CHAPTER 25 - UNDANGAN

Desa Sumbergede, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan

Masih membekas di ingatan Fatah tentang kondisi H. Karim yang parah. Walau demikian, sebagian besar warga merumpi dengan mantap, bahwa H. Karim menang melawan delapan orang preman. Mendengar hal tersebut, tidak lantas membuat Fatah bangga. Sudah sering H. Karim diposisikan sebagai pahlawan, dan kerap kali diandalkan saat terjadi konflik di desa. Bagi fatah, ini adalah beban. Konsep kepahlawanan di zaman sekarang sudah bergeser makna. 

Sesumbarkan segala bentuk prestasi, walaupun tidak hebat, maka kamu akan disebut pahlawan. Bangun sebuah kamar mandi, walaupun tidak membersihkan badan, setidaknya kamu disebut pahlawan. Bertahan dalam bencana yang semua orang mati karenanya, walaupun kamu terluka parah, kamu akan disebut pahlawan. Fatah merenung di tengah obrolan seriusnya dengan polisi. 

"Oh, maaf. Sampai di mana tadi?"

Polisi itu berdeham. "Anda belum memberi tahu kami dimana Pak Karim dirawat. Kami sangat butuh keterangan beliau, termasuk plat nomor dari kendaraan yang dipakai komplotan itu."

"Percuma, Pak. Abah saya bahkan tidak bisa ingat nomor telepon rumah, apalagi nomor mobil yang baru sekali dilihatnya." Fatah tertawa geli.

Rumah Fatah menjadi tontonan warga. Mereka meneliti dengan celinguk penasaran, lalu membisikkan rangkuman penelitiannya pada teman di sampingya; teman yang sebenarnya juga sedang meneliti. Kadang, hal ini terasa tidak sopan jika bisikan mereka dapat didengar jelas oleh tuan rumah. Beruntung Fatah mewarisi sifat Salehudin tua, andai H. Karim yang mendengar, pastilah warga tersebut sudah digiring pulang bak kambing yang tersesat di ladang.

"Hei," Sapa Aluf.

"Kamu--Bagaimana bisa kamu melewati garis polisi?" Pekik Fatah. Ia tidak pernah terbiasa dengan kemunculan Aluf yang tiba-tiba.

"Menunduk," Jawab Aluf datar.

Sebaiknya saya tidak meladeni gadis ini. Fatah berdeham, "Begini Ning Maulida, kehadiran Jenengan ke sini bisa jadi pusat perhatian warga. Akan muncul juga opini-opini receh yang nantinya merugikan saya dan Anda." Fatah bersikap formal. Hal yang tidak pernah ia lakukan pada Aluf, karena mereka sudah bersahabat sejak lama.

"Aku sudah pakai masker, tidak akan ada yang mengenaliku."

"Tapi kamu masih pakai seragam madrasah--Ah, saya harus sabar." Emosi Fatah benar-benar naik-turun. "Jadi, ada apa?"

"Abah minta kamu dan keluargamu untuk tinggal di pesantren sampai suasana kembali tenang." Tutur Aluf sambil menggigit jari telunjuknya dari balik masker.

"Kalau begitu, bawa saja Nurina dan anak-anak. Saya akan tetap di sini."

"Bodoh!"

Dosakah saya kalau menjewer anak Kiai?  "Terserah!" Geram Fatah, "Ada banyak keluarga di luar sana yang setiap malam ketakutan karena teror ini. Untuk berlindung di balik dinding pesantren, saya akan merasa sangat bersalah. Bukan saja terkesan memanfaatkan kedekatan Abah pada Ahlul Bait, tapi hati nurani saya menolak itu. Karenanya..." Fatah menundukkan wajah dan berkata dengan mantap, "Saya menolak dengan hormat tawaran jenengan."

Tidak tampak bagi Fatah, tapi, Aluf sedang tersipu kagum di balik maskernya. Fatah yang penakut dan sangat payah, kini menunjukkan sisi pahlawannya sebagai seorang ayah, juga sebagai seorang warga yang mencintai desanya.

"Sesukamu saja! Perlu diingat, Haji Karim masih jadi incaran mereka. Kemungkinan besar malam ini mereka akan mendatangi rumah ini lagi. Entah lewat pintu depan, atau lewat pintu belakang."

"Terima kasih sarannya." Kata Fatah dengan senyum tenang.

Ia menyaksikan Aluf pergi meninggalkan lokasi. Walau datang dengan penampilan mencolok, tapi tidak satupun yang peduli pada gadis itu. Aluf melewati keramaian warga dan polisi dengan santai, seolah kehadirannya tidak dianggap.

Untung dia anak Kiai, karena kalau tidak, mungkin Aluf akan jadi maling yang merepotkan bagi desa ini Pikir Fatah.


***

"Hari ketiga," Bisik Ki Jalu, disusul tusukan jarum ke ujung jari manis Agus. 

