CHAPTER 41 - DENGKI

USTAZ EDO

Empat orang santri sibuk menaikkan barang ke atas becak. Empat karung beras dan bermacam jenis sayur-mayur serta kebutuhan pokok dikemas dalam tas plastik. Semua tertata rapi dan menggunung, bahkan nyaris menutupi pandangan pengemudinya. Ustaz Edo turut mengawasi, bahkan ikut merapikan muatan agar kokoh dan tidak jatuh dalam perjalanan.

"Segini saja dulu. Sisanya bisa kamu antar sepulang dari rumah Haji Karim," ujar Ustaz.

"Siap, Kiai."

"Panggil Kakang saja!"

"Enggeh Ustaz!"

Hadeh!

Berangkatlah santri Ustaz Edo ke rumah Haji Karim. Becaknya baru dicat putih mulus, dengan kain hijau memayungi, dan sebuah tulisan menggantung di belakang sadel.

"Dua anak cukup, satu istri kurang," gumam Ustaz Edo, "Kreatif juga."

"Apanya?"

Ustaz terkejut oleh kehadiran Nyai Ani yang tak disadari.

"Anu, Mi. Saya baca tulisan di becak itu," jawabnya, gugup.

Nyai geleng kepala seraya berpikir, Edo jadi semakin mirip dengan seseorang. "Kalau urusanmu sudah selesai, segera pergi ke kediaman Haji Karim. Sampaikan salam duka Umi, sekaligus maaf belum bisa hadir karena Muf baru melahirkan. Oh ya, sebaiknya kamu juga segera pikirkan nama yang bagus."

"Bukankah saya sudah siapkan nama hasil diskusi dengan Abah waktu itu?"

"Kamu mau putrimu diberi nama Khoirudin? Aduh, kalian ini benar-benar sudah," Nyai Ani tepuk jidat, "Harusnya kalian siapkan nama perempuan juga."

Ustaz Edo tersenyum, matanya sayu. "Apa boleh buat. Abah sangat menginginkan cucu laki-laki ... Ah, iya! Saya harus segera pergi. Aparat desa sudah menunggu," Edo segera pamit, ia tidak ingin menabur duka di hari bahagia. Nyai Ani masih  sering menangis diam-diam. Mengingatkannya pada Almarhum Kiai Mahrum hanya akan memperpanjang masa berkabungnya.

***

Tempat yang hendak Ustaz Edo tuju adalah gedung madrasah baru. Enam kelas kosong berjejer menunggu sumbangan bangku. Leduk tidak pernah mengemis, tidak pernah mengharap belas kasih, tapi setiap tahun selalu saja ada orang baik yang memberi. Asrama, masjid, gedung madrasah, bahkan Almarhum Kiai Mahrum akan dibuatkan rumah baru. Walaupun tawaran itu ditolak lantaran Kiai Mahrum masih betah di rumah lamanya.

Ustaz Edo disambut tiga orang aparat desa yang sedang berjaga di salah satu kelas kosong. Mereka bertiga menyalami Ustaz. Hendak mencium tangan, tapi Ustaz Edo keburu menariknya. Risih. Kecuali anak-anak kecil, Ustaz Edo merasa tidak pantas.

"Apa sudah dikasih makan?" Tanya Ustaz.

"Sudah Kiai."

"Kakang saja!"

"Enggeh Ustaz."

Sekarang saya mengerti kenapa Abah lebih suka dipanggil Man.

Ustaz Edo masuk ke dalam kelas. Di sana sudah ada Kepala Desa Leduk dan Anto. Mereka sedang mengawasi Bowo yang sejak tadi merajuk. Makanan yang disediakan tidak Bowo Sentuh. Bowo memejamkan mata padahal dia tidak tidur.

"Dia baik-baik saja, kan?" Tanya Ustaz.

"Harusnya sampean tanyakan itu sama saya. Tiga jam lebih saya menahan diri untuk tidak mencekiknya. Saya benar-benar tersiksa," keluh Anto.

Ustaz Edo tertawa ringan. Dia sangat mengerti perasaan sahabatnya itu.

