13. Manitol

Begini ya. Randu tahu bahwa QA Manager di suatu perusahaan farmasi, apalagi perusahaan farmasi multinasional, pasti sibuk. Tapi apakah sesibuk itu sampai tidak bisa menyempatkan waktu untuk diskusi dengan mahasiswa PKPA?

Ranu sih tidak pernah mengeluh pada Randu. Ia hanya menyampaikan progress report bahwa hingga 3 pekan masa PKPAnya, Ranu masih kesulitan untuk membuat janji temu untuk diskusi dengan Lidya. Hal ini yang membuat Randu bersimpati pada gadis itu, sekaligus penasaran dengan kesibukan Lidya.

Randu memberi tugas PKPA kepada Ranu untuk menyiapkan seluruh dokumen untuk persiapan transfer produk injeksi. Untuk menyelesaikan tugasnya itu, Ranu perlu memahami proses produksi hingga analisis produk, sehingga bisa menyusun risk assessment serta protokol validasi proses, validasi metode analisis dan validasi pembersihan alatnya. Untuk itu, Randu menugaskan Ranu untuk berdiskusi dengan para supervisor atau manajer di QA, QC dan Produksi. Sejauh ini, Ranu sudah berhasil berdiskusi dengan Manajer QC dan Produksi. Namun belum berhasil membuat janji temu dengan Manajer QA. Akhirnya ketika Ranu melaporkan progress tugasnya pada Randu, gadis itu menyampaikan bahwa ia baru sempat berdiskusi dengan Arum, sang Supervisor QA.

Randu memang sengaja "melepas" begitu saja mahasiswa PKPA yang ia bimbing dalam mengerjakan tugas. Mereka hanya mengadakan diskusi seminggu sekali untuk memantau progressnya, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang belum jelas. Hal itu untuk melatih kemandirian mahasiswa bimbingannya dalam bekerja. Namun kini, sepertinya Randu harus turun tangan untuk membantu Ranu untuk bicara dengan Lidya.

"Maaf ya Pak, saya ngerepotin Bapak. Sampai Bapak harus turun tangan," kata Ranu, tidak enak hati.

Randu tertawa santai. "Demi nih."

Normalnya, perempuan lain akan langsung GR saat Randu bicara begitu dan menerka Randu memberi bantuan demi sang gadis. Tapi gadis yang satu ini berbeda. Ia malah bertanya, "Demi kian?"

"Demi kamu!" jawab Randu, akhirnya. Terpaksa lugas, karena gagal gombal.

Ranu terkekeh kecil.

"Ya tapi kan dokumen-dokumen ini sebenarnya pekerjaan dan kepentingan Bapak juga. Jadi sebenarnya bukan benar-benar demi saya juga kan Pak?"

Tuh kan! Ini nih bedanya Haiva dan Ranu. Beneran deh, susah bener bikin gadis yang satu ini GR. Memang sepertinya Randu harus menggunakan cara lain kalau mau mendekati Ranu, karena caranya yang biasa tidak mempan.

Jadi siang itu Randu berkunjung ke ruangan Lidya.

"Halo May!" Randu menyapa ramah pada sekretaris  yang mejanya berada di depan ruangan Lidya. 

"Siang, Pak Randu." Maya, sekretaris Lidya, balas menyapa.

"Laktosa yang di gudang, kamu ambil semua ya?"

Senyum Maya yang ramah berubah menjadi kebingungan. Apa maksudnya tuduhan Randu barusan? Dirinya kan tidak punya akses ke gudang, jadi tidak mungkin ia mengambil laktosa atau bahan apapun yang disimpan di gudang. Lagian, buat apa ngambil bahan baku obat, coba?

"Pantesan kamu manis banget."

Tiga detik sebelum akhirnya semburat merah muncul di wajah Maya, ketika ia akhirnya menyadari gombalan Randu.

"Pak Randu nih...." protes Maya, mengibaskan tangannya main-main. Gemas ingin memukul Randu, tapi ia tahu diri posisinya sebagai subordinat.

Randu tertawa lebar. Puas, gombalannya selalu berhasil. Mayapun ikut tertawa bersama lelaki itu

"Ibu ada?" tanya Randu, setelah tawa mereka reda. Ia mengendikkan kepala ke arah ruangan Lidya.

"Ada, Pak."

"Lagi ada tamu nggak?"

