CHAPTER 8 - SANTET

Desa Sumbergede, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan

Dua jam berlalu. Sekitar pukul 9 malam, empat orang warga sedang duduk bersila di atas tanah beralaskan Koran bekas. Keempatnya saling pandang tapi tak saling bicara. Dua gelas kopi tersedia, sepiring pisang goreng juga tersedia, tapi bagaimana itu akan terasa nikmat, jika malam ini mereka laksana piknik di tengah kuburan. Keempat orang itu adalah Bowo, Daud, Miskil, dan seorang penjaga makam bernama Sukur.

Ada bunyi jangkrik yang mengisi kekosongan itu.Sampai salah satu dari mereka merasa gatal dan akhirnya buka suara.

"Serius. Jelaskan sama saya, kenapa kita harus menjaga kuburan Lindung? Kenapa?" Bowo memulai.

"Jelaskan juga sama saya, kenapa saat desa lain siaga demi Kiai dan keluarga, kita justru siaga menjaga kuburan?" Daud menambah.

"Sekalian juga jelaskan sama saya, kenapa hanya saya yang bertugas menyediakan kopi dan makanan, kenapa kalian tidak ikut menyumbang?" Miskil memanas.

Setelah tiga orang itu meledak-ledak keluh kesahnya, orang keempat hanya diam mengunyah pisang goreng dinginnya.

"Kalau saya juga bertanya, siapa yang akan menjawab?" Sukur memotong rantai pertanyaan.

"Jangan sok santai gitu, Kur! Ini gara-gara keteledoran sampean, makanya Pak Kades mengirim kami ke sini!"

"Benar! Kalau saja waktu itu sampean tidak nonton orkes dangdut, kuburan Almarhum Amri tidak mungkin ada yang bongkar."

Merasa dipojokkan, si penjaga makam membalas dengan meludahi semua pisang goreng yang ada. Membuat suasana kuburan Lindung semakin gaduh.Beruntung penghuninya tidak ada yang bangun dan menegur mereka karena tidak bisa tidur.

"Sudah baca Koran hari ini?" Tanya Daud setelah suasana kembali tenang.

"Iya. Selain berita tentang pembunuhan di Gandrung dan Lindung, tragedi di lapangan Kalakan juga masuk kolom utama tuh.'Biduan Dangdut dibunuh dengan kejam di atas panggung. Pelakunya ternyata mantan suami yang sempat mendekam di penjara selama bertahun-tahun.' Begitu," Tutur Bowo.

"Itu kejadian sudah kemarin kan? Kenapa baru masuk berita koran hari ini?"

"Lah, kemarin sudah muncul di koran kok. Cuma ketutup isu yang sedang tenar. Jangankan berita di kampung kecil seperti ini, Teka Teki Silang saja jadi tidak laku karena berita pembunuhan itu."

"Kenapa Jawa Timur jadi rusuh begini, ya?"

"Saya tidak tahu. Saya terus berdoa agar kerusuhan ini tidak sampai ke Sumbergede. Setelah korban pertama di Gandrung kemarin, semua keluarga saya mengungsi ke sini." Ujar Bowo.

"Kamu asli Gandrung wo?"

"Tulen! Saya mondok di Sumbergede sejak Tsanawiyah*, terus lulus, menikah dan menentap di sini. Semua itu berkat bantuan Almarhum Cak Amri. Beliau yang memberi modal nikah, dan mencarikan tempat tinggal. Makanya saya geram ketika mendengar makam beliau diacak-acak orang tidak bertanggung jawab," Tutur Bowo.
*) Madrasah sederajat SMP

"Mungkinkah ini semua benar-benar ulah tukang santet? Maksud saya, mereka melakukan ini sebagai syarat atau tumbal untuk ilmu hitamnya." Gumam Sukur.

"Atau sekedar pengalihan isu? Jadi, kita dibuat sibuk dengan kasus bongkar makam ini sementara di luar sana pembunuh berantai itu beraksi dengan bebas." Ujar Daud dengan pemikiran cerdasnya.

"Atau semua ini saling berkaitan?" Celetuk Bowo.

"Maksudnya?"

