20. Solvent

Waktunya malam mingguan sama Mas Randu 😘😘😘

Siapa yg kangen Mas Randu???

* * *

Randu melihat sosok Lidya memasuki pintu lobby. Langkahnya mantap dan cepat, tapi tidak terkesan terburu-buru. Membuatnya terlihat elegan. Belum sempat terpikir apakah dirinya perlu menyapa Lidya atau tidak, karena saat itu ia juga sedang menghadapi suami Ranu, Lidya justru melangkah cepat menghampirinya.

"Sori, aku terlambat, Mas." Lalu tiba-tiba saja wanita berambut ikal panjang dengan setelan blus formal yang anggun itu sudah berdiri di sampingnya, dan bicara padanya. "Butuh waktu lebih lama untuk audit supplier. Mas Randu nungguin aku disini? Kenapa nggak nunggu di ruanganku?"

Audit apa? Nungguin siapa? Randu bingung sendiri dalam hati.

Terlebih, meski Lidya bicara dengan sikap yang biasa saja, tidak terkesan genit atau manja, tapi cara wanita itu menyebut dirinya sendiri di hadapan Randu terasa aneh. Lidya memang biasa memanggilnya Mas Randu. Tapi baru kali ini wanita itu menyebut dirinya sendiri aku di hadapan Randu. Aneh sekali.

Lagi-lagi, sebelum Randu sempat merespon Lidya, wanita itu sudah lebih dulu menoleh dan beralih bicara pada orang lain. Pada suami Ranu.

"Lho? Mas Angga kesini?"

"Hai Lidya!" Suami Ranu kini menyapa wanita berambut ikal panjang itu. "Ketemu lagi kita. Kamu sehat?"

Randu dapat melihat perubahan ekspresi suami Ranu. Yang awalnya terlihat intimidatif terhadap Randu, kini berubah penuh senyum kepada Lidya.

Pria itu mengulurkan tangan dengan sikap hangat pada Lidya, dan Lidya membalas uluran tangan itu sambil tersenyum.

"Sehat, Mas. Mas sendiri apa kabar?"

"Aku juga baik."

Jabat tangan itu terlihat mantap, seperti layaknya jabat tangan profesional, dan hanya terjalin selama 3 detik sebelum mereka saling melepaskan.

Randu melihat Lidya sudah bersiap pamit. Tapi lelaki itu justru melanjutkan percakapan.

"Aku kesini jemput istriku," kata suami Ranu.

Pria itu menarik bahu Ranu mendekat, sehingga kini Ranu berhadapan dengan Lidya. Gerakan itu membuat Ranu dan Lidya saling memandang.

"Kalian sudah saling kenal kan? Kata Ranu, kamu pembimbing PKPAnya?"

Lidya mengangguk. Sementara Ranu tersenyum sungkan.

Dilihat dari ekspresi Lidya yang tidak terlihat kaget saat Angga memperkenalkan istrinya, Randu menduga bahwa Lidya sudah tahu bahwa Ranu adalah istri baru mantan suaminya itu.

"Lucu deh, aku baru tahu bahwa istriku magang disini kemarin, pas aku nyuruh dia pulang cepat karena anak kami demam tinggi. Dari awal dia cuma bilang magang di industri farmasi aja. Kalau tahu dia magang disini, aku bisa mampir kesini lebih awal. Sekalian reuni sama Yudha, kamu dan yang lain." Angga terkekeh sendiri.

Sementara senyum Ranu nampak makin sungkan. Senyum Lidya sendiri masih bertahan tenang dan anggun.

"Aku juga baru tahu kemarin bahwa kamu yang jadi pembimbing Ranu selama dia di QA," lanjut Angga. "Dia ngeyelan nggak selama magang?"

Lidya tidak menjawab dan hanya tersenyum. Dan ekspresi itu mengganggu Randu.

"Thanks ya Lid, kemarin kamu ijinin Ranu pulang lebih cepat. Sorry, kemarin aku yang maksa dia pulang cepat. Aku panik handle anak sakit sendirian."

"Sekarang anak Mas udah sembuh?"

"Masih demam. Tapi udah mendingan. Nggak setinggi kemarin demamnya."

