21. Solvent (2)

Halo Kakak2!
Jumpa lagi, dengan saya disini.
((siapa yg baca kalimat ini pake nada? Ketahuan deh umurnya. Hahaha))

Update WP jarang2 gini, lapak saya jadi berdebu. Huhuhu. Sedih deh. Tapi apa daya, real life saya emang lg hectic banget. Jadi mohon maaf karena cuma bisa update seminggu sekali ya Kak. Semoga Kakak2 selalu sehat dan masih ngikutin cerita ini.

Makasih ya Kakak2 yg selalu mendoakan saya, baik di kolom komen atau IG. Ga bisa diginiin aku tu. Langsung terharu aku tu.

* * *

Kelarutan adalah kemampuan suatu zat untuk terdispersi secara molekuler/melarut dalam suatu pelarut tertentu.

Tiap bahan memiliki kelarutan yang berbeda dalam pelarut tertentu. Ada zat-zat yang lebih mudah larut dalam air, dan justru ada ada zat yang lebih mudah larut dalam minyak, tergantung pada polaritas zat tersebut. Ada yang dapat terlarut 2 gram dalam tiap mililiter air, namun ada juga zat yang hanya bisa terlarut sebanyak 2 mg dalam tiap mililiter air. Untuk zat yang terakhir, bahkan hanya dengan jumlah 2 mg zat di dalam 1 mL air, sudah terbentuk larutan jenuh yang sudah tidak bisa lagi ditambahkan zat yang lebih banyak ke dalam larutan tersebut.

Kelarutan adalah salah satu sifat intrinsik suatu zat. Artinya, sepanjang struktur molekul zat tersebut tidak dimodifikasi dan tidak berubah, maka kelarutannya juga tidak berubah. Jika dinyatakan kelarutan sukrosa/gula dalam air adalah 2 gram/mL, maka itu adalah konsentrasi maksimal sukrosa yang dapat larut dalam air dan membentuk larutan jenuh. Upaya pengadukan atau peningkatan suhu tidak dapat meningkatkan jumlah sukrosa maksimal yang terlarut dalam air, melainkan hanya dapat meningkatkan kecepatan larut.

Manusiapun memiliki sifat intrinsik, sifat dasar yang tidak dapat diubah. Misalnya, seorang introvert bisa tetap bersosialisasi dengan baik dengan banyak orang di sekitarnya karena ia sudah berlatih untuk bisa berbaur dengan lebih banyak orang. Namun bagaimanapun baiknya ia bersosialisasi, di akhir hari ia akan kelelahan dan lebih senang menghabiskan hari sendirian, mengisi kembali daya yang hampir kosong karena seharian sudah memaksa diri hingga limitnya untuk bersosialisasi. Karena sifat dasarnya yang lebih senang sendirian itu tidak bisa diubah, bahkan meski ia sudah berlatih bertahun-tahun.

Contoh lainnya adalah ketahanan menghadapi tekanan. Seperti tiap zat yang memiliki sifat kelarutan berbeda, tiap manusia juga memiliki limit ketahanan terhadap tekanan yang berbeda. Kita bisa mengaduk atau memanaskan pelarut agar suatu zat lebih cepat larut, tapi tidak bisa membuatnya lebih banyak larut. Seperti halnya manusia yang berusaha meningkatkan ketahanannya terhadap tekanan, tetap ada limitnya. Manusia tidak bisa terus-terusan menahan tekanan yang dihadapinya. Manusia hanya bisa berlatih meregulasi tekanan yang ia hadapi, tapi tidak bisa melampaui limitnya.

Orang-orang bilang bahwa asal kita berusaha maka kita bisa melampaui limit/keterbatasan diri. Tapi sebenarnya yang terjadi tidak seperti itu. Tuhan memang telah menciptakan manusia dengan limit yang besar agar bisa jadi pemimpin di muka bumi. Limit kita tidak sekecil yang kita pikir. Tapi kadang manusia itu sendiri yang membatasi kemampuan dirinya sehingga sudah menyerah bahkan sebelum mencapai limit. Makanya, katanya Tuhan tidak akan menguji manusia di luar kesanggupan manusia. Tuhan hanya menguji manusia sampai limitnya. Melalui ujian tersebut, manusia jadi terpaksa berusaha melampaui limit kecil yang ia buat sendiri. Karena Tuhan ingin manusia menyadari bahwa potensinya saat ini masih jauuuuhhh dari hal yang sebenarnya bisa ia raih. Tuhan ingin manusia berjuang hingga limit yang ditetapkan Tuhan agar bisa menjadi makhluk terbaik dan khalifah di bumi.

