18. Sodium Starch Glycolate
Apa yang bisa dilakukan guru sambil mengawas murid ujian?
Tentu saja update wattpad dong! Hahaha.
Guru macam apa aku?!!!!
* * *
Meski Ranu menjadi jauh lebih sibuk sejak pindah ke QA, sehingga Randu sempat mengira bahwa Lidya sengaja mempersulit Ranu selama di QA, namun ketika Ranu bercerita bahwa Lidya tidak jadi meminta Ranu membuat laporan PKPA tambahan, Randu menarik kembali prasangka buruknya terhadap Lidya tersebut. Barangkali Lidya memang tidak ada intensi khusus untuk mempersulit Ranu, melainkan memang keadaan yang membuat mereka semua sibuk.
Tapi belum sempat surut sepenuhnya, prasangka Randu terhadap Lidya kembali terbit ketika sebuah insiden terjadi. Randu memang tidak melihat sendiri kejadian tersebut, ia hanya mendengarnya dari desas-desus yang santer beredar. Tapi bahkan hanya dengan mendengar ceritanya saja sudah membuat Randu kembali antipati pada Lidya.
"Padahal si Ranu minta ijin pulang karena ada keluarganya yang sakit," demikian bisik-bisik yang Randu dengar saat bergabung makan siang di sebelah meja staf QA. "Kasihan deh. Waktu si Ranu minta ijin ke Bu Lidya, sambil berurai air mata gitu. Ngelihatnya aja, gue nggak tega. Tapi kok Bu Lidya tega ya?"
"Tega gimana?" tanya salah satu staf QA lain.
Kalau mengikuti nalurinya, Randu sudah pasti ingin langsung ikutan nimbrung dalam pergosipan tersebut. Tapi kali ini ia menahan diri. Jadi ia melanjutkan makan siangnya dalam diam, sambil memasang pendengarannya baik-baik.
"Jadi Bu Lidya nggak ngijinin Ranu pulang?" celetuk staf QA yang lain, bahkan sebelum pertanyaan sebelumnya sempat terjawab.
"Pada akhirnya Bu Lidya ngijinin anak PKPA itu pulang sih. Tapi setelah dimarahin dan disindir dulu. Nggak nyangka sih Bu Lidya bakal ngomong gitu ke si Ranu."
"Ngomong gimana emangnya?"
"Katanya, kalau mau kerja, harus profesional. Kalau belum becus ngurus keluarga, nggak usah kerja."
Beberapa orang, termasuk Randu sendiri, terkesiap ketika mendengar kalimat itu. Bahkan meski tidak mendengar langsung dari bibir Lidya, kalimat tersebut sudah terdengar sangat menusuk. Apalagi jika mendengar sendiri. Iya kan?
"Tapi kok gue nggak yakin Bu Lidya bisa ngomong gitu ya." Kali ini Randu mendengar suara Arum. Setelah sedari tadi perempuan itu hanya diam menyimak, kali ini akhirnya anak buah Lidya itu ikut bersuara juga pada diskusi tersebut. "Kalau dipikir-pikir, gue tuh anak buah yang udah paling nggak tahu diri. Anak buah lain mah harus siap menerima delegasi tugas dari atasannya. Eh, kalo gue, malah Bu Lidya yang selalu siap meng-handle kerjaan gue kalau gue cuti mendadak karena anak gue sakit. Beliau juga nggak keberatan audit supplier ke luar kota atau ke luar negeri karena gue nggak diijinin suami gue, padahal itu harusnya tugas gue. Dan bukan hanya terhadap gue. Terhadap anak buahnya yang lain juga gitu. Iya kan Nin?"
Arum menoleh pada salah satu staf QA. Nindy, yang mendengar namanya tiba-tiba disebut, celingukan bingung.
"Waktu lo cuti seminggu karena ibu mertua lo liburan dan nggak bisa jaga anak lo, Bu Lidya ngasih ijin kan? Padahal waktu itu lagi pekan terakhir persiapan audit TGA. Iya kan?"
"Emmm iya, Mbak." Nindy mengakui hal itu dengan canggung.
