CHAPTER 33 - DALAM RINDANGNYA POHON

"Se-separah itu?"

Gazali sempat meragukan cerita Ki Rahwan. Tapi, setelah Ki Rahwan memperlihatkan bekas lukanya yang memanjang dari leher hingga punggung, barulah Gazali percaya semua yang Ki Rahwan katakan.

"Nafsu untuk membunuh," Ki Rahwan bersiap melanjutkan ceritanya sambil kembali mengenakan baju koko putihnya.

"Kak Tuan tidak pernah diterima di perguruan silat manapun. Ia juga ditolak oleh banyak guru beladiri kala itu. Karena, untuk apa? Pada pertarungan nyata antara hidup dan mati, lawan terberat kita adalah keputusan asaan. Sekarang bayangkan... Kalian mati-matian menghabisi orang yang tidak mati-mati. Setiap kali dia bangkit dari pukulan yang paling sakit, lawannya sudah kehilangan semangat untuk bertarung. Tapi tidak dengan Kak Tuan. Bak orang kehausan, dia tidak akan berhenti sebelum dahaganya terpuaskan.

"Karenanya, kalau yang kamu ceritakan itu benar, maka saya justru kasihan sama pembunuhnya." Tutur Ki Rahwan.

Adam merenung sejenak.

"Kalau memang luka di punggung Sampean adalah akibat kalapnya Kak Tuan, dan kalau hal itu terjadi malam ini, kira-kira siapa yang akan menyadarkannya?"

"Adam benar. Kalau lawan dan kawan saja sudah tidak dikenali, bagaimana caranya agar Kak Tuan bisa berhenti?"

Ki Rahwan melirik. Matanya sedikit melebar, seolah ia lupa sesuatu dan baru diingatkan oleh Gazali dan Adam.

"Be-benar juga!"

***

Percikan api di antara dedaunan. Hidup, kemudian mati. Berasal dari pemantik usang yang selalu mati tertiup angin kecil, milik seseorang yang sejak tadi bersembunyi di balik rindangnya daun pohon. Orang itu menunggu waktu yang tepat, sekaligus memberi sinyal pada pemilik rumah yang gelap gulita itu.

"Suara berisik barusan, sepertinya Ki Saleh sudah selesai. Sayang, rumahnya gelap sekali. Saya hampir tidak bisa melihat apapun dari pohon ini. Terus, gimana caranya saya bertugas... Ah, sudah saya duga, ini tidak akan semudah kata-katanya tadi sore."


TADI SORE


"Saya butuh bantuan Sampean," Pak Saleh memohon.

"Maaf, bukan saya menolak. Ini sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali saya memegang busur."

"Benarkah? Saya sering dengar cerita tentang penjaga hutan misterius yang sudah berkali-kali memanah maling sapi yang bawa kabur curiannya ke hutan."

"Ah, kalau itu... "

" Ayolah. Saya jamin, Sampean cuma butuh satu anak panah saja, dan tugas Sampean selesai."

"Satu busur saya berharga satu nyawa. Saya tidak ingin melepaskannya pada orang yang salah. Sudah banyak orang yang mati sia-sia."

"Percayalah. Yang satu ini, tidak akan mati hanya karena satu anak panah." Pak Saleh meyakinkan.

"Sampean serius?"

"Sangat!"

"Sepertinya saya tidak punya pilihan. Baiklah, saya ikut. Saya tetap menganggap ini gegabah, tapi saya percaya pada Sampean. Sekarang...  Siapa yang harus saya bidik?"

"Saya!"

"Apa?"

"Sekarang Sampean ikut saya, saya jelaskan semuanya di rumah. Bagaimana,"

BUSROWI?

***

"Dan disinilah Saya sekarang. Bertengger di dahan pohon seperti ayam--Ayamnya Ki Saleh." Gerutu Pak Busrowi.

Pak Busrowi menajamkan pandangan. Jarak dari pohon tersebut dengan rumah Pak saleh tidak terlalu jauh, tapi karena gelap, penglihatannya juga terbatas. Samar-samar di teras rumah, Pak Busrowi melihat Pak Saleh sedang menunduk, kemudian bangkit kembali setelah memungut sebuah celurit yang tergeletak di teras. Saat itulah Pak Busrowi sadar, bahwa waktunya sudah tiba.

"Gawat! Sepertinya saya sedikit terlambat."

Pak Busrowi memantapkan pijakan kakinya pada batang pohon mangga yang bercabang dua. Setelah dirasa kokoh, ia regangkan tali busurnya sekuat tenaga, dengan anak panah yang sudah siap dilepaskan. 

"Mendadak, saya merasa tua. Dulu, membidik babi hutan dari atas bukit terasa sangat pasti. Sekarang, membidik orang dari jarak sedekat ini saja saya harus mengandalkan keberuntungan." 

Pohon itu bergoyang diterpa angin. Tempat yang pas untuk Pak Busrowi, karena dengan begitu, ia jadi tahu kemana angin berhembus, dan sekuat apa tiupannya. Semua perkiraan itu akan sangat membantu akurasinya.

"Baiklah Ki Saleh. Saya harap Sampean tidak marah. Karena...." Pak Busowi sudah sampai pada batas maksimal regangan busurnya, "ini semua..." Tangannya bergetar hebat, sehebat konsentrasinya yang terpancar di mata tajam itu. "Permintaan Sampean!"

Bersamaan dengan itu, anak panah melesat cepat dan menancap di punggung Pak saleh, tepat sebelum Pak Saleh memenggal leher ninja yang sudah tak sadarkan diri itu.

"Bagus, tugas saya selesai." Ucap Pak Busrowi mantap, "Kan?" Ucapnya ragu.