Tapi kali itu, mungkin, Lidya telah mencapai limit jenuhnya. Load pekerjaan yang meningkat sejak transfer produk bertahap mulai dilakukan, ditambah kehebohan kasus EG/DEG membuat waktu istirahatnya berkurang. Hal itu menyebabkan kesabarannya menipis, setipis tisu dibelah tujuh. Jadi ketika ada anak magang yang malah ijin pulang lebih cepat saat dibutuhkan menyusun laporan secepat mungkin ke BPOM, emosi Lidya yang sudah jenuh tersebut tidak sanggup lagi menetralkan perasaan kesal sekecil apapun. Akibatnya, ia menumpahkan emosinya pada si anak magang. Bukan maksudnya ingin mempersulit hidup si anak magang, tapi Lidya hanya tidak bisa mengendalikan emosinya saat itu.

Ia tahu dirinya salah karena tidak mampu mengendalikan emosi. Tapi gengsinya mencegahnya meminta maaf pada anak magang itu. Jadi hingga hari terakhir Ranu PKPA di Departemen QA, hingga saat Ranu pamit, Lidya masih konsisten pada sikapnya yang dingin pada gadis itu.

"Nilai PKPA kamu sudah saya kirim lewat email ke kampus kamu." Hanya itu kalimat singkat yang Lidya katakan dengan wajah datarnya yang tak acuh, pada Ranu yang duduk di hadapannya, di seberang meja kerjanya, ketika gadis itu pamit di hari terakhirnya.

Tapi tanpa terduga, Ranu justru menanggapi sikap dingin Lidya itu dengan senyum hangat. "Makasih banyak ya Bu, Bu Lidya sudah membimbing saya selama 1 bulan ini. Meski cuma 1 bulan di sini, saya mendapat banyak ilmu dari tugas yang Ibu berikan. Terima kasih banyak ya Bu."

Tanpa sempat mengendalikan ekspresinya, Lidya memicingkan matanya pada Ranu. Apa maksudnya gadis ini? Apakah gadis itu sedang bersikap sarkas, dengan justru berterima kasih pada Lidya padahal ia sudah mempersulit gadis itu? Tapi kenapa intonasi maupun senyum gadis itu tidak terkesan sarkas sama sekali?

"Pak Randu yang lebih banyak membimbing kamu," Lidya menjawab diplomatis. Ia tidak yakin maksud terselubung di balik senyum hangat gadis di hadapannya. Jadi ia tidak bisa menurunkan kewaspasaannya. Tapi di sisi lain, ia juga tidak bisa gegabah berburuk sangka, mengingat gadis itu tidak melakukan hal yang salah. Jadi mempertahankan sikap dingin dan netral adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan.

Mendengar perkataan Lidya, Ranu terkekeh. "Kalau sama Pak Randu, saya juga sudah ketemu dan pamitan tadi, Bu. Sudah bilang makasih juga ke beliau, karena beliau banyak membimbing dan membantu saya selama disini."

Lidya hanya menatap datar pada Ranu. Namun di dalam benaknya ia bertanya, apakah gadis ini memang sepolos yang terlihat, sehingga tidak menyadari gelagat Randu yang tertarik padanya? Atau justru gadis ini seorang "pro" yang sudah menyadari ketertarikan Randu dan memanfaatkannya? Tapi kenapa di sisi lain Lidya ragu pada kecurigaannya sendiri, dan merasa Ranu bukan keduanya?

Perempuan seperti apa Ranu ini? Apa karena ini, Angga tertarik pada gadis ini?

* * *

"Mbak Lid, nggak ikut Gathering ke Bandung?" tanya Asti, sang Manajer QC, selepas mereka selesai rapat mingguan.

"Hmmm?" Lidya mengangkat wajahnya dari laptopnya dan menatap Asti.