"Alhamdulillah. Semoga si kecil cepat sembuh ya Mas."

"Aamiin."

"Ngomong-ngomong, Mas Angga mau langsung pulang atau gimana?" tanya Lidya kemudian. Namun, belum sempat Angga menjawab, Lidya sudah melanjutkan kalimatnya, "Kalau aku yang pamit duluan, nggak apa-apa ya Mas? Aku udah telat janjian, gara-gara tadi kelamaan audit." Kemudian Lidya menoleh sambil tersenyum pada Randu. "Sori ya Mas. Udah kelamaan nunggu ya, sampai akhirnya nunggu aku di lobby gini?"

Randu memang kadang lemot. Tapi karena sejak tadi ia berusaha sesegera mungkin memahami situasi, kini ia tahu bagaimana harus merespon Lidya.

"It's okay," Randu menjawab sambil tersenyum pada Lidya. "Belum lama kok. Tapi emang pengen aja nunggu kamu disini. Kebetulan pas tadi keluar, ketemu Ranu."

Randu melihat Lidya tersenyum mendengar jawabannya. Artinya dirinya nggak salah menjawab kan? Fiuhhh, lega!

"Oh iya, Mas Angga udah kenalan sama Mas Randu?" Lidya kembali menoleh pada mantan suaminya. "Mas Randu ini pembimbing PKPA Ranu sebelum dia pindah ke QA."

"Oh. Iya, tadi sudah sempat kenalan." Angga melirik kepada Randu, dan senyum ramahnya pada Lidya tadi segera berganti menjadi senyum basa-basi ketika pria itu menatap Randu.

Lidya mengangguk-angguk masih sambil tersenyum, sebelum kemudian ia memutus percakapan mereka.

"Kalau gitu, aku duluan ya Mas," kata Lidya pada Angga. Wanita itu menoleh pada Ranu dan mengangguk cepat. "Semoga si kecil cepat sembuh."

"Thanks, Lid."

"Makasih, Bu," jawab Ranu, bersamaan dengan suaminya.

Lidya melirik Randu, memberi kode. Dan Randu pun segera tanggap mengikuti.

"Mari, Pak. Saya duluan, Ranu." Randu mengangguk sopan pada pasangan suami-istri itu, sebelum kemudian mengikuti Lidya meninggalkan lobby Gezonde Pharma, kembali masuk ke gedung perkantoran menuju elevator yang membawa mereka naik ke ruang kerja mereka.

* * *

Saat itu sudah jam pulang kantor, sehingga kebanyakan orang menggunakan elevator untuk turun dari ruang kerjanya dan keluar dari gedung perkantoran itu. Sehingga kali itu Randu hanya berdua saja dengan Lidya yang berada di dalam elevator yang membawa mereka naik.

"Jadi, itu alasan Mbak Lidya melarang saya mendekati Ranu? Sejak awal Mbak sudah tahu bahwa dia sudah menikah?"

Randu membuka percakapan, setelah selama melangkah bersama dan menunggu elevator mereka saling terdiam lama. Namun Lidya hanya menjawab pertanyaan itu dengan gumaman rendah.

"Dan Mbak sudah tahu bahwa Ranu itu istri barunya mantan suami Mbak?"

Ekspresi Lidya yang tidak tampak terkejut saat Angga memperkenalkan Ranu sebagai istrinya, membuat Randu berpikir bahwa barangkali sejak awal Lidya sudah tahu bahwa Ranu adalah istri mantan suaminya.

Lidya menoleh dan menatap Randu dengan dahi berkerut.

"Mantan suami?" tanya Lidya. Seingatnya, pada percakapan singkat dengan Angga tadi, satu kalipun ia tidak pernah mengatakan bahwa Angga adalah mantan suaminya. Apakah justru Angga yang mengatakan hal itu pada Randu?

Menyadari tatapan tajam Lidya, Randu buru-buru mengklarifikasi. "Saya pernah lihat Pak Angga di nikahan anaknya Pak Yohan. Kata beberapa orang disana, dia mantan suami Mbak."

Lidya kembali mengalihkan tatapannya dari Randu. Ia memilih menatap lurus pada pintu elevator. Tidak adanya tanggapan dari Lidya membuat Randu makin yakin bahwa dugaannya tidak keliru.

