CHAPTER 52 - PERMATA HIJAU

Desa Sokogede, Kecamatan Banyusirih

Teror di Pesantren Sokogede tak terdengar oleh warga. Perhatian mereka teralihkan oleh kebakaran yang terjadi di empat rumah sekaligus. Warga Sumbergede menyebar dan terbagi ke empat titik berbeda, termasuk yang sejak tadi siaga untuk menghalau teror susulan yang diiuskan akan terjadi malam ini. Sekarang, mereka hanya bisa memelototi api dengan tangan-tangan bersenjata yang lunglai. Obor yang mereka persiapkan untuk membakar ninja demi melindungi keluarga, terpaksa mereka matikan lagi karena yang datang menyerang justru api yang lebih besar.

Pada masing-masing titik kebakaran, ada keluarga yang histeris meratapi rumahnya dilalap api. Berharap air mata yang bercucuran bisa memadamkan api yang mungkin tak menyisakan apapun selain arang dan asap menyengat mata. Polisi ada di sana untuk mengondisikan warga, tidak untuk menangkap dan memenjarakan api. Sudah belasan orang diinterogasi, ditanyai ini dan itu, untuk kemudian mereka sibuk menyeldiki ini dan itu. Benar-benar berguna.

***

Pelaku pembakaran itu tak lain adalah antek-antek Rodin. Mereka sengaja melakukannya untuk mengalihkan perhatian warga dari pesantren. Usai melancarkan aksinya, dan mendapatkan laporan dari tim Harun, tim jago merah—begitu mereka menyebutnya—segera kabur dari pemukiman penduduk, dan berkumpul di titik temu yang sudah disepakati.

Ladang jagung bergoyang-goyang diterobos empat orang. Nyala senter kecil bergerak tak beraturan, menyorot jalan di sela barisan tanaman jagung yang penuh tanah menggumpal. Begitu keluar, empat orang itu langsung berada di pinggir jalan beraspal yang sepi. Bukan jalan utama Sumbergede, tapi jalan yang biasa dilalui truk dan kendaraan besar lainnya yang hendak memasuki pesantren. Sengaja dibuatkan jalan tersendiri, karena jalan utama seringkali ramai oleh lalu-lalang santri.

Keluarnya empat orang itu dari ladang jagung disambut oleh seorang kakek yang bersila sambil bersedekap di tengah aspal, menghadap lurus ke arah empat orang itu datang. Di jalan yang seharusnya ramai oleh lalu-lalang kendaraan, seorang kakek tua bercelana pendek, berkalung sarung dengan kopiah miring adalah hal terakhir yang keempat orang itu ingin lihat.

"Sudah main bakar-bakarannya?" tanya kakek itu.

Keempat orang itu langsung siaga. Mereka segera tahu kalau yang ada di hadapannya bukanlah kakek biasa. Begitu mereka selesai mengidentifikasi berdasarkan baju hitam dan serban merah yang dipakai jadi sabuk, mereka segera tahu kalau yang ada di hadapannya bukanlah manusia biasa.

Kakek itu bangun dari silanya. Keempat orang tadi nyaris mundur lagi ke ladang jagung.

"Gara-gara kakeh berempat, semuanya jadi berantakan," gerutu si kakek. Ia mengambil sebuah cincin dari saku baju, kemudian mengenakannya di jari tengah.

"Saya sudah terlalu tua untuk membuat orang. Sekarang...."

WAKTUNYA MEMBUNUH ORANG.

***

Pendopo Sokogede, satu hari sebelum Lawang Jerit.

Kiai Sepuh menghadiahi Sopet sebuah cincin berbatu giok. Sebagai pengoleksi batu mulia, hadiah itu benar-benar membuat Sopet ingin melompat bahagia seperti anak kecil dilempari permen. Cincin itu tidak lantas dikenakannya. Sopet membungkusnya dengan kain putih, lalu menyimpannya dalam lipatan sarung. Ia mencium tangan Kiai Sepuh, dan mengucapkan terima kasih.

"Kenapa orang itu senang sekali diberi cincin?" bisik Gusafar pada Jalu.

"Yang ngasih, kan, Kiai Sepuh. Diberi apapun, saya juga pasti senang," jawab Jalu.

"Maksudku, cincin itu bisa apa di dalam hutan nanti? Masih mending punya dua preman itu," Gusafar menunjuk senjata Rahwan dan Rodin.

Rupanya bisik-bisik itu didengar oleh Sopet. Tidak salah kalau dia dijuluki seribu telinga. Kentut tak bersuara pun, bisa dia dengar sebelum baunya sampai ke hidung.

