CHAPTER 44 - TAMENG YANG RUNTUH
Kantor Kepala Desa Gentengan. Jikalau gedung itu berdampingan dengan rumah warga, maka sudah pasti akan jadi yang paling megah. Rumah penduduk Desa Gentengan seragam dalam kumuh yang dipermanis dengan kata sederhana. Bukankah miskin adalah sederhana yang terpaksa? Terutama di zaman termiskin dalam sejarah Indonesia. Tentu, rakyat pernah lebih miskin dari 1998, tapi itu sebelum seseorang menjadi jauh lebih kaya dari rakyat, lebih kaya dari bumi pertiwi yang tanahnya mereka gerus habis, tipis, menyisakan butiran kerikil di ladang emas, kutu busuk di lumbung padi, dan bangkai paus di lautan luas. Madu untuk sekutu, racun untuk keluarga.
Pak Saleh sedang memandangi kesenjangan itu di balik semak-semak tumbuhan jarak. Sebelah tangannya menyibak, membuka celah kecil untuk matanya melihat, sebelah tangan lagi menyibak lubang hidung, ada sesuatu yang mengganjal yang harus segera ia keluarkan. Di samping Pak Saleh ada rekan ciliknya yang juga mengintip dengan sikap sama waspada. Bocah itu tak lebih dari sekadar kompas, dan Pak Saleh tahu, sudah saatnya dia mengembalikan kompas itu ke tempat semula.
"Benar ini rumah Kepala Desa?" tanya Pak Saleh.
"Bukan, Mbah," jawab si bocah.
"Terus kenapa kamu bawa saya ke sini?"
"Soalnya Pak Kades ada di sini, bukan di rumahnya."
"Oh, begitu."
Pak Saleh sudah siap-siap pergi, tapi tertahan oleh tangan kurus cokelat yang terulur di hadapannya, menengadah, meminta imbalan. Pak Saleh tidak punya banyak uang, tapi ia punya cukup pengalaman menghadapi bocah macam ini. Ia menjentikkan jarinya di atas telapak tangan anak itu, meninggalakn kerikil hitam, kecil, dan sedikit lembek, lalu pergi meninggalkan teka-teki.
"Mbah, katanya mau masuk diam-diam biar nggak kelihatan orang?" bocah itu mengingatkan, sembari mengelap telapak tangannya yang baru saja ternoda ke celana pendeknya. "Kalau lewat sana, pasti kelihatan orang," lanjutnya.
"Oh, tidak apa-apa dilihat banyak orang, asalkan habis itu mereka pingsan, huahaha."
Pak Saleh pergi meninggalkan kompasnya yang tampak kebingungan. Bocah itu masih memperhatikan saat Pak saleh dengan sopannya memasuki gerbang, menghampiri pos jaga, menundukkan badan sambil garuk-garuk pantat. Menarik perhatian enam orang yang sedang nongkrong di serambi kantor desa. Jelas tidak sekadar nongkrong. Mereka sedang berjaga-jaga dari sesuatu yang akan datang, dan mungkin saja Pak Saleh adalah sesuatu itu.
Sepertinya Mbah itu baik-baik saja, pikir si bocah. Ia menyempatkan diri menguping pembicaraan sebelum pergi.
"Mau ketemu siapa, pak?" tanya orang di pos jaga.
"Saya mau ketemu Pak Kades, ada?"
"Kalau boleh tahu, bapak siapa, dan ada kepentingan apa?"
"Saya Salehudin, saya ke sini mau membunuh Kepala Desa," jawab Pak Saleh santai, sambil tersenyum malu, lalu terbahak-bahak.
***
Sementara itu di dalam Ruang Kepala Desa, Pak Kades bernama Muhaimin sedang kebakaran jenggot, setelah menerima laporan dari anak buahnya tentang seorang siluman Patokan yang lepas dan nyasar ke Gandrung, tepatnya ke desanya sendiri. Di hadapan Muhaimin tengah duduk seorang perangkat desa bernama Mul.
"Sudah kamu pastikan kalau yang dimaksud adalah Salehudin?" Muhaimin memastikan untuk kesekian kalinya.
"Menurut orang kita yang berhasil kabur, itu benar-benar Salehudin. Tidak ada alasan meragukan wajah ketakutannya. Apalagi dia sama-sama berasal dari Banyusirih. Mustahil orang kita itu salah lihat," Mul meyakinkan.
"Sekarang dia kemana?"
"Sudah saya suruh sembunyi, Pak. Idrus, yang bertato itu sudah saya suruh bawa teman-temannya yang katanya pingsan, untuk ikut sembunyi sampai urusan selesai."
"Bedebah! Kenapa tiba-tiba saja kita ada di posisi yang seolah-olah kita ini orang jahat, dan dia pahlawannya."
"Bukankah kita memang—"
"Oh, tidak! Kita bukan orang jahat. Kita cuma orang biasa yang mencoba bertahan hidup di tengah-tengah tirani. Mul, sistem ini seperti tangga keramat. Kita ada di undakan paling bawah. Saat kebusukan di atas meracuni rakyat, dan rakyat memutuskan untuk naik dan memberontak, kamu pikir siapa yang akan jadi korban pertama? Tentu kita."
Mul mengangguk. Kendati kalimat itu sudah pernah ia dengar sebelumnya, dan Pak Kades hanya mengutip dengan sikap seolah itu hasil pemikirannya sendiri.
Mul dan Muhaimin mendengar keributan di luar. Harusnya mereka tidak setegang ini. Namun, karena keributan itu muncul tepat setelah membahas Salehudin, maka mereka berdua pantas berkeringat dingin.
