CHAPTER 31 - TEMAN LAMA
Bu Mar bersimpuh di depan makam suaminya. Baru saja ia selesaikan doa terakhir untuk hari itu, dengan tangis penyesalan dan rindu. Mereka tidak sempat mengucapkan salam perpisahan saat Pak Gamar pergi menjadi pelarian dan berakhir di penjara. Menyedihkan, Bu Mar pun tidak sempat mengucapkan selamat datang saat Pak Gamar kembali dan berakhir di pemakaman.
"Maaf, karena merahasiakan kedatangan Pak Gamar pada Sampean." Ucap Saripudin yang saat itu sedang memeriksa pemakaman Astah Dejeh karena ada laporan warga yang melihat sosok mencurigakan berpakaian serba hitam. Tapi, yang Saripudin temukan justru Bu Mardiah. Istri Pak Gamar.
"Suami saya ... apakah warga masih membencinya?" Bu Mar menundukkan wajah. Terdengar isak tangis yang ditahan, sambil menelusurkan jemarinya pada batu nisan. "Setelah ini, kalau saya memohon pada warga desa, apakah mereka mau memaafkan semua kesalahannya?"
"Saya dengar dari kesaksian para preman itu. Mereka membunuh Pak Gamar karena beliau mencoba menghentikan mereka walau sudah diberi peringatan." Jawab Saripudin.
Saripudin menghampiri Bu Mar. Ia tidak menyiapkan kata-kata pelipur lara yang dahsyat, yang bisa menenangkan nestapa di hati Bu Mar. Saripudin hanya sedang melakukan tugasnya, yakni memastikan semua wanita dan anak-anak bersembunyi di rumah saat petang.
"Saya tidak tahu isi hati warga. Tapi setidaknya, Pak Gamar dimakamkan dengan cara yang pantas. Lihat ... "Saripudin menunjuk sebuah makam yang letaknya tidak jauh dari makam Pak Gamar, "Beliau bahkan dimakamkan dekat dengan Kiai Mahrum; orang yang sangat dihormatinya."
"Tidak usah mempermanis ucapanmu, Din! Semua tahu Pak Gamar pernah berniat mencelakakan Man Mahrum," Tegur Bu Mar, "Berkali-kali," Imbuhnya, "Bahkan mengorbankan orang-orangnya sendiri," Pungkasnya.
"Saya tahu itu. Kami semua tahu itu. Sampean tahu, apalagi yang kami ketahui dari seorang Pak Gamar?"
Bu Mar terdiam. Kali ini benar-benar diam menunda isak tangisnya.
"Pak Gamar sangat mencintai desa ini. Terlepas dari jalannya yang berbeda, tujuan Pak Gamar tetaplah demi kesejahteraan desa—ayolah, Bu Mar, tidak penting bagaimana orang lain menilai suami sampean. Saat ini, yang Pak Gamar butuhkan hanyalah kerelaan Sampean. Tenangkanlah ia disana dengan memaafkan semua kesalahannya. Ini bukan tentang bagaimana Pak Gamar semasa hidupnya, ini tentang bagaimana Pak Gamar mati sebagai seorang kesatria."
Bu Mar menangis tersedu. Dia tahu ucapan Saripudin tidak sepenuhnya dari hati. Sebagian besar hanya usaha merayu agar dirinya segera meninggalkan pemakaman Astah Dejeh. Tapi ...
"Terima kasih. Terima kasih banyak, Din. Tolong ... maafkan segala dosa-dosanya semasa hidup dulu," Isak Bu Mar di depan makam suaminya.
Pak Gamar tidak sempat menghapus jejak kotornya yang masih membekas di buku sejarah desa. Tapi, setidaknya dia membayar hutang darah dengan nyawanya sendiri. Mati sebagai pahlawan atau tidak, Pak Gamar tidak peduli. Setelah semua yang dilakukannya, Pak Gamar pasti bersyukur tidak mati di tangan penduduk desanya sendiri.
***
Sementara itu di persimpangan empat Desa Leduk. Man Rusli dan lima orang rekannya baru saja menyusuri jalan sepi menuju tambak. Satu-satunya jalan yang belum ada lampunya. Mereka terpaksa meninggalkan pekerjaannya di tambak setelah mendapat kabar melalui radio panggil tentang kemungkinan adanya peyusup di desa.
