CHAPTER 21 - EKSEKUSI TIGA DESA (PART 2)
Desa Lindung, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan
Menuju Desa Lindung, berarti harus melewati satu kilometer jalan sepi yang diapit dua ladang tebu. Sore hari mungkin terlihat sangat menawan, tapi malam hari beda ceritanya. Saat musimnya datang, tebu-tebu yang sudah dipanen akan dibakar lalu menyisakan tanah lapang yang luas dimana gundukan tanah berserakan. Di malam hari, angin menari-nari dengan menakutkan. Lampu jalan yang berdiri setiap beberapa meter pun tidak bisa mengurangi kengerian.
Hanya seorang pedagang sapu lidi, yang malam itu nekat berjalan kaki melewati daerah tersebut. Punggunya sedikit bungkuk karena membawa dagangan, yang jumlahnya tidak berubah seperti saat ia berangkat tadi siang.
Dari kejauhan, beberapa cahaya mulai terlihat. Cahaya itu berbaris memenuhi jalan, dan mendekat dengan kecepatan yang seragam. Mobil ataupun kendaraan bermotor tidaklah selambat itu. Si pedagang mulai bertanya-tanya, Apakah itu rombongan pengantar jenazah? Tapi mau dikubur kemana? Di selatan kan tidak ada pemakaman.
Barisan cahaya itu semakin mendekat, semakin jelas wajah-wajah manusia yang sedang berjalan kaki membawa obor. Mereka memenuhi jalan hingga tidak ada celah bagi sepeda motor untuk lewat. Jarak si pedagang dan rombongan itu semakin dekat, tapi belum ada tanda-tanda ia akan diberi jalan. Akhirnya, Si pedagang meletakkan dagangannya di pinggir jalan lalu turun ke parit di samping ladang tebu.
"Astaghfirullah."
Sekarang jelas. Ini masih terlalu dini untuk lomba takbir keliling desa. Rombongan itu bukanlah pengantar jenazah seperti yang si pedagang pikirkan, melainkan arak-arakan manusia yang sedang menyeret tubuh seseorang.
"Apa sih ini?" Kata salah seorang dari rombongan itu. Ia membuang sapu lidi yang belum laku, karena barang milik si pedagang dianggap mengganggu jalan.
Sedikitpun, si pedagang tidak merasa kesal. Pandangannya sudah disita oleh pemandangan luar biasa kejam yang saat ini lewat di depan matanya. Seorang pria tengah diikat dengan rantai mengelilingi leher dan tubuhnya. Pria itu mengenakan sarung dan sedang tertatih mengimbangi kecepatan rombongan walau kakinya sudah tidak mampu berjalan. Si pedagang mencoba menebak-nebak siapa pria yang sedang disiksa itu, tapi darah di wajah pria itu sudah merata, belum lagi sebagian besar kulit di wajahnya terlihat mengelupas.
Si pedagang tidak berani bertanya. Sebagai warga desa Lindung, ia tidak mengenal satupun dari mereka. Akhirnya, lupakan rasa kemanusiaan. Si pedagang justru bersyukur orang-orang kejam itu tidak memperhatikan kehadirannya.
Desa Leduk, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan.
Kerusuhan yang terjadi di Sumbergede, Lindung, dan kabarnya hampir di seluruh penjuru Banyusirih, secara cepat sampai ke telinga warga Leduk. Menurut pengakun seorang nelayan, saat dirinya pulang dari pelelangan ikan di Kalakan, ia melihat sebuah rumah tengah dibakar oleh warga. Menurutnya, aksi itu dilakukan dengan sengaja dan terang-terangan karena rumah tersebut berada di pinggir jalan. Belum lagi, walau pemilik rumahnya berteriak meminta pertolongan, tapi tidak satupun warga yang mau mengulurkan tangan.
"Apakah ini ada hubungannya dengan pesan ancaman yang diterima Nyai Ani tadi?" Saripudin menebak-nebak. Selepas tahlil tadi, Ia dan beberapa orang warga belum pulang dari rumah Ustad Edo. Mereka memutuskan untuk bermalam di sana, setelah mendengar cerita Nyai Ani tentang batu dan kertas berisi ancaman kepada sang ustad.
"Di Lindung juga sedang terjadi kerusuhan. Mufin mendengarnya dari obroloan tukang becak, saat ia dalam perjalanan pulang membeli solar." Ujar Man Rusli.
"Tidak salah lagi. Ancaman itu bukan hanya untuk Edo seorang. Saya yakin, hari ini ada banyak warga Banyusirih yang rumahnya dilempari batu." Anto menanggapi.
"Apakah ini masih ada kaitannya dengan Ninja?" Tanya Emping. Ia berhasil membujuk Anto agar dibiarkan ikut menjaga kediaman Ustad Edo. Emping sudah siap dengan senjata tajamnya. Ia akan menjadikan malam ini sebagai penebus kesalahan sebelumnya.
"Entahlah. Ada satu hal yang sampai detik ini tidak masuk akal bagi saya." Saripudin menggaruk kepalanya. "Kenapa pembunuh itu selalu memberi tanda sebelum menjalankan aksinya? Bukankah dengan begitu, targetnya akan muda kabur?" Tanya Saripudin.
