CHAPTER 35 - SERUAN PERANG

Halim, Masjo dan Mbah Sopet telah sampai ke Sumbergede. Tempat yang pertama kali mereka datangi adalah kediaman Kiai Fatah. Setelah melewati penjagaan yang berlapis-lapis, akhirnya mereka sampai juga di pendopo. Mbah Sopet memimpin di depan, bergaya ala dukun sakti dengan cincin akik di kelima jari. Menyusul di belakangnya, Halim yang lemas kelaparan, serta Masjo yang kakinya lemas gemetaran.

"Kenapa kalian jalannya mirip penyu begitu? Ayo cepat!" Mbah Sopet memberi semangat, lalu mempercepat langkah kakinya.

"Apa kakek lupa, kalau di sini ada korban penyanderaan yang sedang kelaparan?" Gumam Halim.

"Apa kalian lupa, kalau di sini ada tukang becak kakinya hampir copot? Gila. Tambangan ke Sumbergede itu jauh sekali tretan." Gerutu Masjo.

"Kalian bilang sesuatu?"

"Tidak Mbah Gunawan," jawab Halim dan Masjo.

Di Pendopo, mereka dipertemukan dengan Ki Rahwan, yang saat ini sedang bersama kedua murid Pak Saleh. Kedatangan Mbah Sopet yang berkesan gawat, membuat Ki Rahwan langsung angkat pantat.

"Kiai Fatah?"
"Ada di Ndalem, kenapa? Ada kabar baru yang kamu dapat?" Tanya Ki Rahwan.
"Ya, kita harus menemui Beliau sekarang juga. Sementara kalian," Mbah Sopet menunjuk Adam dan Ghazali, "Kabarkan pada ketua di tiap pos jaga, agar menyuruh sebagian anak buahnya kembali ke rumah masing-masing. Perketat juga penjaga di gerbang pesantren, dan rumah para tokoh sepuh."
"Lho, kenapa Mbah?" Tanya Ghazali.
"Ada kelompok yang memanfaatkan situasi ini untuk bersih-bersih daun kering--Ah iya. Beritahu mereka agar memperketat juga penjagaan di rumah orang-orang ini."
Mbah Sopet menyodorkan sebuah kertas.
"Tidak usah tanya!" Tandas Mbah Sopet, melihat Ghazali hendak membuka mulutnya.

Akhirnya bisa duduk selonjoran juga. Masjo bernapas lega. Sekarang, pria malang itu bisa merasakan kedua kakinya lagi. Mengusir semut-semut ghaib yang baru saja menggerayanginya.

"Baik, Mbah. Kami cari pinjaman sepeda dulu, karena kami ke sini jalan kaki." Ujar Adam.
"Tidak ada waktu, kalian pergi bersama murid saya saja, naik becak," Mbah Sopet melirik Masjo yang langsung bekeringat dingin.

Ya Allah, terimalah segala amal ibadahku.

***

Menyurusi selasar yang membelah taman berumput hijau nan luas. Mbah Sopet dan Ki Rahwan menuju Ndalem Kiai Fatah. Sepanjang jalan, para santri mondar-mandir siaga. Berbekal kopi dan kerupuk sebagai cemilan. Menyusul di belakang Mbah Sopet, adalah Halim dengan perut keroncongan. Saat seperti ini, kerupuk para santri jadi kelihatan lezat di matanya.

"Kemana Gusafar dan Jalu?"

"Tidak tahu. Saya pikir mereka bersama sampean?"

"Bah, bukannya kalian bersama-sama menjenguk Karim?"

"Ya, setelah itu kami ada urusan masing-masing."

***

Di kegelapan hutan Sumbergede, berpayung pepohonan rindang. Kawanan berbaju hitam tak bisa menunggu lebih lama. Beberapa rekan mereka tak kunjung kembali ke titik pertemuan, dan sekarang, mereka mulai kelimpungan.

