1. Binder
"Jadi, cewek tadi itu gebetan baru lo?"
"Baru juga selesai sholat, lu bukannya zikir, malah ghibah." Randu sedang memakai kaos kakinya di selasar depan mushola, selepas sholat Dzuhur, tapi langsung disuguhi pertanyaan pemicu ghibah.
Danan, lelaki yang duduk di sampingnya sambil memakai kaos kaki juga, terkekeh puas.
Randu baru saja selesai menjadi narasumber di suatu seminar kefarmasian di kampus almamaternya dulu saat kuliah. Sementara Danan, sahabatnya saat kuliah dulu, juga baru selesai menjadi juri pada acara Debat, bagian dari rangkaian acara yang sama dengan seminar kefarmasian tersebut. Gara-gara acara tersebut, kedua sahabat semasa kuliah itu bisa bertemu lagi. Barangkali jika tidak ada acara seperti ini, mereka sudah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing dan tidak bisa bertemu.
Di acara yang sama tersebut, Randu dan Danan juga bertemu dengan beberapa alumni kampus mereka yang berperan serta pada acara tersebut. Termasuk seorang gadis yang sepagian tadi menjadi Juri Debat bersama Danan, dan Danan curiga sebagai gebetan barunya Randu.
"Cantik anaknya. Imut-imut ya," kata Danan.
"Gua lapor Bu Sofi nih ya, lu bilang cewek lain cantik," ancam Randu, menyebutkan nama mantan dosennya yang di-bucin-in oleh sahabatnya itu.
"Anjir banget lu jadi sahabat." Tapi tak urung Danan tetap tertawa. "Abisnya lo ganti-ganti pacar dan gebetan mulu deh. Ga capek apa, lo bertualang melulu, kayak Ninja Hattori?"
Randu mencebik.
"Kayak gue dong. Setia. Cukup satu perempuan dalam hidup gue," kata Danan jumawa.
"Lo mah bukannya setia. Lu udah level bucin mah," ejek Randu. "Gue tuh bukannya nggak setia. Tapi entah kenapa gue jadi peran figuran mulu. Kerjaannya jagain jodoh orang melulu. Abis lepas dari gue, semua cewek pasti langsung nemu jodohnya. Gue semacam pancingan kayaknya. Kalo orang susah punya anak kan katanya adopsi anak dulu, buat mancing anak. Nah ini, cewek-cewek juga kayaknya adopsi gue dulu sebagai pacar atau gebetan, buat mancing jodoh yang sebenarnya. Sial banget nasib gue."
Kalau tak ingat mereka masih duduk di selasar mushola, Danan pasti sudah tertawa ngakak mendengar analogi Randu tentang "adopsi pacar" dan "pancingan jodoh".
"Makanya, lo tuh serius dikit gitu kek gayanya. Sok cool gitu," kata Danan sambil berdiri, setelah memakai kaos kaki dan sepatunya. "Kalo cengengesan mulu gitu, cewek juga ragu mau berhubungan serius sama lo. Dikira lo nggak niat serius ngajak kawin, dikira bercanda doang."
"Coba deh gue tanya," balas Randu, sambil bangkit juga setelah memakai sepatunya. Mereka berdua lalu berjalan beriringan keluar dari selasar mushola. "Lo kalo disuruh nggak bucin sama Bu Sofi, bisa nggak? Nggak bisa kan? Ya sama kayak gue kalo disuruh sok cool. Lo pikir gue Pak Haris, yang bisa berwibawa gitu."
"Ngomong-ngomong soal Pak Haris, doi awet muda ya," celetuk Danan, berghibah tentang sosok Haris Hananjaya yang hari itu menjadi salah satu pembicara juga pada seminar kefarmasian. "Perasaan beberapa tahun lalu dia pernah jadi pembicara juga di acara kampus kan ya? Dan kayaknya mukanya nggak nambah tua. Pantesan banyak yang ngefans sama dia ya."
Meski iri dengan fakta tersebut, Randu terpaksa mengakui kebenaran kata-kata Danan.
"Eh, cewek lo tuh!" kata Danan sambil menyenggol lengan Randu ketika ia melihat seorang gadis bertubuh kecil sedang ngobrol bersama tiga orang lain: Sofi, Haris dan Rahman.
