CHAPTER 56 - PANAH DAN PELURU
Gusafar benci menyisakan makanan. Ia rajin menasihati monyet-monyetnya agar selalu menghabiskan jatah makan. Namun, sepuluh orang yang berhasil kabur dari hutan itu adalah sebuah kegagalan. Meski demikian, orang-orang itu juga tidak bisa dibilang beruntung. Mungkin luka cakar dan gigitan monyet tak seberapa dibanding luka sobek karena pedang, atau tulang hancur karena besi, tapi siapa yang bisa menjamin monyet-monyet tadi tidak membawa penyakit. Bisa jadi mereka sampai di rumah dengan selamat, tapi meninggal lima hari kemudian karena kejang-kejang.
Mereka tidak kabur sembarangan. Tujuan mereka telah tercapai, yakni keluar dari hutan. Benar prediksi mereka. Monyet-monyet itu berhenti mengejar tepat setelah barisan pohon terakhir hutan Sumbergede yang berbatasan dengan jalan besar. Hari belum terlalu larut. Masih lewat beberapa truk besar mengangkut hasil bumi dan bahan bangunan. Sepuluh orang itu terus menyusuri pinggiran jalan, mirip peserta lari maraton yang tertinggal rombongan. Bedanya, mereka berlari sambil menahan perih. Ada tanda cinta dari monyet Sumbergede yang membekaskan warna ungu dan mulai kehitaman.
Di pinggir jalan, di bawah pohon asam yang batangnya dicat putih dan hitam, sebuah truk sedang menunggu tumpangan. Pengemudinya sedang siaga sembari merokok. Melihat enam orang berlari kelimpungan menuju ke arahnya, sopir truk menarik sebilah parang dari samping kursi kemudi. Sekadar berjaga kalau yang datang bukanlah orang yang diharapkan.
"Long, misi gagal!" teriak Harun sambil menggedor pintu mobil.
"Gagal? Terus, Rodin?" tanya si sopir, gelagapan.
"Nanti saja bicaranya. Kita harus pergi sekarang."
Harun naik di depan, di samping sopir, sembilan temannya naik di belakang, pada bak truk yang sedang mengangkut panen kacang. Bak itu tertutup terpal. Sengaja disiapkan untuk mengantar dan menjemput para anggota.
"Berangkat!" Harun memberi perintah.
Mesin truk sudah menyala. Tiba-tiba mereka dikagetkan oleh suara letupan keras, yang berakhir dengan desis angin.
"Kenapa, Long?"
"Bannya, Bos," jawab sopir, panik.
Suara yang sama juga terdengar di belakang sebanyak tiga kali. Truk yang semula gagah dan siap berangkat, kini lumpuh dan jadi tak berguna.
"Anjing, cepat ke luar!" Seru Harun.
Harun dan sopir ke luar, tapi bukan untuk memeriksa. Mereka sadar ban kempes itu bukan sebuah kebetulan. Namun, begitu Harun menjejakkan kakinya di tanah, sebuah anak panah menancap di betisnya yang berbulu lebat.
"Kenapa, Bos?" tanya si sopir
"Kakiku," rintih Harun
Melihat kondisi harun, 9 orang yang baru turun dari truk, langsung kocar-kacir mencari persembunyian. Persetan dengan Harun.
Sementara itu, di balik bayang-bayang pepohonan, seseorang sudah bersiap membidik 10 buruannya.
Katanya yang akan kabur tidak akan lebih dari empat, tapi ini sepuluh orang. Katanya Karmapala Sakti, tapi kerjanya kok tidak benar.
Walaupun dalam hati menggerutu, tapi setiap anak panah yang dilepaskan kakek itu menancap tepat sesuai sasaran. Satu persatu kaki-kaki nakal berhasil dilumpuhkan. Tinggal tiga lagi yang sudah terlanjur jauh dari jangkauan panah, atau kakek itu saja yang kurang gesit. Namun, tiga orang sisanya pun tak berhasil lari terlalu jauh. Seorang pemain pendukung menghabisinya dari tempat persembunyian berbeda.
Sebuah mobil terpaksa berhenti saat mendapati banyak orang bergelimpangan di jalan. Ada juga yang merangkak ke pinggir.
Pak Busrowi ke luar dari persembunyiannya di bayang-bayang gelap pepohonan pinggir jalan. Jaraknya lumayan dekat, karena usia Pak Busrowi sudah tidak memungkinkan membidik dari jarak jauh. Lagipula, ia sudah lama tidak memanah manusia. Untung saja tidak meleset kena ke jantung. Menyusul di belakang Pak Busrowi, adalah lima orang warga Leduk yang dipimpin oleh Saripudin. Pak Busrowi bertugas melumpuhkan, Saripudin dan yang lain membersihkan.
"Cepat seret mereka sebelum polisi datang!" perintah Saripudin. "Anu, maaf, Pak. Kami sedang bersih-bersih. Maaf kalau mengganggu perjalanan anda," ucap Saripudin pada pengemudi mobil yang melongo seraya bertanya-tanya, ada kegilaan apakah di sana.