"Kabur katamu? Ingat, malam itu Man Mahrum tidak ada di rumah, tapi Ninja itu tetap melancarkan aksinya seperti tidak boleh ada kata gagal. Kalau menurutku, ada tiga kemungkinan sih, Din." Anto mengacungkan tiga jarinya. "Satu, Tanda itu diberikan oleh orang yang berbeda sebagai peringatan bahwa nyawa sang pemilik rumah sedang terancam."
"Ngawur!" Ledek Saripudin.
"Ini kan hanya pendapat, dengarkan saja dulu!" Anto membela diri. "Dua, pembunuhnya sudah profesional. Dia bahkan sangat percaya diri bahwa aksinya tidak akan gagal walaupun targetnya sudah diperingatkan lebih dulu."
"Lagi-lagi Ngawur!" Kali ini Emping ikut berkomentar, walau akhirnya kepalanya ngilu karena dipukul Anto.
"Tiga. Tanda itu sengaja disebar agar warga yang melihatnya jadi ketakutan." Anto melipat tiga jarinya satu persatu setiap kali ia mengemukakan pendapatnya.
"Yang ini lebih ngawur, Nto! Apa untungnya menakut-nakuti warga? Toh targetnya cuma satu orang."
UNTUK MEMBUAT KERUSUHAN
Jawab Anto yang walaupun tidak yakin, tapi wajahnya sangat mantap dan suaranya sangat lantang.
Tidak jauh dari kediaman Ustad Edo. Pak Gamar sedang duduk di bawah pohon kelapa. Ia sangat lelah, tapi belum memikirkan dimana akan menghabiskan malam. Di dalam ranselnya hanya ada sarung dan beberapa pakaian. Tidak satupun yang bisa jadi solusi untuk perut cekungnya yang sejak tadi berbunyi.
Apa sebaiknya, saya bergabung saja dengan Saripudin dan yang lainnya, ya? Ah, tidak! Mereka pasti akan mengusir saya.
Saat ini, Pak Gamar tidak bisa membedakan antara sikap keras kepala dan aksi sadar dirinya. Ia tetap bersikukuh kelaparan sampai pagi, daripada sakit hati karena ditolak warga desanya sendiri.
Lima orang asing sedang lewat di depan Pak Gamar. Walaupun sedang lapar, tapi Pak Gamar masih sanggup mencium tanda bahaya. Orang-orang itu membawa rantai dan beberapa senjata tajam. Dari jalan yang dilalui kelima orang tersebut, dapat diterka kemana arah tujuannya.
Pak Gamar bangun dan segera menghadang mereka dengan bahasa madura yang sangat sopan. Tidak cocok untuk wajah Pak Gamar yang berantakan.
"Minggir!" Kata salah seorang dari komplotan itu.
"Tunggu dulu! Sampean-sampean ini mau kemana, hah?" Hardik Gamarudin Loba. Ia bahkan berani membusungkan dada, walau kakinya bergetar di permukaan pasir.
Tidak ada yang mempedulikan aksi heroik Pak Gamar. Komplotan bersenjata itu menabraknya dan bersikap seolah Pak Gamar tidak ada di sana.
Jelas sudah. Mereka ini mengincar Edo. Sialan! Kalau sampai terjadi sesuatu pada keluarga Man Mahrum, saya akan menyesalinya seumur hidup.
Pak Gamar berlari dan memeluk musuhnya dari belakang. Selain tidak punya kemampuan beladiri, Pak Gamar juga harus belajar memilih mangsa. Saat ini, yang sedang ia coba tahan adalah seorang pria yang ukuran tubuhnya dua kali lipat dari Pak Gamar. Butuh sedikit tenaga bagi orang itu untuk mengangkat Pak Gamar ke punggungnya, lalu menghempaskannya ke tanah.
"Jangan ikut campur, orang tua!"
Lagi-lagi Pak Gamar tidak dipedulikan. Orang-orang itu melangkah pergi, walaupun berhenti lagi karena salah satu kaki anggotanya sedang dipeluk oleh Pak Gamar.
"Saya tahu siapa kalian! Saya tahu siapa yang kalian incar. Kalian pikir, saya akan biarkan begitu saja?"
Mulut Pak Gamar penuh oleh pasir, karena tiba-tiba kepalanya diinjak oleh orang bertubuh besar tadi. Tidak cukup sampai disitu, kepala dan perut Pak Gamar ditendang berkali-kali hingga rasa nyeri menyebar menggantikan lapar yang ditahan Pak Gamar sejak tadi.
"Diam disitu, Kakek bau! Sekali lagi kamu ganggu, saya tidak segan-segan untuk membunuh."
"Blah, blah, blah. Desa ini pernah berada dalam perlindungan saya. Kalian pikir siapa yang membangun pondasi Leduk hingga bisa seperti sekarang?" Seru Pak Gamar. Orang bertubuh besar itu berjalan menghampirinya.
"Kalian pikir siapa yang pernah membawa Leduk keluar dari keterpurukan?"
