CHAPTER 50 - CAKAR BESI
Reuni yang seperti ini sama sekali tidak Ki Rahwan harapkan. Rodin yang ia hadapi sekarang, sama sekali berbeda dengan yang dulu ia kenal. Keduanya sama-sama sudah tua, memang, tapi ada satu hal dari Rodin yang tidak lenyap digerus usia, yakni aura misteriusnya. Rodin pendiam, tapi jauh di dalam diam itu, ada bara yang Ki Rahwan tahu tak akan pernah padam. Ki Rahwan masih merasakannya hingga sekarang. Bahkan bara itu semakin besar.
"Sejak kapan kau yang biasanya hemat suara, jadi banyak bicara?" sindir Ki Rahwan.
"Entahlah," sahut Rodin, mengangkat kedua pundak.
Kiai Ilyas masih di sana. Harusnya ia sudah lari, tapi ia enggan meninggalkan Ki Rahwan sendiri. Bukan meremehkan kemampuan Ki Rahwan, tapi firasat Kiai Ilyas berkata bahwa orang misterius ini benar-benar berbahaya. Selagi perkelahian yang pasti terjadi itu masih berada pada tahap basa-basi, Kiai Ilyas mencoba mengingat-ingat kembali, siapa orang yang kelihatan sangat akrab dengan Ki Rahwan ini?
Rodin, kah? Kalau iya, aku harus cari bantuan secepatnya. Ki Rahwan tidak akan sanggup sendirian.
"Mohon maaf, Kiai. Sebaiknya Jenengan cepat pergi dari sini. Orang ini kalau sudah ngamuk, lalat sedang kawin pun pasti dia bunuh," pinta Ki Rahwan dengan sopan, dengan sedikit sikap sok pahlawan.
Kiai Ilyas mengangguk. Ia menuruti permintaan Ki Rahwan, dan bergegas meninggalkan lokasi. Namun, kelihatannya Rodin tidak merestui itu. Dengan sedikit hentakan kepala ke belakang, belenggu di leher Rodin terlepas.
Ki Rahwan tidak membuatnya percuma. Dalam momentum yang sama, ia goreskan cakar besinya ke leher Rodin, sekaligus merobek baju di bagian pinggang, meski itu tak cukup menghentikan.
Rodin mengejar kiai Ilyas. Larinya masih secepat yang Ki Rahwan ingat. Hal itu membuat Ki Rahwan sadar, sementara puluhan tahun ia habiskan besantai dan memanjakan paru-parunya dengan asap rokok, Rodin justru berlatih dan tetap mengasah tubuhnya hingga benar-benar jadi senjata yang sempurna.
Ki Rahwan melompat ke depan. Dadanya mendarat di tanah dengan kedua tangan berhasil mencengkeram pergelangan kaki Rodin, membenamkan tiga cakarnya dalam-dalam, menghentikan pergerakan Rodin yang sedikit lagi berhasil menggapai Kiai Ilyas.
Kiai Ilyas semakin tak terjamah. Ia berbelok ke balik gedung wisma tamu, lalu menghilang dari medan perang. Tentu saja itu membuat Rodin berang. Ia menendang Ki Rahwan yang masih menahan kedua kakinya, bak mengusir kucing liar yang minta dilempari ikan saat Rodin sedang makan.
Ki Rahwan melepaskan cengkeramannya, kemudian menyilangkan tangan untuk menangkis tendangan rodin. Kendati berhasil menutupi wajah dari serangan, Ki Rahwan tetap terpelanting ke belakang, bergulung di tanah dari saking besarnya tenaga kaki Rodin.
Ki Rahwan membersihkan debu-debu di wajah, terutama yang mengganggu pandangannya. Ia melihat bagaimana Rodin menunduk untuk memeriksa luka di pergelangan kaki akibat cengkeraman Ki Rahwan barusan. Setidaknya begitu harapan Ki Rahwan, tapi ternyata, tak ada luka apa pun di leher, pinggang, juga di pergelangan kaki Rodin. Ibaratnya menggores permukaan logam dengan jarum jahit.
"Kau masih menyimpan Bagh Nakh pemberian Kiai Sepuh? Kukira kalian semua sudah membuang mainan masing-masing," kata Rodin, tersenyum meremehkan.
***
Pendopo Sokogede, satu hari sebelum Lawang Jerit.
Beberapa tahun silam, di pagi yang damai, Karmapala sedang berkumpul di pendopo pesantren untuk mempersiapkan rencana menuruni Lawang Jerit. Kiai Sepuh sendiri yang memimpin pertemuan itu, sambil ditemani Lora Ilyas. Setelah membahas strategi, Kiai sepuh mulai membagikan 9 pusaka untuk 9 orang Karmapala. Kiai menyebutnya hadiah, karena tidak semuanya berupa senjata.
Rahwan menerima sebuah cakar macan besi. Senjata kuno dari India. Di daerah asalnya, cakar itu disebut Bagh Nakh. Sebuah senjata yang dipasang tersembunyi di balik telapak tangan. Ada tiga pisau berbentuk cakar yang terhubung pada sebuah gagang melintang. Di kedua ujung gagang terdepat cincin besi tempat memasukkan telunjuk dan jari manis. Senjata rahasia yang cocok untuk Rahwan.
"Itu, kan...." Gusafar menunjuk senjata itu seolah tak asing.
"Benar, ini hadiah dari seorang saudagar India pada abah, karena abah berhasil mengalahkannya, dulu," Lora Ilyas menjelaskan.
Kiai Sepuh memberikan sepasang cakar besi pada Rahwan. Setelah menerimanya dengan penuh santun, Rahwan melirik Gusafar dengan tatapan nakal.
"Muehehe cakar bapakmu, ada padaku," ledeknya.
