14. Isotonis

Lidya hanya punya waktu kosong 30 menit untuk mendengarkan presentasi Ranu. Itu mengapa Randu memberi tahu Ranu untuk menyiapkan power point yang singkat dan padat tentang hasil risk assessment dan protokol validasi proses produksi produk injeksi yang telah Ranu kerjakan selama beberapa pekan tersebut.

Sejak bertemu dengan Lidya, ketika wanita itu melakukan audit pemasok ke PharmExcipt, perusahaan pemasok eksipien tempat Randu bekerja sebelumnya, Randu langsung tahu bahwa Lidya adalah perempuan yang detil dan teliti. Maka, ketika ia akhirnya bekerja di Gezonde Pharma dan makin sering bekerja bersama Lidya, Randu yang dasarnya santaipun terbawa menjadi lebih teliti dalam bekerja. Setelah beberapa kali mendapat koreksi dari Lidya atas hasil kerjanya, Randu makin memahami poin-poin apa yang biasanya menjadi concern krusial bagi Lidya. Secara jabatan, Randu dan Lidya memang setara, sama-sama manajer. Namun dengan daya analisis Lidya yang tajam dan ketelitiannya yang detil, Randu selalu menganggap Lidya sebagai seniornya, tempat ia belajar banyak hal.

Berpengalaman menghadapi Lidya yang analitis dan detil tersebut, Randu berusaha sebaik mungkin membantu Ranu mempersiapkan diri untuk presentasinya. Bagaimanapun, Ranu adalah mahasiswa yang ia bimbing, dan project yang Ranu kerjakan adalah projectnya, jadi Randu akan merasa malu juga pada Lidya jika Ranu tidak bisa menjelaskan hasil kerjanya dan menjawab pertanyaan Lidya dengan baik.

Meski demikian, sebenarnya Randu tidak perlu melakukan upaya berlebihan saat membimbing Ranu. Sama saja seperti saat mensupervisi kedua stafnya, Reyhan dan Fajar. Menurut Randu, Ranu adalah mahasiswi yang cerdas. Hanya dengan instruksi singkat, Ranu dengan cepat memahami dan dapat mengerjakan tugasnya dengan kualitas yang memuaskan.

Kali itupun, ketika Ranu mempresentasikan hasil kerjanya dengan sistematis, ringkas dan percaya diri, Randu sebenarnya merasa sudah cukup puas. Sayangnya, ketika sesi tanya-jawab dengan Lidya dimulai, Randu jadi berkeringat dingin di tempatnya duduk ketika melihat kedua wanita di hadapannya berdiskusi.

"Coba tolong jelaskan, kenapa parameter-parameter ini yang kamu tulis di protokol validasi proses produksi injeksi Valpro?"

Demikian salah satu pertanyaan yang diajukan Lidya. Wanita itu memakai kacamatanya sambil menunduk dan mencoret-coret dokumen di depannya. Ekspresinya seperti malas-malasan dan tak terlalu peduli. Seperti ia tidak benar-benar berharap akan mendapat jawaban memuaskan dari mahasiswi PKPA di hadapannya.

"Saya ambil parameter-parameter itu dari proses produksi yang tercantum di master batch record (MBR) Valpro yang dari Filipina, Bu," jawab Ranu.

"Ya kalau cuma menyalin dari MBR saja, anak SMA juga bisa. Tidak harus sekolah susah-susah jadi apoteker," kata Lidya.

Nadanya tidak sinis atau ketus. Tapi kata-kata seperti itu jelas menusuk. Randu, yang bukan objek dari kata-kata itu dan hanya menjadi pendengar saja merasa tertusuk. Apalagi Ranu yang menjadi target. Refleks Randu menoleh pada Ranu, mengecek anak bimbingannya itu. Tapi ternyata Ranu tidak tampak jiper dengan sindiran Lidya. Syukurlah demikian.

"Saya memindahkan parameter produksi dari MBR ke protokol validasi karena itu adalah parameter kritis, Bu," Ranu mengklarifikasi jawabannya sebelumnya.

"Parameter kritis apa maksudnya?"

"Parameter produksi yang berpengaruh signifikan pada kualitas produk, Bu. Perubahan pada value parameter tersebut akan mengubah kualitas produk."

