CHAPTER 28 - MATA-MATA
Desa Tambangan, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan
Mbah Sopet sedang gelisah di samping becaknya; di depan sebuah gubuk sepi yang terasing dari pemukiman Tambangan. Tanah gersang yang sangat luas, serta tidak adanya cahaya membuat tempat itu serasa di dunia berbeda.
"Mbah!" Seru Masjo, yang baru keluar dari gubuk itu seraya memapah Halim; cucu Mbah Sopet.
"Kurang ajar!" Mbah sopet menghampiri cucunya dengan berapi-api, "Kamu tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa, Kek. Saya hanya—Ah, bisakah kita bicara sambil jalan? Saya ingin cepat sampai di rumah."
Mereka bertiga mempercepat langkahnya, dan berusaha sebaik mungkin untuk tidak bersuara. Begitu sampai di becak, Mbah Sopet membantu Halim naik dengan sangat hati-hati. Ia tidak tahu di bagian mana cucunya itu sedang terluka.
"Cak Masjo, kita pulang lewat jalur yang berbeda." Kata Halim. Ia memperbaiki posisi duduknya hingga terasa nyaman, barulah Mbah Sopet naik dan duduk di sampingnya. "Ke barat! Di sana jalan menurunnya tidak terlalu terjal. Aman dilalui becak atau mobil sekalipun. Setelah itu, baru belok ke utara sepanjang ngarai ... tenang saja, sungainya kering."
Halim bisa tahu sebanyak itu hanya dalam waktu yang singkat. Masjo kagum.
Bukan pemandangan lumrah bagi sebuah becak berjalan pada malam hari di padang gersang dan sepi. Sepanjang kekosongan yang tertutup gelap, Mbah Sopet masih menggerutu. Jika bukan karena informasi dari perempuan tadi, ia tidak akan pernah bertemu dengan cucunya lagi.
"Bagaimana kalian tahu aku disekap di gubuk itu?" Tanya Halim.
"Ada saksi. Seorang wanita tidak sengaja melihat Kakeh dibawa menggunakan gerobak." Tutur Mbah. "Dia memberi tahu kami dengan harapan, suaminya yang dikabarkan bebas dari penjara bisa segera pulang ke Tambangan."
"Begitu rupanya," Halim mengangguk paham.
"Seberapa parah mereka menyiksamu?" Tanya Mbah geram.
"Oh, tidak. Selain membiarkan saya lapar dan beku, tidak sekalipun mereka melakukan kekerasan." Halim memegang perut cekungnya.
"Sebenarnya, bagaimana kamu bisa tertangkap?" Tanya Masjo.
Mereka sudah sampai di jalan menurun yang disebutkan Halim. Tangan kiri Masjo sudah siaga pada tuas rem, sementara Kakinya lepas dari pedal karena harus menahan laju becak. Halim dan Mbah Sopet berpegangan pada pinggiran kursi depan. Wajah mereka tegang karena menuruni bukit yang ujungnya gelap; nyaris tak terlihat. Percakapan ditangguhkan sampai jalan kembali datar.
"Harusnya kita bawa motor," Keluh Masjo.
Mereka berhasil menuruni bukit dengan selamat, lalu belok ke utara sesuai aba-aba Halim. Kini, becak itu disambut mulut ngarai yang lebar dan gelap, yang siap menelan kendaraan berkarat tersebut.
"Jadi ..." Sambung Halim, "Saya sedang menguping percakapan Nasim dengan beberapa pengikutnya di sebuah surau terlantar jauh dari pemukiman warga." Halim menunduk lesu. "Sayang sekali saya tidak mengenali orang-orang tersebut. Dialek jawa yang kental itu menandakan bahwa mereka bukan orang Tambangan. Mungkin juga bukan dari Banyusirih."
"Dialek suku Osing dari Kabupaten Gandrung?" Mbah Sopet memastikan.
"Ya!" Jawab Halim mantap, "Sialnya, setelah itu saya ketahuan. Seseorang menyerang saya dari belakang. Selanjutnya ... saya terbangun di gubuk itu."
"Begitu saja? Kamu kan sudah dilatih menguasai banyak bahasa, apalagi bahasa jawa. Masa tidak ada informasi yang kamu dapat walaupun cuma sedikit?"
"Bahasa osing berbeda dengan bahasa jawa pada umumnya. Bahkan penduduk Gandrung pun belum tentu menguasai." Tutur Mbah sopet.
"Cerita belum selesai sampai di situ," Kata Halim. "Dari sini, kita lurus ke utara, Cak. Kita akan tembus di jalan raya," Ujarnya.
Becak pun berlalu mengikuti jalur sungai yang memanjang ke utara.
"Setelah itu, kita harus segera ke Sumbergede! Mereka harus tahu yang sebenarnya." Pungkas Halim.
"Apa maksud Kakeh?" Tanya Mbah Sopet.
