CHAPTER 4 - TAMU TENGAH MALAM

Desa Sumbergede, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan

Sekilas tentang Almarhum Amri. Semasa hidupnya ia dikenal sebagai guru yang penyabar, yang walaupun usianya masih muda, tapi disegani wali murid dan masyarakat. Keseharian Amri sangat sederhana. Ia punya seorang istri dan seorang anak perempuan berusia 7 tahun. Tinggal di sebuah rumah kecil di Sumbergede selatan, dekat dengan Hutan Sumbergede yang memisahkan Banyusirih dengan kecamatan selanjutnya. 

Dulu, di daerah itu sangat jarang sekali ada rumah. Sepi karena dekat hutan, dijauhi karena cerita-cerita seramnya. Terutama sejak beredar isu bahwa beberapa korban Polong Mayit dibuang ke hutan Sumbergede. Hingga pertengahan tahun 1995, satu-satunya rumah berdiri di kawasan itu hanyalah rumah Pak Saleh, kemudian diwariskan pada H. Karim, dan kini diwariskan pada anaknya. Memasuki 1996, mulai banyak warga yang membangun rumah di daerah tersebut. Aspal sudah diperbaiki, dan jalan raya Sumbergede menjelma menjadi jalur industri yang menghubungkan Patokan dengan Gandrung, dan pelabuhan penyeberangan menuju pulau Bali. Tapi, ini bukan tentang Amri. Ini tentang tetangganya yang bernama Abdul Fatah. Putra dari H. Karim.

Di malam itu, peristiwa yang terjadi di Pesantren Nurul Huda Lindung belum terdengar ke Sumbergede. Desa terbesar di Banyusirih itu masih dalam kondisi aman, walau belakangan sedikit goyah oleh peristiwa pembongkaran makam. Almarhum Amri adalah salah satu korban. Kuburannya dirusak oleh orang yang tidak bertanggung jawab, dan sebagai tetangga sekaligus sahabat, Fatah pun merasa geram.

Rumah Fatah dan Amri hanya berjarak kurang lebih lima belas meter. Mereka sering sekali beradu pengeras suara setiap kali mendapat album baru dari penyanyi kesayangan masing-masing. Fatah fanatik Qasidah, Amri dangdut aliran keras, dan satu-satunya selera mereka yang sama hanyalah Nike Ardila. Tiada banding, tiada tawar.

Fatah rindu sahabatnya itu. Kematian Amri dua tahun yang lalu benar-benar membuat kompleks rumahnya sepi. Fatah membeli semua koleksi dangdut Amri, agar bisa dia putar di rumahnya sendiri, sekedar untuk mengenang kebiasaan mereka berdua. Begitu dekatnya mereka, sampai-sampai Fatah yang terkenal penyabar, jadi sangat murka ketika mendengar apa yang terjadi pada makam sahabatnya.

Pukul dua malam. Hawa panas membangunkan Fatah. Ia jadi sadar bahwa dirinya sudah tertidur di ruang tamu dalam kondisi televisi masih menyala.

Tumben saya tidak dibangunkan? 

Fatah bangun dari kursi, lalu berjalan menuju kamar. Istri dan ibunya sudah tidur. Tapi siapapun yang sedang bersembunyi di balik tirai jendela rumahnya, mungkin ia sedang insomnia. Atau ada sesuatu yang membuatnya betah berdiri di balik tirai. Kaki-kaki kecilnya bisa Fatah lihat dengan jelas, mengarah ke jendela kaca besar di ruang tamu. Sambil geleng kepala, Fatah mendekatinya.

"Nail, sedang apa kamu di situ?"

Nail membuka tirai yang menutupinya. Anak pertama Fatah itu tidak sedang bermain petak umpet. Ia hanya sedang memperhatikan sesuatu di halaman rumahnya. Sesuatu yang ingin Fatah lihat juga.

