16. Lubrikan
Haduh, pagi2 kok judulnya begini?
Ini isi cerita bab ini tentang apa yha kalau judulnya begini?
* * *
"Mulai besok Ranu PKPAnya pindah ya."
Demikian Randu membuka percakapan siang itu dengan Ranu, ketika ia memanggil mahasiswa bimbingannya itu ke ruang kerjanya.
"Eh? Kenapa Pak? Pindah kemana? Kok tiba-tiba saya dipindah? Kinerja saya nggak memuaskan ya Pak?" Sontak Ranu memberondong Randu dengan pertanyaan itu.
"Bukan, bukan. Tenang dulu," jawab Randu cepat.
Ranu nampak siap memberondong Randu dengan lebih banyak pertanyaan. Tapi begitu melihat Randu mengangkat tangan untuk mengantisipasinya, Ranu menahan diri.
"Kamu tahu kan, sekarang lagi heboh kasus cemaran etilenglikol dan dietilenglikol di dalam sirup obat. Dan kamu juga tahu kan, Gezonde punya banyak produk sirup."
"Ohhhh..." Mata Ranu yang semula menyiratkan kebingungan dan kekhawatiran, kini tampak lega dan paham. "Iya Pak, saya tahu. Jadinya saya dipindah ke departemen lain untuk bantu-bantu ya Pak?"
Ini salah satu hal yang membuat Randu senang memiliki Ranu sebagai mahasiswa bimbingan. Gadis itu cepat paham dan cepat tanggap. Tidak perlu upaya terlalu besar untuk membimbing gadis itu. Membuat Randu makin ingin sekalian membimbing Ranu dalam kehidupan rumah tangga. Asik!
Randu tersenyum. Karena kesigapan Ranu, juga karena pikirannya sendiri yang terlalu imajinatif.
"Tapi, Pak, kalau boleh tahu..." Ranu menjeda kalimatnya, memikirkannnya beberapa saat, sebelum menyampaikan apa yang ia pikirkan, dengan lebih berhati-hati. "Sebenarnya produk-produk Gezonde mengandung EG/DEG melebihi batas yang diperbolehkan nggak?"
"Nggak dong. Semua gliserol dan sorbitol yang kita beli kan pasti kita uji kualitasnya. Kalau sudah memenuhi syarat, termasuk syarat maksimal EG yang diperbolehkan, barulah bahannya kita pakai. Jadi kita bisa yakin bahwa semua produk Gezonde tidak ada yang kualitasnya tidak memenuhi syarat," jawab Randu yakin.
"Kalau memang yakin, kenapa produk Gezonde tetap di-hold di pasaran, tetap nggak boleh diperjual-belikan dulu?"
"Nah! Perlu diingat bahwa sirup obat produksi Gezonde bukan ditarik dari pasaran, tapi dihentikan sementara pemasarannya. Bukan karena produk kita tidak memenuhi syarat. Tapi karena mengikuti instruksi BPOM, dalam rangka kehati-hatian. Setelah nanti produk kita terbukti tidak mengandung EG/DEG yang melebihi batas yang dipersyaratkan, produk tersebut bisa dijual kembali."
"Kalau selama ini Gezonde sudah selalu menguji bahan yang dibeli, trus kenapa sekarang Gezonde masih ikutan sibuk pas ada isu ini? Kan sebenarnya tinggal ngumpulin data aja, Pak?"
"Tinggal ngumpulin data aja?" Randu terkekeh, mendengar pertanyaan Ranu yang terlalu menyepelekan. "Expiry date produk-produk Gezonde sekitar 3-4 tahun. Itu artinya kita harus mengumpulkan data eksipien yang digunakan untuk produk selama 3-4 tahun ini, karena bisa jadi produk tersebut masih beredar di pasaran sampai saat ini."
"Oh iya ya Pak. Banyak juga ya." Ranu mengangguk-angguk.
"Ditambah lagi, ada instruksi baru dari BPOM. Kita bukan cuma diminta membuktikan kadar cemaran EG/DEG di eksipien yang kita gunakan tidak melampaui batas. Tapi juga diminta membuktikan kadar cemaran EG/DEG dalam produk sirup tidak melampaui batas. Itu artinya, kita harus melakukan uji tambahan untuk itu."
