15. Etilenglikol
Memangnya apa sih lebihnya perempuan itu?
Begitu pertanyaan Lidya sejak menerima undangan pernikahan kedua Angga, sang mantan suami. Pertanyaan yang tidak kunjung Lidya dapatkan jawabannya selama beberapa tahun terakhir.
Saat mendapatkan undangan pernikahan sang mantan suami, Lidya tidak punya bayangan tentang siapa calon istri baru mantan suaminya itu. Setelah Rui, kenalan Lidya sekaligus chef di restoran sang mantan suami, bercerita tentang sosok perempuan muda yang menjadi fotografer dan membantu sang suami mengelola media sosial restoran-restorannya, barulah Lidya teringat pada gadis kecil yang pernah bertemu dengannya di Eets Smakelijk. Perempuan bertubuh mungil yang seperti gadis SMA biasa, yang mengikuti mantan suaminya untuk memfoto menu-menu Eets Smakelijk.
Saat bertemu dengan gadis itu, Lidya tidak terlalu memerhatikan. Tapi dari penilaiannya sekilas, sepertinya gadis itu biasa-biasa saja. Cantik memang. Tapi Lidya merasa dirinya juga tidak kalah cantik. Dalam penilaian sekilas, Lidya tidak menemukan alasan mengapa Angga mau menikahi gadis itu, padahal tidak ada yang spesial dari gadis itu jika dibandingkan dengan Lidya.
Pun ketika bertemu lagi di Gezonde Pharma, Lidya memandang gadis itu sebagai mahasiswa PKPA bau kencur.
Sial sekali memang nasibnya. Takdir seperti sedang ingin bercanda dengannya. Setelah beberapa tahun ia selalu berhasil menghindari mantan suami dan istri barunya, entah kenapa dalam beberapa bulan terakhir ini ia justru sudah beberapa kali bertemu dengan pasangan itu. Dan puncaknya, ternyata istri baru dari mantan suaminya itu ternyata adalah mahasiswi Fakultas Farmasi yang sedang PKPA di kantor tempatnya bekerja.
Lucu sekali takdir mengejeknya.
Para manajer lain atau bapak-ibu operator produksi menyukai gadis bernama Ranu itu, tapi tetap saja bagi Lidya, Ranu tidak terlihat punya keistimewaan tertentu selain wajahnya yang cantik.
Lidya sampai tidak habis pikir kenapa Angga yang usianya matang menikahi gadis yang masih begitu muda seperti Ranu. Apa selera Angga sudah berubah? Bukan lagi seperti Fariha, kakak angkatnya? Saat dulu mereka masih bersama, Lidya bahkan sempat curiga Angga tidak bisa sepenuhnya menyayanginya karena lelaki itu masih memendam rasa yang tidak kesampaian pada perempuan yang lebih tua dari dirinya. Jadi kalau ternyata setelah bercerai dengan Lidya, Angga justru menikah dengan perempuan yang jauh lebih muda, Lidya merasa dipecundangi.
Ia merasa dikalahkan oleh seorang perempuan muda yang naif dan tidak lebih baik dari dirinya. Dan ia tidak suka itu.
Tapi hari ini, ketika mendengarkan presentasi tugas PKPA dan berdiskusi dengan gadis kecil itu, akhirnya Lidya menyadari kualitas gadis itu. Tidak seperti orang lain yang akan mengkerut di hadapan wibawanya, Ranu tidak. Memang tidak semua pertanyaan bisa Ranu jawab, tapi gadis itu tetap tenang menghadapi pertanyaannya yang intimidatif.
Bukan, sebenarnya bukan maksud Lidya untuk memanfaatkan jabatannya untuk mengintimidasi mahasiswa PKPA. Hanya saja, ketika melihat sikap Ranu yang tidak gentar sejak awal, Lidya jadi ingin mencoba gadis itu hingga limitnya. Gadis itu tidak bersikap menantang atau membantah, tapi juga tidak tampak takut dan inferior. Hal itu membuat Lidya tidak bisa mendorongnya lebih jauh. Akhirnya ia terpaksa mengakui kualitas gadis itu.
Kini Lidya paham mengapa Angga menikahi gadis semuda itu. Ranu, meski jauh lebih muda daripada dirinya dan Angga, tapi dengan pengendalian diri dan emosi yang baik seperti itu, tentunya dapat menjadi lawan seimbang bagi Angga yang sering galau dan tempramental.
Dengan mengakui bahwa Ranu memang memiliki kualitas khusus, Lidya merasa sedikit lega, karena dirinya bukan kalah dari perempuan tak berkualitas. Namun, tetap saja, kenyataan bahwa dirinya kalah dari perempuan lain, membuat Lidya marah. Dan hal itu membuatnya merasa dirinya buruk, seperti pemeran antagonis di sebuah cerita.
