CHAPTER 15 - HARIMAU TUA

Desa Sumbergede, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan

Tempat yang sedang Pak Saleh tuju adalah Pendopo Kiai Fatah, ayah dari Aluf, dan merupakan salah satu pengasuh pondok pesantren Sokogede. Kiai Fatah adalah kakak dari Kiai Ilyas, mereka adalah keturunan ulama Kharismatik asal Madura yang menjadi pendiri pondok pesantren Sokogede. Berbeda dengan Kiai Ilyas yang lebih bermasyarakat, Kiai Fatah jarang terlihat keluar dari area pesantren. Ia memiliki padepokan silat yang sampai sekarang tidak ada muridnya. Setidaknya begitu yang orang-orang pikirkan. Padepokan Kiai Fatah memiliki halaman berumput yang luas, dikelilingi pagar beton tinggi. Kadang, ada yang sengaja bawa tangga untuk mengintip kegiatan Kiai dan murid-muridnya, tapih asilnya nihil. Tidak ada seorang pengintip pun yang pulang membawa berita hebat.

Malam itu, sebuah pertemuan sedang digelar di pendopo Dhalem Kiai Fatah, dihadiri oleh delapan orang tokoh masyarakat, yang terdiri dari dua orang Kiai, seorang warga, dan lima orang sesepuh desa. Ada sebelas orang yang diundang, tapi hingga pukul 20.30 WIB, yang datang hanya delapan. Kiai Mahlawi dan Ustad Edo tidak bisa hadir, karena sedang banyak tamu di rumahnya. Merasa tidak punya banyak waktu, rapat itupun dimulai tanpa menunggu.

Tidak banyak basa-basi, setelah dibuka dengan salam dan doa, pertemuan itu langsung membahas masalah inti.

"Kita tidak berkumpul di sini untuk semata-mata meningkatkan keamanan desa. Sudah ada warga dan aparat yang bertugas untuk itu. Porsi kita adalah mencari tahu kebenaran—fakta dibalik teror Ninja ini." Tegas Kiai Ilyas.

"Ninja? Begitu kah orang-orang desa menyebut pembunuhnya? Keren sekali. Dulu, waktu kita masih berpakaian serba hitam, mereka malah menyebut kita Laskar Celleng*," Sahut seorang Kakek berkulit hitam, yang jumlah jenggotnya lebih banyak dari jumlah rambut. Dahinya licin dan mengkilat serta dipenuhi bintik-bintik kecoklatan akibat sel kulit mati yang tidak bisa mengimbangi usia si Kakek. Kakek itu bernama Ki Jalu; atau setidaknya begitu dia dipanggil. Tidak banyak yang tahu nama aslinya, tapi semua orang kenal Ki Jalu karena kebiasaannya mengadu ayam.
*)Celleng : Hitam

"Bhe, Kalau itu sih, karena kulit Kamu benar-benar Celleng, Jal. Bukan karena bajumu. " Celetuk Bah Sopet. Jika dilihat dari jumlah dan ukuran cincin akik di jari-jarinya, orang-orang pasti sudah menduga setinggi apa ilmunya. Terlepas dari masa lalunya sebagai anggota Karmapala, Bah Sopet kini lebih dikenal sebagai Aji Manis yang kerap kali didatangi warga. Siapa yang tidak mau saran dan tips khusus dari kakek yang sudah menikah sebanyak empat belas kali.

"Sampean-sampean ini tidak pernah akur. Lihat, jumlah kita semakin sedikit. Umar, Sunan, Maksum, dan lainnya sudah mati, kita hanya tinggal menunggu giliran saja. Ya, kan, Rahwan?" Kali ini kakek berwajah seram yang bicara. Ada sejarah dari tiap-tiap bekas luka di wajah dan tubuhnya. Konon, sebelum pindah ke jawa, Ia pernah diserang Harimau di hutan tempatnya bertapa. Tentang bagaimana ia bisa selamat, hanya kakek itu saja yang tahu. Orang-orang memanggilnya Gusafar. Satu-satunya warga Sokogede yang memiliki darah India, dan satu-satunya yang kemanapun selalu membawa monyet peliharaannya. Bahkan ke rapat malam itu.

"Benar Gus," Ki Rahwan menanggapi Gusafar.