"Kamu lihat apa, sih? Kenapa belum tidur?" Tanya Fatah yang sedikit menggeser posisi Nail

"Ada orang yang dari tadi berdiri di depan rumah Lek Amri, Bah," Jawab Nail. Bocah 8 tahun yang masih duduk di bangku SD itu menunjuk seseorang yang ia maksud. Tapi di mata Fatah, hanya ada pohon mangga di sana. 

"Tidak ada siapa-siapa. Lagipula kalaupun ada, urusannya sama kamu apa? Sudah, sekarang kembali ke kamar! Besok kamu kan harus sekolah."

"Tapi adek Imdad tidak bisa tidur, Bah. Gara-gara dari tadi orang di depan rumah Lek Amri menangis."

Fatah terpaksa membimbing Nail kembali ke kamarnya, dan ternyata benar. Di sana adik Nail yang masih berumur lima tahun juga belum tidur. Fatah melihat banyak sekali komik-komik berserakan di kasur dan di lantai.

"Kalian terlalu banyak baca komik, makanya mengigau. Ya sudah, Imdad tidur sama Abah dan Umi saja. Nail tidur sama Embah sana!"

"Tidak mau. Mau tidur di sini saja," Jawab Nail.

"Kakak, orang itu masih nangis." Bisik Imdad pada Nail, seraya dituntun abahnya pergi ke kamar.

Tinggallah Nail sendiri. Anak itu tidak pernah takut tidur sendiri, bahkan sejak umur enam tahun ia sudah tidak lagi tidur bersama abah dan uminya. Tapi malam ini berbeda.

Setelah suara adik dan abahnya tidak lagi terdengar, dalam heningnya suasana pukul dua malam, Nail kembali mendengar suara tangisan. Di sela-sela suara pilu itu, bisa Nail dengar ada sebuah nama yang disebut, dan nama itu adalah...

KHOLIFAH

Nail kenal dengan orang yang dimaksud. Kholifah adalah istri almarhum Amri, yang setelah Amri meninggal tidak menempati rumahnya lagi. Rumah itu kosong tak berpenghuni, tapi orang misterius itu masih menangis. seperti memohon untuk dipersilahkan masuk.

Nail berdiri di atas tempat tidur. Dengan bantuan sebuah bantal, ia dapat sejajar dengan jendela kamarnya. Dibukanya tirai jendela yang mengarah langsung ke halaman rumah Amri, dan ternyata benar. Orang itu masih di sana. Berdiri mematung menghadap rumah Amri, dengan tubuhnya dibalut kain kafan.

Malangnya nasib Nail. Setelah ini, ia tidak akan tidur sampai pagi. Bahkan selamanya tidak berani tidur sendiri. Tepat sebelum Nail menutup kembali tirai jendela, orang berwujud pocong itu berhenti menangis dan menoleh ke arahnya. Seolah sadar bahwa ia sedang di perhatikan. Ada orang yang peduli padanya. Pada pocong yang tidak lain adalah

AMRI SENDIRI

Bocah itu lari tunggang-langgang menuju kamar abahnya. Melompat ke atas kasur dan membangunkan kedua orang tuanya, termasuk adiknya yang baru saja lelap.

"Ada apa?!" Tanya Nurina; Ibu Nail.

Nail menangis histeris. Traumanya tidak akan hilang sampai ia dewasa. Tidak mau menunggu anaknya menjawab, Fatah turun dari tempat tidur dan menuju kamar Nail dengan langkah cepatnya. Tampak kamar Ustadzah Mai; Ibu Fatah, terang benderang, pertanda ibunya juga terbagun karena teriakan Nail.

Sayangnya, dari jendela kamar Nail yang dicurigai Fatah sebagai sumber tangisan anaknya, Fatah tidak melihat apapun kecuali pohon mangga di halaman rumahnya, dan rumah Amri yang gelap gulita. Rupanya, Amri enggan menampakkan diri pada sahabatnya. Tidak dalam sosok menyeramkan seperti yang Nail lihat.

***

"Nail belum bangun, Mi?" Tanya Fatah yang sedang menyantap sarapannya bersama dengan ibu dan Imdad.

