CHAPTER 24 - SABUNG AYAM

Desa Leduk, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan

Warga sedang menyusuri pinggiran pantai, jalan, bahkan ke dalam sawah dan ladang. Tidak seorang nelayan-pun yang pergi melaut, tidak juga ada petani yang menyemai benih. Leduk sedang kalang kabut, karena salah satu tawanan mereka tiba-tiba menghilang sebelum sempat diangkut.

Kaburnya salah satu preman itu terasa sangat janggal. Mengingat para pelaku diikat di halaman rumah Ustad Edo sampai polisi datang menjemput. Yang berjaga tidak hanya satu dan dua orang, tapi hampir seluruh warga desa bergantian menyaksikan. Mereka baru sadar saat matahari sudah naik dengan sempurna, bahwa kepala tawanannya berkurang satu

"Kami sudah menjaga setiap akses jalan keluar dan masuk desa. Kami pastikan orang itu tidak akan kabur jauh." Ujar salah seorang polisi.

"Tentang mayat yang kami temukan di jalan, sudah kami serahkan pada keluarga. Sulit dipercaya, ternyata itu adalah jenazah mantan kepala desa ini. Kami hampir mengira almarhum adalah komplotan dari preman-preman itu." Polisi yang lain menambahkan.

Semua itu dibalas dengan anggukan kepala tanpa gairah oleh Nyai Ani. Ia sangat mengantuk, tapi orang-orang berseragam ini selalu datang dan menanyakan pertanyaan yang sama sampai Nyai merasa bosan.

"Ini hampir jam sembilan pagi. Dua jam sejak preman itu kabur. Saya pesimis kita bisa menemukannya." Kata Man Rusli.

"Saya curiga dia tidak kabur sendiri. Seseorang pasti membantunya, dan orang itu cukup lihai karena bisa melakukannya tepat di depan mata kita." Mufin menanggapi. Ia tidak ada di lokasi saat para warga membekuk preman-preman tersebut. Walaupun terlambat, tapi Mufin masih menjadi pahlawan karena datang bersama polisi.

***

Di sebuah desa, sebuah kecamatan, sebuah kabupaten.

Seseorang sedang menghirup nafas panjang setelah beberapa menit tertahan oleh kain yang menutupi wajahnya. Kain hitam itu dibuka dan memperlihatkan sebuah ruangan gelap berdinding kayu, berlantai tanah dan hanya memiliki sebuah lampu gantung yang sedang bergoyang-goyang.

"Hei, dimana ini?" Tanya orang tersebut. Pandangannya masih rabun, namun perlahan menjadi jelas seiring kesadarannya yang mulai lengkap. "Hei! Dimana aku, dan siapa kalian?"

Dua ekor ayam sedang beratarung mewakili tuannnya masing-masing. Pertandingan itu menjadi pemandangan pertama yang terlihat saat mata berarir orang tersebut mulai kering dan penglihatannya kembali jernih. Orang itu tidak lain adalah tawanan desa leduk yang sedang diburu warga karena kabur.

Situasi saat itu serba sembarangan. Ia terjaga di sebuah ruangan gelap dan sempit, lalu disuguhi sebuah pertarungan sabung ayam milik dua orang tidak dikenal yang saat ini sedang larut dalam euforia pertandingan.

"Jangan main-main..." Kata tawanan itu separuh lemas, "Aku bilang, jangan main-main! Lepaskan aku!"

Teriakan itu sangat mengganggu. Harusnya ia tetap diam agar tidak mengusik kesenangan dua orang yang sedang mengadu ayam. Sekarang, salah satu dari orang itu tampak sangat marah. Ia melepaskan Taji* dari kaki ayam miliknya dan pelan-pelan mendekati tawanan tersebut. Sekarang, tawanan itu menyesal sudah membuka mulut.

*) Pisau kecil yang digunakan sebagai pengganti Jalu untuk sabung ayam. Tujuannya, agar ayam lawan cepat mendapatkan luka, dan pertarungan tidak berlangsung terlalu lama. Sebagian orang mengoleskan racun dan mantra-mantra khusus pada pisau ini, hingga tak jarang dijadikan senjata saat tawuran.

Kaki kursi kayu bergerak-gerak, membuat suara ribut di ruangan sempit dan remang. Tawanan itu tidak bisa duduk dengan tenang, selagi ujung taji menyentuh ujung jakunnya.

"Sebaiknya, kamu tetap diam. Atau yang barusan akan jadi terakhir kalinya kamu bicara."

"Si-siapa--siapa kalian? Kenapa kalian menyelamatkanku dari Desa Leduk, kalau akhirnya kalian bawa ke sini?" Tanya Tawanan itu.