"Kamu kalau ngomong sengaja muter-muter ya? Supaya kelihatan pintar? Jelaskan dengan lebih sederhana!"

Mata Randu menyipit memperhatikan Lidya yang bicara setajam itu masih dengan ekspresi tidak acuh. Bagi Randu, tidak ada yang salah dengan perkataan Ranu. Dan gadis itu tidak bicara berbelit-belit.

Apanya yang muter-muter sih? Kini jadi Randu yang sewot pada sikap Lidya yang absurd sekali terhadap anak bimbingannya.

Ia menegakkan duduk di kursinya. Berharap Lidya menyadari perubahan gestur Randu yang siap berdebat jika memang diperlukan. Meski tampaknya perempuan dengan rambut hitam legam dan ikal panjang itu menunduk tidak peduli.

"Misalnya kecepatan dan lama pengadukan. Kedua hal itu mempengaruhi kelarutan zat aktif dan homogenitas larutan. Makanya harus ditetapkan secara tepat, agar zat aktif larut sempurna. Kalau terlalu pelan atau kurang lama pengadukannya, bisa jadi zat aktif belum terlarut seluruhnya. Tapi kalai pengadukan terlalu lama, tentu akan tidak efisien secara ekonomi."

Randu sudah puas dengan jawaban Ranu. Tapi ternyata Lidya belum.

"Apa Pak Randu sudah menginfokan bahwa peralatan yang digunakan di Filipina berbeda dengan yang kita punya di site ini?" Meski menyebut nama Randu, Lidya tidak mengalihkan matanya dari dokumennya. Masih tetap, tidak sedikitpun melirik Ranu maupun Randu.

"Sudah Bu."

"Tapi kamu tetap menuliskan value yang sama untuk parameter yang kamu sebut kritis tadi?" Pertanyaan Lidya makin tajam. "Padahal beda alat, bisa jadi value tiap parameternya berbeda."

"Betul Bu. Tapi sepertinya kita tetap bisa menggunakan value yang sama dengan yang di Filipina. Kalau nanti ternyata pengadukan kurang cepat atau kurang lama, bisa ditambah saat optimasi proses."

"Bikin obat tidak sama dengan bikin kue. Kalau kurang manis ditambah gula, kalau kurang rata diaduk lagi, kalau kurang matang dipanasin lagi." Suara Lidya terdengar seperti orang menggerutu. "Memproduksi obat itu tidak bisa dengan prinsip trial and error. Memang ada proses development, trial, optimasi, tapi semua itu tidak dilakukan dengan prinsip coba-coba. Makanya kita mengenal istilah Quality by Design dan Risk Assessment. Pernah dengar kan?"

"Pernah, Bu."

"Apa maksudnya itu?"

"Maksudnya dalam mengembangkan formula dan proses produksi obat, semua parameter yang terkait ditetapkan berdasarkan hasil risk assesment dan optimasi terstruktur, bukan sembarang coba-coba, yang sejak awal sudah menetapkan critical quality attribute dari produk sebagai target."

Randu jadi makin terpesona pada Ranu. Ia belum membimbing Ranu sejauh ini, melainkan hanya membiarkan gadis itu belajar mandiri dari SOP, buku dan global guideline. Ternyata gadis itu sudah cukup jauh mempelajari tugasnya.

"Jadi kenapa kamu tetap menetapkan kecepatan dan waktu pengadukan yang sama, padahal sudah tahu kita menggunakan alat yang berbeda."

"Karena saya pikir kapasitas mesin sama dan batch size juga sama, Bu. Jadi meski merk mesin berbeda, masih bisa dengan kecepatan dan waktu yang sama. Kan satuannya sama-sama rpm dan menit, Bu."

Akhirnya setelah selama presentasi dan diskusi Lidya hanya menunduk seperti ogah-ogahan bicara pada Ranu, kali itu akhirnya Lidya mengangkat kepalanya. Ia menatap Ranu dengan tatapan mata yang tajam dan tegas.

"Yang berbeda antara alat di Filipina dan di Jakarta bukan hanya merknya, tapi juga spec-nya. Kamu sudah membandingkan spec kedua alat saat menyusun risk assesment belum?"

