CHAPTER 49- SEPULUH PUSAKA, SEMBILAN TUAN.
Pesantren Sokogede, Banyusirih
Usai melihat sendiri bagaimana keempat rekannya jadi bulan-bulanan santri hingga tak sadarkan diri, para petugas keamanan pesantren yang lain mulai menyadari bahwa situasinya lebih gawat dari yang mereka kira. Rekan mereka tumbang dengan luka minimal, tampak sekali jika penyerangnya tidak berniat menganiaya, lebih kepada ingin melumpuhkan.
"Ada yang melihat wajah pelakunya tidak?" tanya seorang petugas yang baru saja datang dari musala di asrama pusat.
"Saya, Kang. Tapi saya merasa asing sama tiga santri tadi. Mereka lebih tua dari bapak saya. Baunya juga lebih apak dari sarung saya," tutur seorang petugas yang jadi saksi. Ia selamat karena melarikan diri.
"Kok sama, ya? Barusan di musala asrama pusat, saya juga bertemu dengan santri bernama Harun. Ciri-cirinya mirip seperti yang kamu sebut. Tua, berewok, mungkin juga apak, saya tidak sempat mencium baunya. Saya sempat pikir dia jin, soalnya si Harun ini tiba-tiba menghilang."
"Perasaan saya tidak enak, Kang. Penyerangan ini seperti sudah direncanakan. Waktunya pas sekali saat pesantren sedang sepi, dan semua santri berkumpul di masjid."
"Maksudmu, ada kemungkinan ini ulah komplotan ninja itu?" sambung salah seorang petugas yang sedang menaikkan teman-temannya yang pingsan ke becak.
"Menurut sampean, Kang?"
Dalam hening yang berlangsung sekitar lima detik itu, asumsi mereka terasa kian pasti, dan kalau memang begitu adanya, mereka hanya perlu mewaspadai satu hal.
"Eh, apa Kiai Fatah dan Kiai Ilyas ada di pesantren?"
***
Aluf membantu abahnya bangun. Benar dugaan Aluf, ada racun di senjata ninja barusan. Pedang itu tergeletak di lantai, diabaikan pemiliknya yang sudah hilang dalam gelap kebun mangga. Aluf ingin mengejarnya, tapi saat ini, Kiai Fatah lebih butuh pertolongan. Bukan seberapa banyak keluarnya darah yang Aluf khawatirkan, tapi seberapa banyak racun yang masuk dan menyebar.
Di mata Aluf, pedang tanggung itu tak lebih dari senjata biasa, tapi bagi Kiai Fatah, pedang itu adalah jawaban. Kemunculannya seolah menjelaskan teka-teki besar yang meskipun jawabannya mampu diraba, teorinya masuk akal, tapi Kiai Fatah menepisnya karena terlalu menakutkan untuk jadi kenyataan. Tangan Kiai Fatah menggapai-gapai, berniat mengambil pedang itu, tapi Aluf menahannya.
"Lupakan dulu, abah harus cepat dibawa ke rumah sakit. Kita belum tahu jenis racun apa yang orang itu pakai. Berharap saja bukan Warangan."
"Bukan," jawab Kiai dengan yakin. "Setidaknya bawa senjata itu. Jangan ditinggal."
"Penting sekali?" Aluf mengeyel.
"Itu pemberian Almarhum Kiai Sepuh," Kiai mengatakannya dengan suara yang mulai serak.
"Pedang jelek begitu?" tanya Aluf, "Ah, baiklah!" katanya lagi, setelah telinganya disentil si abah.
Aluf memungut pedang aneh itu, membungkusnya dengan serban, lalu membawanya ke luar kamar seraya memapah sang abah. Aluf memanggil-manggil abdi ndalem, meminta pertolongan, tapi yang datang hanya seorang santri bersarung, berkopiah miring, berwajah sangar dengan sisa-sisa air wudhu yang mungkin belum habis dipakai salat.
"Eh, cepat ba—"
"CIAAT!"
Santri itu menyerang Aluf tanpa ragu, walau gerakannya kikuk dan kentara sekali jika tak bisa bela diri. Maklum, dia abdi ndalem divisi dapur. Satu-satunya yang pernah ia serang hanyalah daging, ikan dan sayur. Namun, melihat sang Kiai ada dalam bekukan seorang ninja—setidaknya begitu yang ia lihat—ia tidak peduli bela diri. Ini waktunya bela sang Kiai.