"Dia tidak mau bicara. Tidak mau makan dan minum sejak semalam," ujar Kepala Desa.

"Kalau begitu, tinggalkan kami berdua," pinta Ustaz Edo.

"Sampean serius?"

"Ya. Sepertinya ada yang ingin dia katakan sama saya," ucap Edo, penuh keyakinan.

"Baik, tapi berhati-hatilah. Kita tidak tahu apa yang ada di pikirannya," ujar Kepala Desa. Ia pergi bersama Anto yang langsung melepaskan hasrat mencekiknya pada seorang penjaga di luar.

Sekarang tinggal mereka berdua. Duduk berhadapan dengan sebuah meja memisahkan. Edo memandangi pria yang terikat di kursi. Kondisinya berantakan, bau, dan tampak sangat kelelahan.

"Ehm! Saya akan ulangi pertanyaan saya semalam. Saya harap kali ini Sampean mau menjawab dengan serius, Boyo."

"BOWO!"

"Ah, iya. Bowo. Maaf."

"Kenapa kalian tidak menyerahkan saya ke kantor Polisi seperti yang lainnya?" Tanya Bowo.

"Lho? Teman-teman kamu tidak kami serahkan ke Polisi, kok. Mereka kami kurung di gudang tambak, setelah dilumpuhkan oleh tembakan misterius ... seharusnya ini rahasia, sih."

Bowo menyandarkan bahu. Sikapnya kembali tenang.

"Sudah berjam-jam saya di sini. Kalau kalian ingin menyiksa saya, lakukan secepatnya! Atau bunuh saja saya!"

"Aduh, Sampean ini. Kalau memang niat kami begitu, Sampean sudah kami kuburkan hidup-hidup. Saya ke sini cuma mau tanya, kenapa Sampean benci sekali sama Kiai Mahrum? Saya berani jamin Beliau bukan tukang santet. Beliau bukan orang jahat seperti yang Sampean kira."

"Saya tahu."

"Lha, maksudnya?"

"Sejak awal saya percaya sama Kiai Mahrum. Beliau bukan pemilik ilmu hitam, bukan tukang santet."

"Terus maksud sampean ngamuk-ngamuk semalam itu apa?" suara Edo meninggi, kesal menghadapi Bowo.

"Kenalkah kamu dengan Almarhum Amri?" tanya Bowo, masih tertunduk seperti tak sudi menatap Ustaz Edo.

"Sepertinya pernah dengar."

Bowo mengembus napas, menelan ludah, menengadah seraya memejam mata.

"Kang Amri banyak berjasa sama saya--dulu, saat masih jadi kuli pasar--saya terkatung-katung di jalanan. Tak punya rumah, tak punya keluarga. Saat itu Kang Amri menemukan saya. Seorang pemuda yang kelaparan dan tidak bisa makan kalau belum kerja. 'Kamu bisa motong kayu?' tanyanya, sambil merokok di samping saya yang sedang kelelahan. Saya mengangguk. Hidup serabutan sudah membekali saya dengan banyak keahlian. 'Kalau begitu, kamu ikut saya. Saudara saya pengusaha mebel kecil-kecilan, dan memang sedang butuh karyawan,' ujarnya sambil tersenyum.

"Dia membawa saya, menjadikan saya keluarganya. Saya yang tidak dikenalinya, tidak dia tahu asal-usulnya, tapi diperlakukan seperti adik sendiri, bahkan dibiayai sekolah di Sokogede, saat itu Kang Amri masih mengajar ilmu sejarah.

"Hidup saya mulai membaik. Sangat amat baik. Lulus dari pesantren saya menikah dengan adik Kang Amri. Biaya pernikahan semua Kang Amri yang tanggung. Entahlah. Beliau bukan orang kaya. Gajinya tidak seberapa, tapi hampir tidak pernah saya mendapati Kang Amri kekurangan. Akhirnya kami tinggal terpisah. Saya membeli rumah di Sokogede dengan tabungan saya selama bekerja. Tinggal jauh dari Kang Amri tidak lantas mengurangi tali silaturahmi. Seminggu sekali saya dan istri pasti sempat berkunjung ke rumah beliau, sampai akhirnya sebuah musibah menimpa Kang Amri. Istrinya sakit parah, dan itu mengubah Kang Amri jadi setengah gila."

