CHAPTER 55 - SENJATA TERBESAR
Penyerangan terhadap Kiai Fatah dan sejumlah petugas keamanan pesantren tersebar di kalangan para santri. Termasuk ke mana para penyerang itu kabur. Tentu saja para santri murka. Tanpa sempat berzikir, sehabis salat mereka langsung turun dari Masjid. Tak peduli sandal dan sajadahnya tertukar. Begitu gerbang halaman masjid dibuka, santri sudah menghambur ke luar sambil berteriak, menyerukan perang. Kendati demikian, hanya puluhan santri yang berhasil sampai di area pembuangan sampah. Jika tidak dihalau oleh para kepala asrama, mungkin yang datang bisa lebih dari seratus, atau bisa jadi seluruh santri di Sokogede.
Mbah Sopet ada di antara puluhan orang itu. Ia yang memimpin. Sesampainya di tempat pembuangan sampah, Mbah Sopet hanya mendapati tiga orang. Dua di antaranya sudah berbalur sampah, sementara satu orang masih berdiri gagah.
"Saleh?" Mbah Sopet memberi isyarat ke belakang agar para santri tidak mendekat.
Mbah Sopet menelaah situasi dan kondisi. Matanya langsung mengenali Rodin. Wajah itu sudah cukup melegakan, hingga tak peduli lagi pada orang satunya.
"Kakeh pergi tidak pamit, datang juga tidak memberi kabar," sindir Mbah Sopet.
"Bagaimana kabar Rahwan?" tanya Pak Saleh. Ia tidak berani mengangkat wajah. Pelan-pelan berpaling memunggungi Mbah Sopet.
Mbah Sopet yang biasanya tanggap dalam menjawab, tiba-tiba saja terdiam. Ada yang harus ia kumpulkan selain keberanian, yaitu penyesalan dan rasa bersalah.
"Dia sudah dibawa menggunakan ambulans."
"Hidup?" tanya Pak Saleh lagi.
"Aku tidak tahu."
"Kalau begitu, aku tahu," sahut Pak Saleh.
Pak Saleh melangkah pergi. Bagaimanapun ia berusaha untuk berdiri tegap, langkahnya tetap kelihatan sedikit lunglai.
Meskipun tertutup oleh baju hitam yang robek di sana-sini, serta serban merah yang melilit leher kurusnya, Mbah Sopet bisa melihat betapa banyaknya luka yang didera Pak Saleh. Luka akibat hari ini saja. Tidak termasuk luka lama yang belum sembuh sepenuhnya.
"Mau ke mana kakeh?"
"Mejemput seseorang."
"Siapa?"
MUSUH TERAKHIR
Darah Mbah Sopet berdesir. Jawaban Pak Saleh terlalu pasti untuk ukuran seorang Salehudin yang plin-plan dan jarang berpikir sebelum bertindak. Musuh terakhir yang Pak Saleh maksud, bisa jadi sama dengan yang Mbah Sopet pikirkan.
"Jangan-jangan...." Mbah Sopet melirik Rodin. "Tidak mungkin. Rodin bukan orang yang akan buka mulut meskipun diancam mati. Kecuali, Saleh berhasil menempeleng otaknya—Kalian, cepat bawa sampah-sampah ini!" Mbah Sopet memberi perintah.
Para santri mengerti sampah mana yang dimaksud. Mereka menggotong Rodin dan Broncong pergi dari tempat pembuangan sampah. Beberapa kali ada yang usil menjitak dan menjejealkan sampah ke mulut Rodin dan Broncong, sekadar pelampiasan dendam yang terlanjur lunas sebelum dibayar.
Pak Saleh sudah semakin tak terlihat ditelan gelapnya pintu masuk tempat pembuangan sampah yang memang minim penerangan. Dengan perasaan gelisah, Mbah Sopet mengeluarkan radio panggilnya.
"Jal, gimana kondisi di sana? Genteh!"
"Positif. Konspirasi daun kering, ternyata benar adanya. Ganti."
Mbah Sopet tidak terkejut. Selama ini, hasil penyelidikannya jarang sekali meleset. Hanya saja, untuk kali ini ia berharap salah. Pembuktian dari Jalu itu benar-benar membuatnya gamang.
