12. Tonicity Agent

Meski telah dilaksanakan monthly meeting/rapat bulanan untuk merencanakan kegiatan tiap bulannya, namun weekly meeting tetap dilaksanakan tiap awal pekan untuk mengkoordinasikan seluruh kegiatan di Divisi Factory. Datangnya bahan baku, proses produksi dan proses analisis yang tidak selalu on-schedule menyebabkan para manajer harus selalu berkoordinasi secara rutin untuk memantau perubahan jadwal dan menyesuaikan jadwal kegiatan-kegiatan di departemen masing-masing.

Meski proses transfer produk bukan termasuk kegiatan produksi reguler, namun karena proses optimasi dan validasinya dilakukan di fasilitas produksi dan menggunakan alat-alat produksi, maka jadwalnya akan memengaruhi jadwal produksi reguler di Departemen Produksi. Begitupun proses analisisnya yang dilakukan di lab QC, menggunakan alat analisis yang sama dengan yang digunakan untuk menganalisis bets produk reguler, maka jadwal analisis produk-produk transfer juga akan mempengaruhi penjadwalan analisia di QC. Itu mengapa Randu berusaha menyusun jadwalnya seakurat mungkin agar departemennya tidak diprotes karena jadwalnya mengganggu jadwal produksi rutin.

Namun melakukan hal itu tentu tidak selalu mudah. Apalagi hanya dengan 2 staf yang membantunya untuk menyusun protokol optimasi dan validasi produk sebanyak itu dan melakukan semua hal terkait lainnya. Kadang pada jadwal yang telah ditentukan, Randu belum menyelesaikan protokol optimasi dan validasi sehingga jadwalnya perlu diundur.

"Belakangan ini jadwal optimasi dan validasi selalu tepat waktu nih. Saya jadi nggak ada alasan buat neror Mas Randu," seloroh Yudha, Manajer PPIC, pada weekly meeting kali itu.

PPIC, Production Planning and Inventory Control, merupakah departemen di Divisi Factory yang bertanggung jawab memantau rencana produksi dan ketersediaan bahan. Itu mengapa departemen PPIC yang biasanya rewel kalau ada jadwal yang tidak sesuai dengan rencana awal. Apalagi menjelang akhir bulan, PPIC biasanya meneror semua departemen lain seperti Produksi, QC dan QA untuk meluluskan produk sesuai yang telah dijadwalkan, karena itu merupakan KPI (key performance indicator) yang harus tercapai. Kalau sehari-hari departemen QA yang dianggap "musuh umat" karena cerewet soal penjaminan mutu, tapi tiap akhir bulan, PPIC yang menjadi musuh bersama departemen lain. Randu bahkan pernah berencana mengunci ruang kerja Yudha di akhir bulan agar tidak meneror dirinya.

"Iya dong! Keren kan saya!" jawab Randu, dengan senyuman lebar nan jumawa.

"Sombong bener yang sekarang punya anak PKPA yang bantuin," sindir Asti, Manajer QC.

Alih-alih tersinggung, Randu malah tertawa bahagia.

"Lha kan Mbak Asti juga kebagian anak PKPA buat bantuin," Randu membalikkan.

"Tapi anak PKPA Mas Randu kerjanya lebih oke. Gercep. Pas diskusi sama saya kemarin, dia juga cepet paham."

"Oh si Ranu ya?" Hanif, Manajer Produksi menimpali. "Waktu itu sempat diskusi sama saya, anaknya emang pinter kelihatannya."

Randu cengengesan jumawa. Rasanya seperti mendengar anaknya dipuji oleh orang lain____padahal dia belum punya anak. Jangankan punya anak, nikah aja belum. Jangankan nikah, perempuan yang mau dinikahin aja nggak ada.

"Siapa dulu dong pembimbingnya," kata Randu tengil.

"Beruntung banget Mas Randu dapet anak PKPA yang gercep dan pinter gitu. Dia bisa belajar dari kita, dan pekerjaan kita bisa terbantu banget. Kalau dapat yang agak slow, kita cuma capek ngajarin aja, tapi nggak banyak terbantu oleh dia. Jadi iri," kata Yudha.

"Mana cantik pula anaknya," celetuk Asti.

"Oh anak PKPA nya Mas Randu, perempuan tho?" tanya Yudha. "Saya dapet anak PKPA cowok."

"Nah! Beruntung banget kan playboy kita satu ini."

Dibilang playboy tidak membuat Randu tersinggung. Ia malah lanjut terkekeh.

"Kayaknya Manajer HRD sengaja assign yang paling cantik buat Mas Randu karena Mas Randu satu-satunya manajer yang masih single. Mas Yudha dan Mas Hanif kan udah nikah," kata Asti.

"Nah, inget-inget tuh. Mas-mas udah pada nikah. Jangan genit-genit sama anak bimbingan saya," Randu memperingatkan.