Laki-laki setengah hidup itu terperanjat dan nyaris rubuh ke lantai. Pandangannya berguncang cepat, hingga nyala lampu kelihatan seperti kilatan cahaya. Itu menunjukkan betapa kencangnya agus membentur-benturkan kepala ke udara, sekedar mencari sensasi sakit demi merangsang otak. Bagaimanapun, ia tidak boleh berakhir gila.

Setelah lelah menggelepar, Agus menunduk, dan untuk kesekian kalinya ia nyaris pingsan. Mula-mula telinganya berdengung, lalu penuh dengan sembarang bunyi, dan berakhir senyap.

"Siapa atasan kalian?" Tanya Ki Jalu. 

Agus meludah darah, mendarat tepat di kaki Ki Jalu yang sedang duduk di depannya. "Tidak ada ayam untuk hari ini?" Seringainya meremehkan.

Kedua alis Ki Jalu meninggi. Ia perbaiki posisi duduknya jadi lebih dekat dengan Agus. Tangannya meraba dagu dan mengangkat wajah kusam Agus hingga sejajar dengan wajahnya. 

"Sejujurnya, kamu mengingatkanku pada Mulyadi; cucuku yang malang," Ujar Ki Jalu penuh kesayuan. Ia bahkan menghentikan gerak harmonik lampu agar mendukung suasana pilu yang sedang diciptakannya.

Ruangan itu berhenti dihantui bayang-bayang akibat lampu yang bergoyang. Kini, dinding kayunya memantulkan bayangan dua orang sedang duduk berhadapan. 

"Mulyadi anak yang baik."

"Dan peduli apa aku pada cucumu!"

"Ia periang dan gemar menjahit."

"Berhenti berceloteh kakek tua, lepaskan atau bunuh saja aku!"

"Hanya saja ... kegemarannya itu semakin mendarah daging, dan perlahan membusuk dari dalam. Mulyadi berubah jadi gila dan obsesinya makin menjadi-jadi, hingga suatu hari ..."

Agus memberontak. Ia berteriak di depan wajah Ki Jalu--menyebutkan semua kosa kata kasar yang dimilikinya, namun lagi-lagi berakhir pada kalimat, "Lepaskan aku, aku mohon. Aku tidak tahu apa-apa. Tapi aku janji akan membantu kalian mencari tahu tentang--tunggu! Apa yang akan kau lakukan?" Agus menciut.

"Mulyadi, cucuku sayang. Hasratnya tidak lagi terpuaskan dengan lembaran kain-kain putih. Karenanya, ia mulai mencoba menjahit kulit. Berawal dari kulit lembu yang dicurinya dari tempat penyamakan." Ki Jalu menekan ujung jarum pada ujung jari telunjuk Agus; tepatnya di sela-sela kuku. Hal itu dilakukan dengan tetap menatap mata Agus tajam, namun berlinang air mata.

"Tolong, singkirkan benda itu. Aku--" Tubuh Agus bergetar hebat, kepalanya mulai miring ke kiri, namun matanya tetap terpaku pada jari tangan kanannya.

"Anak bodoh itu, ia menikmati setiap sulamannya pada kulit lembu. Bahkan, ia bisa mendengar suara melenguh hewan bertanduk itu setiap kali jarumnya menembus kulit..."

Agus terpekik-pekik. Suaranya terdengar patah-patah seolah tenggorokannya hampir pecah. Bisa dia rasakan jarum itu sudah masuk separuh ke dalam sela kuku jari telunjuknya.

"Ya! Benar, begitu! Begitu suaranya." Ki Jalu kelihatan sangat bahagia. Air mata panasnya berubah dingin menekankan perasaannya yang berubah riang. Kepalanya mengangguk-angguk dengan senyum merekah di mulutnya, sedangkan air mata berlinang di pipi keriputnya. "Oh, aku merindukan suara itu. Mulyadi pasti sangat senang mendengarnya. Tolong jangan berhenti--hei, aku bilang jangan berhenti."

Jarum itu diputar-putar dan ditarik keluar-masuk dengan irama tak beraturan. Agus semakin menggila karena rasa perih. Hatinya pun merasakan sakit, karena sesungguhnya ia tidak punya jawaban yang Ki Jalu cari. Satu, dua, tiga, sampai akhirnya sepuluh jari Agus ditusuk dengan jarum yang sebagian besar sudah dipanaskan dengan api. Agus tidak lagi bisa bersuara, yang keluar dari mulutnya hanya frekuensi rendah getaran di tenggorokannya yang lelah.

"Oh," Ki Jalu terisak. "Terima kasih. Sekarang, Mulyadi bisa mati dengan tenang. Tapi kamu ... kamu harus tetap hidup. Jangan mati dulu sebelum menjawab pertanyaanku."

Ki Jalu menutup kepala Agus dengan kain, mematikan lampu, lalu meninggalkan ruangan.

Di luar, Gusafar sedang duduk memangku Rahwan. Ruang interogasi itu berada di bawah tanah, jadi suara teriakan sekeras apapun masih mampu diredam. Meskipun, Gusafar dapat mendengarnya dari jarak yang cukup dekat. Hari sudah sore, dan ia berharap Ki Jalu mendapat jawabannya.