"Kita bubar!"

"Bubar? Bagaimana dengan teman-teman kita yang lain?"

"Mereka tidak akan kembali."

"Kau meragukan teman sendiri?"

"Kamu tidak melihat bagaimana Salehudin membunuh satu orang dari kita, hanya dengan satu pukulan. Bukan meremehkan, tapi sejujurnya, kita salah perhitungan."

"Sejak awal, misi ini sudah mustahil. Kamu benar, kita pergi saja. Saya yakin, walaupun tertangkap, teman-teman kita akan tetap tutup mulut. Kalau tidak yakin terhadap kekuatannya, yakinlah terhadap kesetiaannya. Mereka akan menjaga rahasia, walau harus membawanya ke nereka."

Ucapan salah seorang dari mereka telah membuka renungan singkat, tapi mantap. Dengan tetap berkumpul seperti ini, resiko mereka untuk tertangkap semua jadi lebih besar. Karenanya, mereka bubar. Menyerah semalam, untuk memenangkan malam berikutnya. 

"Ada apa?"

"Entahlah, sejak dari rumah Salehudin tadi, aku merasa diikuti seseorang."

"Jangan bercanda!"

Sebilah pisau melesat, menerobos semak-semak dan tumpukan daun kering di samping sebuah pohon berbatang kurus. Lemparan yang sangat persisi dari si Pria bertopeng. Sekedar memastikan, bahwa gerakan daun yang dicurigainya barusan tidak berasal dari manusia. Dia menunggu, teman-temannya pun menunggu, semua tegang dan siaga, hingga dua menit yang tenang itu meyakinkan mereka bahwa memang tidak ada siapa-siapa.

"Aman," Ucapnya yakin, lalu pergi meninggalkan lokasi.

Berpencar. Kawanan bertopeng hitam menyebar ke segala penjuru mata angin. Tempat itu menjadi sepi. Sunyi yang sangat dinanti-nanti oleh Aluf, setelah beberapa menit menahan diri untuk tidak mengaduh. Pisau yang dilemparkan orang itu menancap di lengan kirinya dan nyaris menembus. Aluf menekan luka itu erat-erat, mencegah darah menetes dan menimbulkan suara. Dedikasi, atau nekat? Yang jelas aluf menjerit di balik cadarnya.

Harusnya aku bersembunyi di pohon yang lebih besar

Aluf bangun. Dia harus sampai ke rumah Pak Saleh, sebelum darahnya habis menyirami pepohonan, menyuburkan hutan dengan darah birunya yang jadi tak berarti lagi jika Aluf mati.

Berkorban sejauh ini, tapi hanya mendapat sedikit informasiSesalnya. Tapi, kenapa aku merasa familiar dengan suara mereka?

Aluf tersaruk-saruk. Bersandar dari satu pohon ke pohon lain. Berusaha untuk cepat, dan tetap mengingat jalan pulang.

***

Kembali ke jantung desa Sumbergede. Ndalem Kiai Fatah dikosongkan atas permintaan Mbah Sopet dan Ki Rahwan. Halim terheran-heran menyaksikan gelagat Kakeknya. Bahkan kedua kakek itu punya kendali atas santri Kiai. Berdalih ada rapat penting, sebelas santri yang bertugas mengamankan Ndalem diusir layaknya menggiring anak kecil pulang dari main layangan. Hebat, sekaligus tidak sopan.

Sekarang, Ndalem sudah sepi. Di terasnya yang luas hanya ada Ki Rahwan, Mbah Sopet dan Halim, menunggu Kiai Fatah keluar menemui mereka.

"Saleh gimana?"

"Oh, Kak Tuan. Waduh, ceritanya rumit. Menurut cerita muridnya barusan, Kak Saleh sengaja memancing ninja itu datang ke rumahnya."

"Gila!"

"Memang sejak kapan salehudin pernah waras?"