"Entahlah, mungkin ada benang merah yang menghubungkan kasus bongkar makam dengan pembunuhan para Kiai dan Guru ngaji. Karena satu minggu sebelum Gentengan memasuki pekan-pekan rusuh, sempat terjadi pencurian ternak-ternak yang anehnya tidak dijual. Ternak itu dimakan mentah-mentah dan sisanya dibuang ke hutan. Mungkin memang berbeda, tapi setelah mendengar cerita saya barusan, saya yakin sampean-sampean setuju kalau pencurian ternak dan bongkar makam ini sekilas mirip. Berbeda cara, tapi untuk tujuan yang sama."

Keempat orang itu berpikir keras. Diskusi terbuka seperti ini jarang mereka lakukan, setidaknya sebelum reformasi diserukan. Tapi tahun sembilan puluh sudah banyak orang pintar, mereka sudah mengerti mana hitam dan mana putih. Hanya saja banyak yang diam. Karena walaupun mereka memilih putih, ada merah yang menunggu di balik kesosongan itu. Merah yang mencuci mereka bersih, dan membuangya pada hitam. Menelan mereka utuh, lalu kemudian hilang.

Sukur selaku penjaga makam merasa bahwa suasana ini sudah terlalu murung. Mereka sudah ada di kuburan, untuk apa menambah gelapnya pikiran.

"Tenang saja. Sumbergede ibarat sebuah benteng yang sulit ditembus. Kiai-Kiai kita adalah keturunan pendekar, pejuang, pahlawan yang berjasa mengusir penjajah. Butuh lebih dari sekedar pembunuh bayaran untuk membuat Sumbergede gentar. Butuh dari sekedar tukang santet untuk mencelakai orang yang dilindungi malaikat."

Sebuah keyakinan yang besar dari mulut orang kecil. Tidak ada yang salah dengan optimis, tapi percaya diri yang berlebihan sama saja menggali kecewa yang dalam. Tinggal menunggu jatuh. Lumpuh. Lalu, butuh waktu lama untuk kembali bangkit.

Malam itu, petugas jaga makam tidak hanya ditempatkan di kuburan Lindung. Beberapa makam kecil di Sumbergede juga dijaga ketat, terutama makam yang sebelumnya pernah terjadi pembongkaran. Banyak cerita seram yang muncul dari keluarga korban. Banyak pula pengakuan tetangga melihat arwah gentayangan korban menangis seolah minta pertolongan.

Cerita itu; walau diragukan kebenarannya, sempat didiskusikan dengan Kiai Mahrum tadi sore. Saat Kiai dari Leduk itu berkunjung ke Sumbergede. Sebagai orang dengan pengalaman tinggal di daerah kuburan selama bertahun-tahun, pendapatnya justru membuat warga terkejut. Kiai Mahrum dengan tegas berkata...

"Jangan percaya! Cerita tentang hantu, santet, ilmu hitam, semua itu palsu. Berhenti mencemarkan nama baik orang yang sudah meninggal, dengan cerita palsu yang menyesatkan! Tegas Kiai Mahrum kala itu. Bowo ada di antara kerumunan warga. Ia tahu betul bagaimana Kiai Mahrum menegaskan pendapatnya melalui pengeras suara, dan dalam hitungan detik, semua warga yang resah hanya mengangguk patuh seperti anak bebek. Pengaruh yang besar dari seorang Kiai.

Lain di hadapan warga, lain pula di hadapan para Kiai. Saat aparat desa sudah pulang, dan keramaian warga sudah bubar, termasuk Bowo. Dengan bisik-bisik, Kiai Mahrum berpesan pada Kiai Ilyas.

"Bukan pembongkaran makam ini yang saya takutkan, tapi badai yang akan datang kemudian. Saya harap, Kiai tetap waspada.

Badai yang dimaksud Kiai Mahrum memang belum datang, tapi angin yang berhembus dari desa-desa sekitar sudah memberi tanda. Membawa hawa yang dingin, dan bau darah yang amis. Tertutupi oleh isu pembongkar makam, diremehkan karena dinding-dinding yang besar, hingga di tanpa Sumbergede sadari, mereka terlalu banyak berkumpul menjaga yang mati, hingga yang hidup terlantar seorang diri.