Danan menyadari Randu mempercepat langkahnya dengan bersemangat ketika menghampiri gadis itu. Tingkah Randu itu membuat Danan mengulum senyum.
"Haiva pulang sekarang?" tanya Randu ketika telah sampai di hadapan gadis bertubuh kecil bernama Haiva itu. "Gue anter pulang yuk."
"Modus," kata Danan menggoda, sengaja tidak memelankan suaranya. Disusul tatapan kesal Randu.
"Eh, makasih, Mas Randu. Nanti ngerepotin," jawab Haiva, tampak sungkan.
"Nggak repot kok. Yuk, gue anter pulang," kata Randu lagi.
Haiva nampak agak salah tingkah. Tapi sebuah suara dengan cepat memutus percakapan mereka.
"Haiva sama saya, Mas Randu," kata lelaki bertubuh tinggi yang berdiri di sisi Haiva.
"Eh?"
Semua orang menoleh pada lelaki itu. Haris Hananjaya.
"Haiva bilang mau mentraktir saya kalau saya mau membantu panitia acara ini dan bersedia jadi pembicara seminar hari ini. Jadi saya mau menagih janjinya," Haris melanjutkan.
"Tapi kita kan baru aja makan siang, Pak," kata Haiva, berusaha mengelak.
"Dan sejak kapan Haiva cuma makan 3 kali sehari?"
Randu melihat Haiva mencebik. Tapi toh gadis itu tidak menolak ketika Haris menarik tangannya setelah sekali lagi berpamitan pada Rahman, Sofi, Randu dan Danan.
"What the hell was that?" Randu berbisik ngeri ketika melihat Haris menggandeng tangan Haiva dan melangkah menjauh.
"Tadi Pak Haris bilang nggak bisa ikut sesi selanjutnya karena ada janji lain___ternyata maksudnya udah janjian sama Haiva atau gimana?"
Sofi, dosen Fakultas Farmasi yang pagi tadi menjadi moderator pada seminar kefarmasian dimana Haris dan Randu sebagai pembicaranya, memang sempat menawarkan kepada Haris untuk menonton seminar sesi 2 siang ini. Tapi Haris menolak tawaran tersebut dengan alasan sudah ada janji lain. Untuk orang sesibuk Haris Hananjaya, Plant Director Medika Farma, salah satu perusahaan farmasi nasional yang terkenal, Sofi maklum saja jika beliau sibuk bahkan di hari Sabtu seperti itu. Namun ketika barusan Haris malah mengajak Haiva, mantan mahasiswa Sofi sekaligus anak buah Haris, untuk makan bersama, Sofi jadi syok.
"Terlambat lu, Bro!" kata Danan mengejek, sambil menepuk bahu Randu. "Saingan lo om-om gitu. Susah menang lah!"
"Eh, emang Pak Haris belum nikah ya?" celetuk Sofi kemudian. Maksudnya, memangnya istri Pak Haris nggak marah kalau melihat lelaki itu terlalu dekat dengan anak buahnya?
"Belum. Masih perjaka ting-ting doi," sahut Rahman, kolega Sofi, dosen Fakultas Farmasi juga. Membuat Sofi dan Danan makin kaget.
"Emang yakin beliau masih perjaka, Pak?" tanya Danan yang jiwa kepo-nya terpelatuque.
"Yang jelas, beliau belum pernah nikah," jawab Rahman mantap.
"Serius? Belum pernah nikah? Bukan duda?" tanya Sofi makin kepo. "Bukannya Pak Haris tuh udah 46 tahun?"
Danan melirik Sofi.
"Tadi aku baca CV beliau pas jadi moderator sesi seminarnya kan," kata Sofi menjelaskan.
"Kirain," Danan menggerutu.
"Kirain apa?"
"Ya kan kamu selain punya kecenderungan naksir yang arab-arab, juga punya kecenderungan sama om-om."
"Insecure amat, Bang?" Sofi malah meledek.
"Ya gimana nggak insecure sih, lihat kamu tukeran nomer hape sama om-om, sampai hapal banget biodatanya. Apalagi ternyata si bapak masih single. Kan mengkhawatirkan," jawab Danan, manyun.
Sofi jadi geli melihat kelakuan Danan.
