Desa Sumbergede, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan.
Fatah sedang memacu motornya dengan kecepatan penuh. Ia sudah mendengar tentang musibah yang menimpa Ustad Mahrus dan beberapa tokoh agama di Banyusirih. Sayangnya, kerusakan pada motor Fatah cukup parah. Ia harus berkendara dengan sangat hati-hati karena ban depan motornya goyang kekanan dan kekiri.
Dasar Aluf! Besok saya harus minta ganti rugi.
Di perjalanan, ia melihat banyak sekali warga sedang berkumpul di pinggir jalan. Besar rasa penasaran Fatah, besar juga rasa Khawatirnya. Saat ini, Abahnya sedang sendiri di rumah. Menurut kesaksian warga yang ditemuinya barusan, komplotan itu diangkut dengan sebuah pickup dan sedang menuju ke selatan.
Semoga Abah tidak apa-apa.
Doa Fatah sudah didengar. Ia hanya perlu mengucap Amin dan meyakini sepenuh hati, bahwa Haji Karim baik-baik saja. Bagaimanapun saktinya sang Abah, H. Karim belum tentu mampu menghadapi delapan orang yang saat ini sudah berada di depan pintu rumahnya. Semuanya bersenjata; semuanya datang untuk nyawa H. Karim.
Pintu rumah Fatah digedor dengan keras. Orang-orang itu terkejut karena pintunya terbuka dengan sangat mudah. Sepertinya, Aluf benar-benar memiliki bakat merusak properti orang.
Salah satu dari komplotan bersenjata itu masuk ke rumah H. Karim dengan mengendap-endap, karena saat itu seluruh lampu sengaja dimatikan.
"Karim! Keluar kau bajingan!" Hardiknya yang saat ini sudah berada di dalam rumah. Sementara itu, rekannya yang lain sedang menunggu di luar.
Tiba-tiba, tubuh seseorang mental dari dalam dan mendarat di teras luar, seolah-olah rumah itu menolak keras kehadirannya. Samar-samar dari dalam ruang tamu yang gelap, seseorang sedang duduk santai menunggu tamunya datang. Preman-preman itu mulai menelan ludah. Sebagian berpikir bahwa mereka salah memilih rumah. Melalui pintu yang sekarang sudah terbuka lebar, Mereka bisa melihat bayangan sang tuan rumah yang sedang murka. Mereka membantu temannya yang baru saja dihempas keluar itu untuk kembali bangkit. Lalu, berbekal jumlah yang jauh lebih banyak,mereka mengangkat senjata seolah siap menyeret pemilik rumah itu ke halaman.
Di dalam, H. Karim masih duduk santai tanpa rasa takut sedikitpun. Dengan lantang ia berkata.
SILAHKAN MASUK!
Kemudian, gerombolan preman itu serempak memasuki rumah H. Karim. Angin malam bertiup pelan, menutup pintu rumah yang sedang jadi medan perang. Hanya masalah waktu, untuk mengetahui siapa yang akan keluar dari balik pintu.
Desa Lindung, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan.
Arak-arakan di sepanjang jalan Lindung sudah sampai jauh ke selatan. Di sana, sebuah mobil pickup sudah menunggu rombongan bersenjata tajam itu. Mereka menaikkan tawanannya dengan sangat kasar. Bahkan di atas mobil pun mereka masih sempat melampiaskan kemarahan.
"Yang ini namanya Imam Mubarak. Dia pemilik bengkel di pinggir jalan. Orang ini sudah lama merantau ke luar pulau, lalu kembali lagi dua tahun lalu. Menurut laporan, orang ini bertanggung jawab atas meninggalnya tiga orang tetangga yang diketahui memiliki hubungan buruk dengan si Imam ini. Kami juga menemukan bukti alat-alat praktek santet, dan sebuah informasi tentang silsilah keluarganya. Ternyata, dia masih keluarga Tukang sihir yang dulu rumahnya terbakar itu."
"Barang-barang itu, saya—saya tidak pernah menyimpannya. Ini fitnah. Persetan dengan silsilah keluarga, saya hanya tukang tambal ban biasa."
"Masih bisa bicara, kau!"
"Sudah-sudah! Harusnya kalian habisi di tempat saja tadi." Kata sopir pickup yang mulai gelisah menunggu.
"Dia kabur. Kami menangkapnya di tengah sawah."
"Kalau begitu, cepat habisi sebelum kita bawa."
Saat itu, suara mesin motor terdengar jauh dari utara. Dua orang teman mereka memacu kuda besinya seperti dikejar setan. Pengendara motor itu berhenti di samping mobil pickup, kemudian meminta teman-temannya untuk kumpul seolah ada berita darurat yang dibawanya dari utara.
"Gawat. Orang-orang yang dikirim ke Leduk, semuanya tertangkap. Saat ini, mereka sedang jadi tawanan warga di sana." Kata salah seorang pengendara motor.
"Kurang ajar! Mereka terlalu menganggap remeh tugas ini." Kata seorang preman sambil memukul pintu mobil.
Angin malam bertiup sangat kencang, di tanah lapang yang tanpa hambatan. Untuk beberapa saat komplotan itu saling berdiskusi di pinggir jalan, tentang kembali menjemput rekan-rekannya, atau pergi dan mengabaikannya.
"Kita tinggalkan saja. Semoga warga Leduk tidak main hakim sendiri." Kata sopir pickup. Sekarang, ia sudah duduk di kursi kemudinya. "Cepat! Kita harus sudah meninggalkan Banyusirih sebelum terdengar sirine polisi." Tegas si Sopir.
"Bagaimana dengan kelompok yang ada di Sumbergede?" Tanya salah satu pengendara motor.