"Makasih ya Mbak," kata Randu kemudian. Lidya tidak menganggapi ucapannya barusan, tapi Randu tahu bahwa Lidya mendengarnya, jadi ia melanjutkan kalimatnya. "Makasih sudah memperingatkan saya sebelumnya. Makasih juga buat yang tadi."

"Nggak perlu berterima kasih," Lidya merespon. "Saya cuma nggak mau ada keributan di kantor. Dia orang yang posesif dan tempramental."

Kalau mantan istrinya sendiri yang bilang begitu, Randu percaya. Belum apa-apa saja tadi pria itu sudah menunjukkan sikap permusuhan yang kental pada Randu.

Suasana kembali hening selama beberapa saat. Dan sikap diam Lidya setelahnya membuat suasana diantara mereka makin canggung.

Dari sudut matanya, Randu bisa melihat ekspresi Lidya yang kaku. Hal itu membuat Randu berpikir bahwa pertemuan barusan bukan hanya tidak menyenangkan bagi Randu, tapi juga bagi Lidya.

Apa Lidya tidak nyaman bertemu kembali dengan mantan suaminya? Meski kata orang, hubungan mereka tetap terjalin baik setelah perceraian? Ataukah karena mereka bertemu saat mantan suaminya bersama istri barunya? Apa mungkin itu berarti Lidya masih ada perasaan terhadap mantan suaminya?

"Saya cemburu..."

Apa kata-kata Lidya waktu itu maksudnya.... Lidya cemburu terhadap Ranu, karena gadis itu adalah istri mantan suaminya? Bukan karena Lidya naksir pada Randu?

"Astaga!" Tanpa sadar, Randu memekik kecil saat menyadari kegoblokannya.

Lidya menoleh dan mengernyit bingung. Saat itu Randupun membalas tatapan Lidya dengan nelangsa.

"Waktu itu... Mbak Lidya nyuruh saya jauhin Ranu, bukan karena Mbak... naksir saya?"

Lidya yang tadinya mengernyit bingung, kini ekspresinya berubah dengan cepat. Ia mengernyit jijik, lalu memalingkan wajahnya dari Randu. Tapi dari dinding elevator yang memantulkan bayangan mereka, Randu bisa melihat wanita itu mengulum senyum, mati-matian berusaha menahan tawa.

Tapi upaya itu hanya bertahan tiga detik. Setelahnya, suara tawa Lidya terdengar memenuhi elevator itu. Randu bahkan khawatir orang-orang di luar elevator bisa mendengar suara tawa Lidya. Tapi di sisi lain, perasaan Randu jadi lebih ringan setelah melihat Lidya tertawa kembali, karena ekspresi Lidya sejak meninggalkan lobby sungguh menakutkan dan menegangkan.

Lidya menghentikan tawanya tepat saat elevator berdenting lalu terbuka. Lidya melangkah keluar, diikuti Randu. Wanita itu menoleh dan menatap Randu dengan heran, karena ruang kerja Randu bukan berada di lantai yang sama dengan ruang kerja Lidya. Jadi ngapain lelaki itu mengikutinya?

"Mau nemenin saya makan malam nggak Mbak? Supaya saya nggak ngenes-ngenes amat ini," tanya Randu, dengan wajah nelangsanya, yang bukannya bikin orang kasihan melihatnya, malah justru memancing orang lain untuk menertawakan nasibnya.

Sontak saja pertanyaan Randu barusan membuat Lidya tertawa lagi. Mengetahui ada orang lain yang bernasib sama sepertinya, menyenangkan juga.

Jadi karenanya, setelah tawanya mereda, Lidya mengangguk. "Mas yang traktir ya!"

"Apakah ini yang dimaksud pepatah, habis jatuh tertimpa tangga?"

Sekali lagi Lidya tertawa lepas mendengar keluhan Randu.

Anehnya, mendengar Lidya tertawa membuat perasaan Randu makin ringan dan lega. Padahal dirinya baru saja patah hati. Kenapa perasaan sedih itu terlalu cepat berlalu? Aneh!

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top