"Lho, saya tidak tanya Kamu." Kata Gusafar sambil memberi makan monyetnya. "Awas tersedak, Wan."

"Kenapa monyet itu kamu beri nama Rahwan!" Ki Rahwan mengamuk dan nyaris menumpahkan kopi serta jamuan lain di pendopo.

Beginilah. Setiap kali mereka berkumpul, tidak pernah akur. Saya berharap yang satu lagi tidak muncul. Pikir H. Karim yang sekarang menutup wajahnya karena malu pada Kiai.

"Hahaha, senang sekali melihat sampean-sampean masih sehat." Kiai Fatah tertawa terbahak-bahak melihat tingkah konyol sahabat-sahabatnya. "Sekaligus sedih karena tidak semuanya datang," Lanjutnya dengan intonasi yang mendadak rendah. "Saya sadar. Kita sudah layak dimuseumkan. Waktu kita sudah tidak banyak. Tapi melihat kondisi sekarang ini, rasanya ingin menunda mati sampai masalah ini selesai."

"Dalam perjalanan ke sini, saya melihat banyak warga mulai berjaga di gapura selatan. Ada juga yang sudah siaga di pos ronda. Saya sempat menasehati mereka agar tidak gegabah, termasuk melakukan aksi main hakim sendiri jika nanti berhasil menangkap ninja itu." Kata Bah Sopet.

"Benar. Kita harus menangkap satu saja untuk diinterogasi." H. Karim membenarkan.

"Tapi, bukankah Sokogede sudah berhasil menangkapnya kemarin?" Tanya Gusafar. "Harusnya informasi tentang siapa dan apa tujuan Ninja itu sudah kita dapatkan sekarang. Iya kan, Wan?"

"Benar Gus. Tapi saya baru tahu kalau—hei!" Ki Rahwan menanggapi, walaupun akhirnya kesal sendiri karena ternyata Gusafar sedang bicara dengan Rahwan yang satu lagi.

"Saya baru dengar kalau ada pelaku yang tertangkap. Lantas bagaimana kabarnya?" Tanya H. Karim.

"Kami sudah pergi ke kantor Polsek, bahkan tidak pulang sampai hampir mahgrib. Sayang sekali, kami tidak dijinkan untuk bertemu langsung dengan pelaku." Ujar Fathur yang hadir sebagai perwakilan desa.

"Siapa orang ini? Kenapa dia yang pergi ke kantor polisi?" Tanya Ki Jalu.

"Oh, kenalkan, ini Fathur. Sekretaris Kepala Desa, dan masih santri saya. Saya tahu ini pertemuan tertutup, tapi Fathur orang yang bisa dipercaya." Sahut Kiai Ilyas.

"Ada alasan kenapa kamu dilarang menemui tersangka?"

"Ya. Katanya, ini adalah konflik nasional, dan pelakunya tidak boleh bertemu dengan sembarang orang."

Mulai aneh. Pikir H. Karim

"Oh ya, ada satu orang yang tadi sempat diperbolehkan bertemu dengan pelaku walaupun hanya sebentar."

Tiba-tiba semua mata tertuju pada Fathur.

"Siapa?" Tanya Bah Sopet.

"Ki Saleh. Beliau mengamuk di kantor polisi, padahal saat itu ada banyak tentara yang berjaga. Saya dan Pak Ridho jadi tidak berani lagi pergi ke sana. Eh, tapi mereka janji akan mengumumkan hasil pemeriksaannya besok pagi."

Tidak ada yang peduli dengan kalimat terakhir Fathur. Semua yang hadir sudah memangku wajah dengan telapak tangan, karena lagi-lagi salah satu rekan mereka bertindak tanpa berpikir panjang.

"Kenapa dia selalu cari masalah?" Keluh Ki Jalu.

"Bhe, bukan Salehudin namanya kalau tidak buat masalah. Lagipula, kenapa dia belum datang? Dia diundang juga, kan?" Tanya Bah Sopet.

"Sampean ngundang Kang Saleh tidak?" Tanya Kiai Fatah pada Kiai Ilyas

"Ki Rahwan, tadi sampean tidak lupa mengundang Pak Saleh kan?" Tanya Kiai Ilyas.