"Lo juga Ras." Berikutnya Arum melirik Taras, yang katanya tadi menjadi saksi mata insiden Lidya-Ranu. "Waktu lo nggak bisa submit dokumen mutu ke Regulatory tepat waktu, karena lo dipanggil ke sekolah anak lo, Bu Lidya yang cover kerjaan lo itu kan?"
"I-iya, Mbak," jawab Taras, jiper juga.
"Menurut gue, Bu Lidya adalah bos yang sangat toleran terhadap kondisi keluarga anak buahnya. Padahal beliau nggak berkeluarga dan nggak punya anak, tapi sangat memahami tantangan ibu bekerja. Jadi gue sih ragu Bu Lidya bisa ngomong sejahat itu ke anak magang."
"T-t-tapi aku dengar s-sendiri Ibu ngomong gitu, Mbak," kata Taras tergagap. Meski ia merasa bersalah karena penilaiannya pada Lidya, tapi ia tidak mau dipersalahkan sepenuhnya.
"Iya," Arum mengangguk dengan ekspresi yang disabar-sabarkan. "Gue nggak nuduh lo bohong juga, Ras. Tapi kalaupun memang kejadiannya begitu, kalau memang Bu Lidya ngomong gitu ke Ranu, gue percaya, Bu Lidya pasti melakukan itu karena alasan tertentu."
Nindy, Taras dan beberapa staf QA lain yang sedang makan bersama Arum, tampak mengangguk-angguk atau merenungi pengalaman mereka selama bekerja di bawah pimpinan Lidya.
Sementara itu, Randu mengunyah makan siangnya pelan-pelan, berusaha mencerna informasi yang kontradiktif itu. Kalau memang Lidya adalah pimpinan yang sepengertian itu terhadap kondisi keluarga anak buahnya, alasan apa yang membuat wanita itu justru bersikap keras terhadap Ranu?
* * *
Barangkali kasus cemaran etilenglikol dan dietilenglikol pada eksipien yang digunakan untuk memproduksi produk cair Gezonde Pharma memang sangat menguras Lidya dalam hal fisik dan mental. Karena ketika Randu melihat Lidya menyampaikan presentasi pada monthly meeting hari itu, wajah Lidya tampak lebih serius.
Lidya memang selalu serius dalam bekerja. Namun saat berinteraksi secara personal, ia termasuk wanita yang ramah. Tapi sosok yang dilihat Randu hari itu bukan sosok seperti itu.
Wajah Lidya tampak lelah, tapi sekaligus tampak dingin.
Eh? Dingin? Atau itu hanya perasaan Randu saja? Sebab bahkan saat menjawab pertanyaan Yudha, sang Manager PPIC yang biasanya menjadi partner berantem Lidya, wanita itu masih terdengar ramah. Tapi kenapa justru saat menanggapi pertanyaan Randu, tatapan dan suara Lidya terkesan dingin dan jauh ya? Perempuan itu hanya menjawab sekedarnya dan terkesan enggan balas menatap Randu.
Ketika meeting telah selesai dan Lidya beranjak keluar ruangan, Randu juga berniat menyusulnya. Tapi sepertinya Lidya menangkap gelagat tersebut sehingga entah mengapa wanita itu justru mempercepat langkahnya untuk mensejajari langkah Pak Yohan, sang Plant Director. Untuk yang kali ini, Randu hampir 100% yakin bahwa Lidya sengaja menghindarinya, karena tadi mereka sempat bersitatap selama sepersekian detik, sebelum Lidya langsung memalingkan wajah darinya.
Padahal, apa salahnya, apa dosanya, coba?
Apa sebegitu cemburunya Lidya pada Randu yang memberi perhatian lebih pada Ranu, sehingga Lidya sampai bersikap judes seperti itu padanya?
Jika ya, maka dugaannya bahwa Lidya bersikap keras pada Ranu gara-gara cemburu, itu juga benar?
Dan jika dugaannya benar, apa itu berarti bahwa dirinya yang sudah membuat Ranu kesulitan selama PKPA di QA?