Dan kesadaran diri bahwa dirinya memang pemeran antagonis dengan perangai buruk, yang memanfaatkan jabatannya untuk menindas sang female lead protagonis yang sempurna, membuat emosinya makin tidak stabil.
* * *
Belum juga Lidya pulih dari mood buruknya, kejadian yang tiba-tiba saja merebak seputar kandungan etilenglikol dan dietilenglikol dalam sirup obat yang menyebabkan gagal ginjal akut pada anak, memperparah mood-nya. Bukan hanya karena isu itu menambah beban kerjanya, tapi juga karena pemberitaan di media yang meningkatkan kepanikan masyarakat, membuat dirinya tidak tahan untuk tidak terus-terusan memaki media.
Selain industri penerbangan, industri farmasi merupakan salah satu industri dengan sistem penanganan penyimpangan yang dituntut paling baik, karena berkaitan langsung dengan keamanan konsumen. Oleh karena itu, tindakan perbaikan dan pencegahan keterulangan (Corrective Action and Preventive Action, CAPA) selalu dilakukan untuk menelusuri masalah hingga ke akar permasalahan, untuk menemukan solusi yang paling efektif. Sistem tersebut dibangun untuk mencari akar masalah, bukan hanya untuk mencari siapa yang salah. Tidak seperti pemberitaan di media yang hanya berfokus pada siapa yang salah.
Salah satu hal yang menguji emosi Lidya adalah pemberitaan media, yang alih-alih memberi informasi yang akurat, justru membuat panik masyarakat.
Misalnya, ketika IDAI memberi rekomendasi bahwa untuk sementara waktu tidak mengkonsumsi obat cair oral (sirup) atas prinsip kehati-hatian sampai terbukti produk tersebut aman. Tapi, media justru memberitakannya sebagai "IDAI melarang penggunaan obat sirup karena menyebabkan gagal ginjal akut pada anak". Kedua pernyataan tersebut terkesan goal-nya sama saja, padahal sama sekali berbeda.
Bukan hanya pemberitaan yang menambah kepanikan, pemberitaan di media lebih berfokus untuk mencari siapa yang salah, dibanding mencari solusi. Dalam hal ini, tentu saja industri farmasi dan BPOM yang paling disalahkan. Bahkan ada saja komentar-komentar miring yang mempertanyakan, orang-orang di BPOM kerjanya apa, kok bisa sampai mengijinkan produk yang membahayakan beredar.
"Pengen rasanya gue kasih kuliah 2 sks supaya masyarakat tahu sistem pemantauan obat dan makanan, sejak pre-market hingga post-market yang dilakukan BPOM," kata Monik, salah seorang sahabat Lidya yang bekerja di BPOM. "Tapi percuma, masyarakat lebih demen nonton podcast selebgram daripada materi edukasi."
Berkat kasus tersebut, semua industri farmasi yang memproduksi sediaan cair yang menggunakan kosolven gliserol dan sorbitol jadi sangat sibuk. Tidak terkecuali Gezonde Pharma.
Gezonde Pharma adalah perusahaan farmasi multinasional yang menerapkan Good Manufacturing Practices dengan standar yang cukup ketat, karena juga harus sesuai dengan Guideline/Panduan Gozonde Pharma Pusat di Jerman. Dengan sistem penjaminan mutu yang ketat, sebenarnya Gezonde Pharma yakin bahwa kualitas eksipien yang mereka gunakan terjamin. Mereka hanya menggunakan gliserol dan sorbitol dari pemasok yang telah terkualifikasi. Dan Gezonde Pharma tidak pernah percaya begitu saja pada sertifikat analisa yang dikirimkan pemasok. Lab QC Gezonde Pharma selalu melakukan sampling dan menguji kualitas tiap bahan baku yang datang. Dengan demikian, Lidya juga punya bukti yang kuat bahwa seluruh gliserol dan sorbitol yang digunakan Gezonde Pharma tidak mengandung etilenglikol/dietilenglikol pada kadar di atas yang diperbolehkan oleh Farmakope.
Meski demikian, berkat kasus tersebut, seluruh staf terkait di Gezonde Pharma tetap jadi kebagian kerjaan tambahan. Terutama Lidya, yang menjadi Apoteker Penanggung Jawab di bagian Penjaminan Mutu/ Quality Assurance.