Ranu masih mengangguk-angguk. "Makanya saya akan dipindah ke QC ya Pak? Untuk bantu analis melakukan uji ya?"
Kali itu Randu tidak langsung menjawab. Ia menggeleng pelan, sebelum akhirnya menjawab, "Kamu dipindah ke QA."
"Eh? QA? Kok?" respon spontan Ranu. Tapi kemudian, dengan cepat gadis itu memperbaiki ekspresi kagetnya.
"Kenapa?" tanya Randu.
"Oh, nggak apa-apa kok Pak," jawab gadis itu, dengan segera kembali tenang. "Tapi bukannya QC lebih butuh bantuan tenaga untuk analisis?"
"Dua orang teman kamu dipindah ke QC. Sementara kamu dipindah ke QA untuk bantu rekap data dan menyiapkan laporan untuk BPOM."
"Oh...."
"Nggak apa-apa kan, kamu pindah ke QA?"
"Emmm, iya Pak, nggak apa-apa. Emang kenapa Pak?"
"Hmmm..."
"Lagian, kalaupun apa-apa, kan saya cuma anak magang Pak. Nggak bisa mengubah keputusan Pak Randu."
"Itu bukan keputusan saya," Randu dengan cepat berusaha membela diri, bahwa bukan dirinya yang membuang Ranu ke QA. "Pak Yohan yang menginstruksikan."
Ranu mengangguk dengan senyum tipis di bibirnya.
"Jadi, kamu memang sebenarnya keberatan pindah ke QA?"
"Emmm, nggak kok Pak."
"Bener?"
Ranu tidak menjawab. Dia hanya menggeleng kecil, seperti ragu.
"Apa kamu khawatir karena akan dibimbing Bu Lidya?" tanya Randu.
"Saya dibimbing Bu Lidya langsung? Bukan dibimbing Mbak Arum, misalnya?"
Ranu memang bilang tidak masalah jika dipindah ke QA, tapi pertanyaan barusan menegaskan kecurigaan Randu bahwa Ranu khawatir jika dibimbing langsung oleh Lidya. Dia terlihat lebih nyaman jika dibimbing Arum, anak buah Lidya yang merupakan Supervisor QA.
Di beberapa tempat PKPA, banyak mahasiswa yang dibimbing hanya oleh Supervisor. Tapi di beberapa tempat juga ada yang dibimbing langsung oleh seorang Manajer.
"Sebelumnya, kamu juga dibimbing langsung oleh saya," kata Randu. Mengingatkan bahwa dirinya adalah seorang manajer, dan hal itu tidak lebih menakutkan dibanding dibimbing oleh anak buah Randu.
"Ohh.... iya, Pak." Ranu menerima.
"Ranu nggak takut sama Bu Lidya kan, gara-gara presentasi beberapa hari lalu?" tanya Randu, hati-hati.
Ranu menelengkan kepalanya. Menatap Randu dengan intens. Tatapan seperti itu hampir saja membuat Randu salah paham dan salah tingkah, jika tidak ingat bahwa mereka sedang membicarakan Lidya, sosok yang tidak bisa dijadikan bahan candaan.
"Menurut Bapak, saya seharusnya takut?" tanya Ranu. Suaranya tidak terdengar sinis. Entah mengapa itu terdengar lebih seperti sedang menguji.
Berani-beraninya mahasiswa PKPA menguji pembimbingnya. Ck! Untung cantik.
"No, you shouldn't. Bu Lidya mungkin kelihatan tegas. Tapi beliau baik," jawab Randu, berusaha menenangkan.
Ranupun manggut-manggut mendengar itu.
"Besok pagi, begitu sampai kantor, langsung ke ruangan saya dulu," kata Randu kemudian. "Biar saya yang antar kamu ke Bu Lidya."
Dahi Ranu agak berkerut. "Nggak apa-apa Pak, saya bis___"
"Biar saya antar kamu. Bagaimanapun, kamu masih tanggung jawab saya."
Randu sih inginnya terlihat keren setelah mengucapkan kata-kata penuh tanggung jawab tersebut. Tapi kenapa Ranu malah terkikik geli?