"Assalamualaikum, wahai orang tua. Saya kira malam ini akan turun hujan. Ternyata, bau tanah ini berasal dari kalian." Sapa Gusafar.

Bersama Ki Jalu, Gusafar datang membawa debu, dan bau apek dari anak-anak keranya. Sementara Ki Jalu berkopiah miring, macam orang kalah main. Kedua kakek tersebut bak jemuran dalaman nenek-nenek yang telat diangkat dan jatuh ke selokan. Sangat berantakan dan rumit.

"Kalian berdua kenapa?" Ki Rahwan lupa menjawab salam.

"Hanya terlibat baku hantam dengan mereka yang tak punya wajah. Mereka yang bersembunyi dalam hitam, mereka yang--"

"Kami diserang orang bertopeng hitam." Ki Jalu memotong penjelasan Gusafar yang berbelit.

"Ninja? Serius?"

Gusafar duduk bersila dengan hati-hati. Sendi-sendinya ngilu dan tulangnya tidak muda lagi. Jalu pun seperti berusaha menahan nyeri.

"Kalau Ninja yang selama ini kita waspadai selemah dan sekonyol barusan, maka kemelut ini sudah selesai sebelum merambat." Gusafar menjawab Ki Rahwan, sekaligus membuatnya bingung.

"Maksudmu?"

"Maksudku, Kiai Sahrul pasti marah-marah di akhirat karena dibunuh oleh orang selemah itu. Nyatanya, beliau wafat dengan mengenaskan. Mati yang tak pantas untuk seorang yang kesehariannya jadi teladan."

"Kalau bukan ninja, terus siapa?"

Ki Rahwan jadi merasa konyol sendiri. Mbah Sopet tahu sesuatu yang ia tidak tahu. Jalu dan Gusafar jadi incaran Ninja sementara ia tidak. Ini tidak adil. Kalau mau gawat, harusnya gawatnya sama rata. Walau tidak terucap, Ki Rahwan iri dengan betapa pentingnya peran ketiga temannya malam ini. Kalau suatu saat harus jadi dongeng, maka Ki Rahwan hanya akan jadi faktor komedy, pelega ketegangan.

Kiai Fatah datang. Keluar dari Ndalem membawa semerbak wangi-wangian. Kiai baru selesai salat. Masih cerah wajahnya walau sudah malam, sementara tamu-tamunya redup dan kusam seperti tak mandi seharian.

"Astaghfirullah, sampean-sampean kenapa?"

Tak basa-basi, Mbah Sopet mengambil giliran pertama untuk bicara.
"Mohon maaf Kiai, saya dan Halim membawa sebuah kabar. Tapi sebelumnya, ada yang ingin saya tanyakan sama Jenengan."

"Ya, tanya saja." Jawab Kiai, terheran-heran.

"Apakah pesantren ini siap kalau harus berperang?"

Semua terperanjat. Kecuali Halim. Tidak main-main. Wajah Mbah Sopet sudah seserius itu. Dia bukan Salehudin yang tak punya sungkan beecanda dengan Kiai. Artinya, pertanyaan Mbah Sopet barusan bukanlah basa-basi belaka.

"Ngomong apa Sampean? Jangan mudah menyebut kata perang! Negeri kita sudah cukup lama jadi medan tempur. Lagi pula siapa yang akan kita perangi?"

Halim menarik napas. Lalu mengembuskannya bersama jawaban.

DESA INI, DAN ORANG-ORANG BERSERAGAM ITU.

NOTE: Selamat datang kembali di Banyusirih. Ah, lama banget saya libur, jadi kangen teman-teman. Absen dulu donk! Hehe.

Terima kasih antusias dan kesabaran teman-teman. Walau ada yang sampe datang ke rumah buat nagih update.

Anyway, saya kembali. Tapi tidak menjamin tidak akan pergi lagi. Masih sedang sibuk-sibuknya di rumah.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top