Melihat air mata di pipi Ki Jalu, Gusafar menjentikkan jari. "Biar saya tebak, Lasmini!" Kata Gusafar.

"Tidak, kali ini Mulyadi." Jawab Ki Jalu, seraya mengelap wajahnya dengan kain handuk.

"Siapakah gerangan Mulyadi itu?"

"Hanya tukang jahit pikun yang sering lupa memberi lubang kancing pada setiap gamis pesanan saya."

Gusafar mengangguk dengan spontan, karena dirasa itu reaksi yang tepat. Ia sudah terbiasa mendampingi Ki Jalu, dan banyak hafal setiap metode interogasinya. Konon, ki Jalu pernah disekap oleh Antek-Antek bendera merah ketika usianya masih remaja. Ia selamat dengan tubuh penuh luka, dan trauma yang membuatnya nyaris gila.

Ki Jalu mengembara dari desa ke desa berbekal belas kasih orang. Ia bahkan pernah jalan kaki dari stasiun Gandrung, sampai ke Sumbergede sambil telanjang bulat. Hingga akhirnya, ia bertemu dengan Kiai Sepuh; pengasuh kedua Sokogede, abah dari Kiai Ilyas dan Kiai Fatah walaupun keduanya berbeda ibu. Kiai Sepuh menampar Ki Jalu yang saat itu hendak melintasi asrama putri.

Kejadian itu cukup menggelikan dan mencuri perhatian warga. Selagi pipi Ki Jalu masih terasa panas, Almarhum Kiai Sepuh ber-dawuh; Saya sedang menampar setan di kepalamu. Sekarang, bersihkan dirimu! Ambil uang ini untuk membeli pakaian, dan temui saya di Ndalem!

Hari itu adalah hari bersejarah bagi Ki Jalu. Ia seperti terlahir kembali. Trauma yang menggerogoti akal sehatnya tidak lantas hilang, tapi rasa takut itu ia jadikan sebuah kekuatan. Ki Jalu mengerti setiap faktor mengerikan yang dirasakan manusia, dan itu membuatnya jadi andalan dalam memeras informasi  lawan.

"Jadi, apakah intergogasi barusan membuahkan hasil?" Tanya Gusafar. Rahwan naik ke pundaknya dan memasang mimik muka yang sama. Sama-sama penasaran.

"Tidak. Saya benci mengatakannya, tapi kali ini saya percaya pada orang bernama Agus ini. Dia benar-benar tidak tahu pada siapa ia bekerja. Teriakannya sangat jujur, dan itu membuat saya iba walau hanya satu persen."

"Satu persen, Selebihnya?" Tanya Gusafar.

"Oh, Sampean tidak tahu bagaimana nikmatnya menyiksa orang," Ki Jalu tertawa mengerikan.

***

Bukan Pak Saleh jika tidak membuat sensasi. Sore itu, kedua muridnya; Adam dan Gazali, dibuat belingsatan oleh tingkah Pak Saleh yang menurut mereka berdua sangat mengancam keselamatan Pak Saleh sendiri.

"Ayolah, Kak Tuan. Ini berlebihan." Bujuk Adam, sembari garuk kepala di belakang Pak Saleh yang sibuk bekerja--menghadap ke dinding bagian luar rumahnya.

Pak Saleh tergelak, suaranya serak karena akhir-akhir ini jarang istirahat. Obat yang dibawakan Aluf pun lupa diminum. "Tenang saja, dengan begini saya bisa menghemat waktu dengan tidak mencari-cari mereka."

"Tapi, Kak Tuan. Kang Karim yang masih sehat saja terluka parah karena preman-preman itu, apalagi..."

Pak Saleh melemparkan linggis hingga nyaris berputar seperti baling-baling yang siap merobek wajah Gazali, andai Gazali tidak segera menunduk. Linggis itu menghantam pagar kayu yang sekarang jadi miring.

"Jangan bandingkan saya dengan Karim! Dia benar-benar payah. Sama preman saja sampai masuk rumah sakit." Gerutu Pak Saleh yang masih melanjutkan pekerjaannya.

Sia-sia sudah. Adam dan Gazali memilih diam karena setelah linggis barusan, di samping Pak Saleh masih ada kapak dan tumpukan batu hitam. 

"Sepertinya, malam ini kita harus berjaga di rumah ini lagi," Bisik Adam pada Gazali.

"Sepertinya begitu." Jawab Gazali.

Kemudian, keduanya hanya bisa termangu menatap dinding rumah Pak Saleh yang saat ini sudah tergambar  jelas sebuah tanda silang berwarna merah; sedikit miring dan tidak simetris; lebih besar dari biasanya; dan yang pasti, itu digambar oleh Pak Saleh sendiri.

Sambil tertawa bahagia, dan terdengar menantang, Pak Saleh berteriak, "Yang namanya Ninja itu jangan dicari! Biar mereka datang sendiri!"

HAHAHA


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top