CHAPTER 36 - BENANG MERAH
RUMAH PAK SALEH
Aluf mendaratkan tubuhnya di teras. Membuat bunyi keras, lalu kemudian tengkurap. Barulah kedatangannya disadari oleh Pak Saleh dan Pak Busrowi.
"Astaghfirullah, Maulida."
Keduanya bergegas menghampiri. Baru pertama kali Pak Saleh melihat muridnya yang satu itu berdarah. Wajah Pak Saleh pucat pasi, membayangkan apa yang akan ia katakan pada Pak Kiai nanti.
"Luka di lengannya sangat dalam. Cukup ngobrolnya! Kalian harus segera dibawa ke rumah sakit." Saran Pak Busrowi, sedikit memaksa.
"Benar, kalau tidak cepat-cepat, Maulida dan orang ini tidak akan tertolong."
"Sampean juga, Ki Saleh! Astaga."
Pak Busrowi mengelus dada.
"Sampean bawa motor, kan?"
"Ya, tapi saya tidak tahu bagaimana caranya membawa kalian bertiga."
Tangan Aluf sampai ke bahu Pak saleh. Menggenggam otot kekar itu dengan tangan mungilnya yang lengket.
"Kak Tuan, maafkan saya. Saya tidak pulang membawa cukup bukti."
"Jangan dipikirkan lagi. Yang penting sampean masih hidup."
"Sudah saya bilang, kan. Tugas yang Sampean berikan pada gadis ini terlalu berbahaya. Cukuplah dia berjuang dengan doa. Mereka bilang, doa anak kecil itu cepat sekali dikabulkan."
"Diamlah orang hutan!"
Pak Busrowi tertusuk hatinya. Aluf memang sekarat, tapi mulutnya masih sehat, kata-katanya masih tajam, dan Pak Busrowi hanya bisa menelan ludah, menelan kekalahan.
"Kak Tuan. Memang ini cuma dugaan, tapi..."
Aluf memaksa untuk duduk. Memalukan baginya kalau harus tidur di pangkuan Pak Saleh.
"Saya merasa familiar dengan orang-orang itu. Gerak-gerik, bahasa tubuh, suara, semuanya, seperti sangat akrab bagi saya."
"Hanya firasat," Sela Pak Busrowi.
"Tidak. Siapapun bisa mengenali, dan mengingat suara orang terdekat. Keluarga, saudara, sahabat, bahkan kadang orang yang baru dikenalinya sekalipun." Sanggah Pak Saleh, penuh keyakinan akan intuisi Aluf.
"Tapi..." Jeda itu mengubah air muka Pak saleh jadi lebih tegang. "Untuk mengenali gerak-gerik, dan bahasa tubuh seseorang, itu soal lain."
"Maksud Sampean?"
"Untuk yang satu itu, butuh waktu lama sekali. Kecuali kita sering memperhatikan, setiap hari, setiap saat, dan sering melakukan kontak fisik dengan mereka."
Dada Pak Busrowi terangkat. Tangannya yang sedari tadi sibuk membalut perban, mendadak berhenti.
"Jangan bilang kalau mereka..."
"Ya, mungkin saja—Mungkin saja!" Pak Saleh mengulang dengan penekanan, "Aluf pernah, atau sering berlatih silat dengannya. Dengan mereka."
***
PENDOPO KIAI FATAH
Mbah Sopet penuh kontroversi. Untuk seorang Kakek yang sudah berkali-kali menikah, meremehkannya adalah hal yang biasa. Menjadikannya lelucon sangatlah mudah. Tak pelik orang-orang susah menyeriusi perkataannya. Kecuali para sahabat dekat. Mereka tahu, kapan Sang Gunawan sedang bercanda, dan kapan dia sedang serius.
"Atas dasar apa Sampean bilang begitu?" Tanya Kiai Fatah pada Halim.
"Cucu saya ini bertugas memata-matai Tambangan. Sesuai kesepatakan kita di pertemuan sebelumnya, Kiai. Dia sempat tertangkap dan disekap di sebuah gubuk terisolir dari desa. Saya baru saja membawanya pulang hidup-hidup. Perutnya memang kosong, tapi kantongnya penuh dengan informasi, dan saya berani menjamin keakuratannya."
Semua mata tertuju pada Halim. Merasa ini gilirannya untuk bicara, Halim bersikap siap-siap.
"Nyoon saporah, manabi abdina cangkolang. Tentang kasus ninja yang sedang kita hadapi ini, ternyata jauh lebih rumit dari yang kita ketahui."
"Pemuda ini, cara bicaranya juga rumit," Bisik Ki Gusafar.
"Saya tidak mau dengar itu dari kamu." Balas Ki Jalu.
"Karena itu, mari kita mulai analisa dari awal. Sebelumnya, ini akan terdengar membingungkan. Kebingungann yang sangat panjang." Halim memperingatkan.
Sekarang, sikap santai mereka yang ada di Ndalem, berubah bak seorang murid yang bersiap mendengarkan pelajaran sejarah.
"Menelaah kembali awal mula kasus ini, saya menemukan bahwa pemicunya adalah sebuah pertengkaran antar warga di sebuah desa, di kabupaten Gandrung. Berdasarkan iri hati dan kecurigaan, terjadilah pembunuhan dengan dalih, bahwa korban yang merupakan guru madrasah, diduga sebagai tukang santet. Pelaku yang masih tetangga berhasil ditangkap oleh polisi, tapi sumbu yang terlanjur dinyalakan, dibiarkan begitu saja.
"Seseorang—lebih tepatnya, sekelompok orang—memanfaatkan kejadian tersebut--yang saya yakin sudah direncanakan sebelumnya--sebagai momentum untuk membuat kericuhan. Isu santet adalah hal yang amat sensitif di sana, sedikit percikan api, maka semua akan terbakar. Dan api yang saya maksud adalah ini."
