CHAPTER 46 - SERINGAI

Desa Gentengan, Kecamatan Raga.

Pria bermata satu menjilati mulut botol plastik, seolah setiap tetes terakhir tuak sangat berarti baginya. Keenam rekannya sudah teler. Ada yang masih sadar, tapi menceracau tak jelas, tertawa tak jelas, karena memang tak ada yang lucu. Masih tersisa sepotong ayam, dan beberapa ekor ikan, kentang, serta kacang rebus yang dikupas tapi tak habis dimakan. Kentara sekali jika mereka sengaja menyisakan ruang di perut lebih banyak untuk tuak dan lebih sedikit untuk makanan. Lebih baik lapar daripada tak mabuk sehari saja.

Ruangan itu jadi terasa penuh oleh kesia-siaan. Makanan yang sia-sia, pesta yang sia-sia, waktu yang sia-sia pula. Si mata satu melirik jam dinding yang ada di lantai. Ia tampar pipi kanan, karena jam dinding di lantai adalah pemandangan yang lebih cocok dilihat dari mata orang mabuk. Namun, ia sedang sadar. Perih di pipinya dengan cepat menjalar. Pesta siang itu terlalu meriah, mungkin, sampai dinding bergetar dan menjatuhkan jam bundar bergambar pohon beringin itu ke lantai. Kacanya pecah, tapi waktunya akurat. Si mata satu mendelik melihat jarum jam berada di pukul empat sore.

"Oh, tidak. Bangun! Semuanya bangun!" serunya gelapan.

Ia lakukan segala cara yang terpikir oleh otak separuh sedengnya. Memukul kepala, mengguncangkan tubuh, menarik telinga, menjambak rambut, tapi tak satu pun rekannya yang bangun. Yang sejak tadi tertawa justru semakin mengakak saat disiram air. Si mata satu kebingungan. Ia meraba-raba kantong baju dan celananya, mencari kunci yang harusnya ada di sana.

"Woi, kalian dengar tidak? Ini sudah jam empat sore, sudah waktunya berangkat. Cepat bangun!"

Si mata satu menarik meja kayu panjang tempat jamuan pesta, yang berubah jadi tempat tidur peserta pesta, membuat segala yang ada di permukaannya jatuh, termasuk kepala dan kaki-kaki yang semula nyaman bersandar. Ruangan yang semula sepi, kini gaduh oleh suara mengaduh.

"Yang bener aja, kamu!" protes seseorang yang pipinya menghitam karena noda kecap, pada si mata satu yang masih kelimpungan mencari kunci.

"Ah, ketemu!" wajah si mata satu melega kala memungut kunci yang ada di antara genangan air. Melihat rekan-rekannya sedang mengumpulkan sukma, ia memutuskan untuk tidak menunggu. "Dengar, aku mau ke luar dulu. Sementara itu, kalian harus bersiap-siap. Begitu aku kembali, kita langsung berangkat. PAHAM?"

Kor paham terdengar terpaksa, letih, dan sedikit mengejek.

Sebelum ke luar, si mata satu melirik tawanannya. Pak Saleh sedang tidur, atau pingsan. Tak jelas karena wajahnya menunduk, tersamarkan oleh rambut putih kusamnya yang lepek, terurai dengan sedikit noda merah.

"Pastikan kakek itu masih hidup, atau kita dalam masalah. Sialan. Kita menyiksanya terlalu keras."

Seseorang melempari Pak Saleh dengan sandal kayu yang mendarat tepat di kepala. Tak ada reaksi, hanya napas lemah tak teratur seperti harimau yang hampir mati.

"Tenang saja. Dia masih hidup," ucap si pelempar yakin.

Melihat teman-temannya masih separuh sadar, si mata satu ke luar ruangan, menutup pintu, lalu menguncinya dari luar. Tak mau ambil risiko tawanannya menyelinap kabur selagi orang-orang separuh tidur.

"Fahmi sok jago sekarang. Mentang-mentang dipercaya sama bos."

"Bener, Cak. Rasanya pengin aku colok sisa matanya, biar buta dua-duanya."

"Sabar, Le. Ini hari terakhir. Setelah ini, kita kerja sendiri-sendiri. Kita punya banyak waktu dan kesempatan untuk balas dendam sama dia."

"Apapun rencana kalian, aku ikut."

"Bacot! Mending siram kepala kalian dulu, biar sadar. Malam ini adalah misi yang paling penting. Jangan sampai kita pulang dari Banyusirih tanpa hasil."

