CHAPTER 14 - KESEMPATAN

DesaLeduk, KecamatanBanyusirih, KabupatenPatokan.

Lima menit sebelum adzan isyak berkumandang. Acara Tahlil di kediaman Kiai Mahrum sudah selesai, tapi beberapa kerabat tampak masih betah bercengkrama. Ustad Edo ada di antara mereka. Mencoba menjadi tuan rumah yang baik, sekaligus mengajarkan para santri dan tetangganya untuk tetap tegar. Walaupun semuanya tahu, bukan tanpa alasan mata Ustad Edo bengkak dan terlihat sayu.

Diantara jiwa-jiwa nestapa yang melangkah pulang, ada satu yang justru baru datang. Ia tidak berani menyentuh cahaya lampu, dan memilih melayat di balik kegelapan. Sesaat memperhatikan rumah duka itu, lalu pergi menuju makam Astah Dejeh. Berjarak tidak terlalu jauh dari rumah Kiai Mahrum, orang itu sampai ke tempat dimana ia bisa meluapkan duka dan penyesalannya.

 Di hadapan makam Kiai Mahrum, orang itu bersimpuh lalu menangis seperti anak kecil.

"Pada akhirnya, saya tidak punya kesempatan untuk meminta maaf. Sampean pergi terlalu cepat, Man Mahrum. Atau—Atau saya yang telat memperingatkan?" Isak Pak Gamar.

Merasa masih menanggung dosa pada desa Leduk, Ia bahkan tidak berani berbelasungkawa bersama warga. Akhirnya begini. Menangis sendiri di tengah pemakaman yang sudah tidak seram seperti dulu lagi. Lampu menerangi hampir setiap sudut, dan kuburan yang dulu rusak sudah banyak direnovasi. Tidak lantas seindah taman memang, tapi setidaknya orang-orang semakin banyak yang berziarah mendoakan keluarganya.

"Saya merasa percuma pulang ke desa, kalau ternyatat idak berguna juga. Lalu, bagaimana caranya saya bisa menebus dosa, Man Mahrum?"

BERHENTI BICARA DENGAN KUBURAN, DAN MULAILAH BERDOA!

Pak Gamar terkejut karena suara itu terdengar sangat dekat, dan juga sangat familiar.

"Sampean mau ziarah kan? Makanya jangan banyak bicara! Orang seperti sampean ini yang bikin umat salah paham. Nanti dikira Ziarah kubur itusesat, gara-gara yang datang pada ngomong sama kuburan." Pak Saleh menasehati.

Melihat siapa yang datang, Pak Gamar nyaris tidak bisa bicara. Masih teringat di kepalanya, peristiwa kesurupan massal yang terjadi di Desa Leduk dulu, dimana wajah Pak Gamar berakhir babak belur karena Ruqyah modern milik Pak Saleh. Akhirnya, sekarang Pak Gamar hanya bisa diam melihat Pak Saleh duduk bersila di depannya; di sisi lain makam Kiai Mahrum.

Pak saleh khusuk berdoa seraya memejamkan mata, yang tidak lama kemudian terbuka lagi seolah menyuruh Pak Gamar ikut berdoa dengan tatapan penuh ancaman. Pak Gamar pun ikut memejamkan mata, walau mulutnya hanya berkata, "Aamiin."

Selesai dengan doanya, Pak Saleh mengubah posisi duduknya.

"Sampean santrinya Almarhum, kah?" Tanya Pak Saleh.

Heh? Orang ini tidak ingat siapa saya? Syukurlah. "Ah, iya-iya, saya santrinya Kiai Mahrum."

"Kok sudah tua?"

Pak Gamar membuka mulutnya, walau sebenarnya tidak ingin menjawab. Akhrinya Ia hanya menundukkan wajahnya dan mencari waktu yang pas untuk pergi dari pemakaman.

