CHAPTER 9 - KEPALA HARIMAU

Gentengan, Kecamatan Raga, Kabupaten Gandrung

Ada sebuah warung di dekat balai Desa Gentengan dimana warga biasa berkumpul untuk menonton televisi atau sekedar mencari teman dan secangkir kopi. Balai Desa Gentengan berada di pinggir jalan pantura, bersebelahan dengan gapura bertuliskan nama desa dan ucapan selamat datang. Satu-satunya tempat di Gentengan yang walaupun sudah malam, tapi masih ramai dan terang benderang.

Malam itu H. Karim dan Ki Rahwan sedang menikmati minuman hangatnya di warung tersebut. Duduk di antara kerumunan warga yang sedang asyik bermain kartu. Canda dan tawa terdengar bersahut-sahutan. Penuh keceriaan dan sangat lepas. H. Karim sempat heran bagaimana suasana itu bisa tercipta di antara isu pembunuhan yang merebak di desa.

Sudah lupakah mereka dengan kematian Kiai dan guru ngajinya? Pikir H. Karim. Perasaannya semakin tidak nyaman ketika menyadari ada seorang warga yang diam-diam memperhatikan dirinya dan juga Ki Rahwan. Orang itu duduk di atas motor yang diparkir di bawah tiang lampu.

Berdua dengan Ki Rahwan, H. Karim sedang memeriksa secarik kertas yang sudah lusuh karena berkali-kali diremas dan diratakan. Ada daftar nama di kertas itu, lima dari Sembilan nama sudah H. Karim coret. Tersisa empat nama lagi yang sejak tadi H. Karim perhatikan dengan serius.

"Menyerah saja. Kamu tidak akan dapat apa-apa dari keempat orang itu," Ki Rahwan menasehati.

"Saya dapat sesuatu dari kelima orang sebelumnya, jadi kenapa saya harus menyerah pada yang empat?"

"Karena empat orang itu sudah tidak lagi ada di desa. Lihat! Nama pertama belum kamu coret, tapi nama kedua dan ketiga sudah. Artinya, empat orang sisanya sudah pernah kamu cari, tapi mereka tidak tinggal di sini lagi. Karena itu kamu lompat ke nama berikutnya, begitu kan?"

Sialan, si tua ini cerdas juga.

"Karena itu, setelah ini kamu berkemas saja. Kita pulang ke Patokan besok pagi."

"Saya tidak akan pulang sebelum menemukan pembunuh Kiai Sahrul!"

H. Karim berteriak terlalu lantang. Suaranya mengalahkan televisi warung yang volumenya sudah rata kanan. Tidak hanya itu, kali ini semua warga yang ada di tempat itu memandang H. Karim. Mereka tidak mau memalingkan tatapan sinis itu, sampai akhirnya Ki Rahwan meminta maaf.

"Maaf, murid saya memang bodoh.Sejak kepalanya terbentur pohon kelapa, dia jadi sering teriak sendiri."

Tidak adakah alasan yang lebih bagus? H. Karim kesal.

"Sampean berdua, sepertinya bukan dari Gentengan, benar?" Tanya salah seorang warga yang di lengannya ada tato kepala macan.

"Benar, kami dari Sumbergede. Saya Rahwan, dan ini murid saya, Karim."

RAHWAN DAN KARIM?

Laki-laki bertato itu kelihatan sangat terkejut. Dia berusaha bersikap normal, tapi enam orang lainnya tidak.

"Karim dan Rahwan dari Sumbergede?"

Bisik beberapa warga seolah mereka kenal atau pernah mendengar nama itu. Ki Rahwan tidak mengerti maksud dari reaksi orang-orang itu, tapi sudah jelas bahwa H. Karim dan Ki Rahwan bukanlah orang asing bagi mereka. Tidak lama kemudian, warga yang sejak tadi asyik bermain kartu mulai bubar satu persatu. Tidak ada inisiatif dari salah satunya, mereka bubar seolah memang sudah seharusnya. Mungkin karena waktu, atau mungkin ada seseorang di warung yang ingin mereka hindari.

"Ada apa, Karim? Kenapa wajahmu itu?" Tanya Ki Rahwan, melihat tatapan tajam H. Karim pada warga Gentengan yang kini pergi dari warung.

"Entah ini hanya perasaan saya saja, atau... saya pernah melihat tato itu di suatu tempat. Lagipula logat mereka terasa sangat familiar."

"Benarkah? Saya tidak memperhatikannya."

"Habiskan kopi sampean, kita kembali ke rumah."

Ujar H. Karim

***

Ki Rahwan tidak suka diperintah oleh orang yang lebih muda. Alih-alih menghabiskan, kopinya justru dibawa pulang lengkap bersama cangkirnya. Pantas jika sepanjang jalan H. Karim menggerutu.