"Tadi kata manajer HRD, Mbak Lidya belum konfirmasi ikut Gathering. Emang nggak mau ikut, Mbak?" lanjut Asti.

"Oh, itu. Hehehe." Alih-alih menjawab, Lidya malah tertawa saja.

Bukannya ia tidak mau ikut Gathering ke Bandung. Justru itu kesempatan baik, ia bisa sekalian menengok ayahnya yang tinggal di Bandung. Tapi, load pekerjaannya belakangan ini membuatnya lupa pada acara tersebut, sehingga ia belum mendaftarkan diri.

"Yah? Mbak Lidya nggak ikut? Kenapa? Ikut dong Mbak!" Belum sempat Lidya mengklarifikasi bahwa ia hanya belum sempat mendaftar, tapi Randu malah sudah keburu heboh berkomentar.

Melihat respon Randu, Lidya mengulum senyum. "Pengen banget Gathering bareng saya, Mas Randu?"

Sejak kejadian terakhir dimana Lidya menyelamatkan Randu dari Angga yang posesif, sejak itu hubungan Lidya dan Randu jadi makin akrab. Lebih tepatnya karena Lidya jadi lebih sering menggoda Randu yang sempat mengira Lidya menyukainya. Seperti halnya kali ini.

"Wah! Wah! Mentang-mentang udah ditinggal anak magang, sekarang beralih ke Mbak Lidya nih?" cetus Yudha, Manajer PPIC, menimpali.

"Lagian kurang gercep sih. Sampai si Ranu selesai PKPA, jadinya belum sempat nembak, Mas?" sambung Hanif, sang Manajer Produksi.

Randu memasang tampang manyun. Tapi di dalam hati ia lega, tidak ada orang lain yang tahu bahwa dirinya gagal gara-gara Ranu sudah bersuami. Hanya Lidya yang tahu, dan wanita itu menyimpan fakta itu sendiri. Sehingga sampai saat ini Randu tidak kehilangan muka dan tampak terlalu mengenaskan di depan teman-temannya yang lain.

"Duh! Itu tuh cuma lucu-lucuan aja Mas. Bukannya saya serius pengen prospek si Ranu," kilah Randu. "Jadi Mbak Lidya, jadi ikut Gathering kan?" Ia segera mengalihkan pembicaraan kembali ke masalah Gathering, supaya dirinya tidak terus-terusan dibully.

"Hmmmm..." Lidya sengaja tidak segera menjawab, dan sok berpikir keras.

"Belakangan ini kan kerjaan Mbak banyak banget Mbak. Pasti jenuh kan," kata Randu, dalam usahanya membujuk, "Larutan aja kalau udah jenuh, harus diencerin pakai solvent, Mbak. Pun, otak dan jiwa kalau udah jenuh, harus diencerin pakai liburan, Mbak. Mayan lah gathering, liburan tipis-tipis."

Asti, Yudha dan Hanif yang mendengar Randu membujuk Lidya dengan analogi farmasi ala-ala cuma geleng-geleng kepala. Tapi tidak demikian dengan Lidya.

Bandung sih tidak pernah jadi tempat liburan bagi Lidya. Karena baginya, Bandung adalah rumah tempat ia selalu ingin pulang dan beristirahat.

Tapi mendengar argumen Randu, boleh juga usaha pria itu. Hal itu membuat Lidya mengulum senyum kembali.

"Lagian, Mbak Lid harus dateng Mbak!" imbuh Asti. "Karena pas Gathering besok, sekalian akan ada acara perpisahan sama Rajesh. Kan beliau pensiun bulan ini. Bulan depan kita punya Plant Director baru nih!"

"Oh iya!" Hanif tampak bersemangat. "Jadinya udah ada keputusan dari Head Plant belum, siapa Plant Director kita setelah Rajesh pensiun? Dari India lagi? Atau Singapore?"

Kali ini akhirnya Lidya bersuara. "Dari Belanda."

"Oh ya? Siapa Mbak?" tanya Hanif antusias.

"Ramy van Dijk."

Mata Asti membulat berbinar menatap Lidya ketika Lidya menyebutkan nama itu. "Ramy... yang itu, Mbak?"

* * *

Lama ga nulis, jadi butuh pemanasan lagi nih. Bosen ga baca bab ini, Kak? Semoga nggak bosen ya hehehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top