Kini semua industri farmasi, termasuk Gezonde Pharma, harus mengirimkan laporan ke BPOM tentang hasil uji cemaran etilenglikol di dalam bahan baku gliserol dan sorbitol yang digunakan. Bagi Gezonde Pharma, permintaan ini tidak terlalu sulit, karena memang mereka selalu melakukan pengujian terhadap setiap bahan baku yang datang. Namun, mengumpulkan datanya, tetap memerlukan effort khusus di sela-sela jadwal pekerjaan rutin QA.
Tidak sampai disitu, Gezonde Pharma juga perlu memeriksa kadar etilenglikol pada produk akhir mereka untuk meyakinkan BPOM dan konsumen bahwa di dalam produk akhir sirup obat yang mereka produksi tidak mengandung etilenglikol melebihi kadar yang diperbolehkan. Untuk mengerjakan hal ini, lab QC juga jadi kebagian lembur terus-terusan.
Pekerjaan tambahan lain yang harus dilakukan Lidya adalah membantu Public Relation Gezonde Pharma untuk menyusun informasi publik yang diperlukan agar konsumen produk Gezonde Pharma tidak panik dan tetap percaya pada kualitas produk mereka. Hal ini tidak mudah, apalagi karena pemberitaan di media online yang bersliweran makin masif dan isinya tidak bertanggung jawab.
Misalnya, di awal kasus, media online yang punya kebiasaan menyebarkan informasi sepotong-sepotong dengan dalih "berita terkini" tanpa mau menunggu informasi yang lebih lengkap, langsung membuat heboh dengan pemberitaan "Etilenglikol dan dietilenglikol yang digunakan sebagai pelarut pada sirup obat menyebabkan gagal ginjal akut pada anak". Berita tersebut membuat seolah-olah memang industri farmasi dengan sengaja memasukkan bahan berbahaya ke dalam produk sirup obat. Padahal kenyataannya adalah industri farmasi tidak pernah menggunakan etilenglikol dan dietilenglikol sebagai pelarut pada produk obat.
Salah satu tantangan membuat sediaan cair oral adalah karena tidak semua zat aktif obat dapat larut dalam air. Oleh karena itu diperlukan eksipien kosolven untuk membantu meningkatkan kelarutan zat aktif obat di dalam air. Salah satu kosolven yang biasa digunakan adala gliserol/gliserin dan sorbitol. Pada proses sintesisnya, terdapat kemungkinan masih adanya residu/sisa etilenglikol dalam kadar tertentu di dalam gliserol dan sorbitol tersebut. Jadi etilenglikol/dietilenglikol bukan digunakan dalam produk obat, melainkan hanya residu yang keberadaannya di dalam kosolven tidak terhindarkan.
"Ya kayak Tuhan menciptakan manusia, sepaket dengan hawa nafsu, yang berpotensi berkembang jadi perilaku buruk," kata Randu, suatu kali, saat mereka rapat bersama. "Nggak mungkin ada manusia yang sempurna banget nggak pernah marah, iri, cemburu, atau sedih. Yang membedakan cuma kemampuan masing-masing manusia untuk mengendalikan hawa nafsu. Makin baik pengendalian dirinya, makin berkualitas manusia tersebut.
Sama seperti gliserol dan sorbitol. Dalam proses sintesisnya ya pasti akan ada residu etilenglikol. Nah, kualitas gliserol tergantung dari purifikasinya. Makin baik prosesnya, makin sedikit residunya, maka makin tinggi kualitas gliserolnya. Dan karena melibatkan proses sintesis dan purifikasi yang lebih banyak, wajar aja kalau gliserol dengan residu EG yang lebih sedikit, harganya lebih mahal.
Sama seperti manusia kan. Makin banyak hawa nafsu yang bisa dikendalikan, makin sedikit sifat buruk yang muncul, maka orang tersebut dinilai makin berkualitas oleh orang lain."
"Nah! Cakep tuh ilustrasi kayak gitu" celetuk Asti, sang manajer QC, ketika Randu menyelesaikan kata-katanya. "Coba Mas Randu posting di medsos tentang analogi bahan baku obat gitu. Nanti saya repost. Pusing banget saya. Kerjaan di kantor makin banyak, ditambah ditanya-tanya mulu sama orang-orang, kok pabrik farmasi tega sih bikin obat yang membahayakan pasien. Jangan mentang-mentang obat BPJS murah, trus nyawa pasien dikorbankan."
"Kalau saya punya waktu buat nulis postingan di medsos, mending saya pakai waktunya buat tidur, Mbak," jawab Randu sambil cengengesan. Bikin Asti manyun, dan manajer lain yang hadir di rapat kali itu terkekeh.