"Masih tidur, Bi. Biarkan saja hari ini Nail tidak sekolah. Nanti Umi yang buatkan surat ijin ke madrasah." Jawab Nurina.

"Makanya, ibu kan sudah bilang. Jangan biarkan anak sekecil itu tidur sendiri, tapi kalian tetap tidak mau dengar. Bagaimana kalau Nail jadi trauma? Di usianya yang masih delapan tahun, itu bisa berakibat fatal pada kejiwaannya kelak. Ah, Naudzubillah. Kenapa keturunan Bani Saleh begini semua." Bu Maisaroh menasehati, sekaligus menggerutu.  

Hal yang serupa juga sering dialami fatah semasa kecil. Bahkan H. Karim pun mengaku kerap kali melihat sesuatu melintasi rumahnya. Bahkan ada satu yang memang bersemayam di rumah warisan Muhammad Salehudin itu.

"Nail mengaku melihat orang di depan rumah Amri," Ujar Fatah.

"Iya, Bah. Imdad juga dengar ada orang nangis semalam."

Nurina buru-buru menyuapi Imdad karena merasa anak itu tidak perlu terlibat lebih jauh.

Amri. Mungkinkah itu kamu?  Pikir Fatah.

Tiba-tiba sarapan Fatah dan keluarganya terganggu oleh kedatangan seorang tamu.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," Fatah meneguk segelas air, lalu pergi menemui tamunya.

Di depan rumah Fatah, telah berdiri tiga orang bersarung yang dari perawakannya saja Fatah bisa menebak kalau mereka adalah santri. 

"Anu, lek*. Ustad Karim ada?"
*) Panggilan untuk bapak umum. Pak Lek. Paman/Om.

Segera Fatah bisa menebak dari mana ketiga santri itu berasal. Hanya beberapa orang saja yang memanggil abahnya dengan sebutan ustad. H. Karim adalah guru madrasah di pesantren Nurul Huda, Ia juga merupakan utusan dari Sokogede untuk membantu Nurul Huda yang saat itu kekurangan tenaga pendidik.

"Nyara, lengghi dhimin*. Tapi kebetulan abah saya sedang tidak di rumah. Beliau sedang di rumah saudara, di Gentengan. Ada apa ya?"
*) Mari, masuk dulu.

Tiga santri itu saling pandang dengan tatapan kecewa dan kebingungan. Kemudian salah satunya menjawab.

"Kami diutus Kiai Mahlawi untuk menjemput Ustad Karim ke pesantren."

"Mendadak sekali? Setahu saya hari ini abah tidak ada jadwal mengajar di madrasah."

"Anu, lek. Madrasah hari ini libur, karena ada salah seorang umana', seorang ustad yang meninggal. Beliau... dibunuh orang semalam."

Kabar itu tidak hanya mengejutkan Fatah, tapi juga keluarganya yang tanpa sengaja mendengar. Pembunuhan di Tapal Kuda pernah menjadi hal yang biasa beberapa tahun lalu. Butuh waktu lama bagi mereka untuk membuatnya jadi hal tabu, dan ketika peristiwa itu terdengar lagi hari ini, mereka tidak bisa menahan kengerian yang muncul akibat trauma. Trauma yang abadi.


Character Index :

1. Abdul Fatah : Putra dari H. Karim. Cucu dari Pak Saleh. Perkiraan usia 30. Muncul pertama kali pada 'Pesta Bunuh Diri' (Chapter Jejak Kaki)
2. Nurina : Istri Fatah. Alumni pesantren Sokogede. Perkiraan usia 30. Disebut pertama kali pada 'Pesta Bunuh Diri' (Chapter Jejak Kaki)
3. Ustadzah Maisaroh : Istri H. Karim. Guru Madrasah di Sokogede. Perkiraan usia 50. Muncul pertama kali pada 'Pesta Bunuh Diri' (Chapter Kabar Buruk)

Event Index :

Polong Mayit : Tragedi pembantaian/pemusnahan gelandangan dan orang gila di sekitar tapal kuda. Yang diduga kuat pelarian dari lawang jerit. Baca : Pesta Bunuh Diri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top