"Nggak, Pak. Ibu lagi free."

"Saya masuk, boleh?"

"Sebentar, saya tanya Ibu dulu ya Pak."

Sang sekretaris menghubungi Lidya melalui interphone, meminta ijin bahwa Randu ingin menemuinya. Untungnya, Lidya bersedia ditemui. Tapi sebelum masuk, Randu sengaja menanyakan jadwal kosong Lidya terlebih dahulu pada sang sekretaris.

"Saya mau undang Bu Lidya rapat. Ibu ada waktu kapan ya May?"

Tanpa kecurigaan sedikitpun, Maya mengecek kalender atasannya dan memberikan info beberapa jadwal kosong Lidya pekan ini.

"Okay. Makasih ya. Nanti saya janjian langsung sama Ibu," kata Randu.

Randu sudah hendak melangkah menuju pintu masuk ruangan Lidya, ketika langkahnya terhenti. Ia mengerling pada Maya dan gelas teh di meja Maya.

"Jangan kebanyakan minum teh manis tiap hari," Randu memperingatkan dengan wajah serius.

"Kenapa Pak? Supaya nggak diabetes ya?"

"Iya. Takut diabetes nanti. Soalnya kamu udah manis. Minum teh tawar aja sambil ngaca."

Maya manyun, tapi sambil menahan senyuman ge-er. Sambil tertawa puas, Randu melambaikan tangannya pada Maya, lalu mengetuk pintu ruangan Lidya.

Ia masuk setelah mendengar jawaban dari dalam ruangan. Dan mendapati Lidya mengangkat kepalanya dari sebuah batch record (dokumen catatan produksi) untuk menyambut kedatangannya.

"Seneng banget ketawanya," sindir Lidya. Sepertinya Randu tertawa cukup seru hingga Lidya bisa mendengarnya dari dalam ruangan.

Tapi disindir begitu, Randu bukannya minta maaf, dia malah melenggang santai sambil cengengesan. Ia lalu duduk di kursi di depan meja kerja Lidya yang penuh dengan dokumen, berhadapan dengan Lidya.

"Hidup rada santai dikit, Mbak," Randu menimpali.

Lidya mengernyit tipis. Dan kekehan Randu makin lebar karena menyadari makna tatapan menelisik perempuan itu. Ekspresi Lidya jelas-jelas seperti menjawab, "Santai sedikit apaan? Situ yang terlalu santai."

"Tuh kan!" kata Randu. "Wajah Mbak Lidya tuh kayak kebanyakan manitol."

Sambil membenarkan letak kacamatanya, Lidya mengulum senyum kecil. Ia pikir Randu sedang mulai dalam mode gombal mukiyo.

"Mau bilang saya manis aja, pakai gombalan farmasi segala," kata Lidya.

Manitol adalah salah satu eksipien farmasi dengan banyak fungsi. Rasanya yang manis membuatnya bisa digunakan juga sebagai bahan pemanis pada beberapa produk farmasi.

"Siapa bilang saya mau gombal? Saya tuh nggak gombal...."

Lidya sudah bersiap kalau Randu benar merayu dan mengatakan dirinya manis, ketika pria itu melanjutkan kalimatnya.

"... Mbak Lidya kalau lagi mode serius gini emang kayak injeksi kebanyakan manitol, Mbak."

"Maksudnya manis kan? Manitol manis kan?"

"Hipertonis."

Kerutan di dahi Lidya makin dalam. Beberapa bulan bekerja bersama Randu membuatnya makin menyadari bahwa jokes-nya Randu ini nggak normal. Kadang di luar nalarnya. Tapi anehnya, mendengarkan gombalan dan plesetan farmasi ala Randu ini seru juga sebenarnya.

"Bikin orang-orang di sekitar Mbak jadi mengkerut."

Refleks saja Lidya melempar pulpen biru yang sedang dipegangnya kepada Randu.

Memang sih, selain berfungsi sebagai pemanis, manitol punya beberapa fungsi lain. Misalnya untuk meningkatkan kelarutan zat aktif, atau untuk mengatur osmolaritas/ tonisitas larutan injeksi. Larutan hipotonis saat diinjeksikan kepada individu akan menyebabkan sel-sel darah menarik kelebihan air dari injeksi tersebut. Menyebabkan sel mengembang dan akhirnya pecah. Oleh karena itu, sebisa mungkin larutan injeksi yang disuntikkan harus isotonis agar tidak merusak sel. Salah satu eksipien yang dapat ditambahkan untuk membuat larutan injeksi isotonis dengan tubuh adalah manitol. Tapi terlalu banyak menambahkan manitol sebagai osmolarity/tonicity agent justru menyebabkan larutan menjadi hipertonis. Larutan yang hipertonis ini akan menarik air dari dalam sel tubuh sehingga sel mengkerut.