"Deeeuu, cuma anak bimbingan aja, posesif amat Mas Randu," goda Yudha.

"Kalau nggak mau diambil yang lain, buruan diprospek lah. Keburu diambil bapak-bapak operator Produksi," lanjut Hanif. "Anaknya ramah, si Ranu itu. Bapak-bapak operator jadi pengen prospek Ranu jadi calon mantu katanya."

"Wah wah! Saingan Mbak Lidya nih," celetuk Asti.

Saat itu Randu baru tersadar bahwa sejak tadi, diantara para manajer di weekly meeting mereka, hanya Lidya yang tidak ikut membicarakan Ranu. Perempuan itu mengangkat wajahnya dari laptop dan melirik Asti dengan ogah-ogahan.

"Dulu, pas pertama kali pindah kesini, Mbak Lidya kan favorit bapak-bapak operator Produksi buat diprospek jadi menantu," imbuh Asti.

"Susah lho memenangkan hati bapak-bapak operator yang ngeyelan begitu," kata Hanif. "Hebat juga si anak magang, bisa menyaingi popularitas Mbak Lidya di kalangan bapak-bapak operator. Bahkan katanya ibu-ibu packaging juga suka sama Ranu."

"Oh ya? Padahal kriteria menantu idaman bagi bapak-bapak dan ibu-ibu beda lho. Bapak-bapak biasanya suka calon menantu kayak Mbak Lidya. Mandiri, kuat, nggak bakal nyusahin anaknya. Tapi Mbak Lidya nggak masuk kriteria menantu idaman ibu-ibu, karena Mbak Lid galak... "

Yudha melirik Lidya, bermaksud menggoda. Dan Lidya menanggapinya dengan senyum kesopanan.

Hal ini menarik perhatian Randu. Meski hanya obrolan receh, biasanya Lidya tidak ketinggalan ikut mengejek Randu. Tapi kali ini, sejak tadi, Lidya cenderung diam saja dan hanya menanggapi dengan gestur kesopanan. Sama sekali tidak terlihat antusias dengan obrolan mereka.

Mungkin karena Lidya sedang sangat sibuk ya, sehingga dia tidak berminat ikutan dalam obrolan receh? Beberapa waktu belakangan ini sepertinya Lidya memang sedang sibuk. Ranu melapor bahwa beberapa kali ia ingin membuat janji temu untuk berdiskusi dengan Lidya, jadwalnya selalu tidak pas.

Sebagai supporting department, Randu dan stafnya memang harus mendiskusikan hasil kerja mereka dengan departemen terkait seperti Produksi, QC dan QA. Begitupun ia menugaskan Ranu, sehingga gadis itu harus berdiskusi dengan Manajer Produksi, QC dan QA dalam penyusunan protokol optimasi dan validasi. Dan sampai sekarang, hanya Manajer QA yang belum berhasil Ranu temui. Jika menghubungkan fakta-fakta tersebut, barangkali memang Lidya sedang sangat sibuk belakangan ini.

"... kalau ternyata Ranu juga masuk kriteria calon menantu idaman ibu-ibu Packaging, berarti di mata bapak-bapak dan ibu-ibu itu, dia mandiri, kuat, tapi nggak galak."

Lidya tampak mengabaikan lanjutan kalimat Yudha dan sudah kembali sibuk dengan laptopnya.

"Kalau bener profil si anak PKPA itu sekeren itu, dan Mas Randu niat memprospek..."

Perhatian Randu kembali teralih, dari Lidya kepada Yudha, ketika pria itu menyebut namanya.

"... Mas Randu harus gercep, Mas. Keburu ditikung bapak-bapak dan ibu-ibu Produksi yang lain."

Kemudian ruang rapat ramai dengan tawa Yudha, Hanif dan Asti yang terlalu bersemangat mengompori Randu. Randu ikut tertawa dengan wajah santai. Padahal di dalam hati, dia juga sedang menyusun strategi bagaimana mendekati Ranu.

Berbeda dengan Haiva yang gampang malu-malu saat digoda, Ranu justru dengan mudah membalikkan godaan Randu. Gombalan-gombalan yang dulu pernah ampuh untuk Haiva dan beberapa gebetannya dulu, kini tidak mempan terhadap Ranu. Gadis itu tampak terlalu santai menanggapi kode-kode halus yang Randu kirimkan, membuat Randu harus lebih berusaha untuk membuat gadis itu terkesan padanya.

Mungkin sudah waktunya dia belajar menjadi seperti Pak Haris.

"Saya duluan ya, Mas dan Mbak." Terdengar suara Lidya memundurkan kursinya. Perempuan itu bangkit dan duduknya dan meraih laptop yang telah ia tutup sebelumnya. "Saya balik ke ruangan duluan ya. Masih ada kerjaan lain," lanjutnya, dengan senyum yang ia edarkan pada keempat rekannya yang lain.

