CHAPTER 29 - GELOMBANG KEDUA

Desa Sumbergede, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan.

Macet. Kondisi jalan raya dipadati oleh kendaraan besar yang lajunya tersendat-sendat karena pemeriksaan berlapis oleh aparat, dan pemeriksaan anarkis oleh warga. Tidak semua, tapi hampir setiap mobil pickup yang mengenakan penutup bak belakang, terkena imbas kecurigaan warga. Supir dengan tegas menolak karena resiko muatan yang akan rusak, tapi warga bersikeras membongkar hingga muatan benar-benar rusak.

"Sebaiknya bapak-bapak mundur saja. Serahkan tugas ini pada kami." Tegur salah seorang polisi. Kali ini meradang karena sudah berkali-kali tidak digubris.

"Bukan begitu, Pak. Kalau saja kami tidak memulai, bapak-bapak juga tidak mau bertindak, kan?"

"Benar! Seperti yang sudah-sudah, suara sirene polisi baru terdengar saat korban sudah berjatuhan dan pelaku sudah lari cekikikan."

"Patokan kota santri, Pak. Kami tidak akan biarkan berakhir seperti di Gandrung."

Akhirnya, terjadilah Pertikaian tiga arah di pinggir jalan dua arah. Polisi, warga, dan supir serta para pengendara. Pada masa ini, suara aparat tidak terdengar lantang. Keras pun tidak dianggap serius. Pendidikan warga desa memang menengah ke bawah, tapi tidak perlu ijazah untuk sekedar mengerti—wajah itu—wajah para aparat itu, mereka bak pejuang kehilangan panglimanya. Konflik di ibu kota masih berkobar. Barisan kokoh yang sudah lama dibangun mulai terombang-ambing arus sembarang arah, hingga membingungkan mereka kemana harus mengangkat senjata.

Pada ketegangan yang makin memuncak, suara decit roda melengking membuyarkan semuanya. Sebuah mobil pickup tanpa muatan menerobos kemacetan dengan memanfaatkan lapangan sepak bola di pinggir jalan.

Sopirnya membabi-buta. Menabrak warga yang keras kepala menahan kencangnya laju mobil.

"Ambek e dissak!"*
*) Cegat di sebelah sana!

Warga mulai memblokir jalan keluar dari lapangan tersebut dengan becak, motor, sepeda, tapi tidak sedikitpun pengemudi pickup itu mengurangi kecepatan.

"Hei, kenapa tidak dibiarkan saja? Toh pickup itu kosong, tidak membawa orang-orang seperti yang kita khawatirkan." Salah seorang warga mempertanyakan reaksi berlebihan rekan-rekannya.

"Tambeng!* Kalau memang tidak menyembunyikan sesuatu, kenapa harus kabur seperti itu?" Sahut warga lain tidak mau kalah.
*) Bodoh

Jauh dari pikiran gelap warga Banyusirih. Di dalam pickup itu ada seorang suami yang harus segera tiba di rumah sakit, karena sang istri sudah bersandar lemah di sampingnya, dan harus segera menjalani proses persalinan.

"Ya Tuhan, setelah ini aku akan bersujud meminta maaf dan menebus dosa karena menabrak orang-orang barusan. Tapi aku mohon, biarkan anakku lahir dengan selamat. Di tengah tahun-tahun suram begini, tangisan seorang anak sudah jadi pelipur berarti bagi kami." Doa supir itu, sebelum memacu mobilnya dengan kecepatan penuh, kemudian menembus barikade asal-asalan yang dibuat warga.

Akhirnya berhasil. Mobil pickup putih keluar dari lapangan. Begitu melewati permukaan aspal, si sopir segera membawa mobilnya melewati barisan terdepan kemacetan, lalu berbelok menghindari antrean panjang mobil dari arah berlawanan. Semua terjadi dengan iringan klakson dan teriakan orang-orang. Sampai akhirnya, kendaraan roda empat itu melesat dalam jalur bebas ke arah barat. Sementara di jalur kanan, dari arah yang berlawanan sudah mengular rangkaian kemacetan yang tak tahu kapan akan berakhir.