"Saya pipis dulu," Kata Miskil. Rupanya percakapan mereka barusan sudah memompa kantung kemihnya. Jika dibiarkan beberapa menit lagi, Miskil bisa pipis di sarung. Disusul ledekan selama berbulan-bulan yang harus Ia tanggung.

Ada banyak tempat buang air kecil di sana, tanpa malu dan takut dilihat orang. Lima puluh meter dari kuburan Lindung saja sudah sangat gelap, buang air besarpun tidak akan kelihatan. Kecuali baunya yang memang tidak bisa dihadang. Akhirnya, Miskil memilih buang air kecil di pagar kayu yang mengeliingi Tanah pemakaman. Agak jauh ke selatan dimana teman-temannya tidak bisa melihat.

Terbayang cerita mengerikan orang-orang yang lewat di kuburan Lindung tengah malam. Tentang hantu perempuan yang sering tampak bersenandung duduk di atas batu nisan. Cerita itu amat populer di tahun delapan puluhan, lalu memudar dan hanya jadi mitos di tahun sembilan puluhan. Membayangkan bahwa dirinya berada dekat dengan sumber mitos itu, membuat air seninya semakin deras dan tak terkendali.

"Asem, lah. Belepotan lagi."

KRESEK

Akhirnya dimulai. Suara-suara aneh yang selalu jadi pembuka adegan-adegan seram. Miskil bersih-bersih seadanya. Tiada air dan kain, daunpun jadi. Ia ingin cepat bergabung dengan temannya, karena suara yang didengar barusan pun semakin cepat mendekatinya. Semak-semak di balik pagar bergerak-gerak. Tidak hanya di akar, tapi juga pucuknya. Pertanda apapun yang ada di balik kegelapan itu, memiliki tinggi layaknya manusia.

Bukan hantu, kan? Tolong jangan hantu. Kucing saja.

Terciptalah keheningan mutlak, dimana pendengaran manusia meningkat tajam terutama bagi mereka yang sedang siaga. Miskil mendengar suara nafas dari balik semak-semak, yang membuatnya yakin bahwa di balik itu adalah manusia. Mengingat tugasnya malam ini adalah mengantisipasi pembongkaran makam, Miskil tidak akan melewatkan kesempatan menjadi pahlawan.

Ternyata tebakannya benar. Seseorang sedang duduk bersandar pada sebuah batu di balik tumbuhan lebat yang menjalar di sepanjang pagar. Orang itu berpakaian serba hitam, dari baju,celana, hingga kain penutup wajah. Caranya bernafas menunjukkan bahwa kondisinya sangat kelelahan, seperti baru dikejar setan. Sedangkan di bahu kanannya ada noda darah. Darahnya sendiri.

Tidak salah lagi, aku sudah keluar dari Leduk. Suara istighosah ini hanya terdengar di masjid Sumbergede. Ah, sedikit lagi aku sampai.

Orang misterius itu mencoba berdiri kembali dengan sebuah tongkat sebagai tumpuannya. Tapi saat kedua kakinya sudah sejajar di tanah, ia justru tidak bisa kemana-mana.

"Diam di tempat. Atau kamu saya tebas."

Kata Sukur si penjaga makam yang saat ini sedang menghunus pisau ke wajah lawan bicaranya. Mata orang misterius itu terpejam karena silau oleh cahaya lampu senter. Tiga petugas jaga lainnya pun ikut mengepung. Mereka segera tanggap ketika Miskil yang tadi pamit buang air kecil, tiba-tiba kembali membawa kabar besar.

"Ternyata benar, ada orang aneh di sini," Kata Miskil

Merasa terpojok, orang misterius itu melepas tongkat yang ternyata adalah sebuah pedang panjang dengan sarung berlapis kain lusuh. Tidak hanya itu, ia juga melepas penutup wajahnya hingga keempat petugas dapat melihat dengan jelas wajah orang itu.

"Kamu, kenal?" Tanya Sukur.

"Tidak, wajahnya asing bagi saya, padahal profesi sehari-hari saya adalah tukang sayur dan sering keliling kampung." Jawab Miskil


"Hati-hati, sepertinya dia bukan orang sembarangan? Sebaiknya kalian amankan pedangnya." Seru Bowo.

Para petugas berhasil membekuk orang tersebut dan membawanya ke kuburan Lindung. Tanpa perlawanan, dengan senyum kemanangan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top