"Semua kekacauan ini hanyalah pengalihan. Ibarat menyalakan lampu halaman untuk memikat laron keluar, sementara itu, seseorang memanfaatkan kegelapan untuk masuk ke dalam." Tutur Halim dengan tatapan nanar. "Sayang sekali malam ini..."
BANYUSIRIH SEDANG MENGERMUNI CAHAYA ITU.
***
Bangun! Hei, cepat bangun!
Agus membuka mata. Berkedip-kedip menyesuaikan terangnya cahaya. Saat itu, semua serba putih dan silau, dan seseorang di depannya berkilau seperti gambaran malaikat dalam dongeng-dongeng lama. Bahu Agus diguncang keras. Lehernya lemas, hingga kepalanya maju mundur tak karuan. Lalu, tetiba sukmanya kembali. Hal pertama yang menguasai tubuh Agus adalah perasaan mual. Agus muntah banyak sekali. Semuanya cairan kental bening dan kekuningan, menjalar di permukaan lantai tanah dan berhenti di alas kaki orang; dia yang bercahaya bak malaikat penyelamat.
"Ayolah, sudah terlalu lama Anda di sini." Malaikat itu bicara seperti orang dekat Agus, walau Agus merasa jauh dari kata familiar. Apalagi kenal.
"Tidak—tolong jangan lagi! Sudahi main-mainnya." Agus memohon dengan megap-megap. Seolah pingsan singkatnya menguras banyak tenaga. "Aku benar-benar tidak punya informasi yang kamu cari. Aku bersumpah ... Oh, ya. Orang sadis sepertimu tidak percaya Tuhan, tentu tidak akan percaya sumpahku."
"Sepertinya orang-orang Sumbergede menyiksa anda terlalu keras." Malaikat itu memutar ke belakang kursi tempat Agus terikat.
Tingkah Agus mulai gelagapan. Sudah terbayang tahapan baru dalam rangkaian siksaan selama dua hari ini.
"Tolong, berhenti ." Rengek Agus.
"Saya tidak datang untuk menyiksa Anda, Gus. Justru ..." Malaikat itu meraih belenggu tangan Agus, lalu melepaskannya dengan mudah berkat pisau tajam yang dibawanya. "Saya kesini untuk membawa Anda pulang."
Agus menggeliat seperti bayi yang baru lepas dari balutan selimutnya. Bisa menggerakkan kedua tangannya kembali terasa benar-benar nikmat. Ditambah bunyi gemeretak seolah sendi-sendinya sudah menemukan posisi yang pas seperti sedia kala. Agus menoleh. Ingin berterima kasih, tapi ia harus tahu dulu siapa malaikat penyelamatnya ini.
"Siapa kamu?" Tanya Agus, terdengar merintih menahan perih luka-luka dua hari yang anehnya masih terasa baru.
"Tidak banyak waktu untuk menjelaskan. Sebaiknya kita pergi sekarang, sebelum orang-orang itu kembali." Kata malaikat itu seraya bersiap memapah Agus.
"Ya, kamu benar—maksudku, terima kasih."
"Tidak, tidak perlu berterima kasih."
Agus dibawa pergi dengan hati-hati meninggalkan tempat pesakitan yang akan membekas menjadi trauma sampai Agus mati. Ruangan itu jauh lebih sempit dari yang agus duga. Hal lain yang tidak kalah mengejutkan, adalah lorong gelap yang menunggu mereka saat pintu rumah itu dibuka.
"Ruangan ini di bawah tanah?" Tanya Agus.
"Tidak juga. Hanya gua kecil di jantung hutan Sumbergede."
Menapak dingin permukaan tanah berbatu di lorong tersebut. Kaki dan persendian agus masih terasa nyeri. Setiap langkahnya mengingatkan akan siksaan Kakek botak berbau ayam itu. Beruntung Tuhan mengirimkan penyelamat terbaik baginya.
Doa orang teraniaya memang cepat dikabulkan. Pikir Agus sebagai orang yang teraniaya. Sesumbar seolah Tuhan ada di pihaknya.
"Oh, kita sudah sampai."
Agus hampir tidak melihat perbedaan nyata. Hanya mengira-ngira lubang itu adalah mulut gua. Tapi di sisi lain sana masih sama gelap dengan di dalam.
"Ini sudah malam? Sialan, sudah berapa hari bajingan itu menyekapku?" Gerutu Agus.
"Wajar kalau anda lupa waktu, Gus. Tapi ... sebenarnya Anda baru sehari disekap."
"Benarkah, sehari?"
"Ya. Saya lebih terkejut lagi karena masih ada orang yang punya metode interogasi seperti ini—Hati-hati, Gus. Setiap langkah kita sangat bergantung pada cahaya senter ini." Orang itu membimbing Agus dengan sangat hati-hati melewati jalan setapak yang berkelok-kelok ke dalam hutan.