* * *
Karena mendengar bahwa Ranu meminta ijin pulang lebih cepat hingga menangis-nangis, Randu kira ada keluarga Ranu yang sakit keras sehingga gadis itu akan tidak masuk selama beberapa hari. Tapi ternyata keesokan harinya, di sore hari, Randu bertemu dengan Ranu di dekat elevator.
"Lho?" Refleks Randu kaget ketika melihat gadis itu di Gezonde.
"Sore, Pak. Bapak udah mau pulang?" sapa Ranu, dengan senyum ramahnya.
"Sore, Ranu," balas Randu, setelah berhasil mengendalikan diri. "Kamu hari ini udah masuk lagi?"
"Eh?" Gantian Ranu yang kaget karena ditanya begitu.
"Katanya kemarin ada keluarga kamu yang sakit, jadinya kamu ijin pulang cepat?"
"Eh? Bapak denger juga ya? Hehehe." Lalu gadis itu terkekeh dengan cantiknya.
"Sekarang sudah sembuh?"
"Alhamdulillah, sudah lumayan, Pak. Makanya hari ini saya bisa masuk lagi. Tapi saya nggak bisa overtime hari ini, karena mau langsung pulang dan ngecek kondisi lagi."
"Pulang naik apa?"
"Mau pesen ojek online sih Pak, biar cepet." Gadis itu kemudian menengadahkan kepala dan menatap pada Randu dengan tatapan nakal. "Atau Bapak mau nawarin nganterin saya pulang?" tanya Ranu penuh percaya diri.
Meski sama-sama bertubuh mungil, hal ini yang membedakan Ranu dengan Haiva. Haiva lebih pemalu dan minder, sementara Ranu lebih ceria dan percaya diri. Hal ini yang membuat kepribadian gadis itu menarik di mata Randu.
Mendengar kepercayaan diri gadis itu, sontak saja Randu tertawa.
"Boleh, boleh," jawab Randu ringan.
Mendengar itu, gantian Ranu yang tertawa. Gadis itu sepertinya tidak menganggap serius jawaban Randu, tapi Randu tetap melanjutkan melangkah mengikuti gadis itu menuju lobi ke luar gedung kantor mereka.
"Kemarin memangnya orangtua kamu sakit apa? Ayah atau ibu kamu yang sakit?" tanya Randu, masih sambil mengiringi langkah Ranu.
Ranu menoleh mendengar pertanyaan itu. Wajahnya seperti kaget.
"Ayah dan Ibu saya sudah meninggal, Pak," kata Ranu.
Kini giliran Randu yang menoleh cepat karena kaget.
Karena kemarin Ranu meminta ijin hingga menangis-nangis, Randu pikir yang sakit adalah keluarga Ranu yang paling dekat, yaitu orangtuanya. Ternyata dugaannya salah.
"Maaf ya Ran. Saya nggak tahu," Randu merasa tidak enak hati.
Ranu nyengir maklum. "Nggak apa-apa Pak."
"Jadi kemarin siapa yang sakit?"
"Anak saya, Pak."
Kalau bukan ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa, mungkin leher Randu sudah potek saking cepatnya lelaki itu memutar lehernya, saking syoknya Randu mendengar jawaban itu.
Anak? Anak siapa? Anaknya Ranu? Ranu sudah punya anak? Anak kecil ini sudah bisa menghasilkan anak kecil?
Pertanyaan-pertanyaan itu berisik sekali menjejali kepala Randu dengan kecepatan menakjubkan.
"Anak saya kemarin demam tinggi, Pak. Jadi dia rewel sekali. Demamnya sampai 40 derajat. Suami saya panik. Jadi minta saya cepat pulang. Saya juga panik, karena sebelumnya anak saya belum pernah demam setinggi itu. Takut kejang. Makanya saya minta ijin Bu Lidya untuk pulang cepat."
Rasanya Randu tidak melangkah di samping Ranu, melainkan mengambang, ketika mendengar rentetan cerita Ranu.
Anak? Suami?
Jadi Ranu adalah wanita bersuami yang sudah punya anak?
"Yujin!"
"Eh, Mas!"
* * *
Jeng! Jeng! Jeng!
Ow ow, siapa dia?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top