"Kakeh hanya berpikir untuk melukai manusia. Sekali-kali berpikir bagaimana caranya memikat manusia," ujar Sopet, penuh bangga.

"Masalahnya di hutan nggak ada manusia, Pet. Kamu mau memikat monyet sama celeng?" sahut Gusafar, jengkel.

***

Mbah Sopet dikepung dari semua arah. Anehnya, justru para pengepungnya yang tampak ingin kabur. Mereka mendapatkan misi bakar-bakar, karena memang kemampuannya tidak cukup untuk misi bunuh-bunuhan. Walau demikian, empat melawan satu bukanlah situasi yang menguntungkan untuk Mbah Sopet. Apalagi empat orang itu bersenjata tajam.

Merasa bisa mengendalikan pertempuran, salah satu dari empat orang itu menyerang duluan. Mereka sudah kenal dengan Karmapala. Mereka tahu, bahwa selain orang bernama Jalu, Sopet adalah yang paling dangkal ilmu bela dirinya. Terbukti, sabetan celurit besar tak mampu Mbah Sopet hindari. Lengkungan tajam itu menebas pundak Mbah Sopet sampai ke pinggang, empuk sekali layaknya memotong tahu.

Melawan anggota Karmapala seharusnya tidak semudah itu. Mereka berempat tahu. Karenanya, begitu mereka sadar bahwa yang barusan mustahil terjadi, mereka mengalihkan pandangan ke arah berbeda, dan tepat di belakang si penyerang tadi, Mbah Sopet berdiri sambil mencium cincin gioknya.

"Mustahil," gumam mereka berempat dalam hati.

Tak ada waktu memikirkan keanehan tersebut, mereka memutuskan untuk menyerang bersamaan.

Mula-mula sebuah golok melibas kedua kaki Mbah Sopet. Gerakannya cepat sekali sampai orangnya terdorong ke depan oleh tenaganya sendiri. Kendati terlihat jelas bagaimana kaki Mbah Sopet terpisah dari tubuhnya, yang orang itu rasakan hanyalah menebas udara. Sama seperti tadi, Mbah Sopet justru berada di tempat yang berbeda dengan kondisi baik-baik saja.

"Pola mik buta matana, yeh?" (Jangan-jangan mata kalian buta, ya?) ledek sang Gunawan.

Tepat setelah bilang begitu, sebuah golok menembus kepala Mbah Sopet dari belakang, membuat garis tipis yang memisahkan hidung dan mulutnya. Namun, secara membingungkan, Mbah Sopet justru berada di belakang orang yang menyerangnya barusan.

Empat orang itu merasa dipermainkan. Bodohnya, mereka justru semakin serius dalam permainan yang kakek itu ciptakan. Jalanan sepi itu jadi taman bermain kucing-kucingan. Tebas sana dan tebas sini tapi tidak kena. Mbah Sopet sampai menguap dari saking bosannya. Pada akhirnya, keempat orang itu lelah. Tenaga mereka terkuras untuk hal yang sia-sia.

"Sebaiknya kita kabur. Orang ini pasi melihara jin."

"Kamu benar."

Empat orang itu kabur ke ladang jagung, ke tempat yang baru saja mati-matian mereka arungi untuk ke luar.

"Lah?" Mbah Sopet memiringkan kepala, heran oleh betapa bodohnya mereka. "Kalau ujung-ujungnya mau kabur, kenapa repot-repot menyerang? Sekarang, tenaga mereka sudah habis. Mereka bisa kabur seberapa jauh, sih?" Mbah Sopet mengangkat kedua bahu.

Masalah yang sesungguhnya bukanlah seberapa jauh, karena setelah mereka berada di tengah ladang jagung pun, mereka masih bertemu dengan Mbah Sopet berkali-kali saat menyibak daun-daun jagung yang lebat. Aneh, Mbah Sopet seperti ada di mana-mana. Suaranya terdengar hampir di setiap gemerisik daun yang mereka terobos.

"Tebas saja! TEBAS! Biar kena kepalanya sekalian!" salah seorang memberi saran, tapi entah pada siapa. Mereka sudah terpisah sejak satu menit yang lalu. "Pokoknya tebas apapun. Kanan, kiri, depan—"

BELAKANG

Bisik Mbah Sopet yang segera membelenggu leher orang itu dengan lengan, sembari membekap mulutnya dengan tangan. Perlahan-lahan, orang itu berhasil dilumpuhkan. Saran barusan hanya jadi pesan percuma pada teman-temannya yang lain.

Teriakan demi teriakan terdengar di beberapa titik di ladang jagung. Mbah Sopet menghabisi tukang bakar itu satu persatu. Sangat tidak keren. Setelah membakar rumah, mereka justru gugur di ladang jagung.