"Pak Rahman yakin Pak Haris belum nikah?" Danan masih penasaran tentang sosok Haris Hananjaya.
"Gosipnya sih dulu pernah gagal nikah. Abis itu Pak Haris nggak pernah dekat sama perempuan lagi," kata Rahman, menambahkan info menarik lainnya.
Randu selalu terkagum-kagum dengan kemampuan Rahman, dosennya saat kuliah dulu, untuk mendapatkan informasi dari mahasiswa maupun dari sosok-sosok penting di dunia farmasi Indonesia.
"Nah yang barusan tadi apa dong? Kenapa dia gandeng tangan Haiva?" tanya Randu kemudian.
Rahman menepuk bahu Randu prihatin. "Saya turut berduka, Randu."
Randu manyun karena alih-alih mendapat dukungan dari Rahman, malah mendapat bully-an. Apalagi kemudian Danan juga menertawakan nasibnya.
"Tapi mungkin Pak Haris udah anggap Haiva kayak anaknya aja kali ya?" celetuk Sofi. Satu-satunya orang yang masih memberi harapan pada Randu. "Haiva masih 25 tahunan gitu kan? Iya, pasti Pak Haris cuma anggap anak aja itu mah. Umur mereka jauh banget gitu. Kamu jangan patah semangat, Randu!"
Eh? Benar juga! Masih ada kemungkinan hubungan mereka hanya sekedar hubungan akrab bos dan anak buah saja kan? Atau seperti kata Bu Sofi, Pak Haris cuma anggap Haiva sebagai anak. Iya kan?, pikir Randu, mencoba menyemangati dirinya sendiri.
Setelah puas meledek Randu, Danan dan Sofi pamit pulang kepada Rahman dan Randu. Randu juga pamit pulang sih, tapi ia memarkirkan mobilnya di spot parkir yang berbeda dengan Danan, sehingga tidak keluar bersama dengan Sofi dan Randu.
Randu melihat Danan dan Sofi menjauh sambil bergenggaman tangan. Pemandangan itu memutar ingatannya kembali pada sepuluh tahun yang lalu, ketika ia pertama kali menyadari hubungan kedua orang itu dan membantu hubungan keduanya.
Pada awalnya, Danan hanyalah mahasiswa Sofi. Ketika kemudian mereka sama-sama menyadari perasaan mereka dan ingin bersama, banyak perbedaan dan tantangan yang menyulitkan hubungan mereka. Banyak upaya yang mereka lakukan, dan sejumlah orang terlibat di dalamnya, untuk membantu Sofi dan Danan bersatu. Salah satunya adalah Randu.
Pada awalnya, zat aktif obat dan bahan tambahan lainnya juga hanya berbentuk serbuk. Agar serbuk-serbuk itu bisa saling menyatu dan dapat dikempa menjadi sebuah tablet membutuhkan suatu eksipien yang disebut bahan pengikat atau binder.
Eksipien adalah bahan tambahan pada produk obat yang berfungsi untuk membentuk kualitas produk, menjaga stabilitas, meningkatkan efektivitas pengobatan. Tapi tidak memiliki efek farmakologis/pengobatan (menyembuhkan).
Jadi kalau dipikir-pikir, seperti itulah peran Randu dalam kisah cinta Danan-Sofi. Hanya sebagai eksipien. Sebagai binder/ pengikat, yang menjembatani dan membantu bersatunya kedua orang itu. Tapi tidak benar-benar memberi dampak utama pada hidup seseorang.
Ah, lagi-lagi dirinya hanya jadi "peran tambahan" dalam kisah cinta orang lain. Sampai kapan sih dirinya hanya sebagai eksipien? Sebagai peran tambahan? Kapan ya dirinya bisa jadi pemeran utama dalam kisah cintanya sendiri?
* * *
Nulis cerita Randu, tapi kangennya sama Pakde Haris. Aduh dasar aku, bucin Pak Haris!
Siapa yang sama spt saya? Baca cerita Randu, tapi malah kangen Pakde?
Yuk melipir dulu yok, nostalgia dg CERITA YANG TIDAK DIMULAI sambil nunggu update cerita ini.
Bagi pembaca FORMULASI RASA jadi seneng kan baca bab ini? Hehehe.
Kira-kira banyak yang berminat baca cerita tentang Randu ga ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top