Kaki Aluf mendarat di wajah si santri. Gerakan santri itu terhenti, tapi darah di hidungnya mengalir lancar. Bukan hanya tendangan Aluf keras, Aluf juga masih mengenakan sandal kayunya. Aluf meringis. Luka akibat tusukan pisau itu meskipun tidak terlalu dalam, tapi tetap saja butuh pertolongan.
"Makanya, lepas kain penutup wajahmu itu! Mirip perampok saja." Celetuk Kiai Fatah.
"Kak Tuan bilang, dulu ada perampok yang menyamar jadi anggota Karmapala, dan ikut ke hutan tanpa izin Mbah Kakung."
Apa Kang Saleh mengajari anak ini untuk silat lidah juga? Gerutu Kiai Fatah.
"Ning Aluf? Maaf, saya kira ninja." Santri itu menunduk sambil mengelap hidungnya. Kelihatannya nyeri sekali, sampai matanya berair dan suaranya bergetar menahan tangis.
"Aluf, kamu pergi obati lukamu sendiri. Biar Abah sama Sidiq saja."
"Tidak bisa, aku harus ikut." Aluf bersikukuh.
"Jangan sekarang, karena kalau firasat abah benar, bisa jadi pamanmu dalam bahaya—Diq, Kiai Ilyas ada di ndalem-nya?"
"Kiai Ilyas sedang ngimami salat magrib di masjid, Kiai. Habis isya beliau ada pertemuan di Kalakan, kemungkinan sebentar lagi pulang dari masjid."
"Aluf, cepat kabari petugas keamanan. Perintahkan mereka mengawal Kiai Ilyas. Setelah itu, kamu bersembunyilah di asrama putri, dan simpan pedang itu baik-baik," perintah Kiai Fatah.
Santri bernama Sidiq itu mengambil alih memapah sang Kiai. Sementara Aluf terpaksa pergi. Hatinya bimbang antara mendampingi sang abah, atau melindung sang paman. Aluf memantapkan tekad. Ia pergi sambil membawa pedang yang dibungkus kain serban. Setelah itu, para abdi ndalem yang baru selesai salat magrib langsung panik melihat kondisi Kiai mereka. Mereka langsung menyiapkan mobil untuk membawa Kiai ke rumah sakit. Tangis sedih, takut, dan rasa bersalah mengiringi. Kiai Fatah hanya tersenyum sambil berkata, "jangan salahkan diri kalian. Kalau rumah kalian kemasukan maling saat sedang salat, yakinlah Allah akan menjaga harta kalian. Kalaupun ada yang hilang, yakinlah Allah akan mengganti dengan yang lebih besar. Lebih besar dari haram yang maling itu bawa pulang."
***
Biasanya, sehabis menjadi imam salat magrib, Kiai Ilyas tetap di masjid sampai isya. Ia baru kembali ke kediamannya selepas salat isya dan morok (mengajar) kitab untuk para santri tingkat Aliyah. (Setingkat SMA). Namun, malam ini ada undangan yang harus ia hadiri. Banyusirih sedang banyak acara. Ia harus berbagi kesibukan itu dengan Kiai Fatah. Antara mengayomi masyarakat dan mendidik santri, keduanya harus tetap jalan.
Kiai menolak saat seorang santri menawarkan diri untuk mendampinginya pulang. Ia sudah terbiasa jalan kaki sendiri. Tentu saja di hatinya masih ada duka untuk sahabat-sahabat yang gugur dalam rusuh ini, dan duka itu mengundang was-was tersendiri. Semakin hari, korban ninja semakin relevan dengan dirinya. Seolah gelombang itu semakin mendekat, dan meninggalnya Haji Karim adalah puncak. Bisa jadi, sebentar lagi giliran saya, Kiai Ilyas membatin. Kendati siaga itu ia pasang, Kiai masih enggan membayangkan dirinya diserang di dalam pesantren sendiri. Benteng ini kuat. Hanya orang bodoh yang berani merusuh di dalam.