"Kalau begitu, gawat, Jal," ucap Mbah Sopet, gemetar. "Jal?" tanyanya, karena Ki Jalu tidak menjawab.
"Kamu tidak bilang ganti, makanya tidak aku jawab."
"Genteh!"
"Gawat kenapa, Pet?"
"Sepertinya Saleh tahu tentang ini."
"APA?" dapat dibayangkan bagaimana terkejutnya Ki Jalu di ujung radio sana.
"Hubungi Gusafar. Kita susul Salehudin ke sana. Usahakan kalian sudah siap. Karena melawan orang terakhir ini, bisa menyebabkan kita mati muda."
***
Gudang tambak udang, Desa Leduk.
Ki Jalu menghampiri Man Rusli dan Mufin. Dua orang itu sedang tidak ingin banyak bicara setelah melihat aksi Ki Jalu yang bagi mereka, rasanya di luar nalar.
"Saya harus pergi sekarang. Oh, ya. Tentang apa yang orang ini katakan, tolong rahasiakan baik-baik. Tidak ada yang boleh tahu selain kita bertiga," tutur Ki Jalu.
Man Rusli dan Mufin mengangguk tanpa menjawab.
"Saya percaya sama kalian." Ki Jalu menepuk pundak Man Rusli dan Mufin, lalu pergi meninggalkan gudang.
Sepeninggal Ki Jalu, Man Rusli dan Mufin bingung akan diapakan keempat orang tawanan itu. Mereka seperti tidur, tapi masih menceracau tak jelas. Ada yang menangis, ada yang meraung kesakitan sambil memegang tangan, ada yang hanya melotot dengan tatapan kosong sambil cegukan. Di antara mereka berempat, Nanang yang paling parah. Dia mengemis minta burungnya dikembalikan. Air mata, ingus, dan air liurnya mengalir bak anak sungai yang menyatu di muara dagunya.
"Apa yang sudah Ki Jalu lakukan sama mereka?" Mufin masih berdecak heran.
"Entahlah. Sepertinya Ki Jalu bosan menyiksa tubuh, makanya dia menyiksa jiwa mereka. Duh, melihat kondisi empat orang ini, aku tidak mau membayangkan apa yang sedang mereka lihat sekarang."
Hutan Sumbergede
Harun Masakin dan empat orang temannya masih kabur. Kehadiran mereka sedang diumumkan di semua masjid dan musala, dan terdengar cukup jelas sampai ke seluruh penjuru desa. Seketika mereka merasa kalau satu kampung sedang memburu mereka. Dari tempat pembuangan sampah, mereka melipir, menyusuri gedung madrasah tua yang sudah tak terpakai. Jalur itu terhubung langsung ke hutan Sumbergede, tempat mereka biasa berkumpul untuk merencanakan penyerangan. Sekarang, mereka akan ke sana untuk merencanakan pelarian.
"Menurutmu, Rodin dan Broncong bakal menang melawan Salehudin?" tanya seseorang bernama Dodik.
"Salehudin sudah mengalahkan satu orang dari kita hanya dengan sekali pukul," jawab Harun.
"Iya, tapi Rodin sudah mematikan puluhan orang dengan sekali pukul. Menurutku, kita masih punya kesempatan. Apalagi, Broncong ada di sana."
"Semoga saja. Kalau sampai tengah malam mereka tidak kembali, kita harus meninggalkan Banyusirih."
"Ke mana? Gandrung?"
"Jangan, bodoh! Salehudin ada di sini, itu artinya teman-teman kita di Gandrung sudah jadi peyek."
Mereka memasuki hutan Sumbergede. Tidak terlalu ke dalam, mereka melihat cahaya berkedip empat kali di balik pepohonan. Harun membalas dengan mengedipkan senternya sebanyak tiga kali. Kemudian, kelompok Harun yang berjumlah lima orang, bergabung dengan rekan-rekannya yang siaga di hutan. Sekarang, jumlah mereka jadi sepuluh orang.
Mereka saling melaporkan tugas masing-masing, dan dari laporan itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa Eksekusi Tapal Kuda gagal total. Lima orang yang menunggu di hutan adalah tim yang harusnya beroperasi di Lindung untuk mengeksekusi Kiai Mahlawi.