"Sudah Bu. Saya mengecek kapasitas mesin, kecepatan yang digunakan dan batch sizenya."

"Tapi itu tidak cukup!" tukas Lidya. "Mixing machine di Filipina dilengkapi dengan bottom dan upper mixer, sementara mesin kita hanya ada bottom mixer. Jadi kita tidak bisa menyamakan waktu dan kecepatan pengadukan begitu saja."

Wajah Ranu nampak kaget dengan informasi tersebut. Jelas, ia melewatkan informasi tersebut.

"Maaf Bu, saya tidak terpikir sampai ke detil itu."

"Itu yang membedakan apoteker dan anak SMA. Detil, teliti, cermat."

Kalau orang lain yang mendengar Lidya bicara dengan tegas dan dingin seperti itu, pasti mereka sudah mengkerut. Anehnya, Randu justru melihat Ranu tersenyum.

"Baik Bu, akan saya perbaiki. Terima kasih masukannya Bu."

Tersenyum? Gadis itu tersenyum dan tidak tampak mengkerut sama sekali?

Lidya nampak tidak suka melihat respon Ranu. Jadi wanita itu memalingkan wajahnya kembali.

"Produk injeksi ini berbeda dengan produk obat lain karena produk injeksi harus steril. Bagaimana menjamin produk ini steril?" Lidya melanjutkan pertanyaan.

"Nanti pada saat validasi perlu dipastikan kebersihan ruangan dengan particle counter, Bu. Juga uji sterilitas ruangan," jawab Ranu.

"Kalau hasilnya tidak memenuhi syarat, bagaimana?"

"Berarti proses produksinya tidak dapat dilakukan."

"Nunggu uji sterilitas aja perlu inkubasi beberapa hari. Produknya sudah terlanjur selesai diproduksi," sindir Lidya. "Kalau yang seperti kamu bilang tadi, itu hanya tindakan untuk menguji ruangan produksi steril atau tidak. Tapi bukan untuk menjamin ruangan tersebut steril."

Satu lagi Ranu tidak bisa menjawab. Tapi alih-alih makin jiper, senyum gadis itu pada Lidya malah makin lebar.

"Oh!" ujarnya nampak antusias. Seperti mendapat pencerahan. "Maksud Ibu, sebelum validasi atau produksi, yang perlu dipastikan justru sistem HVACnya ya Bu?"

Lidya tidak menjawab. Tapi Ranu nampaknya menganggap itu sebagai jawaban, karena gadis itu segera mencatat hal tersebut di laptopnya.

"Terima kasih masukannya, Bu," kata Ranu ceria. "Apa lagi yang masih salah dan perlu saya perbaiki, Bu?"

Lidya makin tampak tidak betah di kursinya. Ia melirik jam tangannya sebelum menanyakan sebuah pertanyaan.

"Ini diluar konteks. Karena toh formula Valpro memang sudah ditetapkan dari Mother Plant kita. Tapi apa kamu sadar bahwa produk ini tidak isotonis?"

"Hmmm, saya tidak menghitung tonisitasnya, Bu."

Lidya menggeleng-gelengkan kepala. Ekspresinya separuh meremehkan, separuh puas.

"Apa yang kamu tahu tentang isotonisitas produk parenteral?"

"Sebisa mungkin produk parenteral itu isotonis Bu. Osmolaritasnya setara dengan tubuh, lebih kurang setara dengan osmolaritas larutan NaCl 0.9%. Jika produk parenteral hipertonis, maka cairan di dalam sel tubuh akan tertarik keluar dari sel sehingga sel mengkerut. Jika produk hipotonis maka sel tubuh akan menarik cairan dari produk sehingga sel bisa mengembang dan pecah."

"Kalau injeksi Valpro ini hipotonis, berarti tidak aman digunakan dan akan menyebabkan sel darah di sekitar tempat injeksi pecah?"

"Karena Valpro injeksi ini produk small volume parenteral, jadi meski hipotonis atau hipertonis, masih dapat ditolerir tubuh, Bu. Waktu masuk ke pembuluh darah, volume injeksi yang sedikit ini langsung terencerkan oleh volume darah yang besar. Jadi tidak terlalu masalah, Bu. Yang sama sekali tidak boleh hipotonis adalah produk large volume parenteral seperti infus, Bu."