"Lho, bukannya Karim sudah tahu? Saya pikir Karim yang akan mengabari abahnya." Jawab Ki Rahwan.

"Lho, kenapa saya? Pak Saleh kan sudah lama tinggal sendiri." Sahut H. Karim.

"Jadi, lagi-lagi kita lupa mengundang Kang Saleh? Astaghfirullah. Kenapa setiap ada pertemuan, orang itu selalu kita lupakan." Kata Kiai Fatah.

ASSALAMUALAIKUM

"Waalaikumsalam."

Pak Saleh sampai di pendopo dengan nafas yang berantakan, serupa dengan baju dan sorbannya yang basah oleh keringat. Setelah salamnya dijawab barusan, tidak ada lagi yang berkomentar. Semua diam menyaksikan Pak Saleh bersimpuh dan mencium tangan Kiai Ilyas, lalu Kiai Fatah, dan kemudian duduk bersila di samping Ki Jalu. Ia meraih segelas air mineral kemudian meneguknya sampai habis. Pak Saleh mengambil jeda untuk bernafas, kemudian meneguk gelas kedua sampai habis.

"Jadi, sampai dimana tadi?" Tanya Pak Saleh sambil meletakkan gelas plastik kosong di depannya.

"Gendeng Sampean ini! Siapa yang suruh ngamuk di kantor polisi? Sampean tidak tahu apa, kalau itu bisa berakibat fatal untuk kita semua." Bentak Ki Jalu sambil memukul punggung Pak Saleh.

"Kita belum tahu siapa sekutu dan siapa lawan kita. Seharusnya Sampean jaga sikap, jangan terbawa emosi dulu, Saleh!" Gusafar ikut menasehati.

"Jet lakar sedeng Kakeh, Mo!*" Timpal Bah Sopet.
*)Memang benar-benar gila kamu, Mo (Mo di sini sebutan untuk orang yang sudah melakukan hal-hal bodoh. Kadang bisa juga berarti singkatan dari Monyet)

Hanya H. Karim dan Ki Rahwan yang tidak memberi tanggapan. Baik sebagai anak dan sahabat, keduanya tidak seakrab itu dengan Pak Saleh.

"Saya hanya ingin melihat wajah pembunuh Kiai Mahrum, agar jikalau saya diberi umur yang lebih panjang dari ini, saya bisa bertamu ke rumahnya saat dia bebas nanti." Jawab Pak Saleh dengan nada sedih, namun wajah penuh dendam. 

Sudah lama saya tidak melihat wajah Kak Tuan yang seperti itu,  Pikir Ki Rahwan.

"Itu masalahnya, Kang." Sahut Kiai Fatah. "Kita tidak akan tahu kapan orang itu bebas. Karena kemungkinan besar, kita juga tidak tahu orang itu dihukum atau tidak. Ini bukan berarti saya mencurigai ABRI lho ya, kalaupun kenyataannya benar, ya anggap saja kebetulan. Tapi saat ini mereka sedang bergerak sesuai prosedur."

"Harus sedia dua payung agar tetap kering di hujan malam ini, dan tetap teduh di terik esok hari; hari yang baru; payung baru; wajah yang baru. Begitu, kan?" Celetuk Gusafar sambil memberi makan monyetnya. "Ah, lama di hutan, membuat saya lebih memahami Kera daripada manusia."

Butuh beberapa saat untuk mencerna kata-kata Gusafar, barulah kemudian mengangguk paham ataupun sekedar pura-pura.

"Jadi kesimpulannya, orang dibalik topeng ini harus kita tangkap diam-diam, tanpa ada seorang aparat polisi pun yang tahu?"

"Ya! Sampai kita tahu siapa siapa kawan dan siapa lawan, sebaiknya memang begitu."

"Mudah diucapkan. Sekarang, bagaimana caranya kita tahu kapan dan dimana Ninja ini akan muncul?"

Pak saleh teringat akan pintu rumahnya. Tanda silang merah itu masih belum sepenuhnya tertutupi. Walau tidak mengerti kenapa dirinya juga diincar, tapi Pak Saleh bersyukur karena ini adalah kesempatan yang bagus untuk menangkap pembunuh itu.

"Rumah saya," Sahut pak saleh. "Hari ini, saya menemukan tanda silang merah di pintu rumah."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top