"Mul, di luar ada berapa orang?"
"Tujuh, Pak."
"Apakah salah satu dari orang bayaran kita ada di luar?"
"Nggak ada, Pak. Cuma petugas desa saja."
TOK TOK TOK
Terdengar orang mengucap salam dari luar dengan nada jenaka. Meski begitu, ada teror yang megalir dan mengirimkan getaran di sumsum Muhaimin dan Mul.
"Ma-masuk," Muhaimin mempersilakan.
Pintu terbuka. Masuklah sosok Salehudin dengan senyum sungkan yang anehnya terlihat natural. Benar-benar menyamarkan nafsu membunuhnya yang besar.
Mul bangun, memberikan kursinya pada tamu terhormat.
"A-ada kep-kepentingan apa ya, pak?" tanya Muhaimin.
"Wah, apa semua kepala desa itu gagap? Hahaha, maaf, kok rasanya terkesan familiar, ya?"
Muhaimin dan Mul saling tatap, seolah bertanya, Benarkah ini silumannya?
"Ah, iya. Saya ke sini mau tanya..." Salehudin memperbaiki posisi duduknya, kini ia bersandar dengan jari jemari tertaut satu sama lain. "Ada persekongkolan apa antara kalian dengan komplotan yang warga sebut Ninja?"
Muhaimin mencoba untuk tetap tenang. Ia tidak menyangka Salehudin orang yang blak-blakan.
"Sa-saya tidak mengerti maksud, jenengan."
OH TIDAK MENGERTI
Setelah mengucapkan itu dengan dingin seolah memaklumi, Salehudin menerjang meja di hadapannya, meja yang membatasinya dengan Muhaimin, sang Kepala Desa yang saat ini terempas ke dinding dengan perut terjepit meja. Salehudin menahan meja itu dengan sebelah kaki, dan separuh niat menghabisi.
Melihat situasi yang membahayakan atasannya, Mul mencoba melerai.
"Pak, tolong jangan main kasar."
Salehudin menjemput leher Mul dengan rangkulan tangan, kemudian mengirimkannya ke meja dengan wajah mendarat darurat.
Belum lima menit Salehudin berada di ruangan itu, dia sudah membuat banyak perubahan. Kepala Desa merintih menahan perih di perut, asistennya jongkok menahan ngilu hidung yang patah.
"Bedebah seperti kalian yang harusnya mati. Bukannya dia," Hardik Pak Saleh. Amarahnya sempat redup sejenak saat mengingat almarhum anaknya, tapi menyala lagi saat teringat dendamnya. "Kalian tengik yang lahir gara-gara ibu dan bapak kalian berenang bersama di sungai, separuh dari kalian diciptakan dari tai!"
Muhaimin dan Mul tidak terlalu menanggapi cacian itu. Sakit mereka sudah terlalu nyata dan mematikan fungsi hati sementara untuk merasakan cela dan hina.
"Sadarlah, Salehudin. Apa yang kamu lakukan ini bisa berakibat fatal bagimu dan keluarga."
KAU SENTUH MEREKA LAGI, MAKA ANAK CUCUMU AKAN MAKAN TANAH KUBURAN. MAKAM LELUHURMU AKAN AKU GALI HANYA UNTUK AKU BUNUH LAGI.
Muhaimin menyesali ucapannya. Dia tak berani memandang wajah Salehudin barusan.
"Ampun, Kang. Ampun," rengek Muhaimin.
"Sekarang, beri tahu aku, di mana mereka? Di mana komplotan itu bersarang!" Salehudin hendak memeras semua informasi dari mulut Mul dan Muhaimin dengan puluhan cara interogasi yang ia pelajari dari Jalu. Namun, seseorang datang memasuki Ruang Kepala Desa. Langkah yang santai, sikap yang tenang. Ia menutup pintu ruang itu dengan elegan, lalu mendekati Salehudin tanpa sedikitpun tegang.
"Kau jauh dari rumah..."
KAK TUAN
Salehudin terbelalak. Ia menoleh dengan penasaran, tapi yang ia dapati adalah tinju yang dengan cepat melayang, menghantam pipi Salehudin dengan sangat keras. Salehudin merasakan kakinya tak lagi menyentuh lantai, dan kepalanya bergerak ke arah berbeda, menarik serta tubuhnya, melayang singkat, kemudian mendarat di lantai.
Salehudin mengerang. Terbatuk-batuk dengan pandangan buram. Satu-satunya yang ia lihat adalah noktah merah di lantai putih. Tak hanya itu, tangannya juga gemetar. Walau benci mengakui, tapi Salehudin tak menampik rasa takut yang menjalari tubuhnya. Ia menengadah. Melihat sosok berbaju hitam, berdiri di hadapannya, menendang Salehudin sampai kembali menyapa lantai dingin. Sayangnya, Salehudin tak sempat mengenali wajah itu. Wajah yang rasanya familiar itu. Samar-samar dari telinganya yang tua, Salehudin mendengar suara orang itu.
"Amankan orang ini. Jangan sampai keliaran lagi—KALIAN CEPAT KE SINI!." Orang itu memanggil gerombolan rekannya yang juga berbaju hitam.
Dalam sekejap, ruangan itu sudah penuh dengan sedikitnya sebelas orang.
"Dia tak akan punya perlindungan, setidaknya sampai lima jam ke depan. Kalian bebas melakukan apapun, tapi ingat, jangan sampai mati. Nyawanya adalah milikku," ucap orang itu.
Terdengar riuh sorak yang gembira, mengiring pandangan Salehudin yang menghitam lalu hilang kesadaran.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top