Sebilah golok sudah lepas dari sarungnya. Senjata itu mendekat bersama dengan langkah kaki pemiliknya.
"Kalian pikir Desa Leduk akan tercerai berai karena kehilangan panutannya?"
Pak Gamar sudah di ujung maut. Eksekusinya sudah di depan mata, tinggal menunggu algojonya selesai memasang kuda-kuda.
"Kalian salah. Leduk punya seorang pahlawan, dan karena kalian merebut Pahlawan itu dari kami, kami justru semakin kuat. Lima orang asing bersenjata tajam tidak akan berarti apa-apa. Kami sudah terbiasa hidup berdampingan dengan kematian, dan percayalah... yang ada di balik kuburan-kuburan itu, jauh lebih mengerikan daripada kalian."
Pak Gamar masih berusaha bicara, walau hampir separuh lehernya sudah ditebas, membuat tenggorokannya terlihat jelas sedang bergerak-gerak dengan sangat menyedihkan. Tidak sepatah katapun keluar dari mulut Gamarudin Loba, hanya suara-suara menjelang mati seperti orang yang sedang tersedak.
Ternyata, beginilah kematian saya. Apakah saya sudah seperti seorang pahlawan, Mahrum? Saya akan pergi menyusulmu. Eh, tidak mungkin. Tempat saya pasti berbeda. Saya takut masuk neraka. Saya tidak punya anak yang bisa mengajak saya ke surga. Saya hanya berharap, Mar—jangan susul saya teralu cepat. Bahagiakan dirimu dulu, istriku.
***
Darah Pak Gamar harganya murah. Walaupun menjadi genangan di tanah, orang-orang itu belum puas sebelum memenggal kepala targetnya. Mereka meninggalkan mayat Pak Gamar di tengah jalan. Merasa jijik walau sekedar memindahkannya ke pinggir, atau sekedar menutupnya dengan daun.
Lima orang itu sampai di kediaman Ustad Edo. Kedatangan mereka disambut oleh Man Rusli, Anto, Emping, Saripudin, dan Nyai Ani yang bersikeras maju ke garis depan.
Untuk beberapa detik, Man Rusli dan kawan-kawannya mencoba mengingat wajah kelima orang itu dan sepakat bahwa kelima-limanya bukan warga desa Leduk, Lindung, Maupun Sokogede.
Tiba-tiba, salah satu dari komplotan itu melemparkan sebuah tas plastik berisi barang-barang yang biasa digunakan untuk santet.
"Itu ditemukan warga di dalam sumur Mahrum. Ada potongan kain kafan yang sudah kami selidiki, dan ternyata cocok dengan kain kafan mayat-mayat yang kuburannya dibongkar kemarin."
"Bedebah! Fitnah apa yang hendak kalian sebar?" Sergah Anto.
"Tidak usah berlagak melindungi! Kami masih punya puluhan orang lagi yang akan menyusul, kalau kalian tidak membiarkan Edo keluar."
"Benar! Edo dan Mahrum harus bertanggung jawab juga atas kematian Amri dan beberapa warga yang pernah jadi korban santet mereka."
"Kalian bodohnya sudah sampai ke pantat! Semua asumsi gila kalian muncul, hanya karena benda-benda yang bisa saja diletakkan orang lain di dalam sumur kami!" Nyai Ani geram. Ia sangar, tapi wanita tetaplah wanita. Air mata tidak bisa Nyai Ani bendung, mendengar Almarhum suami dan Menantunya difitnah.
"Sudah cukup bicaranya. Mulut mereka hanya akan diam kalau lehernya kita sembelih!" Anto maju dengan telanjang dada, sambil membawa linggis di kedua tangannya.
"Dasar orang-orang bodoh! Untuk apa melindungi ustad gadungan yang ternyata seorang tukang santet! Peduli apa juga dengan nama baik tukang gali kubur itu! Dengar, kami tidak hanya berlima. Sebelum terjadi pertumpahan darah, sebaiknya kalian serahkan—"
"Sialan! Kita tidak bisa ambil resiko, Kak. Di dalam ada Ning yang sedang hamil. Kalau sampai musuh kita bertambah banyak, saya khawatir dengan keselamatan Ning dan Nyai." Kata Emping.
"Tenang saja, Ping. Kamu pikir, kenapa malam ini tambak udang tidak beroperasi?" Tanya Man Rusli dengan senyuman kemenangan.
"Eh, memangnya kenapa? "
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari segala penjuru. Dari pantai, dari arah pemukiman penduduk, dan dari arah Astah Dejeh. Ratusan warga yang mayoritas adalah nelayan dan pekerja tambak berlari mendekati kediaman Utad Edo. Mereka adalah putera bahari yang masih menyimpan dendam atas kepergian Kiai-nya. Dalam sekejap, lima orang itu sudah terkepung. Merasa tersudut, kelimanya mencoba untuk melarikan diri.
"Bodoh, kalian tidak akan bisa lolos dar kami!" Kata Anto sembari mengejar komplotan perusuh itu, yang kemudian diikuti oleh ratusan orang lainnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top