"Kiai Mahlawi baru pulang dari pertemuan di ibu kota. Mobilnya dikawal polisi. Mereka masih ketat menjaga area pesantren Nurul Huda," lapor salah seorang yang bertugas di Lindung.
"Kalian pikir Sokogede tidak dijaga? Kalian saja yang amatir. Sokogede yang sebesar ini saja bisa kami susupi. Nurul Huda yang tidak sampai separuhnya saja kalian takut," protes Harun, "Tapi sudahlah. Kita siaga di sini sampai situasi mereda. Kalau sampai jam 10 malam Rodin tidak datang, kita harus meninggalkan Banyusirih.
Samar-samar muncul sosok seseorang melewati jalan setapak. Keribuatan Harun dan kawan-kawannya terhenti seketika. Dari lebatnya tanaman rambat yang memanjang di pinggir jalan, mereka menaruh siaga. Tidak setiap malam ada seorang berjalan di tengah hutan, sendirian, kecuali yang akan lewat ini sama sekali bukan manusia.
Tepat saat sosok itu melintas di hadapan mereka, tampaklah seorang kakek-kakek berpakaian serba hitam. Kemejanya dibiarkan melambai, memperlihatkan kaos dalam loreng macan. Celana kainnya semakin ke bawah, semakin lebar dan nyaris menutupi kakinya yang bersandal kayu. Serban merahnya dijadikan ikat kepala, menutup rambut keritingnya yang mulai jarang.
Komplotan Rodin, khusunya Harun, langsung mengerti siapa yang sedang melintas di hadapannya kini. Sebagian dari mereka menelan ludah. Ada yang sudah siap kabur, tapi berusaha menutupi ketakutannya dengan berpura menggenggam batu.
Kakek itu berhenti tepat di depan Harun dan kawan-kawan. Ia menoleh ke arah semak belukar seolah sudah tahu ada orang di sana. Banyak sekali orang.
"Aku mencium bau ketiak yang busuk. Seperti... aroma lidah buaya yang sudah tercampur pipis kambing."
Celotehan Gusafar itu membuat sepuluh orang yang sedang bersembunyi membaui ketiak masing-masing. Delapan dari sepuluh orang pria itu tidak menyadari bahwa bahwa bau badannya memang busuk, dan kakek itu mendeskripsikannya dengan sangat akurat.
"Keluarlah! Aku hanya sendirian, kalian sembilan orang. Ini kesempatan bagus, bukan?"
Harun mengangguk. Mereka berencana menunggu lebih lama di hutan itu, tapi kalau mereka biarkan Gusafar pergi, kakek itu pasti akan datang membawa pasukan. Sepuluh orang ke luar dari pesembunyian. Mereka langsung mengepung Gusafar seraya memamerkan senjata mereka yang mengkilat di bawah cahaya bulan, serta membanggakan jumlah mereka yang jauh lebih banyak.
"Kenapa? Kaget karena kami bersepuluh? Luput dari perhitunganmu, ya, kek?" ledek Harun.
"Oh, tidak. Saya kan bilang mencium bau 9 orang. Saya pikir yang satu itu monyet. Ternyata monyetnya bisa bicara."
"Melawak!"
Gusafar tidak menunggu diserang. Ia sudah memasuki sikap buasnya. Gaya bertarung Gusafar mengandalkan kegesitan, tapi karena ia sudah tua, gesitnya juga mulai berkurang. Apalagi, 9 orang dan 1 ekor monyet yang dia hadapi masih dalam usia prima, dan bersenjata.
Cakaran silang Gusafar berhasil dihindari Harun. Gusafar hanya mampu menyentuh permukaan baju. Lawan Gusafar bukan hanya satu. Dari samping, ia sudah disambut tebasan pisau besar, mirip pisau pemotong daging. Gusafar menunduk. Tebasan itu memotong udara malam yang dingin. Gusafar mendongak, menarik kepala dan dadanya ke belakang untuk menghindari serangan susulan.
Dengan stamina seperti ini, aku hanya mampu menghindari lima serangan lagi. Mereka semua bersenjata, mustahil aku menangkisnya. Sial, apa yang dilakukan Rahwan dan Sopet? Kenapa yang kabur ke hutan masih sebanyak ini?