Agus menoleh ke belakang. Perpisahan hening dengan gua itu. Di samping mulut gua ada tumpukan daun dan jerami bercampur kain-kain bekas, serta sebuah bangku panjang penuh coretan yang sekilas mirip bangku sekolah. Kecuali bangku tersebut benar-benar bekas inventaris madrasah yang dibawa Ki Jalu ke dalam hutan.
Aku tidak akan pernah lupa tempat ini ... dan wajah kakek itu.
Perjalanan mereka tidak mudah karena harus melewati hutan di malam hari, dan salah satu dari mereka adalah orang yang susah berdiri. Terlebih berjalan normal, bahkan berlari. Tapi, pria itu sangat cekatan dan sabar memapah Agus. Andai Agus tidak merasa jijik, orang itu rela jika harus menggendongnya.
"Kita berhenti di sini dulu, Gus." Kata orang itu.
Pada sebuah bongkahan batu besar Agus bersandar. Terasa benar lelahnya berjalan dan perihnya telapak kaki yang sela-sela jarinya memerah. Mereka masih di dalam hutan. Pohon-pohon tinggi menghalangi jarak pandang, tapi sayup-sayup pengeras suara di masjid sudah terdengar ke telinga.
"Sabar, Gus. Tinggal sedikit lagi." Kata pria itu.
"Lantas, kenapa kita masih berhenti?" Agus mulai penasaran dengan gerak-gerik pria tersebut. "Kamu sedang apa?"
Pria itu sedang jongkok di depan sebuah pohon; membelakangi Agus hingga terdengar hanya suara gemerisik daun-daun kering di tanah. Seperti sedang mempersiapkan sesuatu yang sangat serius.
"Setelah keluar dari hutan, ada kemungkinan kita berhadapan dengan warga yang sedang patroli. Karena itu ..." Orang itu berdiri dan berbalik dengan sebuah pistol di tangan. "Tidak ada salahnya untuk melakukan persiapan."
Gila! Dari mana dia dapat benda itu?
"Mari!" Kata orang itu seraya mengulurkan tangan.
Agus menyambutnya, lalu mereka berdua melanjutkan perjalanan.
Jalan yang dilalui mulai menantang. Tanah berlumpur dan penuh bekas pembakaran sampah memperberat langkah mereka. Kaki Agus terasa dingin, tapi sesekali perih karena tertusuk duri atau pecahan keramik yang bercampur dengan tanah. Agus tidak mengeluh. Ia semakin menggebu-gebu ketika pepohonan mulai kelihatan jarang.
"Yah, sungainya sedang kering." Orang itu terdengar kecewa. "Kalau tidak salah ini sungai yang sama dengan yang mengular di Tambangan." Katanya saat melihat sungai yang melintang di depan mereka.
"Tambangan?"
"Ya, desa di selatan Sumbergede."
"Oh, saya bukan orang sini jadi tidak tahu daerah-daerah Banyusirih. Kamu ... sepertinya kamu familiar sekali dengan hutan ini." Kata Agus.
"Tentu saja. Bukan sekali dua kali saya berkunjung ke Patokan."
"Begitu" Agus terdengar memahami. "Kalau boleh tahu, kenapa kamu dipenjara?" Tanya Agus.
"Penjara? Saya tidak pernah dipenjara. Jangan samakan saya dengan Anda yang mantan narapidana."
Agus mengernyitkan alis. Terlepas dari kebaikan malaikat penyelamatnya itu, pria tersebut masih saja misterius.
"Maaf, saya harus turunkan Anda sebentar." Kata orang itu seraya medudukkan Agus di tepi sungai.
"Sebenarnya, kamu siapa?" Tanya Agus dan kali ini dengan nada memaksa.
"Nama saya Agus." Jawab orang itu tanpa sedikitpun terlihat canggung walau nama mereka sama.
Agus tergelak memperlihatkan barisan gigi merahnya. "Jangan bercanda. Agus memang nama umum, tapi terlalu kebetulan kalau nama kita sama." Katanya.
"Memang. Rasanya sedikit canggung ada dua orang Agus dalam hutan ini. Tapi ... hanya ada satu Agus yang akan keluar hidup-hidup."
"Maksudmu ..."
Seketika orang itu berbalik dan menembak Agus tepat di keningnya dengan senjata yang sudah dilengkapi peredam.
"Tugasmu sudah selesai. Terima kasih atas tutup mulutnya."
Agus yang baru mendorong tubuh Agus yang lama hingga jatuh ke dasar sungai kering dan berbatu. Kemudian terdengar suara gemerisik radio disusul oleh sebuah kata sandi yang Agus ucapkan berkali-kali sebelum akhirnya seseorang di ujung radio lainnya menjawab.
"Aman. Bagaimana dengan di situ? Ganti!" Lapor Agus.
Bagus. Kami masih menunggu mereka lewat. Segera tinggalkan hutan itu sebelum ada orang yang menyadarinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top