"Sekarang saya percaya kalau tabiat Salehudin itu menular. Semua yang dekat atau berguru padanya pasti jadi gila .Ya, seperti sampean ini!" Kata H. Karim kesal.

Ki Rahwan tertawa dengan secangkir kopi di tangan yang nyaris tumpah karena diminum sambil jalan.

"Kamu tahu Karim, diantara kita berdua, justru kamu lah yang lebih mirip Kak Tuan. Maksud saya, sebelum Salehudin dikenal sebagai pembuat layangan, dia adalah sosok arogan yang tidak pernah mau mengalah, dan pantang mengasihi musuhnya. Beruntunglah ia ada di pihak kita. Kak Tuan adalah sahabat yang baik, tapi dia satu-satunya orang yang tidak kamu harapkan untuk jadi musuh. "

"Saya sudah sering mendengar tentang itu. Sial! Kapan orang-orang akan berhenti menceritakannya pada saya?"

"Saya tidak akan berhenti mengingatkan kamu untuk tidak larut dalam dendam. Saya mengerti Kiai Sahrul adalah gurumu. Satu-satunya orang yang sebanding dengan Kak Tuan. Orang-orang dulu bilang, Banyusirih punya Salehudin, Raga punya Sahrul Ibad. Tapi tidakkah kamu sadar bahwa mereka sudah berubah--Jaman sudah berubah. Lalu, kenapa kamu masih bersikap seolah-olah kita sedang dalam peperangan?"

"Ki Rahwan, sesungguhnya kita memang sedang berperang."

H. Karim menghentikan langkahnya, menghadang Ki Rahwan dengan tangan kanan hingga cangkir kopinya jatuh ke tanah. Jalan yang selanjutnya mereka lalui adalah gang gelap yang diapit oleh dua kebun mangga, berbatas pagar kayu tinggi. Hanya melalui jalan sempit itulah mereka bisa kembali ke rumah tempat mereka menginap.

"Jadi, kita dihadang?" Tanya Ki Rahwan. Wajahnya sudah siaga.

"Tidak hanya itu, kita juga diikuti." Jawab H. Karim, dan ternyata benar. Selain dua orang misterius yang berdiri di depan mereka; di dalam gelapnya gang, di belakang H. Karim dan Ki Rahwan juga muncul dua orang dengan senjata tajam yang sudah tidak bersarung.

"Kita kalah jumlah, Karim. Sebaiknya kita mundur. Kita bisa sampai di rumah jika memotong jalur lewat kebun mangga, dan minta bantuan pada—Dasar gila!"

H. Karim sudah berlari maju; mendekati dua orang yang menghadangnya di depan. Si jangkung dan si pendek. Sementara Ki Rahwan dibiarkan tepuk jidad tanpa peduli ancaman di belakang.

H. Karim melewati sabetan golok dari lawannya yang bertubuh jangkung dengan menunduk tanpa mengurangi kecepatan lari. Targetnya adalah pria yang satu lagi; yang bertubuh pendek dan kali ini sudah siap menebas lengan H. Karim. H. Karim memutar kaki kanannya ke kiri, hingga tubuhnya miring dan membiarkan golok si pendek lewat di depan dadanya. Dalam kuda-kuda yang sama, H. Karim segera merunduk untuk menghindari serangan susulan. Sebuah sabetan lebar menyamping dari si pendek yang lagi-lagi berakhir sia-sia. Merasa menemukan celah, si jangkung pun maju. H. Karim yang masih merunduk langsung menahannya dengan tendangan ke arah perut—membuat si jangkung mundur beberapa langkah--disusul dengan lompatan kodok ke arah depan untuk menghindari serangan si pendek.

Sekarang kedua lawan H. Karim berada di depan. Jawara Sumbergede itu berjalan memutar mencari posisi yang menguntungkan untuk satu lawan dua.

Saya harus mencegah serangan dari belakang.

Kali ini posisi H. Karim berada di depan deretan pagar kayu. Sebuah pilihan yang beresiko karena ia jadi tidak bisa mundur. Sesuai dugaannya, si jangkung dan si pendek menyerang bersamaan.Itu membuat kesempatan menghindar menjadi semakin sempit. Tapi di saat yang bersamaan, serangan musuh jadi tidak efektif karena takut mengenai satu sama lain. H. Karim maju selangkah ke dalam kuda-kuda si jangkung, memanfaatkan jangkauan tangan si jangkung yang jauh dengan menyerang dari jarak yang sangat dekat.

