CHAPTER 60 - YANG MEREKA PERJUANGKAN


EPILOG

Meja makan yang kosong. Hanya ada Pak Saleh yang bengong. Mulutnya komat-kamit seperti merapalkan sesuatu, dan Fatah hanya menyaksikannya dalam bisu.

Kakek bertindak aneh sekali sejak selesai acara 100 hari abah.

"Kek, tinggallah di sini! Biar tidak capek kalau harus bolak-balik ke rumah. Lagian di sana juga tidak ada yang merawat kakek."

Pak Saleh hanya menjawab dengan senyuman. Mulutnya masih sibuk komat-kamit.

"Kakek bisa pakai kamar Abah. Sekarang sudah aman. Polisi tidak mungkin lagi ke sini untuk tanya –tanya. Kakek benci ditanya-tanyain, kan?"

Fatah menghampiri kakeknya.

"Fatah, apa kah kakek ini orang baik?" tanya Pak Saleh. Suaranya kecil sekali.

"Ya, baik, meskipun menyebalkan."

"Hahahaha, Karim juga bilang begitu."

"Semua orang bilang begitu."

Pak Saleh menyandarkan bahu, lalu menengadah ke langit-langit.

"Aku bahagia. Aku rindu Abah dan Nenekmu."

"Fatah juga kangen sama Abah. Masih butuh banyak bimbingan darinya. Sekarang, tugas Fatah adalah merawat kakek. Abah pernah bilang, kalau dia tidak akan tua sebelum kakek bahagia. Kakek tidak pernah bilang kalau kakek bahagia. Kakek selalu memikirkan..."

Fatah tertegun.

"Kakek?"

Ia menghampiri Pak Saleh yang rupanya sudah memejamkan mata. Masih Fatah lihat komat-kamit terakhir di bibir Pak Saleh yang ternyata sedang mengucapkan syahadat. Setelah itu, Pak Saleh benar-benar diam.

"Fatah tidak akan memaafkan Kakek, kalau pura-pura mati lagi!"

Jika memang bercanda, maka kali ini Pak Saleh sangat tidak lucu.

"Kek?"

Fatah memerhatikan wajah lelah Pak Saleh. Ada damai di wajah dengan kulit mengkerut itu. Tidak tersenyum, tapi Fatah bisa merasakan kebahagiaan. Rindunya pada anak dan istri sedang dalam perjalanan, dan tugas Fatah adalah mendoakan agar mereka benar-benar berkumpul di suatu tempat.

"Kakek benar-benar pergi?"

Fatah memeluk Pak Saleh sambil menangis, lalu dengan lembut berbisik.

"Innalillahi wa innailaihi rajiun"

***

Jakarta 1999

Untuk kesekian kalinya, Mira harus memasang badan demi melindungi Suci. Kali ini ada dua orang pemuda yang memberanikan diri untuk menghadang Mira dan Suci sepulang dari pasar. Pemuda itu sepertinya sangat ketakutan. Salah satunya bahkan sudah kabur duluan. Tingga si jangkung berambut ikal yang nekat menghampiri Mira sambil menyodorkan sebuah amplop.

"Letakkan di tanah, atau lehermu ku patahkan!" ancam Mira.

Pemuda itu meletakkan amplop berwarna ungu muda di tanah, lalu lari terbirit-birit.

"Kamu berlebihan banget!" tegur Suci.

"Kalau tidak begitu, nanti kejadiannya seperti kemarin, sampai ada yang berani menyentuh tanganmu," sahut Mira.

Suci mengambil amplop yang ditinggalkan pemuda tadi, lalu membuka isinya.

"Eh, ini surat cinta," kata Suci.

"Sudah jelas, kan." Mira menenteng barang belanjaannya, sambil berjalan duluan.

"Tapi ini buat kamu, Mira, bukan buat aku!"

Mira nyaris tersedak permen karet yang didapatnya sebagai kembalian, dan dikunyahnya sejak dari pasar.

"Sinting itu orang!"

"Lho, wajar, kan?"

"Wajar bagimu, nggak buatku!" Lagi-lagi Mira melengos, meninggalkan Suci.