Desa Leduk, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan.

Mobil patroli polisi melintasi perbatasan Leduk dan Kalakan. Daerah tersebut memang sepi dan rawan perampokan. Belum lagi minimnya penerangan membuat warga menghindari lewat jalan itu di atas pukul enam sore.

Malam itu benar-benar sepi. Patroli sudah dilakukan dua kali, dan selama itu warga yang lalu lalang di jalan bisa dihitung dengan jari. Mobil polisi menjauh pergi. Mengembalikan kesunyian perbatasan desa yang sempat bingar oleh sirene dan benderang oleh lampu mobil. Saat keheningan menjadi mutlak seperti sedia kala, saat itulah tiba-tiba tiga lampu motor menyala di kegelapan kebun pisang; di pinggir jalan. Enam orang pria berpakaian ala nelayan sudah siap turun ke jalan. Mereka berboncengan mengendarai tiga motor yang masing-masing dipasang keranjang mirip motor pedagang ikan.

Hanya satu orang yang masih berdiri dan memilih jalur terpisah dengan berjalan kaki.

"Bowo, kamu yakin akan pergi sendiri?" Tanya Seorang pengendara.

"Ya! Kalian buatlah keributan di desa, biar aku yang pergi ke rumah Edo." Ujar Bowo seraya berteriak menandingi nyaringnya suara mesin motor. "Sungai ini mengalir ke pemukiman warga Leduk, jadi saya tidak mungkin tersesat." Katanya.

"Baiklah kalau begitu."

"Jumad! Jangan paksakan diri. Begitu situasi memburuk, lekas tinggalkan desa lewat rute yang sudah kita sepakati."

"Saya mengerti!" Sahut Jumad.

Bowo kembali mengenakan topengnya. Merekapun berpisah. Menyebar ke seluruh desa; Membawa dendam kesumat yang demi membalasnya, mereka rela mati malam ini.

***

Halaman rumah Ustad Edo dipadati oleh warga. Semuanya siaga. Ada yang menyusuri pesisir dimana kapal-kapal mereka tertambat rapi, berbaris dari timur ke barat. Untuk malam ini saja, tidak satu pun nelayan yang melaut. Tidak ada yang memerintah mereka. Bahkan Kepala Desa Leduk yang baru pun ikut berbaur bersama warga dan memantau setiap perbatasan melalui komunikasi radio.

"Semuanya aman. Tidak ada kelompok mencurigakan yang melewati perbatasan desa." Kata Kepala Desa menyampaikan laporan anak buahnya yang tersebar di tiga arah. "Hanya saja, tiga simpatisan Kiai Mahrum dari Desa Abimojo terpaksa dicegat di perbatasan Sumbergede selatan, karena membawa senjata tajam."

"Ya ampun. Tiga kakek tua itu kan adik kelas Man Mahrum waktu mondok dulu. Apa Sumbergede tidak berlebihan?" Tanya seorang warga. Salah satu dari sekelompok yang berjaga di teras rumah Ustad Edo.

"Tidak ada yang berlebihan dalam situasi seperti ini, Cak." Sahut Mufin.

"Mufin benar, apapun bisa terjadi kalau kita lengah. Lihat saja tadi pagi, salah satu tawanan kita berhasil kabur karena kelalaian kita sendiri." Kepala Desa membenarkan.

"Itu, saya masih tidak habis pikir. Tadi pagi orang-orang sedang makan nasi bungkus kiriman Sumbergede. Setelah selesai, tiba-tiba saja tangkapan kita hilang satu ekor. Apa tidak mencurigakan?" Mufin memainkan jenggot tipisnya.

"Polisi masih melakukan pencarian. Tapi, sampai sekarang belum juga ada kabar." Ujar Kepala Desa.

"Apa boleh buat, Pak Kades. Teman-teman lelah dan lapar karena begadang sepanjang malam. Akibatnya, muka mereka pucat karena darah berkurang. Wajar kalau langsung semangat dikasih nasi bungkus."