"Saya tidak terlalu akrab dengan Mahrum. Kalau dengan Abahnya, sih, sudah seperti saudara. Dulu, Bahrudin sering bercerita tentang anaknya yang payah, tapi bisa diandalkan di saat-saat tertentu. Bahrudin juga minta agar saya jadi guru Mahrum suatu saat nanti. Ia menitipkan anaknya seolah saya adalah figur paman bagi Mahrum. Sayangsekali—."

Pak Gamar mendengarkan dengan sepenuh hati. Ia mengangkat wajah kembali saat Pak Saleh tiba-tiba berhenti bicara.

"Si Bahrudin itu, harusnya tidak sembarangan menitipkan orang. Dia pasti sedih anaknya mati seperti ini. Ah, saya juga jadi malu kalau besok ketemu Bahrudin agi. Saya harus bilang apa?"

Pak Gamar ingin menjawab. Ia tahu dibalik senyuman tegar Pak Saleh, ada sesal dan duka yang dalam yang saat ini Pak Gamar rasakan juga. Tapi biarlah. Kadang seseorang hanya ingin di dengar keluh kesahnya, karena tidak semua curahan hati harus dibalas dengan menasehati.

"Assalamualaikum, Ki Saleh."

Sapa tiga orang laki-laki yang datang ke pemakaman. Bersamaan dengan itu, Pak Gamar menutup kepala dan wajah dibalik jubah lusuhnya, lalu berpaling meninggalkan Astah Dejeh. Ia memilih jalan memutar demi menghindari tiga laki-laki barusan.

"Oh, Saripudin dan—"

"Saya Rusli, dan Ini Mufin."

"Ah, iya! Saya baru ingat, hahaha."

Padahal kita memang belum pernah kenal, Pikir Mufin dan Man Rusli.

"Sedang apa kalian bertiga di sini?" Tanya Pak Saleh.

"Kami sedang dalam perjalanan ke pos ronda. Kami pikir masih ada santriwati yang ziarah jam segini, ternyata malah bertemu dengan Ki Saleh." Tutur Saripudin.

"Ya, saya tidak sempat ikut tahlil barusan. Lagi pula saya malu, karena diantara kerabatnya cuma saya yang tidak dengar kabar wafatnya Almarhum."

"Oh, begitu." Kata Mufin.

"Kami semua marah, Ki. Kami ingin sekali membalas perbuatan keji ini, andai kami tahu siapa dalang dibalik Ninja yang meresahkan desa."

"Ninja?" Tanya Pak Saleh.

"Ya, begitu para warga menyebut pembunuh Kiai, berdasarkan keterangan dari saksi mata." Jawab Man Rusli.

"Karena itu Ki Saleh, kalau rapat malam ini selesai, kami mohon informasinya. Informasi sekecil apapun, akan sangat membantu kami."

"Rapat, rapat apa?" Pak Saleh benar-benar tidak tahu. Ia bahkan bergilir menatap wajah Saripudin, Mufin dan Man Rusli, yang mana mereka bergilir menatap wajah satu sama lain.

"Bukankah malam ini Kiai Ilyas mengadakan pertemuan di Sokogede? SelainUstadz Edo, dan KiaiMahlawi, para Karmapala pun turut diundang."

"Apa?! Kenapa saya tidak tahu? Kenapa mereka selalu begitu? Selalu saja tidak mengundang saya jika ada rapat. Seolah saya ini belum cukup umur. Yasudah, Saripudin, Sarimufin, Rusli, saya pamit dulu."

Saripudin dan yang lainnya tidak bisa berkomentar apa-apa. Mereka hanya mengamati bagaimana Pak Saleh uring-uringan seraya menuju pintu pemakaman. Hanya Mufin yang pelan-pelan protes karena Pak Saleh salah sebut nama.

"Sari—Mufin?" Katanya berbisik.

Mereka bertiga masih terpaku di pemakaman, karena akhirnya mereka tahu bahwa sejak awal memang tidak ada santriwati di sana.

"Serius, Din. Ternyata... Itu sepeda Ki saleh." Kata Man Rusli.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top