Tidak ada yang menjawab. Tawanan itu justru disuguhi pemandangan dramatis, dimana salah seorang yang ada di ruangan itu mengeluarkan pisau dan menyembelih salah satu dari dua ayam tadi.

Apa maunya mereka ini? Mereka seperti tidak normal. Terutama, kakek yang satu ini.

Adalah Ki Jalu. Kakek yang saat ini jadi pemimpin di ruangan kecil antah berantah—pesakitan bagi tawanan itu. Ki Jalu sedang mengitari tawanan Leduk yang saat ini berubah status menjadi tawanannya. Sesekali Ia mengendus layaknya kucing yang bersiap menyantap ikan.

Lagi-lagi, Ki Jalu meletakkan ujung taji di leher tawanannya, memaksa pria itu mengangkat dagu tinggi—tinggi sekali. Seolah disengaja, Ki Jalu membuat garis maya di leher tawanan itu, seirama dengan pisau yang sedang menggorok leher ayam hingga nyaris putus.

"Tolong, jangan. Jangan lakukan ini padaku." Kata tawanan itu. Tangan dan kakinya terikat di kursi, tapi masih saja begidik ngeri melihat darah ayam melukis warna gelap di lantai tanah.

Ayam itu dilempar ke tanah, dan dibiarkan menggelepar hingga akhirnya kaku tanpa gerak. Melihat itu, tawanan tadi berharap agar sesuatu yang sama tidak terjadi padanya, tapi sia-sia. Ki Jalu menendang dada tawanan itu hingga tersungkur ke tanah dengan posisi masih terikat pada kursi.

Tawanan itu mengerang kesakitan, tapi Ki Jalu tersenyum senang. Kemudian, Ki Jalu menunduk dan membisikkan sesuatu pada tawanannya.

"Nama?"

"Tolong, lepaskan aku!"

"Salah!"

Ki Jalu memperbaiki posisi tawanan itu kembali seperti semula. Kali ini, bukan leher yang jadi incaran Ki Jalu, melainkan tangan pria itu. Kedua tangan tawanan tersebut sedang terikat menyilang ke belakang kursi, dan di sanalah Ki Jalu sedang berdiri. Ia menarik lampu gantung yang sejak tadi bergoyang-goyang, menjadi lebih dekat dengan kepala tawanannya. Kemudian, Ki Jalu mendekatkan mulutnya dan berbisik dari belakang telinga dengan suara penuh ancaman.

"Nama?"

"Dengar—tolong dengarkan aku dulu. Kalau kalian mencari informasi, kalian salah orang, sebab--"

Mendadak tawanan itu berteriak histeris. Ia merasakan logam dingin menyayat urat nadi tangan kanannya. Tidak terlalu sakit memang. Tapi, merasakan derasnya aliran darah yang mengalir di telapak tangannya, dan menenetes deras bagaikan hujan pertama di awal musim, semua itu mengirimkan sinyal teror yang kuat yang saat ini sedang bermain di dalam pikiran.

"Nama?" Ki Jalu belum merubah pertanyaannya, dan sepertinya, apa yang ia lakukan barusan belum juga merubah pendirian tawanannya.

"Tolong, lepaskan aku. aku tidak tahu apa—"

Kali ini darah membasahi tangan kiri pria itu. Barulah sakit dan ngilu terasa di sekujur tubuh. Mula-mula, ada perasaan pusing di kepalanya, lalu hawa dingin merambat ke leher, kemudian naik ke hidungnya yang mulai susah bernafas, dan semua menjadi gelap saat kengerian itu mencapai penglihatannya.

***

"Hari kedua."

Bisikan itu membangunkan tawanan tadi. Sama seperti sebelumnya, ia harus mengusir kunang-kunang putih di matanya sebelum dapat melihat sekitar dengan jelas.

"Air..."

Tidak ada yang berubah. Masih di tempat yang sama, namun dengan kondisi yang sedikit berbeda. Badannya mulai terasa lemas. Tangannya mulai mati rasa, satu-satunya yang dapat ia raba adalah telapak tangannya yang lengket karena darah.

"Air..."

Permohonannya dikabulkan. Kepala tawanan itu diguyur air dari sebuah bak besar yang dibawa oleh Ki Jalu. Kali ini, kakek tua itu berpakaian sangat rapi. Ia juga membawa bungkusan besar yang diletakkannya di depan tawanan tadi.

Tidak mau menyia-nyiakan setetes airpun, tawanan itu menjilat dan menghirup setiap air yang lewat di bibirnya. Walau saat itu ia tidak bisa membedakan entah itu air dari bak besar tadi, atau justru air keringatnya sendiri.