"Setengah gila?"

"Mungkin saya berlebihan, tapi sejak saat itu Kang Amri jadi orang yang berbeda. Berbulan-bulan istrinya tidak meninggalkan pebaringan. Hidup tapi seperti mati. Tidak bicara, hanya menatap kosong ke langit-langit rumah. Sudah berapa rumah sakit yang didatangi, sudah berapa tabib yang dikunjungi, tapi semua nihil. Mereka bilang, istrinya terkena santet."

Bowo terbatuk-batuk. Kerongokangannya kering dan serak. Masih tersisa butiran pasir akibat perkelahiannya dengan Ustaz Edo semalam.

"Saat itulah Kang Amri akrab dengan Mahrum. Sudah kenal sejak Mahrum masih mondok di Sokogede. Mereka bilang Mahrum sakti. Sudah banyak korban guna-guna yang dia obati, tapi untuk yang satu itu, Mahrum tidak peduli. Hampir setiap hari Kang Amri pergi ke Leduk untuk menemui Mahrum, tapi tidak sekalipun dia datang ke rumah sekedar menjenguk istri Kang Amri," suara Bowo memberat, tangannya mengepal.

"Akhirnya, istri Kang Amri meninggal. Kondisinya mengenaskan. perutnya busuk, lehernya menghitam seperti terbakar. Kang Amri tidak berani memakamkannya di Sokogede, karena itu Beliau minta ijin Mahrum untuk memakamkannya di Leduk, tapi ditolak. Warga Leduk bilang, Leduk sudah bukan pemakaman umum lagi. Leduk adalah desa. Mereka ...." Bowo terisak, "MEREKA TIDAK TAHU BETAPA MENDERITANYA KANG AMRI SAAT ITU!"

Edo memalingkan wajah.

"Kalau warga menolak, maka hanya ada satu alasan," sahut Ustaz Edo. Sebisa mungkin terlihat simpati, walau apa yang akan dikatakannya mungkin bisa menyakiti Bowo. "Amri yang kamu maksud ini, yang diberhentikan oleh pesantren karena kasus pengobatan alternatif, kan? Nyaris dipenjara karena mencabuli pasiennya."

"Hati-hati kalau bicara!"

"Maaf, tapi itu kenyataan. Amri tidak sehat. Apa yang dialami istri Amri, diamini warga sebagai hal yang pantas. Ilmu hitam adalah bumerang, Wo. Semakin lama kamu bersekutu, semakin jauh bumerang itu melesat. Namun, saat tiba waktunya menukik, bumerang akan kembali dengan kecepatan tinggi. Kalaupun tuannya sudah tidak di sana, bumerang itu akan tetap mengenai anak dan cucunya."

"Bohong!"

"Ayolah. Saya yakin kamu sudah tahu. Kamu menolak kenyataan bahwa idolamu tak sesuci yang kamu bayangkan."

Bowo tercenung. Air matanya berderai. Panas.

"Kenapa ada orang jahat yang sebaik itu?" Tangis Bowo tumpah.

"Mungkin, kamu adalah investasi. Almarhum tahu dosanya terlalu besar. Dia tidak bisa menebusnya sendiri. Dia ingin jika mati, ada seseorang yang mendoakannya setiap selesai salat. Sayang sekali invesatinya gagal. Apa yang Amri tanamkan padamu, justru tumbuh dan berbuah busuk. Ingat Bowo, kamu punya istri dan anak, kan? Amri mewariskan kebaikannya padamu, kenapa kamu mewariskan keburukan Amri pada keluargamu?"

Bowo teringat penyakit yang saat ini diderita istrinya. Penyakit yang sangat mirip dengan yang diderita istri Amri dulu. Bowo menangis. Sakit hatinya membenarkan apa yang selama ini dia tentang.

Orang ini benar. Edo benar. Kiai Mahrum benar. Dalam hati Bowo menyesal. Tapi, masih pantaskah dimaafkan?




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top