Pak Saleh mencabut anak panah di bahu bagian belakangnya, kemudian menatap tajam ke arah tembak. Menembus kegelapan halaman rumah. Menerobos rindangnya daun pohon, dan menemukan Pak Busrowi yang sedang panik.

"Hei-hei, bukannya sampean janji tidak akan marah?" Kata Pak Busrowi yang mulai cemas.

Pak Saleh berjalan dengan langkah cepat menghampiri pohon persembunyian Pak Busrowi. Tentu saja dengan masih mengenggam celurit.

"Si-sial! Sudah saya duga akan begini jadinya, harusnya saya--Astaghfirullah!"

Pak Busrowi terpaksa melompat karena Pak Saleh melemparkan celuritnya tepat di tempat Pak Busrowi sembunyi. Terdengar bunyi gemerisik daun-daun bersamaan dengan kaki Pak Busrowi yang menyentuh tanah, berlatar daun-daun yang ikut serta gugur.

"Ki Saleh! Ini Saya, Busrowi." Kata Pak Busrowi sambil menyalakan pemantiknya di dekat muka, berharap Pak Saleh mengenalinya.

"Percuma. Orang ini... sudah gila!"

Pak Busrowi kembali membidik Pak Saleh, dengan masih berbaik hati memberikan peringatan.

"Tolong jangan diambil hati. Tapi, kalau Sampean maju selangkah lagi, saya tidak akan segan-segan untuk--Ya salam!"

Pak Busrowi terpaksa melesatkan panah kedua, karena Pak Saleh tidak mau berhenti melangkah. Kali ini panahnya menancap di lengan Pak Saleh yang satunya. Tapi, Salehudin masih berjalan seperti panah itu tidak berarti.

"Ki Saleh! Tolong jangan buat saya menyesal sudah keluar dari hutan! Sadarkan diri Sampean!"

Percuma. Sekarang saya tahu kenapa orang ini ditakuti semua warga.

"Mohon maaf Ki Saleh, saya harus melakukan ini."

Pak Busrowi menyerah pada busurnya. Dia maju membawa pentungan yang biasa dipakai untuk ronda. Pak Saleh menyambut langkah itu dengan semangat. Wajah seramnya kembali bergairah, dan saat keduanya sudah berhadap-hadapan, tubuh Pak Saleh tiba-tiba tidak bisa digerakkan. 

Kekuatan terbesar Pak saleh adalah daya tahan tubuhnya terhadap rasa sakit. Sekaligus jadi kelemahannya sendiri. Karena, Pak Saleh jadi tidak tahu sejauh mana kerusakan yang dia alami. Akhirnya, semudah itu Pak Busrowi memukul kepala Pak Saleh dengan pentungan. Pak Saleh mendadak kaku. Kemudian ambruk.

***

"Sampean sudah sadar?" Tanya Pak Busrowi.

Pak Saleh siuman. Ia terbangun di teras rumahnya. Setelah Pak Busrowi susah payah menyeret tubuh kaku Pak Saleh.

Menjadi satu-satunya wajah yang dilihat Pak Saleh saat kembali siuman, Pak Busrowi akhirnya bisa bernafas lega karena Pak saleh tidak mati. Pak Busrowi pun bisa melepaskan pentungannya yang sudah diacungkan tinggi sebagai langkah antisipasi.

"Kepala saya, sakit sekali!" Keluh Pak Saleh. "Hei, bukankah kita sudah sepakat hanya satu panah saja!" Protesnya.

"Ya, tapi melempari saya dengan celurit itu tidak ada dalam kesepakatan!" Protes Pak Busrowi juga.

"Lupakan saja--Ah, sudah berapa lama saya pingsan?" 

"Cuma sekitar 1 menit."

"Orang itu..." Pak Saleh mencoba berdiri dengan tubuh lemahnya. Terpaksa Pak Busrowi memapahnya. "Kita harus cepat urus orang yang sekarat itu."

"Dengan tidak mengurangi rasa hormat, Ki Saleh. Saya sedang melihat dua orang sekarat di sini. Saya bingung, yang mana yang harus saya bawa ke puskesmas lebih dulu?"

"Halah!" Kata Pak Saleh ketus, sambil menepis udara. "Maksud saya, orang itu. Bawa saya ke sana!"

Pak Busrowi memapah Pak Saleh mendekati tubuh si pembunuh yang sudah babak belur dan tak sadarkan diri.

"Masih hidup?" Tanya Pak Busrowi.

"Semoga saja. Tolong, lepaskan topengnya!"

Pak Busrowi melepaskan kain penutup mulut ninja naas itu yang sudah basah oleh darah. Beberapa giginya masih tersangkut di sana, dan begitu wajahnya terlihat jelas dengan bantuan cahaya lampu, Pak Saleh terbelalak.

"Di... dia..."

"Kenapa? Sampean kenal orang ini?"

"Tidak!"

"............"

"Saya menghajarnya terlalu keras, sampai-sampai...."

WAJAHNYA SUSAH DIKENALI.


Note : Hai, saya kangen teman-teman semua. Udah, cuma mau bilang gitu aja haha.

BTW, kita fokus lagi ke cerita. Dengan sedikit peringatan... setelah ini, kontennya akan sangat sensitif. Saya berusaha tetap dalam zona abu-abu. Teman-teman bisa memilah sendiri hitam dan putihnya. Siapa yang hitam dan siapa yang putih. Dan mohon dengan sangat, untuk tidak dibahas di kolom komentar. atau... saya akan ngambek dan tidak mau nulis lagi.

Bercanda. 

Selamat membaca, wahai warga banyusirih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top