"See you on next meeting, Mbak," jawab Asti, membalas senyum Lidya.

Sementara Hanif dan Randu menanggapi dengan ucapan terima kasih karena Lidya telah bergabung dalam meeting kali itu.

"Mbak Lid, jangan lupa ya. Clarisyrup batch 122 minta dirilis besok. Tutup bulan," Yudha menimpali. Begitu memang kelakukan Manajer PPIC tiap akhir bulan, meneror manajer-manajer lain.

Tapi, meski Yudha mengatakan hal tersebut dengan santai dan senyum ramah, respon Lidya justru di luar dugaan. Ekspresi Lidya yang tadinya datar, kini jadi lebih keras.

"Saya kan sudah pernah bilang, Mas Yudha, saya nggak bisa dikejar-kejar rilis produk," kata Lidya.

Kali itu seketika aura ruang meeting menggelap. Sepertinya semua orang di ruangan itu menyadari bahwa Yudha sudah melakukan kesalahan.

"... Saya butuh waktu untuk review proses produksi dan hasil QC. Dan itu tidak bisa dilakukan dengan terburu-buru. Jadi, kalau mau saya rilis produknya besok, Mas Yudha silakan kejar Mas Hanif dan Mbak Asti. Tadi kan Mas Hanif bilang sekarang masih proses packaging, dan Mbak Asti bilang masih ngantri HPLC untuk analisis Clarisyrup. Kalau bikin deadline yang masuk akal lah Mas. Kerjaan saya kan bukan cuma untuk memenuhi KPI Mas Yudha."

Wajah Yudha pias dan salah tingkah.

"Besok saya pulang on-time karena ada keperluan lain. Kalau batch record Clarisyrup 122 belum masuk ke ruangan saya jam 2 siang, jangan kejar-kejar saya untuk rilis besok."

Lidya mengatakannya dengan suara normal. Namun intonasinya tajam dan tegas. Membuat semua orang di ruangan itu terpana dan merinding.

Setelah Lidya meninggalkan ruang meeting, keempat manajer itu serentak menghembuskan nafas. Sepertinya tadi tanpa sadar mereka sama-sama menahan nafas ketika mendengar Lidya marah-marah.

Sebenarnya, istilah "marah-marah" tidak sepenuhnya tepat menggambarkan cara Lidya bicara barusan. Tapi memang suasana barusan cukup mencekam.

"Mbak Lidya lagi bad mood ya?" bisik Asti hati-hari.

"Aduh gue salah ngomong tadi," sesal Yudha sambil menepuk dahinya. "Padahal biasanya kalau saya teror gitu, Mbak Lidya nggak segitunya nolak saya."

"Mbak Lidya kalau lagi marah gitu, serem ya. Kayak Pak Haris," Randu ikut-ikutan.

Persis seperti Pak Haris yang tidak pernah meninggikan volume suaranya saat marah, Lidya tadi melakukan hal yang sama. Tapi bahkan tanpa volume keras, kata-kata Lidya cukup untuk menohok semua pihak yang ia target.

Pantesan cocok. Mungkin mereka emang jodoh, pikir Randu.

"Kayaknya Mbak Lidya lagi sibuk ya," kata Hanif. "Belakangan ini QA agak keras dan kurang toleran terhadap kami. Biasanya Mbak Lidya begitu kalau lagi sibuk dan bad mood."

"Gosip dari anak buahnya sih Mbak Lidya emang lagi mode tegas belakangan ini. Kalau lagi mode tegas gitu, baru kelihatan jelas dia orang Leo."

Randu menoleh pada Asti yang barusan nyeletuk.

"Zodiaknya Mbak Lidya kan Leo. She's born to be a leader. Tanpa mengaum, cuma menggeram aja, semua yang di sekitarnya langsung mengkerut. Wibawanya luar biasa. Cocok emang di QA."

Randu mengangguk-angguk. Dia baru tahu tentang zodiak Lidya. Meski ia tidak percaya horoskop, Randu jadi tergelitik ingin mengecek tentang kepribadian seorang Leo.

"Kayak injeksi hipertonis ya," gumamnya pada diri sendiri.

Ketiga Manajer lain menoleh padanya, bingung apa hubungannya Leo, leader dan injeksi hipertonis.

"Kalau kita injeksikan larutan hipertonis ke dalam tubuh, sel-sel yang kontak kan bisa mengkerut karena cairan dari sel tertarik keluar karena perbedaan tonisitas," kata Randu. "Sama seperti Mbak Lidya kalau lagi jadi Leo, bikin orang sekitar mengkerut."

Asti menggeram lelah. Hanif melengos malas. Sementara Yudha rasanya ingin menyiramkan kopi panasnya ke wajah Randu.

* * *

Siapa disini yang zodiaknya Leo? Galak juga kayak Mbak Lidya ga?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top