"Maaf Juragan, hampir semua jalanan Leduk terang benderang, kenapa hanya jalan ke tambak saja yang belum dikasih lampu?" Protes seorang pekerja tambak pada Man Rusli.
"Masalah itu sudah pernah saya bahas dengan Pak Kades. Katanya, pemilik sawah ini belum menginjinkan." Jawab Man Rusli seraya menunjuk sawah luas di samping jalan menuju tambak.
"Tidak menginjinkan? Aneh, memang apa alasannya?"
"Ego! Orang yang ego nya tinggi, biasanya tidak punya alasan. Yang penting puas." Ujar Man Rusli.
Man Rusli dan lima rekannya sedang duduk di pos ronda yang ada di perempatan desa, Saat kemudian radio di tangan Man Rusli berbunyi.
"Man Rusli!"
"Ya, kenapa, Anto?"
"Posisi?"
"Pos ronda di perempatan."
"Hati-hati! Ada pengendara motor yang sedang menuju ke utara. Kemungkinan besar mereka adalah penyusup."
"Apa? Bagaimana bisa mereka lolos dari kalian?"
"Mereka lewat gang sempit di kebun pisang--Dengar, Man. Saya sudah hubungi warga yang posnya dekat dengan sampean, sebaiknya tunggu mereka datang."
Tetiba terdengar suara motor dari kejauhan. Mesinnya menyentak-nyentak pertanda pengendaranya ugal-ugalan. Suasana mendadak suram. Semua kelihatan gugup kecuali Man Rusli yang sudah siaga di tengah jalan. Melihat tekad sang juragan, warga yang lain pun ikut memasang badan. Mereka berjejer di tengah jalan, dengan senjata tajam di tangan.
Sinar lampu mulai terlihat. Mula-mula kecil dan jauh, namun dengan cepat mendekat dan menyilaukan mata.
Keringat Man Rusli mengalir dari pelipisnya. Ia mengangkat Radio panggil yang masih terhubung dengan Anto.
"Anto, dasar kau Monyet mesum! Kenapa kamu tidak bilang kalau yang datang ada tiga motor."
Kaki-kaki warga yang semula kokoh bak akar pohon asam, kini mulai gemetar dan mundur ke belakang. Mereka sadar, jumlah mereka tidak cukup menahan serangan.
"Lari saja! Malam ini, istri kalian sedang menunggu di rumah dengan segelas susu sapi hangat. Minuman yang pas untuk para suami yang belum sunat." Ledek sang Juragan.
Man Rusli menghunus golok berkaratnya. Tidak menunggu musuh datang, juragan tambak itu justru berlari mendekati musuhnya.
Rekan-rekannya melihat dengan berkaca-kaca. Di mata mereka, ini adalah bunuh diri. Tapi beda kepala, beda penglihatan. Karena bagi Man Rusli, di depan adalah perang, di belakang adalah harga diri, dan diantara keduanya adalah Nyawa.
"Mereka tidak bisa menyentuh harga diri kami, sebelum mengambil nyawa Saya!" Tegas Man Rusli.
Ketiga kuda besi itu dipacu semakin cepat. Menyebar. Melewati Man Rusli yang hanya bisa menghadang salah satu dari mereka. Man Rusli mengincar motor yang tengah, yang dikendarai dua pria tak dikenal. Pria yang sedang bonceng sudah siap menebas Man Rusli dengan sebilah golok. Lebih besar dari golok milik Man Rusli.
Kemudian, suara logam beradu menggema di jalanan, merambat ke sawah dan ladang di sekitar, disusul kemudian suara teriakan orang-orang.
Man Rusli berhasil melucuti senjata lawannya hingga terbanting ke aspal. Tiga motor tadi sudah melewatinya. Menyisakan asap knalpot untuk Man rusli hirup. Man Rusli menoleh ke belakang lalu terbelalak menyaksikan teman-temannya dibantai tak berdaya.
Mereka masih di sini? Padahal saya sudah menyuruhnya pulang.
Man Rusli berlari mendekati teman-temannya yang nyaris jadi pancuran darah. Dada, punggung, bahkan kepalanya menyemburkan cairan merah. Hanya tiga orang yang masih mampu melakukan perlawanan sengit. Sisanya sudah meringkuk dalam genangan darahnya sendiri.
BIADAB!
Teriakan geram dari Man Rusli disadari oleh lawan. Mereka membelok motornya dengan kasar. Bannya berdecit di aspal, dipadu suara tawa mengejek kekalahan Man Rusli dan teman-temannya. Kemudian, para preman itu tancap gas ke arah Man Rusli yang sudah kalap.