Kalau Pak Haris yang bicara, meski hanya kalimat biasa, pasti terdengar keren. Tapi kenapa saat Randu yang mengatakan kalimat keren justru terlihat sebagai lelucon?
Wibawa mana wibawa?
* * *
Keesokan paginya, sesuai rencana, Ranu menghadap ke ruangan Randu terlebih dahulu. Setelah itu Randu mengantar Ranu ke Departemen QA, ke ruang kerja Lidya.
"Saya mengantar Ranu, Bu. Mulai hari ini dia ditugaskan di QA kan?"
Lidya bangkit dari duduknya dan menghampiri Randu dan Ranu yang berdiri di seberang mejanya.
"Mohon bimbingan Bu Lidya," kata Ranu sopan, sambil sedikit membungkukkan diri.
Setelah tiba di hadapan kedua orang itu, Lidya melirik bergantian pada Randu dan Ranu, dan mengakhirinya pada Randu.
"Terima kasih Pak, sudah mengantar," kata Lidya, memberi senyum sopan santunnya pada Randu. "Padahal sebenarnya Pak Randu tidak perlu repot-repot mengantar. Harusnya dia bisa kesini sendiri kan. Apa takut dia nyasar? Departemen kita masih di gedung yang sama. Dia juga pernah kesini kan?"
Suara Lidya datar saja, tapi Randu tetap merasa tidak nyaman mendengarnya. Ia yakin Ranu juga merasa tidak nyaman. Tapi hebatnya, gadis itu masih saja bisa tersenyum sopan.
"Bukan karena itu, Bu," Randu segera mengklarifikasi. "Saya kesini karena sekalian ada yang ingin saya diskusikan dengan Ibu."
"Oh," Lidya menatap Randu dengan ekspresi menguji. "Apa yang mau Bapak diskusikan?"
Tidak ada tanda-tanda Lidya akan mempersilakan Randu dan Ranu duduk. Jadi Randu tahu diri, Lidya tidak mau diganggu terlalu lama.
"Untuk Laporan PKPA Ranu, dia sudah hampir menyelesaikan laporan tentang optimasi dan validasi pada proses transfer produk. Jadi meski sekarang Ranu ditugaskan disini, bagaimana kalau laporan PKPAnya tentang validasi saja, tidak perlu membuat laporan tentang tugasnya disini. Akan memberatkan kalau Ranu harus membuat dua laporan kan. Gimana Bu?"
Lidya terkekeh. Tapi entah mengapa tawa itu terlihat tidak ramah. Perempuan itu menatap Ranu dengan senyum yang kelewat lebar.
"Kamu beruntung sekali. Pembimbing kamu perhatian banget sama kamu," kata Lidya frontal, sambil memandang tajam pada Ranu. Bibirnya tersenyum, tapi tidak mencapai matanya.
Randu hampir tersedak ludahnya sendiri mendengar sindiran Lidya itu. Randu menyadari Lidya tertarik pada dirinya dan cemburu pada Ranu. Tapi ia tidak menyangka Lidya akan bicara sefrontal itu pada Ranu.
Randu pikir Ranu akan salah tingkah atau justru mengkerut menghadapi Lidya. Tapi sebaliknya, gadis itu mengangguk dengan tenang pada Lidya, dan tersenyum.
"Saya memang beruntung dibimbing Pak Randu, Bu," kata Ranu ringan. "Saya juga beruntung sekarang bisa dibimbing Bu Lidya. Saya akan belajar banyak dari Ibu."
Randu menatap Ranu dengan takjub. Sementara senyum sinis Lidya menghilang.
"Kalau memang mau belajar banyak, berarti kamu nggak keberatan membuat 1 laporan PKPA lagi kan? Kali ini tentang handling complaint." kata Lidya.
"Dengan atau tanpa menulis laporan PKPA, saya yakin akan belajar banyak hal baru dari Ibu tentang penanganan keluhan. Jadi kalaupun Ibu tidak menugaskan menulis laporan, saya akan tetap membuat laporan progress pekerjaan saya secara berkala pada Ibu."
