CHAPTER 5 - PENYESALAN
Leduk, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan
Teror pembantaian yang belakangan sering muncul di Koran, hari ini telah sampai ke Banyusirih. Tidak harus pintar untuk bisa menyimpulkan bahwa pembunuhan di Nurul Huda ada hubungannya dengan yang terjadi di Gentengan. Seolah awan hitam bergerak dari timur ke barat, dan saat ini sudah menyelimuti dua kabupaten; Gandrung dan Patokan. Segera saat berita ini dicetak di surat kabar, seluruh area Tapal Kuda gempar dan memasuki status siaga.
Sampai hari ini, seluruh korban pembunuhan teridentifikasi sebagai tokoh agama, baik guru madrasah, guru ngaji, bahkan seorang Kiai. Berdasarkan fakta tersebut, banyak pemuka agama yang ketakutan. Guru Madrasah enggan melakukan tugasnya, bahkan beberapa kegiatan pengajian terpaksa digagalkan.
Pagi itu di daerah pesisir. Madrasah yang berada di bawah asuhan Kiai Mahrum tampak masih melaksanakan proses belajar mengajar seperti biasa. Pukul delapan pagi suara siswa dan siswi tingkat Ibtidai'yah, atau setara dengan sekolah dasar, masih terdengar lantang di setiap kelas, di setiap tingkat. Seolah tragedi di Nurul Huda tidak berhasil menjamahnya. Leduk yang sekarang, bukanlah Leduk yang dulu. Desa yang berada di ujung utara Banyusirih tersebut mampu menyesuaikan diri dengan tahun-tahun penuh pembangunan, walau seringkali diwarnai konflik dan kemelut politik. Setidaknya julukan Desa Batu Nisan sudah tidak pantas lagi bagi Leduk.
"Ustad tahu kalian bosan. Setiap hari harus menghafal Qawaidul I'lal. Tapi percayalah, ilmu Nahwu dan Sharaf adalah pondasi utama, sebelum kalian bisa membaca kitab-kitab lainnya. Coba pikir, bagaimana kalian bisa memahami isi Fathul Qarib jika membacanya saja kalian sering salah harakat."
"Bukannya sudah ada terjemahannya ya ustad. Kenapa kita tidak baca terjemahannya saja?"
Sang ustad terdiam. Bukan karena ia tidak bisa menjawab, tapi untuk ukuran anak kelas lima Ibtida'iyah, dijawab pun mereka akan tetap cari alasan agar berhenti membaca kitab gundul*.
*) Cara sebagian santri menyebut kitab kuning/kita yang tidak ada harakatnya
Pelajaran hari itu berlangsung sebagaimana biasa. Hingga tiba waktunya istirahat, semua santri mengerumuni warung kecil di samping madrasah, untuk sekedar jajan es serut dan kerupuk sambal.
Ustad Edo. Begitu siswa dan siswi memanggil kepala sekolah mereka. Edo adalah menantu dari Kiai Mahrum, yang tahun lalu baru menyelesaikan strata satunya di Fakultas Tarbiyah Sokogede. Setelah lulus, Edo memilih mengabdikan diri sebagai pendidik di kampungnya sendiri. Desa Leduk, Kecamatan Banyusirih.
Pukul 9 pagi, Edo berniat pulang sebentar. Ada sesuatu yang lupa dibawanya ke madrasah. Jarak rumah Edo dan madrasah tidak teralu jauh. Pulang dan pergi bisa ditempuhnya dengan mengayuh sepeda selama sepuluh menit.
Ketika hendak melewati gerbang Madrasah, Edo tanpa sengaja bertemu dengan orang yang Familiar. Seorang bapak berpakaian lusuh yang segera memalingkan wajahnya ketika melihat Edo. Terlambat. Edo terlanjur melihat dan ia langsung mengenalinya. Disandarkannya sepeda Edo pada pagar madrasah, lalu berjalan kaki menghampiri orang tersebut.
"Assalamualaikum, Pak Gamar," sapa Ustad Edo.
Pak Gamar menoleh dengan malu-malu. Dia punya seribu alasan untuk malu. Masih bisa dia rasakan tanah Leduk mengutuk dirinya. Membuatnya berpikir bahwa ia lebih baik di penjara daripada pulang ke rumah sebagai orang yang dikenang karena kejahatannya.
"Waalaikumsalam," Jawab Pak Gamar.
Bahkan dirinya tidak tahu sejak kapan air mata mengalir di pipinya. Ingin rasanya memeluk Ustad Edo dan meminta maaf dengan sepenuh hati. Tapi siapalah Pak Gamar kini? Narapidana yang harusnya mati di balik jeruji besi, berhadapan dengan seorang Ustad alim yang dengan melihatnya saja Pak Gamar merasa kerdil dan penuh dosa.
"Saya dengar dari Saripudin kalau Pak Gamar sudah pulang. Tidak menyangka kita bertemu di sini. Oh ya, mari masuk. Kita bisa ngobrol di dalam."
"Tidak usah Ed... maksud saya Ustad Edo."
Pak Gamar memperhatikan warung kecil yang sedang dikerumuni murid-murid madrasah. Tampak pemilik warung tersebut sedang sibuk melayani dengan senyuman ramah. Pak Gamar kenal betul dengan wanita itu. Seorang istri yang sudah bertahun-tahun tidak mendengar kabar suaminya. Yang tidak sempat mendengar kata perpisahan, dan tidak mungkin menerimanya sekarang. Bagi Pak Gamar, Bu Mar adalah istri yang baik, dan kehadirannya hari ini bisa membuat Bu Mar dicap buruk oleh warga.
"Jangan bilang kalau sampean belum ketemu dengan Bu Mar? Mari saya antar..."