Tak berapa lama kemudian, sebuah pikap datang. Serupa yang digunakan Halim dan Masjo. Harun dan kawan-kawannya tidak banyak melawan ketika diangkut ke dalam pikap. Mereka sadar situasi. Truk mereka sudah tak mungkin berjalan lagi, dan di sana ada Pak Busrowi yang siaga dengan enam anak panah masih tersisa di pinggang. Selain itu, ada yang sangat Harun cemaskan. Roda truk tadi tidak mungkin kempes dengan sendirinya. Pandangan Harun menerawarang ke atas pepohonan sekitar, lalu turun ke semak-semak. Samar, tapi ia merasa sedang diawasi seseorang.
"Ada kabar dari Sokogede?" tanya Pak Busrowi.
"Entahlah. Orang bernama Gusafar hanya memberi tahu kaburnya orang-orang ini, setelah itu tidak ada kabar lagi," jawab Saripudin yang sudah siap di mobil.
Begitu komplotan Harun sudah diangkut semua, pikap itu langsung pergi mengantarkan kiriman untuk Ki Jalu.
"Sampean tidak ikut?" tanya Saripudin pada Pak Busrowi.
"Tidak. Tugas saya hanya sampai di sini."
"Baiklah. Yok, mangkat! Kita lewat jalur pengangkut tebu saja, biar tidak ketahuan Polisi."
Saripudin memberi aba-aba seolah dia yang membawa pikapnya, padahal hanya duduk di samping karena tidak tahu cara mengendarai mobil.
Jalanan itu sepi. Satu menit setelah pikap Saripudin tak terlihat lagi, hanya bus malam yang melintas, disusul dua mobil pribadi menuju ke timur. Di sebarang jalan, Pak Busrowi melihat seorang pria tengah berdiri sambil memikul sebuah tas panjang. Orang itu mengenakan kaus hitam tanpa lengan, dengan celana cokelat gelap, segelap kulitnya yang menyaingi bayangan hutan.
"Kalau kamu berdiri di situ, yang kelihatan cuma giginya saja," ledek Pak Busrowi. Ia menyeberangi jalan, menghampiri orang yang pernah ia kenal.
"Busur panah di 1998? Yang benar saja," ledek laki-laki itu.
"Panah ini sudah melumpuhkan 10 orang."
"Ya, itu tidak akan terjadi kalau saya tidak menghentikan truknya lebih dulu."
Keduanya beradu pandang, lalu berakhir saling menertawakan.
"Iman, atau Imam? Harus saya panggil apa kau sekarang?" Pak Busrowi menawari Pak Imam rokok. Mereka duduk di pagar batu pembatas jalan, seolah itu adalah tempat tongkrongan.
"Saya punya banyak nama. Panggil yang kamu suka saja."
"Iman saja. Nama itu saya berikan pada salah satu cucuku."
"Oh, ya?"
"Ya, Abdi juga."
"Ah," Pak Imam tergelak, tapi di salah satu tawanya itu, ada haru yang ikut berembus.
Mereka merokok seperti lupa akan kehidupan sebelumnya. Mereka pernah berada dalam jurang yang gelap. Pak Busrowi pernah berharap setengah mati untuk memanjat, mencari cahaya, tapi yang ia temukan di permukaan adalah gelap yang sama. Pak Imam pernah berjuang membersihkan diri. Menceburkan diri di masyarakat demi melunturkan hitam yang sudah menahun. Namun, akhirnya ia sadari bahwa, hitamnya hati tak bisa pudar hanya dengan sekali mandi.
Entah bagaimana mereka terjebak dalam kecanggungan. Baik Pak Busrowi dan Pak Imam tidak tahu apa yang harus mereka katakan. Rokok sudah hampir habis sebatang. Sebaiknya mereka segera mencari bahan obrolan.
"Saya tidak menyangka bakal ketemu kamu lagi. Saya pikir, kalian tidak akan bertahan lama di hutan itu," kata Pak Imam.
"Kamu benar. Kami tidak bertahan lama di sana. Saya kehilangan saudara, sahabat, murid, dan... sebuah kesempatan menjadi seorang ayah. Kematian mereka seolah jadi upacara penutup bagi Lawang Jerit."
"Masih digunakan?" tanya Pak Imam.
"Ya, tapi tidak seperti dulu. Lawang Jerit jadi kawasan yang diawasi langsung oleh aparat, agar tidak ada lagi yang masuk ke dalam."
"Atau tidak ada lagi yang ke luar," celetuk Pak Imam.
"Kalau itu, kamu yang lebih tahu. Oh, ya, apa rencanamu setelah ini?"
"Belum tahu. Mungkin pergi yang jauh. Tapi sebelum itu ...." Pak Imam melirik senjata miliknya, "Saya ingin pergi ke jurang itu lagi. Ada yang ingin saya buang."
"Air?" canda Pak Busrowi.
"Kesialan. Saya ingin buang kesialan yang mengikuti saya kemanapun saya pergi," jawab Pak Imam sambil tersenyum sayu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top