Obrolan dari orang-orang teler itu biasanya jujur. Pak Saleh mendengarkan sambil pura-pura tidur. Lubang hidungnya terasa lengket. Di beberapa bagian justru kering berkerak. Sensasinya sama seperti kalau baru pulang dari sawah dan lupa cuci kaki. Lumpur mengering menyelimuti kulit. Kira-kira seperti itu. Bedanya, ini bukan lumpur, tapi darah. Pak Saleh mengingat beberapa saat sebelumnya. Orang-orang itu menyiksa Pak Saleh bergantian. Pak Saleh tak bisa melihat wajah-wajah beringas itu, ia hanya mengingat suaranya. Orang yang tertawanya seperti gesekan pedal mesin jahit adalah yang paling kejam. Orang itu yang menyayat cuping telinga Pak Saleh, yang sekarang tidak terasa lagi. Orang itu adalah si mata satu. Pak Saleh yakin sekali.

Sandal?

Pak Saleh melihat sandal kayu di sampingnya. Ia tidak ingat sandal itu pernah di sana.

Jangan-jangan....

"Kita jadi berangkat terpisah, kan?" tanya seseorang. Cara bicaranya masih terdengar teler.

"Ya. Kalau bersama-sama, nanti gampang dicurigai. Sekarang ini, Polisi sedang bersiaga di mulut Hutan Tambalur."

"Bos gimana?"

"Dia sudah ada di sana untuk mengarahkan teman-teman yang lain."

"Wah, sepertinya malam ini akan jadi sejarah."

"Tentu saja, dan kita harus bangga karena jadi bagian dalam sejarah itu. Betul tidak?"

"BETUL!"

Tetiba obrolan itu berhenti. Semua wajah mengarah pada Pak Saleh yang baru saja ikut melantangkan kata 'Betul', disusul tawa cekikikan, menampilkan barisan gigi merahnya.

Seseorang melempari Pak Saleh dengan sandal kayu lagi. Kali ini tepat mengenai dahinya.

Seketika Pak Saleh terdiam, meunduk. Sandal barusan sudah membuktikan sesuatu. Mulut yang baru saja tertawa seperti anak kecil, kini menyeringai seperti pemangsa.

Ternyata Benar... Pak Saleh membatin.

AKU TIDAK LAGI MERASAKAN SAKIT.

"Ngapain kamu senyum-senyum sendiri, Saleh? Jangan berpikir karena kami mabuk, terus kamu bisa kabur begitu saja," hardik seseorang yang mengenakan ikat kepala bermotif kulit ular. Dia juga yang melempari Pak Saleh dengan sandal kayu.

HEHEHE

HAHAHAHA

Semua tercengang mendengar tawa maniak itu. Pak Saleh tergelak seperti bukan seorang tawanan saja.

"Sadarlah. Kalian tidak sedang memenjarakanku," Pak Saleh menggeram, "Melainkan terjebak di sini bersamaku," lanjutnya girang.

Pak Saleh melepaskan belenggu semudah mematahkan kayu rapuh. Bunyi retakan itu menyentak, mengejutkan orang-orang, menyadarkan mereka dari mabuk secara utuh.

Pak Saleh bangkit dengan susah payah. Berusaha berdiri walau sedikit lunglai. Tubuhnya goyah, ia menyapu wajah, menyisir rambut putih panjangnya ke kebelakang dengan tangan, hingga wajahnya menengadah, matanya terpejam. Darah menjadi minyak rambut alami yang mewarnai uban kusam itu menjadi merah kelam. Perlahan-lahan Pak Saleh bisa berdiri dengan tegak. Ia mensejajarkan wajahnya dengan wajah-wajah tegang di hadapannya. Menatap mereka dengan gairah membunuh.

Enam orang mulai memasang kuda-kuda dengan separuh hati. Terlihat kokoh, namun bergetar. Berusaha bengis, walau sebenarnya ingin menangis. Ada yang beringsut pelan menuju pintu. Ada yang menggenggam pisau tapi ragu. Kakek di hadapan mereka bukan orang sembarangan. Mereka tahu itu. Salehudin mendadak jadi orang yang berbeda begitu lepas dari belenggu mereka.

"Ja-jangan takut. Kita ada enam orang bersenjata. Dia sendirian, tua, dan penuh luka."

Usaha yang bagus dari pria berikat kepala. Setidaknya dia berhasil menyemangati teman-temannya.

Salehudin tidak serta merta mengamuk. Ia justru maju dengan santai menyelami kepungan orang-orang.

Merasa menemukan celah, salah seorang mengambil kesempatan untuk menusuk Salehudin dari belakang. Namun, senjatanya tidak merobek apapun. Ujung pisau itu tenggelam satu sentimeter dalam tubuh Salehudin, lalu berhenti di sana dan tidak bisa maju lagi.