Lidya harusnya tahu bahwa Randu hanya menggombal saja. Jadi tidak perlu GR kalau Randu memujinya manis, dan sebaliknya, tidak perlu kesal kalau Randu tidak jadi menggombalinya. Iya kan?

Melihat Lidya yang tampak kesal, Randu justru tertawa puas karena berhasil mengejek Lidya. Dengan cekatan mengambil pulpen yang barusan menghantam dada dan jatuh di pangkuannya. Ia masih tertawa ketika mengembalikan pulpen itu kepada Lidya.

"Pulpennya jangan sampai hilang, Mbak. Nanti kalau Mbak nggak bisa release batch record gara-gara nggak punya pulpen, saya yang diteror Mas Yudha nih kalau produknya nggak dirilis."

Lidya, dengan wajah sok sewot, mengambil kembali pulpen dari tangan Randu.

"Kalau Maya digombalin, saya diejek ya. Mentang-mentang saya udah tua," sindir Lidya.

Randu tertawa. Jadi ternyata Lidya mendengar gombalan Randu pada Maya tadi.

"Udah tua apaan sih Mbak? Dua puluh tujuh tahun tuh belum tua kali Mbak."

Lidya memutar bola mata. "Kalau 37 tahun udah tua?"

"Siapa yang 37 tahun?"

"Saya."

Randu membulatkan matanya dengan cara yang berlebihan. "Nggak usah pura-pura lebih tua daripada saya supaya bisa neror risk assessment dan protokol validasi dari saya, Mbak. Kalau Mbak ngaku 17 tahun, saya malah lebih percaya."

Lidya tahu bahwa yang ini gombalan juga. Tapi tetap saja ia mengulum senyum.

"Pasti mau nyindir, karena saya nggak punya anak, makanya saya bisa awet muda. Gitu kan?"

"Ih, suudzon aja! Siapa yang nyindir? Emang beneran Mbak Lidya awet muda kok," Randu buru-buru mengklarifikasi sebelum Lidya tersinggung. "Lagian, yang bikin nggak awet muda itu bukan karena punya anak Mbak. Tapi karena nggak punya duit."

Lidya menjentikkan jari di depan wajah Randu dengan ekspresi puas, dan tertawa.

"Udah ah, malah bercanda mulu nih Mas Randu," putus Lidya. "Jadi kesini mau ngapain Mas? Mau diteror risk assessment dan protokol validasi? Hayo, sini! Mana setorannya!"

"Tuh kan, suudzon lagi. Saya kesini mau ngajak nge-date, Mbak."

Telah mengenal Randu selama beberapa bulan terakhir, membuat Lidya tidak terpengaruh dengan kalimat memancing seperti itu.

"Ayok! Mau kapan? Udah nanya jadwal kosong saya ke Maya kan tadi?" balas Lidya. Lidya tahu, yang dimaksud "nge-date" oleh Randu adalah rapat.

Randu tertawa karena Lidya sudah memahami maksudnya sebenarnya. Ia kemudian mendiskusikan dengan Lidya kapan waktu yang sesuai untuk mereka berdua. Lidya kemudian memasukkan jadwal yang sudah mereka setujui itu ke kalender di laptopnya.

"Ini agenda rapatnya apa?" tanya Lidya, bersiap mengetikkan agenda tersebut pada kalendernya.

"Diskusi risk assessment dan protokol validasi injeksi Valpro."

Lidya mengetikkan hal itu di laptopnya.

"Anak PKPA saya beberapa kali tanya jadwal kosong Mbak Lidya untuk diskusi tentang ini, tapi nggak dapet jadwal yang cocok. Kelihatannya Mbak sibuk banget. Makanya saya kesini langsung."

Jemari Lidya melambat perlahan hingga berhenti mengetik, dan wajahnya menghadap Randu.