Gusafar memikirkan semua itu sambil terus mengelak. Pertahannya kacau balau. Ia bahkan belum mendaratkan satu serangan, tapi napasnya sudah tersengal-sengal. Gusafar perokok, meskipun tidak segila Ki Jalu. Efeknya baru terasa ketika paru-parunya dipaksa untuk bekerja lebih keras, terutama saat adrenalinnya juga dipacu lebih kencang.
Kaki Gusafar tersandung. Ia terjerembab dengan tidak keren. Gusafar membalik badan. Ujung runcing pedang panjang sudah siap menusuk wajahnya. Gusafar menghindar. Terdengar benturan logam ke tanah berbatu. Tusukan berkali-kali membuat Gusafar berguling-guling ke pinggir, sampai ia menemukan moment yang tepat untuk bangkit.
Di belakang Gusafar adalah semak-semak tempat Harun dan kawan-kawannya bersembunyi tadi. Gusafar bangkit sambil membersihkan debu-debu di pakaiannya.
"Kenapa, kek? Hampir mati?" ledek Harun, disusul ketawa teman-temannya.
Sepertinya memang mustahil. Seorang kakek melawan 9 orang bersenjata, dan monyet yang bisa berbicara.
***
Pendopo Sokogede, satu hari sebelum Lawang Jerit.
Tiba giliran Gusafar yang dipanggil. Ia duduk bersimpuh di depan Kiai Sepuh. Dalam hatinya gelisah. Setelah menertawakan hadiah Jalu dan Sopet, ia harus dapat hadiah yang lebih hebat. Gusafar bisa mencium doa-doa nakal dari belakang, mengharapkan kesialannya, dan sepertinya, doa itu akan terkabul, karena setelah Gusafar melirik, Kiai sepuh tidak memegang apapun. Bahkan tampak kebingungan seraya berdiskusi dengan Lora Ilyas.
"Sepertinya dia bakal dikasih monyet," bisik Jalu pada Sopet.
***
Kembali ke hutan. Gusafar mengulurkan kedua tangan, kemudian memberi isyarat menantang pada para lawan-lawannya.
"Sepertinya dia sudah menyerah," kata Harun, "Sok menantang kami. Harusnya kamu bawa teman-temanmu yang lain. Kalau perlu, yang sudah mati juga. Atau minimal bawa senjata, lah!"
"Aku tidak mungkin membawa senjataku. Terlalu besar dan tidak praktis," jawab Gusafar, dengan nada penuh teka-teki.
"Dia melantur. Sudah, penggal saja biar berhenti bicara!"
"Harusnya kalian yang berhenti bicara. Karena sesungguhnya...."
KALIAN ADA DI DALAM SENJATAKU
Terdengar gemuruh di pohon-pohon. Daun bergoyang-goyang, ranting-ranting naik turun. Yang kering patah dan gugur ke tanah. Semua terjadi hampir di semua penjuru arah. 10 orang kebingungan. Pandangannya berputar di langit malam, pada setiap pohon yang dapat dijangkau mata.
"Apa ini? Ada badai kah?"
Secara mencengangkan, monyet-monyet melompat ke luar dari pepohonan dan semak-semak, dan seolah sudah dilatih untuk berperang, monyet-monyet itu langsung menyerbu gerombolan Harun. Sedikitnya ada 20 monyet. Belum lagi bayi-bayi mereka yang menunggu di ranting-ranting untuk sekadar menonton dan memberi semangat.
Hutan ini adalah pusaka peninggalan Kiai Sepuh yang diwariskan padaku. Aku tidak bisa menjaganya sendirian, karena itu, biarkan penghuninya yang menghukum kalian. Sementara aku....
Gusafar duduk bersandar di sebuah pohon sambil menyalakan rokok. Ia mengambil radio panggil di saku bajunya. Antenanya bengkok, tapi masih berfungsi.
"Hutan aman, ganti!" Lapor Gusafar.
Di ujung sana ada Mbah Sopet yang membalas laporan gusafar dengan laporannya sendiri yang terdengar sangat gawat. Gusafar tidak jadi merokok. Ia juga tidak terlalu peduli pada Harun dan kawan-kawannya yang kabur. Masing-masing membawa dua monyet di pundak, kepala, ada juga monyet yang bergelantungan di kaki sambil menggigit dengan gemas.
"Matilah kita," kata Gusafar, menjawab laporan Mbah Sopet.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top