Salehudin berbalik. Gerakannya pelan dan tenang. Mengalihkan perhatian lawannya dari sebuah tinju yang datang bersamaan. Kepalan tangan Salehudin meretakkan sesuatu di balik wajah yang remuk, yang kemudian disusul tubuh yang ambruk. Tangan kiri Salehudin menahan tubuh lawannya agar tidak terpental, memaksimalkan benturan tinjunya hingga tingkatan yang lebih dekat dengan ajal.

Biasanya, Salehudin selalu bersikap pasif dalam pertarungan. Ia baru melawan saat sudah diserang. Namun, kali ini Salehudinlah yang menjemput lawannya satu persatu.

Ia berlari singkat ke antara dua orang yang sama-sama siaga dengan celuritnya. Orang yang bergigi tonggos mundur selangkah, untuk kemudian maju lagi dengan langkah dan sabetan celurit yang sama cepat. Lengkungan itu mengait leher Salehudin, lalu mendadak tumpul seolah tak mampu menebas pelepah pisang. Merasa rekannya berhasil melukai bagian tubuh vital Salehudin, orang yang berbibir sumbing menghunuskan goloknya ke arah pinggang Salehudin. Salehudin memutar tubuhnya, masih dengan leher berkalung celurit. Namun, tak sedikit pun luka gores yang tampak di leher kurus berurat timbul itu. Golok si sumbing menabrak perut sekeras cangkang. Lalu, masih dalam momentum putaran yang sama, Salehudin menangkap pergelangan tangan kedua lawannya, menekuk ke arah yang berlawanan dengan sendi, membuat suara gemeretak, membentuk kedua tangan itu menjadi sedikit lucu, membuat si sumbing dan si tonggos melenguh seperti sapi patah kakinya. Golok dan celurit jatuh ke lantai. Salehudin menyelesaikan dua orang itu. Ia menarik tangan si sumbing hingga badan si sumbing condong ke depan, lalu Salehudin menghantamkan lututnya ke dada hingga si sumbing pingsan. Cairan bening muncrat dari mulut si sumbing.

Saat hendak menyelesaikan si tonggos, seseorang memegangi dan mengunci Salehudin dari belakang. Lalu, tanpa membuang waktu, pria berikat kepala menetakkan parang berkarat ke kepala Salehudin dengan tenaga yang prima. Seperti biasa, serangan itu tidak berakhir seperti seharusnya. Salehudin berlari mundur ke belakang, membenturkan tubuh si pengunci ke dinding hingga terbatuk. Salehudin merangkul tangan si pengunci, lalu membanting tubuhnya ke lantai. Tidak cukup sampai di situ, Salehudin menusuk leher si pengunci yang sudah terkapar di lantai dengan kedua jari tangan, membuat bekas colokan seolah leher itu sebuah adonan.

Tidak lupa dengan si tonggos, Salehudin melemparkan kursi pada si tonggos yang masih mengaduh karena tangannya patah. Kursi itu menghentikan tangisan, sekaligus mengirim si tonggos ke alam bawah sadar. Ia terkapar dengan tangan kanan menekuk ke arah yang tidak wajar.

Begitu Salehudin berbalik untuk mangsa berikutnya, tiga orang sisanya sudah berlutut memohon ampun. Termauk pria berikat kepala. Pria yang sudah dua kali melempari Salehudin dengan sandal, dan menetakkan parang ke kepala Salehudin yang sedang panas.

"Maaf, Kang Saleh. Kami hanya mengikuti perintah. Kami hanya—"

Salehudin duduk jongkok di hadapan mereka bertiga. Ia menjambak rambut pria berikat kepala. Sambil menyeringai, Salehudin meninju wajah itu berkali-kali. Setiap kali tinjunya mendarat, orang itu mengucapkan ampun yang semakin lama semakin tak terdengar. Rusak sudah wajahnya. Rusak juga mulutnya. Sebagai penutu, Salehudin menampar wajah itu dengan sandal kayu.

Sekarang, tinggal dua orang yang tersisa, yang mendadak getir dan tak bersuara, karena baru saja menyaksikan apa yang Salehudin lakukan pada rekannya. Masih dengan seringai itu, Salehudin mengusap kepala dua orang itu bersamaan.

HEHEHE

Salehudin membenturkan kedua wajah orang itu ke lantai secara bergantian, seperti sebuah mainan. Setiap dua benturan, satu gigi terlepas. Begitu terus sampai sedikitnya delapan butir gigi tergeletak di genangan darah, di lantai semen yang basah oleh keringat, tuak dan air mata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top