Dalam kondisi seperti ini, Lidya mengagumi kemampuan Randu untuk menjelaskan isu farmasi dalam bahasa awam yang mudah dimengerti. Sekaligus, kemampuan Randu untuk memecahkan ketegangan rapat dengan gayanya yang santai. Tidak semua orang yang bekerja di bidang manufaktur memiliki kemampuan seperti ini. Biasanya orang-orang marketing yang lebih identik dengan kemampuan komunikasi seperti itu. Barangkali karena sikapnya yang terlihat santai itulah, maka banyak orang yang menganggap Randu tidak pernah serius bekerja. Tapi selama beberapa bulan ini Lidya sudah melihat sendiri kinerja Randu di kantor, sehingga tidak lagi meragukannya.
"Lagian, kasus kali ini aneh nggak sih?" imbuh Randu. "Pertama, yang pakai gliserol dan sorbitol kan bukan cuma industri farmasi, tapi juga industri makanan. Kenapa industri makanan nggak dicurigai juga? Padahal, gliserol yang dipakai industri farmasi kan pharmaceutical grade, lebih ketat spec-nya daripada yang food grade.
Kedua, kenapa kasusnya serentak di bulan-bulan ini? Kalau penyebab gagal ginjal akut anak memang karena cemaran EG/DEG di gliserol, kan industri farmasi sudah pakai bahan itu sejak lama. Kenapa kasusnya baru sekarang? Memangnya dalam beberapa bulan ini SEMUA pabrik farmasi ganti supplier gliserol ke supplier yang low quality? Kan nggak mungkin kan? Jadi kenapa kasusnya nggak dari dulu?
Ketiga, sebenarnya, belum ada studi yang memang membuktikan bahwa kasus gagal ginjal akut pada anak itu benar-benar berkorelasi dengan sirup obat kan?"
Tentu saja Randu bukan hanya ahli dalam hal memecahkan ketegangan rapat, namun juga ahli dalam memantik topik diskusi. Tiga kalimat pemicu dari Randu langsung menjadi diskusi hangat di ruang rapat tersebut. Kalau tidak dihentikan, diskusi tersebut bisa berujung pada demonstrasi apoteker di industri farmasi. Jadi Pak Yohan, sang Plant Manager, segera mengambil alih.
"Untuk sementara waktu, sepertinya kita tidak ada pilihan lain selain meminta staf, khususnya di bagian QA dan QC, untuk lebih sering lembur," kata Pak Yohan memutus diskusi yang mulai liar hingga hampir menyaingi teori konstipasi wahyudi tersebut. "Kita tidak mungkin hire karyawan kontrak hanya untuk waktu tertentu sampai kasus ini selesai. Tapi saya sudah minta HRD untuk menghubungi beberapa kampus farmasi dan akademi kimia, barangkali mereka berminat mengirimkan mahasiswa lebih banyak, supaya bisa kita assign di QA dan QC untuk membantu."
Lidya dan Asti mengangguk dengan bersemangat. Bantuan tenaga, dari mahasiswa magangpun, sangat bermanfaat di masa-masa seperti ini.
"Sementara menunggu kloter mahasiswa berikutnya untuk membantu," lanjut Pak Yohan. "Saya berencana memindahkan mahasiswa PKPA yang sekarang sedang di departemen Transfer, PPIC dan Produksi untuk pindah ke QA dan QC. Gimana?"
Tanpa sengaja, saat itu tatapan Randu dan Lidya bertemu di udara. Untuk sepersekian detik, Lidya tidak tahu makna tatapan Randu. Tapi ketika Randu bicara pada Pak Yohan, akhirnya Lidya memahami makna tatapan Randu itu.
"Tapi Pak, tugas khusus mahasiswa yang saya bimbing belum selesai. Bagaimana laporan PKPAnya?" protes Randu.
"Soal topik tugas khusus, gampang lah itu. Justru kalau topik tugas khusus mereka diubah menjadi tentang kasus terkini, laporan PKPAnya kan jadi lebih bagus," kata Pak Yohan.
Randu tampak ingin protes lagi, tapi ekspresi Pak Yohan tak terbantahkan.
"Jadi mulai besok, mahasiswa di departemen Transfer pindah ke QA. Dan mahasiswa di departemen Produksi dan PPIC pindah ke lab QC ya. Kita sedang butuh banyak sekali bantuan untuk menyiapkan laporan ke BPOM sekarang."
Ketika lagi-lagi tatapan Lidya bertemu dengan Randu, saat itu Lidya tahu, Randu mengkhawatirkan nasib Ranu yang kini berada di tangannya.
Udah dibilangin, anak itu udah ada yang punya, masih nekat amat si Randu, cibir Lidya dalam hati. Dihajar Angga, baru tahu rasa nanti dia.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top