Suci mengehela napas. Mira tidak akan dapat pacar dengan sifat seperti itu. Namun, Suci bisa memaklumi. Sejak dulu, Mira tidak pernah percaya diri dengan wajahnya yang cacat. Mira pernah terserang penyakit kulit langka ketika masih kecil, dan bekasnya tidak bisa hilang sampai ia dewasa. Karena itu, Mira selalu menutupi separuh wajahnya dengan rambut, dan bertindak sok tomboy sebagai penghakiman pribadi.

Mereka sampai di sebuah rumah yang lumayan besar. Perhatian Suci langsung tertuju pada sebuah mobil yang parkir di halaman.

"Sepertinya ada tamu," gumam Suci.

"Mungkin pasien," sahut Mira.

Begitu mereka membuka pintu, Ayu langsung menyambut keduanya dengan antusias.

"Mira, Suci, lihat siapa yang datang!" seru Ayu sambil menujuk seorang tamu yang sedang duduk di sofa.

"Aluf?"

"Halo," sapa Aluf.

Suci berlari memeluk Aluf. Gadis berkerudung itu kelihatan lelah sekali setelah perjalanan panjang.

"Apa kabar tuan putri," sapa Mira, sambil mengangkat kelima jarinya.

Aluf memberi tepukan keras ke tangan Mira. "Kabar baik," jawabnya.

Sekarang, baik Aluf dan Mira saling menahan sakit di telapak tangan, tapi saling malu mengakui.

Dokter Eva ke luar membawa nampan berisi makanan kering dan minuman dingin.

"Eh, kalian sudah ketemu?" Dokter Eva berbasa-basi.

Ayu membawa barang belanjaan ke dapur, sementara Suci dan Mira masih mengobrol dengan Aluf.

"Teman-teman yang lain bagaimana kabarnya?" tanya Aluf.

"Baik, kok. Iman kuliah, dan sibuk sebagai akitifis, apalagi sejak ada insiden penembakan mahasiswa itu. Dia jadi orang yang susah diajak ngobrol sekarang."

"Tamir?" tanya Aluf.

"Dia kerja di percetakan surat kabar," Mira bantu menjawab.

"Abdi dan Bakri masih menganggur. Mereka mau cari kerja di luar pulau. Sementara Yakin sudah tinggal dengan istrinya."

"Yakin menikah?" tanya Aluf seolah tak percaya.

"Iya, kami punya nasib masing-masing," celetuk Mira.

"Sepertinya sebentar lagi Mira bakal menyusul," Suci mengedipkan mata, lalu menghindari lemparan bantal Mira.

"Oh, ya, kabar kakek gimana?" tanya Ayu yang datang sambil membawa buku.

"Sehat. Dia menitipkan banyak sekali oleh-oleh."

"Alhamdulillah," ucap Ayu dan Suci serempak, kecuali Mira.

Dokter Eva bergabung dalam pecakapan. Ia memeluk Aluf dengan pelukan penuh kerinduan.

"Putri Pak Kiai ini sudah besar ternyata," goda dokter, "Jadi, apa tekadmu sudah bulat?"

"Ya," jawab Aluf.

"Tekad?" tanya Ayu.

"Ya, mulai sekarang, Aluf akan tinggal bersama kita. Dia mau melanjutkan pendidikannya ke jurusan kedokteran."

Akhirnya, ruang tamu itu ribut dengan ucapan selamat dan nostalgia khas perempuan.

***

Aluf berdiri di samping jendela, sambil menggendong anak dokter Eva yang masih bayi. Ia memandangi langit jakarta yang kusam, penuh misteri, entah hampir cerah, atau hampir hitam.

Kak Tuan. Aku tidak mungkin selamanya jadi pendekar. Saat Ki Rahwan dan Abah sekarat, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku juga tidak ada di samping Kak Tuan saat melawan para bajingan itu. Aku juga belum bisa mengalahkan Adam dan Ghazali.

Aku memutuskan untuk jadi dokter saja. Dengan begitu, aku bisa menjaga dan merawat orang-orang tua seperti Kak Tuan. Seperti Abah. Aku mungkin tidak pernah mengatakan ini, tapi... aku bangga jadi muridmu. Ah, sudah pergi sejauh ini, tapi aku masih merindukanmu. Semoga kau tetap tertawa seperti anak kecil di sana.

Selamat tinggal, dan terima kasih.

EKSEKUSI TAPAL KUDA

TIMUR TRILOGI #3

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top