"Kalau tidak salah, target terakhir mereka adalah rumah yang berada di pinggir jalan pantura. Kita bisa mampir membantu mereka sebelum pergi meninggalkan desa. Dan satu lagi—cepat habisi nyawa orang ini!"
Seorang preman mendekatkan ujung pisaunya ke leher Imam Mubarak, lalu mendorongnya dengan sangat pelan, hingga seluruh bagian tajam pisau terbenam di leher Imam. Selanjutnya, pisau itu ditarik ke samping dengan sangat kuat, hingga darah yang keluar nyaris melapisi seluruh permukaan bak mobil.
"Rumah orang ini ada di dekat gapura masuk Desa Lindung. Kita mampir sebentar ke sana." Kata si pembunuh, sambil membersihkan darah di pisaunya.
***
Desa Sumbergede, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan
Pukul 20.30 WIB, dan Sumbergede tidak pernah seramai ini. Para kepala keluarga berkumpul membawa obor dan menyusuri setiap gang yang ada di desa. Bagi mereka yang memiliki kendaraan, mereka berkeliling desa berharap menemukan komplotan pembunuh yang baru saja menggemparkan desanya. Simpang siur kabar yang beredar, membuat penyelidikan sulit dilakukan. Belum lagi, warga yang pergi melapor ke polisi tak jua kunjung kembali.
Para wanita menangis. Mereka mencoba menenangkan anak-anaknya yang juga ikut menangis. Malam itu ada dua korban meninggal di Sumbergede, walaupun tidak semuanya saling kenal, tapi peristiwa ini menoreh luka yang sangat dalam bagi seluruh warga. Belum lagi, setelah malam ini, mereka tidak akan lagi bisa tidur tenang, sementara di luar sana pembunuh sedang bekeliaran. Beberapa masih mempertanyakan motif pembunuhnya, karena walaupun berdalih membasmi santet, dua korban yang mati malam ini justru seorang yang taat beribadah. Namun, di balik bayang-bayang kesedihan, beberapa warga justru membicarakan hal yang berbeda. Mereka yang berada di barisan duka paling belakang, cenderung puas dan bersyukur atas kejadian yang menimpa dua orang ustad tersebut. Dalam bisik-bisik, mereka berkata.
"Sudah lama sejak saya curiga dengan Mahrus. Sawahnya luas, sapinya banyak,tapi rumahnya masih saja kumuh seperti takut untuk direnovasi."
"Jelas sudah. Rumah itu menyimpan rahasia yang tidak sembarang orang boleh mengetahuinya."
"Benar, Kang. Sama hal nya dengan ustad pendatang itu. Dia dan istrinya jarang sekali berbaur dengan warga. Bahkan saat tetangganya sakit, dia tidak pernah datang menjenguk."
"Jangankan itu, Lek. Tetangganya meninggal saja ia tidak pernah datang ke acara tahlil. Saya percaya orang-orang ini tidak sembarangan membunuh. Mereka punya data yang akurat, yang pastinya sudah diselidiki sejak awal."
Pemikiran seperti itu hanyalah minoritas, dari lautan duka yang sedang menenggelamkan Sumbergede. Tapi seiring berjalanannya waktu, kepercayaan warga akan memudar. Tidak akan ada lagi hidup rukun, jika masing-masing dari mereka merasa, bahwa musuh yang sebenarnya, ternyata masih berada di satu halaman rumah.
***
Di Selatan. Tampak mobil pickup sedang meninggalkan halaman rumah Fatah. Mobil itu membawa delapan orang yang saat ini sedang terkapar diam tanpa suara. Tidak seperti saat pertama mereka datang, sebelumnya mereka dengan gagahnya berdiri menangkat senjata. Sekarang, suara itu tidak lagi terdengar.
Sebelum ban mobil menyentuh aspal. Mobil pickup dengan warna berbeda melaju pelan dari arah barat. Sopirnya membunyikan klakson, dan dibalas oleh lambaian tangan sopir yang satu lagi. Kemudian, keduanya tancap gas ke timur dengan kecepatan tinggi, karena dari kejauhan mulai terdengar sirine polisi.
Selang beberapa menit kemudian, Fatah tiba di rumahnya. Ia melihat jejak ban mobil di halaman, yang membuat kekhawatiran Fatah semakin menjadi-jadi. Setelah turun dari motornya, Fatah berlari menuju pintu rumah yang saat itu sedang terbuka sedikit. Kemudian, Fatah terkejut dengan apa yang dilihatnya di balik pintu. Ada banyak darah di lantai dan di dinding, di dukung oleh beberapa perabotan rumah yang rusak, membuat pemandangan itu benar-benar sepertih bekas medan perang.
Fatah menghampiri seseorang yang sedang duduk bersandar di lemari kaca. Air mata Fatah nyaris berderai karena ia kenal dengan kakek yang sedang bersimbah darah itu.
"Abah—Abah, tolong jangan mati!"
Tidak ada Reaksi dari Haji Karim. Harusnya Fatah sudah mengerti dengan darah sebanyak itu, mustahil seseorang bisa bertahan hidup.
"Abah, tolong jangan diam! Abah, Abaah!"
BERISIK!
"Jangan menangis seolah-olah Abah sudah mati!"
Fatah menyeka air matanya. Ia memapah Haji Karim keluar rumah, setelah mencabut tiga pisau yang masih menancap di punggung Abahnya. Hanya sebilah pedang yang masih menembus betis Haji Karim. Fatah tidak bisa melakukan apa-apa terhadap pedang itu, karenanya Ia harus segera membawa Haji Karim ke rumah sakit.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top