Ki Jalu membuka bungkusan besar tadi yang ternyata berisi bakul nasi dan satu porsi ayam bakar lengkap dengan satu sachet kecap manis. Tanpa sungkan—seolah ini adalah rumahnya sendiri—Ki Jalu menyantap bekalnya di depan tawanan itu yang sudah berkali-kali menelan air liur. Perutnya juga bergemuruh keras, seolah memohon belas kasih dari Ki Jalu.

"Mau?" Kata Ki Jalu seraya menjilat-jilat ujung jarinya yang belepotan oleh bumbu dan kecap manis.

Tawanan itu memalingkan wajah. Ia tahu itu hanya salah satu dari bentuk siksaan Ki Jalu. Tiba-tiba, aroma ayam bakar itu menjadi sangat kuat. Ternyata, Ki Jalu sedang menggoda tawanannya dengan mendekatkan paha ayam di depan mulut berair itu.

"Nama?"

Ki Jalu menyantap paha Ayam itu di depan wajah pria tersebut. Terdengar dengan jelas suara gigi mencabik-cabik daging, disertai kecapan-kecapan dari mulut Ki Jalu yang semakin menyiksa perut tawanan yang sedang kelaparan tersebut.

"Agus, namaku ... Agus."

Ki Jalu berhenti mengunyah. Ia tersenyum dengan gigi masih menggigit paha ayamnya. Alih-alih memberi tawanannya makan, Ki Jalu justru memasang kembali kain penutup wajah berwarna hitam itu, hingga terdengar tangis putus asa dari Agus.

Sakit, lapar, haus, dan segala macam rasa gatal di kulitnya yang tidak mampu ia garuk karena tangan dan kakinya terikat dengan kuat. Agus hanya bisa menangis. Ia menyerah untuk memohon ampun, dan beralih memohon mati.

"Bunuh saja aku, bunuh!"

***


"Ini sudah satu jam, dan kita baru mendapatkan sebuah nama." Kata Gusafar.

"Tenang saja, sepertinya orang bernama Agus itu mulai kehilangan kesadarannya lagi. Selanjutnya, ia pasti akan menjawab semua pertanyaan saya." Jawab Ki Jalu. "Kita hanya perlu membuatnya berpikir, bahwa ia sudah berhari-hari berada di ruangan ini."

"Sampean benar-benar berbakat dalam hal ini." Puji Gusafar. Walau sedikit mengandung ledekan.

"Sudah belasan tahun sejak terakhir kali saya menginterogasi orang. Saya sempat bersumpah untuk tidak melakukannya lagi."

"Terus, kenapa sampean membawa tawanan itu ke sini dan menyiksanya sampai hampir mati?"

"Gus, Sampean tidak lihat wajah Saleh tadi?" Tanya Ki Jalu. "Selama ini saya selalu berpikir bahwa Muhammad Salehudin yang dulu sudah mati setelah kalah telak dari Kiai Sahrul. Tapi hari ini, setelah sekian lama, saya melihat wajah itu lagi. Saleh tidak semata-mata meminta saya menculik salah satu tawanan Desa Leduk, dan menguras segala informasi yang dimiliknya, tapi... ada nafsu membunuh di wajah Saleh yang membuat saya tidak bisa menolak perintahnya."

Gusafar mengerti. Ia mengelus kepala Rahwan yang sedang tidur dalam dekapannya, hanya untuk menenangkan diri sendiri.

"Begitu rupanya. Anaknya terluka parah hingga nyaris mati, pantas jika Ki Saleh tidak bisa mengendalikan diri. Sebaiknya, sampean lakukan tugas ini secepat mungkin. Setelah itu, bawa tawanan itu ke kantor polisi. Bagaimanapun, ini adalah tindak kriminal."

"Ya, sampean benar. Sedikit lagi, saya hanya perlu waktu sedikit lagi."

Note :
Aduh, typo berserakan di update kali ini. Mohon dimaafkan. Saya akan perbaiki secara bertahap.
Posisi sedang di Lombok pasca gempa kemarin, dan sampai saat ini pun pulau seribu masjid masih sering berguncang. Saya akan update lagi kalau sudah sampai di jawa. Sementara itu, mari doakan keselamatan untuk saudara-saudari kita di NTB, Bali dan sekitarnya.
Doa baik teman-teman akan selalu dikabulkan, tidak peduli berasal dari golongan, atau bendera yang berbeda.

"Ah, ada kamera di setiap sudut bencana. Pastikan semua direkam dengan dramatis, karena bencana ini milik kita bersama, namun dirasakan dan dimanfaatkan dengan cara berbeda. Semua tergantung kepentingan. Aneh, kadang manusia lebih ngeri dari gempa bumi."
Ujar Gusafar sambil memberi makan Rahwan.

Itu Gusafar yang ngomong, bukan saya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top