"Itu bukan alasan. Kalian tetap salah, karena jadi ayam yang bubar barisan hanya karena ditaburi beras." Ucap kepala desa. Kedengaran seperti sedang kecewa. "Tapi, saya harap malam ini pun kalian tetap semangat. Saya sudah pesankan nasi kotak untuk makan malam."

Tiba-tiba radio Kepala Desa berbunyi. Ada laporan dari Anto dan Emping yang sedang berjaga di selatan.

"Pak Kades, mohon bagi warga untuk perketat penjagaan." Seru Anto. Bahkan dari radio pun, suaranya terdengar jelas kalau sedang panik.

"Ada apa? Apa preman-preman itu datang lagi?" Tanya Kepala Desa.

Medengar itu, warga segera berkumpul. Mereka meletakkan gaplek, catur dan gitarnya, bergantian mengambil senjata yang sudah dipersiapkan. Semua dengan saksama mendengarkan suara dari radio.

"Tidak. Di sini ada tiga orang nelayan yang sedang terluka parah. Mereka baru pulang dari tempat pelelangan ikan di Kalakan, dan mengaku dirampok oleh sekelompok orang di perbatasan timur."

"Dirampok?"

Seketika, gemuruh suara warga menjadi latar. Reaksi mereka bingung dan saling pandang.

"Ya! Motor mereka dirampas oleh orang-orang bersenjata." Anto berhenti sejenak, seperti sedang menanyakan sesuatu, "Mereka bilang, perampoknya kurang lebih enam orang."

"Terus, sekarang kamu dimana? Apakah masih ada polisi di situ?" Tanya Kepala Desa.

"Ya, tapi sebagian sudah menuju ke timur untuk memeriksa TKP."

Kepala desa berpikir sejenak. Diperhatikan warganya yang sudah siap tempur. Beberapa dari mereka sudah lari ke pemukiman untuk memperingatkan keluarga mereka; Para wanita dan anak-anak yang saat itu sedang menunggu di rumah. Penuh tekad dan keyakinan, warga yang masih tinggal mengangguk dengan mantap, menandakan kesiapan mereka untuk menyambut datangnya serangan gelombang kedua. Melihat itu, Kepala Desa tersenyum getir, lalu kembali pada radionya.

"Dengar, Anto. Kalian tetap di posisi. Kabarkan juga hal ini pada yang lainnya, terutama yang berjaga di asrama santri." Kepala Desa menarik napas panjang. " Tenang saja, kami tidak akan biarkan Ustad Edo dan keluarganya celaka."

"Siap, Pak Kades!"

Berakhirnya percakapan itu disambut oleh teriakan para warga. Seruan perang para nelayan yang keluar dari sanubari mereka. Hati yang sakit, dan rasa berkabung yang belum hilang. Sejenak, mereka harus melupakan itu semua. Ada seseorang yang harus mereka lindungi, ada desa yang masa depannya harus mereka perjuangkan.

"Mufin, kabarkan pada Nyai Ani untuk menutup semua pintu dan jendela!"

"Siap, Pak Kades."

***

"Nduk, harusnya kamu istirahat." Nyai Ani menasehati Nuril, putrinya yang sedang hamil tua. "Sana, cepat susul suamimu!"

"Tidak, Mi. Aku tidak bisa tidur. Entah kenapa aku merasa, malam ini akan terjadi peristiwa besar bagi keluarga kita, dan itu membuatku tidak tenang."

Nyai memeluk Nuril dengan hati-hati.

"Kegelisahanmu ini akan berpengaruh pada si kecil. Jadi, emak mohon, istirahatlah."

"Emak?" Tanya Nuril heran. Sudah lama sejak ia tidak memanggil Nyai Ani dengan sebutan Emak.

"Memang kenapa? Itu panggilan dari sejak kamu kecil kan. Lagipula, Emak malu kalau harus dipanggil umi, sementara sudah tidak ada lagi yang kamu panggil abah."

"Oh, Umi jangan begitu." Kali ini Nuril yang memeluk emaknya.

"Anu ..." Kata Mufin yang tanpa disadari sudah ada di pintu.