Itu jawaban diplomatis yang sangat baik, menurut Randu. Ia tidak akan kaget jika Arum yang menjawab tantangan Lidya seperti itu. Tapi Ranu hanya mahasiswa PKPA, jadi hal itu membuat Randu lebih kagum pada gadis itu.
"Tentang laporan, bisa kita bicarakan nanti," kata Lidya akhirnya. "Sekarang kamu bisa menemui Mbak Arum. Dia akan menjelaskan apa yang harus kamu kerjakan."
Ranu tersenyum. "Baik, Bu." Ia mengangguk sopan sekali lagi, kemudian pamit pergi.
Setelah gadis itu keluar dari ruangannya, Lidya menoleh pada Randu yang masih berdiri di hadapannya.
"Masih mengkhawatirkan mahasiswi kesayangan Mas Randu?" sindir Lidya, dengan senyum sinis.
"Apa saya perlu khawatir?" Randu balik bertanya.
Lidya mengangkat bahu acuh, lalu melangkah kembali ke kursi kerjanya. "Harusnya sih Mas Randu nggak perlu mengkhawatirkan apapun. Kan dia cuma mahasiswa PKPA. Bukan siapa-siapanya Mas Randu kan?"
Wah, nantangin nih, gerutu Randu.
"Indeed," Randu menanggapi tantangan itu. "Nggak ada yang perlu saya khawatirkan. Ranu sekarang berada di bawah bimbingan Mbak Lidya yang sangat kompeten dan profesional. Yang nggak pernah mencampur-adukkan urusan pekerjaan dan pribadi."
"Maksudnya?" sontak Lidya mengernyit, menyadari betapa sinisnya sindiran Randu.
"Maksudnya, Mbak Lidya yang saya kenal selama ini seperti lubrikan pada formulasi tablet..."
Kernyitan di dahi Lidya makin dalam. Menunjukkan ia makin tidak paham dengan kata-kata Randu.
"... seperti lubrikan yang selalu memudahkan granul mengalir melalui hopper dan memudahkan tablet keluar dari dies, seperti itu juga selama ini Mbak selalu memudahkan urusan orang lain. Ranu dibimbing oleh Mbak Lidya yang kompeten, profesional dan baik hati. Nggak ada yang perlu saya khawatirkan kan?"
Lidya biasanya tertawa jika Randu sudah mulai bicara tentang analogi eksipien. Tapi kali itu Lidya tidak tertawa. Alih-alih, raut wajahnya terlihat makin serius.
"Jadi ternyata Mas memang sepeduli itu sama anak PKPA itu?" telisik Lidya.
"Kalau iya, memang kenapa?" Randu menantang.
Lidya bari saja akan membuka bibirnya, tapi perkataan Randu berikutnya membuatnya mengurungkan niat.
"Saya tahu Mbak Lidya cemburu sama Ranu..." kata Randu. Biasanya dia tidak sefrontal ini. Tapi bukan berarti ia tidak bisa bersikap tegas. Hanya karena selama ini ia bersikap santai, bukan berarti Lidya bisa menganggapnya remeh. "... tapi dengan Mbak bersikap seperti ini, nggak akan membuat saya jadi lebih tertarik pada Mbak juga."
Mata Lidya membulat. Randu tahu, Lidya pasti kaget karena Randu menyadari perasaan perempuan itu padanya. Dan mungkin lebih kaget karena Randu berani mengkonfrontirnya. Tapi Randu merasa perlu melakukan ini. Jangan sampai perasaan Lidya pada dirinya membuat perempuan itu bersikap tidak profesional pada mahasiswa magang.
"Jadi saya harap Mbak Lidya bisa bersikap profesional pada Ranu. Jangan mempersulit Ranu hanya karena Mbak cemburu melihat saya perhatian sama Ranu."
Randu sudah berusaha menyampaikan pesannya dengan serius, agar Lidya juga menganggap serius peringatannya ini. Tapi kenapa perempuan itu justru terlihat sedang mengulum senyum? Apa yang lucu dari pernyataannya barusan? Ataukah itu hanya cara Lidya saja agar tidak terlalu malu karena perasaannya pada Randu terlanjur terungkap?
* * *
Mas Randu menggemaskan sekali nggak sih. Duh, gumhsh deh, jadi pengen nampol.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top