2!
Senang deh ketemu lagi di weekend ini. Mohon maaf cerita ini cuma di-post tiap weekend. Makasih juga Kakak2 selalu setia menunggu dan membaca.
Kalau ditanya, diantara cerita2 yg pernah saya tulis, mana yang paling lancar idenya dan paling sedikit risetnya? Tentu semua pembaca sudah tahu jawabannya: Cerita yang Tidak Dimulai. Karena latar cerita, konflik maupun karakternya hampir semuanya riil. Jadi saat menuliskannya menjadi novel, yang saya butuhkan hanya mengorek kembali memori saya saat dulu bekerja di industri farmasi.
Cerita EKSIPIEN inipun sebenarnya latarnya adalah dunia industri farmasi. Dan rencananya ini novel romantic-comedy. Tapi napa beta pusing juga ya risetnya saat akan menulis cerita ini? Hahaha.
Apakah Kakak2 pembaca ada yang tahu, apa yang paling susah saat menulis cerita Randu-Lidya ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top