Halim menyodorkan sebuah kertas dengan daftar nama, yang beberapa diantaranya sangat dikenal di Sumbergede.
"Ini daftar target operasi mereka? Kenapa semuanya orang banyusirih?" Tanya Ki Rahwan.
"Saya menemukan benda yang sama di saku mainan saya barusan."
Ki Jalu mengeluarkan benda serupa, tapi dengan daftar yang berbeda. Kemudian, Mbah Sopet mengambil alih penjelasan.
"Daftar target yang ada di Gandrung, berbeda dengan ini. Menurut informasi yang saya peroleh dari seorang pemilik warung di desa Gentengan, ramai spekulasi warga bahwa daftar nama itu dikeluarkan langsung oleh pihak yang berwajib, atas mandat dari..."
BUPATI MEREKA SENDIRI.
Menyebut nama instansi pemerintahan, dalam kasus serumit dan sekejam ini, adalah kejutan. Kejutan yang sudah mereka antisipasi. Jadi, saat mendengarnya, mereka hanya bisa bermuka masam.
"Bupati Gandrung, terlibat?"
"Hati-hati mengatakannya. Fitnah saja sudah kejam, memfitnah orang sekelas itu, adalah kekejaman yang lebih." Tanggap Gusafar.
"Saya hanya menyampaikan apa yang saya dengar, dan apa yang orang Gandrung yakini. Saya percaya pada pemilik warung itu, karena dia adalah mantan istri ketiga saya."
"Sepertinya, kita butuh peta penyebaran istri-istri si Sopet. Diakui atau tidak, kakek tua ini telah berkontribusi banyak terhadap seperempat populasi Indonesia setelah perang. Ah, menyebar benih-benih peju-nya di seluruh penjuru bumi pertiwi."
"Diamlah Gus! Kamu membuat percakapan ini jadi makin membingungkan!" Keluh Ki Jalu.
Sementara Kiai Fatah diam, merenung, belum bisa memutuskan bagaimana harus bereaksi. Karenanya, Halim melanjutkan estafet penjelasan.
"Daftar target itu berlabel sebagai nama-nama praktisi ilmu hitam. Saat pertama datanya bocor ke permukaan, masyarakata Gandrung tak banyak bereaksi. Tidak ada kasus korban santet dalam beberapa tahun terakhir, jadi tidak ada alasan bagi mereka untuk bertindak anarkis dan main hakim sendiri. Kondisi ini disadari oleh mereka, sekelompok dalang yang bermain di balik layar. Mungkin, bagi mereka, reaksi tenang warga adalah hambatan. Mereka sadar, tidak mudah menghasut warga. Tidak gampang membuat orang jadi jahat dan brutal dalam waktu yang singkat. Karenanya, mereka menurunkan orang-orang yang memang sudah jahat dari awal, untuk melakukan tugas tersebut."
"Maksudmu, Lim?" Ki Rahwan tahu jawabannya, tapi dia ingin diyakinkan.
"Pelepasan para tahanan di kota Gandrung. Dan misi mereka untuk membuat kekacauan , huru-hara, menebar fitnah dan kebencian."
"Jadi, sekelompok preman yang kemarin mengacau di desa kita pun, dikoordinir oleh orang yang sama?" Kali ini Kiai Fatah yang bertanya.
"Ya!" Jawab Halim mantap. "Kelompok yang menyekap saya, adalah anggota dari preman-preman itu. Teledornya mereka bercakap-cakap tentang hal-hal yang bersifat rahasia, selagai saya pura-pura pingsan."
"Tapi, Lim. Orang-orang yang saya dan Karim lawan di Gandrung, adalah orang Banyusirih."
"Dan ada spekulasi bahwa orang-orang yang mengacau di Banyusirih dalah orang-orang Gandrung. Bagaimana kamu menjelaskan hal ini?" Ki Jalu menambahi.
"Mudah! Para tahanan diiming-imingi kebebasan. Keluarganya jadi jaminan. Ketika mereka melakukan misi pertama, mereka berhasil memenggal kepala dua sampai tiga orang target di kota Gandrung. Barulah mereka menyadari sesuatu. Mereka tidak mungkin membantai orang-orang desanya sendiri. Sanak-saudara, tetangga, bahkan sekedar kenalan jauhnya sekalipun. Sedikit-banyak, akan ada perasaan gentar ketika menghadapi wajah-wajah yang pernah tertawa bersama di warung kopi. Karena itu, Penjara di Patokan melakukan hal yang sama. Secara diam-diam, mereka melepaskan beberapa tahanan. Dan proses eksekusi silang pun dimulai. Tahanan Patokan beroperasi di Gandrung, tahanan Gandrung beroperasi di Patokan."
"Masuk akal." Kata Ki Rahwan.
"Sebentar." Sela Ki Jalu.
Memperhatikan dengan Saksama dua daftar target yang berhasil mereka kumpulkan.
"Ini adalah daftar target milik para tahanan yang berhasil Halim bawa. Sedangkan ini daftar yang saya dapat dari tawanan saya. Kenapa nama-namanya berbeda?"
"Eh, Sampean benar." Ujar Ki rahwan, Terheran-heran.
"Yang didapat Halim berisi nama-nama guru ngaji, dan kiai di Banyusirih. Sedangkan yang diapat jalu, berisi nama-nama tokoh-tokoh sepuh, tidak semuanya adalah tokoh agama, bahkan sebagaian besar adalah anggota Karmapala dan Rantai Hitam, serta beberapa khadam para Kiai," Kiai Fatah menoleh pada Halim, "Apa maksudnya ini?"
"Kiai, apa yang terjadi di Banyusirih, jauh lebih rumit lagi."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top