Maaf teman-teman... saya tidak mungkin membalaskan dendam kalian. Saya terlalu lemah untuk itu. Tapi ini lebih baik. Daripada saya menanggung sesal karena jadi satu-satunya orang yang selamat.
Sedikit lagi semua akan berakhir. Man Rusli bak domba diantara kawanan serigala. Bedanya, domba ini tidak lari walaupun tahu akan dimangsa. Akhirnya, saat salah satu dari tiga motor itu nyaris menabraknya, mementalkan tubuh Man Rusli sementara kepalanya disambut golok sang pengendara, saat semua itu hampir jadi kenyataan, tetiba satu persatu motor rubuh dan menyusuri aspal dengan kecepatan tinggi.
EH?
Man Rusli tidak tahu apa yang terjadi. Pengendara motor itu seperti hilang kendali. Tubuhnya terpental dan berguling-guling di aspal sebelum akhirnya terlentang di jalan sambil memegang lengan dan mengerang kesakitan.
Secara bergantian, tiga motor preman itu berserakan di jalan, di parit, bahkan ada yang terjungkal menabrak pematang sawah.
"Apa yang sudah terjadi, Kenapa dengan mereka?" Man Rusli terheran-heran melihat tiga pengendara motor sudah berhasil dilumpuhkan.
Sementara itu, tiga preman yang lain sudah bangkit lagi. Mereka adalah orang yang dibonceng. Walaupun cedera karena jatuh dari motor, tapi kondisi mereka baik-baik saja. Hanya pengendara motornya saja yang sedang sekarat.
"Hei, kalian kenapa? Bangun!" Teriak Jumad. Salah satu dari preman tersebut.
DOR!
Satu orang preman lagi rubuh, menimpa tubuh temannya yang lebih dulu sekarat di pematang sawah. Jumad melihat kejadian itu dengan mulut ternganga, karena ia tahu, sesaat lagi adalah gilirannya. Sama seperti sebelumnya, kali ini, preman yang baru saja rubuh itu memegang kakinya sambil berteriak kesakitan.
Melihat itu, Jumad dan seorang temannya lari terbirit-birit. Mereka sudah tidak lagi peduli pada rekannya, pada strategi, termasuk pada misi. Mereka tidak mau mati.
DOR!
"Ti-tidak!"
Lagi-lagi satu orang preman berhasil dilumpuhkan. Kali ini preman itu berguling-guling di aspal, berteriak kesakitan sambil memegang pahanya yang tiba-tiba berdarah.
Sekarang, yang tersiaa hanya Jumad. Preman terakhir itu masih kaku beridiri melihat temannya tersungkur saat coba melarikan diri.
"Ma-maafkan saya, tolong maafkan saya. Saya janji akan..."
Man Rusli lebih dulu menghantam kepala Jumad dengan sisi tumpul golok berkaratnya. Hingga darah segar muncrat ke wajah sang Juragan, dan Jumad pun jatuh tak sadarkan diri.
Jauh di selatan. Di bawah cahaya lampu jalan, Man Rusli melihat siluet seseorang. Posturnya tegap, yang berarti seorang pria. Merasa dirinya diperhatikan, Pria itu berbalik dan berjalan ke selatan.
Tidak salah lagi. Orang itu yang menghabisi preman-preman ini. Walaupun samar, saya mendengar suara tembakan. Tapi... membidik dari jarak sejauh itu... yang benar saja!
"Hei, cepat kalian bawa teman-teman yang terluka ke puskesmas! Pakai saja motor preman ini. Sisanya berjaga di sini sampai ada warga yang datang." Perintah Man Rusli.
"Sampean, mau kemana Juragan?"
Man Rusli mengambil salah satu motor preman yang tergeletak di aspal, lalu ia memastikan motor itu masih bisa dikendarai.
"Ada seseorang yang harus saya kejar." Katanya sambil tancap gas ke selatan.
Orang misterius itu masih di sana. Berjalan kaki ke selatan dalam balutan jubah serba hitam, dan sebuah tas besar nan panjang di punggungnya. Man Rusli tersenyum. Dia berhasil menyusul orang tersebut dan menghadangnya dengan motor. Sambil tertawa kecut Man Rusli menyapa.
"Mau pergi tanpa mengucapkan salam lagi...
IMAM ILYAS?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top