Segera Nuril dan Nyai Ani melepaskan pelukan mereka dan sama-sama mengelap mata yang masih basah.

"Biasakan mengetuk pintu, atau lain kali saya ketuk anumu pakai palu."

Mufin mundur tiga langkah. Dia tahu benar akibat dari membuat Nyai Ani marah. Bahkan semasa hidupnya, Man Mahrum seringkali tidur di Musala karena ketahuan menonton bola di balai desa bersama warga.

***

"Kalau sedang nonton bola, saya adalah seorang suporter. Bukan Kiai. Jadi jangan sungkan kalau mau teriak –gol!" Kiai Mahrum lebih dulu teriak karena tim kesayangan mencetak gol saat dirinya sedang menasehati warga.

"Benar tidak apa-apa, Kiai?"

"Tidak apa-apa."

"Kalau taruhan, boleh tidak Kiai?"

"Boleh, asal saya yang buat aturannya." Kata Kiai Mahrum. "Kalau kalian menang, saya cukur kumis dan jenggot ... dan rambut." Kata Kiai Mahrum penuh ragu.

"Terus, kalau Kiai yang menang, kami bayar apa?"

Kiai Mahrum berpikir sejenak, lalu tertawa jenaka.

Keesokan harinya, sebelas nelayan desa Leduk pergi ke Musala dengan membawa Iqra' Jilid satu untuk belajar ngaji bersama anak-anak sekolah dasar. Konon, sejak saat itu mereka berhenti taruhan.

***

"Ampun Nyai, saya hanya mau menyampaikan pesan Pak Kades." Ujar Mufin gelagapan. "Beliau bilang, agar menguci jendela dan pintu, karena sepertinya, orang-orang itu akan datang ke desa ini lagi."

Saat itu, Nyai Ani benar-benar geram. Andai tidak ada Mufin, sudah ia luapkan dengan memukul meja. Sekarang ia tahu kenapa Almarhum suaminya merasa keberatan disebut Kiai. Karena itu berarti, segala tindakan dan ucapannya akan jadi teladan bagi orang lain.

"Mereka belum menyerah rupanya. Apa yang ingin mereka capai dengan mencelakai orang yang sebenarnya tidak mereka kenal?" Nyai mendekap Nuril yang sedang mencemaskan suaminya.

"Kalau begitu, suruh Edo masuk ke dalam!" Anak itu mirip sekali dengan mu, sama-sama tidak bisa diandalkan dalam perkelahian. Gerutu Nyai dalam hati, berharap Almarhum suaminya mendengar dan sedikit merasa malu di alam sana.

"Lho, bukannya Ustad Edo ada di rumah? Saya tidak melihat beliau dari tadi." Kata Mufin.

"Oh ya? Ah, mungkin dia sedang istirahat di kamarnya. Dia sering tertidur sehabis salat isyak, ya kan?" Nyai menatap Mahfud dan Nuril bergantian, lalu mengulang kata terakhirnya dengan intonasi tanya yang lebih mantap, "Kan?"

Hal itu justru menimbulkan keraguan di benak mereka bertiga. Segera Nyai Ani melangkah cepat ke kamar Ustad Edo disusul oleh Nuril yang tidak bisa membendung cemas. Melangkah terasa berat. Ia bahkan butuh berpegangan pada dinding untuk bisa menyeimbangkan langkah kakinya.

Kamar Ustad Edo dan Nuril berada di belakang, bersebelahan dengan kamar Kiai Mahrum, dan merupakan kamar terbesar di rumah tersebut.

Untuk pertama kalinya, Nyai Ani membuka pintu kamar tersebut tanpa mengetuk terlebih dahulu, dan apa yang ia takutkan benar-benar terjadi.

EDO,TIDAK ADA DI KAMAR.

"Nuril, cepat kamu cari di kamar mandi, dan Musala, Emak akan cari ke... Nduk, kamu kenapa?"

Nuril memegang perut besarnya sambil meringis kesakitan. Lalu, ia merintih.

"Emak, sepertinya... "

BAYINYA MAU KELUAR

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top