"Jadi ini untuk anak itu?" tanya Lidya. Sudah tidak ada lagi senyum di bibir Lidya. Hal ini membuat Randu agak bingung juga dengan perubahan mood Lidya yang mendadak. "Demi tugas PKPA anak itu?"

"Tugas PKPA Ranu kan sebenarnya job desk saya. Jadi sebenarnya bukan demi dia."

Lidya menarik jemarinya dari laptop dan kembali ke batch recordnya. Wajahnya datar, tidak ada lagi ramah-ramahnya.

"Dokumen RA dan protokol validasinya bisa dikirim kesini aja Mas. Nanti saya koreksi. Nggak perlu meeting."

Randu mengernyit. Mengapa tiba-tiba Lidya berubah pikiran?

"Sekalian supaya Ranu bisa belajar dan dapat feed back tentang tugas yang dia susun, Mbak. Tadi katanya Mbak ada waktu kosong kan? Kenapa tiba-tiba cancel Mbak?"

Lidya tidak menjawab.

"Apa Ranu pernah melakukan kesalahan yang membuat Mbak Lidya nggak suka dia?" tanya Randu hati-hati.

"Memangnya dia orang penting, sampai bisa bikin saya nggak suka dia?" sinis Lidya. "Ya sudah, kita tetap meeting. Tapi formatnya bukan diskusi. Dia harus mempresentasikan pekerjaannya."

"Tapi, Mbak ___"

"Dia mau dapat feedback dari pengerjaan tugasnya kan? Jadi dia harus presentasi dulu, baru nanti saya beri feedback."

Nada suara dan ekspresi Lidya saat itu sangat tegas dan tidak terbantahkan. Jadi yang bisa Randu lakukan hanya mengangguk, menerima keputusan Lidya.

Setelahnya, secara halus tapi tegas, Lidya mengusir Randu, dengan alasan perlu konsentrasi memeriksa batch record untuk perilisan produk segera, karena sudah ditunggu Yudha. Jadi Randu pamit undur diri.

Tapi sebelum Randu membuka ruang kerja Lidya, perempuan itu memanggil namanya. Dan Randu menoleh pada perempuan yang kini melepas kacamatanya.

"Mas Randu suka sama anak itu?"

Sekonyong-konyong ditodong dengan pertanyaan seperti itu, Randu syok. Dia tidak tahu apa maksud pertanyaan Lidya yang tiba-tiba itu. Suka? Maksudnya, naksir? Tapi kenapa Lidya peduli dan ikut campur dengan urusan pribadinya?

"Jangan naksir sama anak itu," Lidya memperingatkan.

"Kenapa?" refleks Randu balik bertanya. "Mbak Lidya kenal Ranu?"

"No," jawab Lidya tegas.

"Trus? Kok?"

Lidya dan Randu bersitatap selama beberapa lama. Tapi pada akhirnya Lidya tidak berkata apa-apa lagi. Ia memakai kacamatanya kembali, dan kembali fokus pada pekerjaannya. Mengusir Randu secara tidak langsung.

Akhirnya Randu keluar dari ruangan Lidya dengan benak bertanya-tanya.

Kenapa Lidya terlihat tidak suka pada Ranu? Padahal katanya Lidya tidak kenal secara personal dengan Ranu kan? Jadi kenapa Lidya melarang Randu naksir pada Ranu?

Kenapa?

Jangan-jangan...

Jangan-jangan... Lidya cemburu pada Ranu? Apa itu berarti Lidya naksir pada Randu?

Ah masa? Nggak mungkin Lidya naksir dirinya kan?

Tiba-tiba saja Randu jadi salting dan galau. Kalau Lidya benar naksir padanya, bagaimana dia harus bersikap pada Lidya kalau mereka saling bertemu lagi nanti?

Aduh! Ternyata yang bikin pusing bukan cuma karena naksir orang ya. Ditaksir orang juga bikin pusing ternyata.

Aduh, Randu jadi malu sendiri, kalau memang perempuan secantik Lidya naksir pada dirinya, sampai cemburu begitu pada anak PKPA. Duh! Malu tapi bahagia juga.

Randu jadi salah tingkah sendiri sepanjang sisa hari itu.

* * *

Aku yang nulis, tapi kok aku yang sebel sendiri sama Randu yang GR-an gitu ya?

Mana tuh yang bertekad berwibawa kayak Pak Haris, kalau dikit2 baper gitu?

Hahaha, dasar kapuk!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top