***
Ki Rahwan bangkit. Badannya sakit, tapi ia berusaha untuk tidak terlihat begitu. Satu hal lagi yang Ki Rahwan benci mengakuinya, yakni rasa takut yang tiba-tiba saja muncul. Rodin benar-benar ancaman yang serius. Seharusnya, Ki Rahwan tidak datang sendiri.
Ki Rahwan meludah darah. Bersamanya, ia buang kesialan dan ketakutan barusan. Sekarang waktunya ronde kedua. Kiai sudah aman, aku bisa melawan dengan kekuatan maksimal, pikirnya. Baru saja Ki Rahwan hendak menyerang, Rodin sudah mencuri serangan pertama tanpa basa-basi, dan untuk kedua kalinya, Ki Rahwan kewalahan dengan betapa gesitnya Rodin.
Ki Rahwan menghindari satu pukulan, kemudian menangkis pukulan kedua, lalu terpental karena pukulan ketiga. Ia bahkan tak sempat membalas apapun selain umpatan percuma.
Sialan! Ini sama seperti melawan Kak Tuan dan Karim bersamaan, dalam tubuh satu orang. Aku terbiasa berlatih bersama mereka, tapi untuk pertarungan hidup dan mati seperti ini... Ah, TAI!
Seolah tak mau menunggu Ki Rahwan bangkit, Rodin kembali menyerang Ki Rahwan yang belum berdiri sempurna. Sebuah pukulan lurus ke arah wajah, tapi berhasil Ki Rahwan hindari. Menyusul kemudian pukulan menyilang dari tangan kiri Rodin, tapi berhasil Ki Rahwan tangkis.
Ah, Lenganku!
Teralihkan oleh rasa ngilu akibat benturan keras barusan, Ki Rahwan tak siap menghindari sebuah tendangan lurus ke arah perut, yang membuatnya terpental lagi hingga membentur dinding sumur.
Serangan kedua Rodin masih bisa Ki Rahwan terima dengan pola yang sama, yakni elak, tangkis, terima. Ki Rahwan yakin, jika serangan berikutnya ia masih menggunakan pola yang sama, tubuhnya tak mampu lagi menerima kerusakan lebih dari ini.
Lengan dan perutku. Tidak, aku tidak boleh muntah.
Ki Rahwan menepuk dadanya sendiri, mencoba mengembalikan gelombang mual yang hendak menyembur. Ia sengaja tidak menundukkan wajah, waspada akan serangan susulan, tapi percuma, pandangan Ki Rahwan sudah pecah, ia hanya melihat sekelebat bayangan hitam mendekat dengan cepat.
"Wow!" celetuk Rodin sok kagum, saat mendapati tendangannya ditangkis Ki Rahwan dengan kedua tangan.
Ki Rahwan menangkap kaki Rodin dengan kedua tangan terbuka. Penuh geram, Ki Rahwan menekan telapak tangannya. Terasa sekali cakar besi di kedua tangan Ki Rahwan menembus daging di betis Rodin.
ARGH!
Ki Rahwan menggeram sambil menarik kedua tangannya maju hingga ke paha Rodin, membajak kain celana hitam, dan membuat enam aliran sungai merah di kulit Rodin. Ki Rahwan berguling di tanah, menjauh dari jangkauan musuhnya. Begitu menoleh, Rodin sudah melancarkan tendangan dengan kaki kirinya, tapi kali ini Ki Rahwan berhasil mengelak.
Rodin terkesiap. Ki Rahwan menghilang dari bawah sapuan kakinya. Tanpa Rodin sadari, Ki Rahwan muncul di belakangnya. Rodin hendak berbalik, tapi telapak tangan Ki Rahwan sudah lebih dulu menempel di wajah Rodin.
MATI SAJA KAU!
Ki Rahwan berseru seraya mendorong wajah hingga tubuh Rodin rubuh ke tanah. Begitu Rodin terlentang, Ki Rahwan menekan leher Rodin dengan tangan satunya lagi. Kedua tangan itu menekan dengan kuat. Rodin tak berkutik dibuatnya. Begitu Ki Rahwan yakin cakarnya sudah meretakkan tengkorak kepala dan menusuk tenggorokan Rodin, Ki Rahwan menyayatnya kedua arah yang berbeda. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Mirip kucing sedang mengoyak sampah.
Setelah serangan bertubi-tubi, Ki Rahwan terengah-engah. Ia yakin ini sudah berakhir. Ia tidak berharap, tapi sebaiknya Rodin mati. Ya, Ki Rahwan tidak akan merasa berdosa jika yang mati adalah musuh dari semua Karmapala. Tidak hanya melenyapkan satu sumber bahaya, Ki Rahwan merasa puas karena telah menghapus kesalahan terbesar Salehudin.
SEGITU SAJA?
Ki Rahwan terhenyak, tapi reaksinya kalah cepat dengan tinju Rodin yang langsung menghantam wajah Ki Rahwan dengan sangat keras, hingga Ki Rahwan terpental ke belakang.
Rodin ingin membayar serangan Ki Rahwan dengan tuntas. Selagi Ki Rahwan terlentang tak berdaya di tanah, Rodin menjatuhkan tinjunya berkali-kali di wajah Ki Rahwan, sampai kepala Ki Rahwan sedikit terbenam ke tanah.
Kedua tangan Ki Rahwan terkulai lemas. Salah satu cakarnya lepas, dan tak seujung jari pun yang bergerak.
Rodin bangkit. Ia menyapu wajahnya dengan tangan, mengelap darah di setiap luka gores yang Ki Rahwan ciptakan. Ya, hanya luka gores seperti dicakar kucing.
"Kau membuat wajahku jadi semakin jelek," gerutunya penuh benci.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top