"Tolong jangan! Saya mohon, rahasiakan ini darinya. Saya tidak mau menambah beban istri saya lagi. Lagipula senyuman itu... " Tangis Pak Gamar semakin menjadi-jadi. "Dia sudah bahagia dengan kehidupannya sekarang. Tanpa saya. Terima kasih, terima kasih masih memberikannya kesempatan tinggal di desa ini, walaupun suaminya adalah seorang penjahat. Penipu. Pembunuh."
"Berterima kasihlah pada abah. Memang butuh waktu bagi warga untuk melupakan semuanya, tapi Abah Mahrum berhasil meyakinkan mereka bahwa Bu Mar tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang Sampean perbuat."
Edo memegang kedua pundak Pak Gamar. Mantan kepala desa itu benar-benar terlihat sangat kecil, kurus dan tidak terawat.
"Sampean sudah melewati masa hukuman. Setimpal atau tidaknya, Tuhan punya timbangan yang lebih akurat. Sekarang, lakukan yang terbaik yang bisa sampean lakukan. Saya yakin, bantuan sekecil apapun dari seorang Pak Gamar, akan sangat dibutuhkan di desa ini. Terlebih..." Wajah Ustad Edo mendadak sedih. "Kita sedang memasuki masa-masa yang sulit."
"Ustad Edo, sebenarnya selain untuk melihat istri, saya kemari ingin bertemu dengan Man—Maksud saya Kiai Mahrum. Bisakah?"
"Tentu. Tapi pagi ini Abah sedang ada di Nurul Huda, Beliau memenuhi undangan Kiai Mahlawi terkait peristiwa tadi malam."
"Peristiwa? Peristiwa apa?"
"Pembunuhan seorang guru madrasah di Nurul Huda."
***
Kediaman Kiai Mahrum sedang ramai didatangi warga. Sebagian dari mereka adalah santri Kiai yang walaupun tidak sebanyak Nurul Huda, tapi mereka adalah murid yang Ta'dzim dan sangat mempedulikan keselamatan gurunya. Tujuan mereka hanya satu; memastikan bahwa rumah guru mereka bebas dari tanda silang merah yang disinyalir sebagai pemicu kedatangan pembunuh misterius itu.
"Sudah kamu periksa semuanya Le?*" Tanya seorang warga Leduk yang sudah tua.
*) Tole, panggilan anak laki-laki. Sama seperti Kacong.
"Sudah, Pak. Dari pintu depan, belakang, sampai jendela dan atapnya bersih dari tanda silang itu."
"Baguslah. Kami juga tidak menemukannya di kediaman Ustad Edo. Tapi walau begitu, hari ini kita tetap waspada. Warga sudah sepakat untuk membentuk tim ronda. Tepat setelah Isyak, Kami akan berkeliling di sepanjang jalan Leduk."
"Anu, Pak. Ijinkan kami membantu. Kami juga geram dengan pembunuh itu. Kami tidak akan memaafkan diri sendiri kalau hal yang sama menimpa Pak Kiai."
Salah seorang santri menawarkan bantuan. Sudah jadi tekad terkuat mereka yang terpancar di tatapan matanya. Berapi-api, membakar darah mudanya hingga mendidih.
"Untuk yang satu itu, kami mohon maaf, Le. Kami tidak berhak memberi ijin. Bagaimanapun, kalian adalah santri Kiai Mahrum. Kami tidak mau melangkahi wewenang beliau. Lagipula dawuh Ustad Edo tadi pagi, Santri tetap belajar sebagaimana biasa. Tidak boleh bolos, dan tidak boleh meninggalkan asrama setelah adzan Maghrib."
Kecewa tak bisa dihindari. Sebagai murid, para santri tentu ingin ikut berjuang. Mereka rela mati demi melindungi sang Kiai. Namun Santri adalah pelajar. Tunas bangsa yang harus dilindungi.
Akhirnya keramaian itu bubar. Masing-masing pulang dengan sedikit perasaan lega. Setidaknya ada harapan tinggi bahwa Kiai mereka tidak sedang diincar pembunuh. Tidak berapa lama kemudian, kediaman Kiai Mahrum menjadi sepi. Rumah peninggalan Almarhum Bahrudin itu kini jauh lebih bagus setelah direnovasi. Satu-satunya yang masih dibiarkan seperti aslinya, adalah sumur di halaman belakang. Walau sudah tidak dipakai, Kiai Mahrum enggan menutupnya. Sumur tua itu terlantar bersama tumpukan kayu dan karung bekas. Dindingnya yang berlumut telah luput dari perhatian warga. Andai mereka mau lebih teliti, ada tanda silang merah yang jelas sekali di sana. Sebuah undangan bisu, untuk kedatangan seorang tamu. Tamu yang tidak diinginkan.
Character Index :
1. Kiai Mahrum : Juru Kunci Astah Dejeh, salah satu dari empat pemakaman umum di Desa Leduk. Dipanggil Kiai setelah istilah Juru Kunci tidak lagi dipakai. Muncul pertama kali dalam 'Barisan Keranda Merah' (Chapter 11- Ikuti Kematian)
2. Ustad Edo : Sahabat sekaligus Menantu Kiai Mahrum. Muncul pertama kali dalam 'Barisan Keranda Merah' (Chapter 10 - Janda Dalam Keranda)
3. Ibu Mardiah : Istri Pak Gamar. Muncul pertama kali dalam 'Barisan Keranda Merah' (Chapter 35 - Kun!)
Note: Rencana mau update dua chapter. Tapi sepertinya saya harus selesaikan Peta Banyusirih dulu. Sebelum semua terlambat, dan saya membuat teman-teman tersesat di banyusirih. Hehe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top