Dengan kedua tangannya, H. Karim menangkap pergelangan tangan si jangkung, dan mengarahkan senjata tajam itu ke arah berlawanan dengan memanfaatkan tenaga lawan. Terdengar bunyi golok saling beradu, dan berakhir dengan bunyi benda tajam menusuk tanah. Rupanya golok si pendek terhempas oleh senjata rekannya sendiri, dan itu semua sudah diperkirakan H. Karim. Untuk kedua kalinya perut si pendek di terjang di titik yang sama, membuatnya mual dan lagi-lagi mundur. H. Karim melepas cengraman tangannya pada si jangkung yang mulai berontak. Lalu si jangkung mengayunkan goloknya ke dada H. Karim yang nyaris robek, jika saja ia tidak mundur.

Saya tidak bisa terus menghindar.

H. Karim benar. Jika beradu stamina, pada akhirnya dirinya yang akan kalah. Digiringnya si jangkung ke arah yang H. Karim mau, dengan terus menghindari tebasan demi tebasan, hingga akhirnya si jangkung tertawa melihat H. Karim terdesak di pagar kayu, lalu H. Karim tertawa karena selanjutnya senjata Si jangkung yang menancap dalam ke pagar kayu. Satu centimeter di samping kepala H. Karim yang sengaja miring.

Meremehkan kakek-kakek, heh?

Akhirnya kedua tangan kakek itu melesat dari dua arah berbeda, dan mendarat di kepala yang sama. H. Karim memukul kedua telinga si jangkung dengan sisi telapak tangannya, membuat lawannya memejamkan mata karena telinganya berdengung keras dan perlahan-lahan keseimbangannya hilang. Golok yang menancap di pagar kayu tidak lagi dipedulikan, diserangnya H. Karim dengan tangan kosong dan hasilnya pun kosong. H. Karim masuk dari bawah lengan si jangkung, dan kali ini berdiri di belakangnya. Lagi-lagi kedua tangan H. Karim melakukan serangan yang sama, bedanya kali ini mendarat di tulang pinggang si jangkung, membuat si jangkung berteriak ngilu.

Dalam kondisi seperti itu, sebuah pukulan memutar dilayangkan pada H. Karim yang lagi-lagi menunduk dan mengirimkan tinju dari bawah tepat ke rahang si jangkung. Tubuh tinggi lawanya lunglai, tapi tangan H. Karim menahannya agar tetap berdiri.

Terakhir, si pendek yang merasa sudah pulih dari tendangan kedua tadi, kembali menyerang dengan sisa-sisa sakit di perutnya, dan lagi-lagi ujung sandal kayu H. Karim menusuk perut si pendek yang masih memar. Mengalami tiga kali serangan akurat di satu titik, membuat si pendek pingsan seketika. Sama seperti si jangkung, tubuh si pendek masih berdiri ditahan oleh kaki H. Karim. Dan setelah beberapa detik tidak ada gerakan dari lawan, H. Karim melepas tangan dan Kakinya dari tubuh lawan, membuat keduanya ambruk ke tanah dalam posisi tengkurap secara bersamaan.

Sekarang tinggal membantu Ki Rahwan. Pikir H. Karim penuh keyakinan dan sumringah karena menang pertarungan.

"Lama sekali?"

Ledek Ki Rahwan yang sudah duduk di atas kedua tubuh lawannya yang sudah hilang kesadaran.

Ya Tuhan, cepat cabut nyawa kakek menyebalkan ini.

Gerutu H. Karim antara sebal, kecewa, dan benci karena kalah pada orang yang lebih tua.

H. Karim menarik tubuh si pendek dan si jangkung, mengumpulkannya dengan dua rekannya yang sudah lebih dulu sekarat.

"Harusnya kita sisakan satu untuk diinterogasi." Kata Ki Rahwan.

H. Karim memeriksa lengan si jangkung. Ada tato kepala harimau di sana, itu artinya si jangkung adalah orang yang ditemui H. Karim di warung tadi. Melihat keempat lawannya dari jarak yang dekat, membuat H. Karim menyadari sesuatu.

"Saya pernah bertemu orang-orang ini. Wajah mereka benar-benar tidak asing."

"Mungkin kamu sering berpapasan dengan mereka selama di sini." Sahut Ki Rahwan.

"Tidak, bukan di sini—ah, ya!Saya ingat. Mereka...."

MEREKA ORANG BANYUSIRIH

Satu persatu tubuh preman desa itu diperiksa, untuk mendukung dugannya barusan hingga H. Karim menemukan sebuah dompet yang di dalamnya berisi secarik kertas.

"Tidak ada kartu tanda pengenal, tidak ada uang..."

"Hahahaha dasar miskin," Kata Ki Rahwan dengan tawa yang gugup.