Diam-diam, di kursinya, Randu menahan senyum ketika mendengar jawaban Ranu. Pantas saja Ranu tidak mengkerut di bawah intimidasi Lidya. Mereka berdua isotonis. Sama-sama... bold, meski dengan kesan yang berbeda.

Lidya bangkit dari duduknya dan merapikan dokumen di hadapannya.

"Saya masih ada agenda lain setelah ini." Lidya mengangkat wajahnya dan untuk pertama kalinya sejak 30 menit terakhir, ia menatap Randu. "Saya pamit duluan."

Randu dan Ranu buru-buru ikut bangkit dari kursi mereka.

"Makasih banyak, Bu, sudah meluangkan waktu," kata Randu, dengan senyum canggung. Bahkan hingga sesi diskusi berakhir ia masih merasakan ketidaksukaan Lidya terlibat dalam meeting kali ini. Jadi bagaimanapun, Randu mengucapkan terima kasih karena Lidya sudah bersedia hadir meski wanita itu tidak suka.

"Terima kasih banyak koreksinya, Bu Lidya. Risk assessment dan protokol validasi proses akan saya perbaiki sesuai koreksi Ibu tadi," Ranu menimpali dengan senyum ramahnya. "Untuk validasi pembersihan, akan segera menyusul saya selesaikan Bu."

Lidya tampak mengabaikan Ranu. Ia hanya menatap Randu, dan mengangguk sopan satu kali, sebelum melangkah pergi dari ruang meeting.

Setelah Lidya keluar dari ruang meeting, tanpa aba-aba, Ranu dan Randu serentak menghela napas. Lalu tatapan mereka bertemu, dan mereka saling terkikik bersama.

Ternyata suasana intens tadi sama-sama membuat mereka berdua tegang. Bahkan meski Ranu nampak ceria dan tidak terintimidasi oleh Lidya, ternyata barangkali ia sebenarnya terintimidasi juga. Hanya saja ia bisa mengendalikan diri.

"Tegang ya tadi?" kata Randu. Kemudian ia sendiri tertawa, melepaskan ketegangan.

Lidya wanita yang ramah. Tapi dalam mode profesional, bukan hanya kecantikannya yang mengintimidasi, kecerdasannya lebih mengintimidasi lagi.

"Iya, Pak. Hehehe," jawab Ranu, ikut terkekeh. "Maaf ya Pak, nggak semua pertanyaan Bu Lidya bisa saya jawab."

"It's okay! Tadi presentasi dan jawaban kamu sudah bagus kok," Randu membesarkan hati Ranu. "Hanya saja pengalaman Bu Lidya memang sudah jauh lebih banyak. Makanya pemahamannya lebih dalam dan detil."

"Iya Pak, saya jadi bisa memperbaiki tugas saya berkat koreksi Bu Lidya."

"Hebat juga kamu tadi nggak jiper sama Bu Lidya."

"Sebenarnya jiper juga Pak," Ranu mengaku, dengan senyum malu-malu. "Saya sok isotonis aja."

Alis Randu naik ketika mendengar jawaban Ranu.

"Sok isotonis dengan Bu Lidya. Supaya nggak mengkerut berhadapan sama wibawa beliau. Padahal mah sebenarnya..."

Belum selesai Ranu bicara, Randu sudah menyambutnya dengan tawa. Membuat Ranu sendiri bingung dengan tawa Randu yang tiba-tiba.

Tidak salah lagi, gadis ini adalah jodohnya. Belum pernah Randu bertemu perempuan yang pandai menganalogikan situasi atau keadaan dengan fenomena farmasi, seperti halnya dirinya sendiri. Kali ini Randu merasa menemukan partner yang seimbang.

Gadis ini harus jadi miliknya!

* * *

Randu menyelipkan kepalanya di celah pintu ruang Lidya, setelah sebelumnya mengetuk pintu ruangan tersebut. Lidya menoleh padanya dan mempersilakan masuk.

Hari sudah menjelang Maghrib sehingga Maya, sekretaris Lidya, dan anak buahnya yang lain sudah pulang lebih dulu. Hanya tinggal Lidya sendiri di Departemen QA.

"Lagi sibuk, Mbak?" tanya Randu berbasa-basi.