"Harusnya kalian bakar jagung saja!" Mbah Sopet menasihati.

***

Halim datang bersama Masjo. Mereka berangkat seketika saat mendapat panggilan radio dari Mbah Sopet. Kali ini mereka tidak naik becak, tapi naik mobil pikap pengangkut ikan. Bak belakangnya tertutup terpal. Transportasi yang baik untuk menyelundupkan sesuatu, atau seseorang. Masjo tidak bisa bawa mobil. Ia duduk santai sambil menaikkan kaki pada dashboard, di samping Halim yang sedang mengemudi.

"Astaga, sepertinya kita tidak kebagian pesta," kata Masjo saat melihat Mbah Sopet sedang duduk di atas tumpukan korbannya.

Masjo dan Halim turun dari mobil, menghampiri Mbah Sopet dengan tergesa-gesa. Kakek itu tampak kelelahan setelah menyeret tubuh empat tukang bakar dari ladang jagung.

"Kami tidak bisa lewat jalan utama. Polisi sudah menutup akses ke sana dan mengepung pesantren," Halim melaporkan, "Saya dengar, ada yang menyerang Kiai Fatah. Sekarang, beliau dibawa ke rumah sakit."

Kebakaran ini benar-benar di luar prediksi, dan selama ini, prediksi Mbah sopet jarang sekali meleset. Sebagai otak, Mbah Sopet adalah orang pertama yang harus dingin dalam situasi yang kian memanas. Jika dia ikut terbakar, maka demam tinggilah yang akan terjadi pada pondasi yang sudah ia bangun dengan matang ini.

"Kalau saja Kiai Fatah mau mendengar nasihat saya, dan tidak menganggap remeh musuh kita hanya karena beliau seorang anggota Karmapala, saya yakin situasinya tidak seperti ini," gerutu Mbah Sopet.

"Ada yang tidak sesuai dengan strategi, kah?" Tanya Halim.

"Ya. Semua jadi tidak sesuai strategi setelah meninggalnya Karim, dan Saleh mengamuk seorang diri. Harusnya dia yang bertugas melindungi Kiai Fatah. Sayang sekali, Kiai Fatah bersikeras bahwa beliau tidak butuh penjaga—Oh, iya, cepat angkut orang-orang ini!" Mbah Sopet memberi perintah.

Halim dan Masjo mengangkat orang pertama. Masjo di bagian kepala, Halim di bagian kaki.

"Saya tidak mengira Kiai Fatah akan segegabah itu. Bukankah beliau sudah tahu siapa yang akan dihadapinya?" Halim lanjut bertanya, kali ini dengan suara tertahan karena orang yang ia angkut cukup berat.

"Justru karena beliau sudah tahu, makanya beliau sangat percaya diri bisa mengatasi orang itu sendiri."

Terdengar suara tubuh orang membentur bak mobil pikap. Halim dan Masjo melemparnya seperti melempar ikan.

"Maksudnya?" tanya Halim.

"Kiai Fatah tahu kelemahan Salehudin, artinya, beliau juga tahu kelemahan orang itu, dan, fakta bahwa saat ini Kiai Fatah dibawa ke rumah sakit telah menjelaskan sesuatu, bahwa yang menyerang Kiai Fatah bukanlah orang yang beliau tunggu."

Halim mengambil jeda sebelum mengangkat orang kedua.

"Bukan orang bernama Rodin?"

"Bukan. Sialan! Aku meremehkan orang itu. Rodin... dia sama kuat seperti Salehudin, lebih gesit dari karim, lebih licik dari Rahwan, dan lebih pintar dari aku. Dia tahu, Kiai Fatah adalah kelemahannya, karena itu dia menyerahkan tugas itu pada orang lain."

"Kalau tugas sepenting itu dilepaskan oleh Rodin, artinya penggantinya juga tak kalah sakti, kan, kek?"

"Kamu benar," jawab Mbah Sopet.

"Kalau Rodin tidak mengincar Kiai Fatah, terus dia mengincar siapa?" tanya Masjo yang sejak tadi diam.

"Kiai Ilyas, tentu saja," jawab Halim yakin. "Siapa yang bertugas melindungi Kiai Ilyas?"

Tiba-tiba saja perasaan Mbah Sopet jadi tidak enak. Ia menjawab dengan terbata-bata.

"Rahwan. Dia yang bertugas menjaga Kiai Ilyas. Ah, sudah, sekarang, cepat bawa empat orang ini ke tempat yang sudah kita sepakati. Aku akan ikut sampai ke pesantren."

"SIAP!" jawab Halim mantap.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top