Mencurigakan Pikir H. Karim sambil melihat gelagat Ki Rahwan.

BERHENTI!

Tiba-tiba sekelompok aparat desa datang. Mereka dipimpin oleh seorang pria yang tidak asing bagi H. Karim. Itu Kepala Desa Gentengan, Bisik H. Karim pada Ki Rahwan. Kepala Desa menghampiri H. Karim dan Ki Rahwan, sementara anak buahnya mengurus empat orang preman tadi.

"Assalamualaikum, Ustad Karim."

"Waalaikumsalam."

"Saya mendapat kabar dari warga, bahwa ada perkelahian di sini. Seperti yang sampean tahu, kondisi gentengan saat ini sering dimanfaatkan oleh para perampok dan preman. Sebagai Kepala Desa, Saya minta maaf. Kami janji akan mengurus empat orang ini dengan pantas."

"Silahkan," Jawab H. Karim dingin.

Selanjutnya, rombongan itu pergi. Mereka seperti petugas kebersihan yang datang saat ada sampah berserakan. Merasa tidak ada urusan lagi, H. Karim dan Ki Rahwan pulang ke penginapan mereka.

"Jadi bagaimana?" Tanya Ki Rahwan.

"Empat orang itu adalah warga Tambangan. Mereka pernah terlibat perkelahian dengan karyawan pabrik tebu , kemudian dalang dari kerusuhan di acara pengajian Kiai Ilyas dua tahun lalu. Karena itu saya ingat wajah dan tatonya. Setahu saya, semua yang terlibat di kerusuhan itu sudah dipenjarakan. Sejak kapan mereka bebas, dan apa yang sedang mereka lakukan di Gentengan?"

"Tambangan, ya? Desa yang mayoritas penduduknya adalah mantan kriminal. Dipimpin oleh seorang ustadz yang sejak awal tidak pernah sejalan dengan Sokogede—tidak, orang-orang tambangan tidak pernah sejalan dengan keputusan ulama-ulama di Patokan. Entahlah, mereka seperti punya dunianya sendiri."

H. Karim berhenti di bawah lampu jalan. Ia memeriksa secarik kertas yang didapatnya dari dompet si tato harimau.

"Karim?" Ki Rahwan mencoba mencairkan kebekuan H. Karim.

"Ada daftar nama orang di kertas ini, dan empat di antaranya adalah orang yang tidak bisa saya temukan itu."

"Maksudnya, empat orang yang sedang kamu cari, ada di daftar itu juga?" Tanya Ki Rahwan.

"Ya, hanya saja. Nama-nama mereka seperti ditandai. Dicoret seolah-olah--Tidak! Semoga saya salah."

"Sebenarnya siapa empat orang yang kamu cari itu?"

"Mereka adalah murid-murid Kiai Sahrul. Teman satu padepokan saya dulu. Sekarang menjadi guru di madrasah, ada yang menjadi tabib, penasehat spiritual dan lain-lain. Saya sempat heran kenapa mereka tidak hadir ke pemakaman Kiai Sahrul, dan setelah melihat kertas ini... saya jadi punya tebakan. Tebakan yang saya harap salah."

"Kamu mau bilang kalau empat orang ini, termasuk Kiai Sahrul dibunuh oleh preman-preman barusan? Mustahil. Mereka bukan tandingan Kiai Sahrul."

"Tentu tidak. Tidak ada nama Kiai Sahrul di catatan mereka. Lagipula sampean lihat sendiri foto TKP pembunuhan Kiai Sahrul. Rapi, bersih, sangat tidak mungkin dilakukan preman yang tidak punya disiplin beladiri seperti tadi."

"Jadi, kesimpulannya?"

H. Karim meremas kertas milik pria bertato tadi, lalu memasukkannya ke dalam kantong celana. Lagi-lagi wajahnya tegang seolah perang gelombang kedua akan segera datang. Pada sebuah pohon mangga besar, di kebun sebelah kanan, pandangan H. Karim melekat. Di dalam kegelapan itu, seseorang sedang memperhatikan. Dalam diam. Dalam dendam.

"Ada orang lain; selain empat preman tadi yang beroperasi di balik bayang-bayang. Pembunuh yang berpengalaman yang targetnya adalah Kiai dan tokoh agama berlatar belakang pendekar atau ahli beladiri. Sedangkan Empat preman tadi dikirim untuk menghabisi sisanya."

"Dikirim? Oleh siapa?"

"Saya juga ingin tahu jawabannya." Sahut H. Karim mantap. Bersamaan dengan itu, orang di balik pohon mangga itu hilang. Benar-benar hilang. 

"Kita kembali ke Sumbergede malam ini juga. Ada sesuatu yang saya khawatirkan."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top