Melewati gerbang bagian luar, Kiai tak menaruh curiga pada kekosongan pos jaga. Para petugas memang biasa berjamaah saat santri selesai salat. Namun, saat melewati gerbang bagian dalam, gerbang kecil menuju ke area kediaman pengasuh dan keluarga, barulah Kiai Ilyas menyadari betapa sepinya tempat itu. Tak seorang petugas pun yang berjaga. Lampu di gerbang juga mati. Kiai Ilyas selalu melewati jalan sepi di kandang kuda, di samping sumur tua yang dinaungi rindangnya pohon mangga itu. Namun, baru kali ini ia merasa salah pilih jalan.
Hanya orang bodoh yang berani merusuh di dalam, eh? Kiai membatin, karena saat ini, orang bodoh itu sudah ada di hadapannya.
Siapalah Kiai Ilyas di hadapan mereka yang gemar mengadu urat. Ia tak tahu caranya menghindari tendangan, menangkis pukulan, membalas tebasan senjata tajam. Ia juga tak punya ajian sakti yang membuat kulitnya setebal baja. Masa kecil ia habiskan belajar, masa muda juga belajar. Mereka bilang, ilmu adalah senjata terkuat seorang manusia, tapi senjata itu akan tumpul di hadapan manusia tak berotak.
Satu langkah Kiai Ilyas mundur, ia mengucap istigfar, kemudian maju dua langkah, melunasi utang mundurnya barusan, menegaskan pada orang di depannya bahwa ia tidak takut.
Orang itu berpakaian serba hitam. Mirip ciri-ciri ninja yang biasa Kiai dengar. Namun, ninja ini tak berkedok. Wajahnya jelas terlihat. Orang itu lebih tua dari Kiai Ilyas, tapi masih gagah dan berotot. Rambutnya beruban, putih menyeluruh, sama putih dengan jenggot panjangnya yang hanya selebar dagu. Kiai Ilyas menyipitkan mata. Sekilas orang itu terasa familiar.
"Mau berdiri berapa lama?" tanya Kiai Ilyas.
Orang itu tersenyum. Ia menundukkan pandangan dengan sopan.
"Maaf kalau akhirnya harus seperti ini. Mereka bilang, seorang Kiai sudah dijamin masuk surga. Artinya, Jenengan tidak keberatan kalau saya antarkan sekarang, kan?" ucap orang itu sambil tersenyum, tapi terdengar sangat serius.
"Kita pernah bertemu sebelumnya?" Kiai Ilyas masih tak bisa lepas dari rasa penasarannya.
"Mungkin," jawab orang itu sembari mengangkat kedua bahu, "Tapi sekarang itu tidak penting lagi."
"Ah, ya. Benar," jawab Kiai, tenang. "Jadi, bagaimana kamu akan melakukannya?" Kiai menunjuk tangan kosong orang itu. "Kamu bahkan tidak bawa pisau."
"Tangan saya adalah senjata. Ini asli pemberian Allah. Dengan kedua tangan ini, saya bisa merasakan tulang-tulang yang retak dengan sangat jelas, dan—"
Orang itu berhenti bicara tatkala sebuah cakar besi sudah menempel di lehernya, dan sebuah lagi sedang bersiap menggaruk perutnya. Seseorang yang entah dari mana, muncul dan menguncinya dari belakang. Orang berambut putih itu hanya bisa mengangkat kedua tangan, pasrah, tapi tetap tersenyum geli seraya berkata, "Masih berbakat menjadi pencuri rupanya. Jadi, bagaimana kabarmu?"
RAHWAN?
Ki Rahwan mempererat cakar besinya. Menempelkannya hingga menggores sedikit garis di leher, dan merobek sehelai benang di baju hitam orang berambut putih itu. "Kabar baik. Terima kasih sudah bertanya. Aku kira, ninja itu tidak banyak bicara. Ternyata ada juga yang cerewet macam kamu."
RODIN.
NOTE : Teman-teman, saya nggak peduli kalian ada di kubu siapa. Kalian tetap teman-teman saya. Kalau kalian sakit, siapa yang akan baca tulisan saya? Kesampingkan dulu pandangan politik yang berbeda. Mari bersihkan Indonesia dari virus yang baru datang ini, dan yang sudah lama ada di hati kita. virus benci. Mungkin kita akan mati, mungkin kita sudah terlanjur terkontaminasi, terjangkit, terpapar, tapi perjuangan ini bukan untuk kita sendiri. Perjuangan ini untuk masa depan anak-anak kita nanti. Jaga kesehatan mereka. Sehat dari penyakit, sehat dari benci.
Stay Safe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top