"Ada apa Mas?" Lidya balik bertanya tanpa basa-basi.

Randu tersenyum dan melangkah masuk. Lalu mendudukkan diri di kursi di hadapan meja Lidya.

"Nggak ada apa-apa sih Mbak. Cuma mau ngucapin makasih aja," kata Randu.

Lidya menatap Randu dengan menelisik. "Terima kasih? Untuk apa?"

"Karena sudah meluangkan waktu untuk presentasi mahasiswi bimbingan saya tadi."

"Mas naksir banget sama mahasiswi itu?" tembak Lidya.

"Eh?"

"... sampai-sampai Mas Randu yang berterima kasih untuk waktu yang saya luangkan untuk anak itu."

Bukannya malu karena tertangkap basah, Randu malah cengengesan tak tahu malu.

"Saya sudah pernah bilang kan, supaya Mas jangan mendekati anak itu lagi?" kata Lidya. Membuat senyum Randu surut.

Karena sudah kepalang basah, tidak ada gunanya juga Randu mengelak dari tuduhan Lidya itu. Memang ia sedang berusaha mendekati mahasiswa bimbingannya itu. "Apa salahnya saya mendekati Ranu?" tantang Randu.

"Dia sudah ada yang punya," jawab Lidya.

Dahi Randu berkerut, hingga alis tebalnya nyaris bertaut.

"Mbak Lidya tahu dari mana? Mbak kenal sama Ranu?" tanya Randu penasaran.

Lidya nampak ragu menjawab pertanyaan itu. Hal itu membuat Randu juga ragu pada pernyataan Lidya sebelumnya.

Jadi sebelum Lidya sempat menjawab pertanyaan Randu, lelaki itu kembali mengajukan pertanyaan, "Atau ini hanya alasan Mbak Lidya aja?"

Kali ini alis Lidya yang menukik bingung. "Alasan?"

"Mbak Lidya bilang begitu bukan karena Mbak nggak suka lihat saya mendekati Ranu kan? Bukan karena....?"

Randu menelan ludah ragu. Ini terlalu percaya diri. Tapi apa lagi alasan yang masuk akal sehingga Lidya sebegitu tidak sukanya pada Ranu dan segitu ngototnya mencegah Randu mendekati gadis itu?

Entah karena Lidya terlalu peka atau terlalu lugas, sekonyong-konyong wanita itu bertanya, "Kalau saya bilang,  saya cemburu, Mas percaya?"

ASTAGA!!! TUH KAN!!! pekik Randu, panik, dalam hati.

Semua orang tahu Lidya lugas dan straight-forward. Tapi mendengar sendiri Lidya mengaku cemburu pada Randu, itu membuatnya kaget. Yang selama ini terjadi adalah Randu yang mengejar-ngejar perempuan. Ini pertama kalinya seorang perempuan, apalagi secantik Lidya, mengaku suka padanya. Randu jadi salah tingkah sendiri.

Meski sebelumnya Randu sudah menduga sih, bahwa Lidya naksir padanya. Tetap saja Randu kaget menghadapi keterus-terangan Lidya.

Sebenarnya, meski memang bisa jadi yang dikatakan Lidya benar bahwa Ranu sudah punya pacar, hal itu tidak terlalu memengaruhi keputusan Randu untuk mendekati Ranu. Meski Randu belum pernah terang-terangan menunjukkan ketertarikan pada Ranu, tapi sikap Ranu yang terbuka padanya selama ini cukup menjadi sinyal baik. Jadi, selama Ranu belum terang-terangan menolaknya dan janur kuning belum melengkung, Randu masih punya kesempatan kan?

Lalu, jika Randu sudah bertekad ingin mendekati Ranu, dengan pernyataan cinta Lidya padanya barusan, apa ini berarti dirinya harus menolak Lidya? Bagaimana hubungan profesional mereka nanti jika ia menolak Lidya? Tapi untuk menerima cinta Lidya....mmmm....

Aduh, Randu jadi serba salah kalau begini. Harusnya tadi ia pura-pura saja tidak tahu bahwa Lidya naksir padanya. Kalau sudah begini kan Randu jadi bingung.

* * *

Kalau cuma nyari yang pinter curhat farmasi, sama saya aja, Mas Randu 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top