CHAPTER 13 - DI DALAM SUMUR

Desa Sumbergede, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan

Kepolisian Sektor Banyusirih. Sejak pagi tadi, tempat tersebut dipadati pengunjung. Barulah saat tiga truk milik Brimob datang, warga segera bubar tanpa diperintah. Saat ini Polsek banyusirih dijaga dengan ketat. Letaknya yang berada di pinggir jalur pantura telah menyita perhatian para pengendara yang lewat. Mobil besar seperti truk gandeng dan bus lalu lalang hampir bersamaan. Kabarnya di tengah Hutan Tambalur sedang ada pemeriksaan besar-besaran. Sopir-sopir yang kejar muatan pun sempat mengeluh karena perjalanan mereka jadi terhambat. Hanya kendaraan dengan kode plat nomor 'P' saja yang memaklumi situasi tersebut.

Ditengah padatnya lalu lintas jalur pantura oleh kendaraan besar, datanglah seoarang kakek-kakek mengayuh sepeda kecil. 

Seorang aparat mendekati kakek yang nyaris kehabisan nafas tersebut. Tapi dengan wajah tanpa dosa, si kakek justru memberikan sepedanya seolah minta diparkirkan, kemudian dengan santainya berjalan memasuki gerbang Polres.

"Hei tunggu, Kakek!"

Sementara itu di dalam kantor polisi. Kepala Desa Sumbergede, didampingi oleh beberapa petugas keamanan desa sedang berdebat dengan seorang aparat. 

"Ini hampir 24 jam sejak orang itu ditangkap, seharusnya interogasi sudah selesai." Keluh H. Ridho; Kepala Desa Sumbergede.

"Pak Kades, walaupun sudah selesai, kami tidak bisa memberikan hasil interogasi sembarangan. Tidak tanpa komando dari atas."

"Apa-apaan itu? Dua hari yang lalu kasus si maling sapi tidak serumit ini. Kami dapat rincian jelas tentang identitas, alamat dan kemana barang curiannya dijual. Tapi sekarang, kami hanya ingin tahu motif pelaku saja. Susah sekali sih, Pak!"

"Apa boleh buat, Pak Kades. Prosedur dari atas memang begitu. Ini konflik nasional."

"Oke, baik! Saya sudah dengar itu berkali-kali. Sekarang begini saja, ijinkan saya bertemu dengan orang itu. Lima menit saja."

"Percuma. Pada kami saja orang itu tidak banyak buka mulut, apalagi sama sampean!"

Pak Kades hendak membalas argumen aparat tersebut, tapi terganggu oleh suara berisik dari luar.

"Ada apa sih?" Kata Fathur, asisten Kepala Desa.

Tiba-tiba pintu masuk kantor polisi sudah dijejali satuan Brimob yang mencoba menahan Pak Saleh. Orang tua itu dibentak, didorong, bahkan nyaris dihantam karena melawan aparat. Tapi nyatanya, Pak Saleh berhasil sampai ke depan pintu.

"Pak Kades, orang itu..." Bisik Fathur.

"Subhanallah, siapa yang sudah membangunkan tidur si kakek tua itu? Kelihatannya, dia marah sekali."

"Siapa dia, Kenapa berani sekali menerobos masuk? Dengar Pak Kades, kalau sampai terbukti dia adalah orang sampean, sampean bisa dapat masalah besar."

"Oh ya, kalau begitu coba bapak hentikan sendiri!" Tantang H. Ridho.

Seorang aparat yang berbadan tinggi menghadang pintu masuk. Cukup dia seorang, pintu kantor polisi sudah tertutup tanpa celah. 

"Kakek, kamu tidak bisa sembarangan masuk ke sini. Kami sedang dalam status siaga, mengerti! Kalau memang ada kepentingan, silahkan ke ruang sebelah." Tegas aparat bertubuh besar itu.

Pak Saleh berdiri berhadap-hadapan dengan orang yang dadanya nyaris sejajar dengan wajah Pak Saleh, padahal Pak Saleh sendiri tidak termasuk orang pendek. 

H. Ridho yang berada di dalam kantor tersenyum melihat kedatangan Pak Saleh. 

"Kalau bapak ingin tahanan itu bicara, biarkan kakek ini masuk."

"Atas dasar apa?"

"Tidak ada. Hanya saja, jangankan manusia. Konon, monyet saja bisa bicara jika diancam kakek itu."

"Jangan Konyol!" Bentak aparat tersebut.

HEI!

Untuk pertama kalinya sejak sampai di kantor Polisi, Pak Saleh buka suara.

"Saya hanya ingin bertemu dengan pembunuh itu, sebentar saja. Jangan sampai tindakan kalian ini membuat saya berpikir kalau...

KALIAN JUSTRU MELINDUNGI TERSANGKA!

"Teruslah bersikap seperti ini, maka kalian hilang kepercayaan dari kami. Satu sampai dua hari mungkin tidak akan berarti. Tapi lihat satu bulan kedepan, Banyusirih akan mulai main hakim sendiri karena hakim yang berseragam sudah tidak memihak mereka lagi."

Si-sialan! Kenapa dia bilang begitu di depan Polisi dan Brimob! H. Ridho mulai kebakaran jenggot.

Rupanya kata-kata Pak Saleh membuat semua yang ada di sana tersinggung. Seorang yang ada didepan Pak Saleh mulai terpancing emosi. Ia mulai mengangkat lengannya dan bersiap menampar si kakek, anehnya Pak Saleh tidak berusaha untuk menghindar. 

"Hei, hei, tunggu!" Seru seorang aparat yang sejak tadi berdebat dengan H. Ridho. "Biarkan saja masuk! Sebentar lagi kita harus sudah berangkat, jangan memperpanjang masalah dengan meladeni warga tidak tahu diri seperti dia!"

Pak Saleh tersenyum licik pada lawannya. 

"Bagus, kamu tidak akan tahu apa yang tejadi setelah memukul kakek tua ini." Kata Pak Saleh dengan senyum sinis. 

Didorongnya Brimob berbadan besar tersebut dengan tangan kirinya, lalu tanpa rasa sungkan, Pak Saleh masuk ke dalam kantor.

"Assalamulaikum, Pak Saleh. Saya tidak menyangka sampean..."

"Saya tidak ada urusan dengan kamu!"

H. Ridho langsung menutup mulutnya, sementara Fathur mengelus dada Kepala Desanya.

***

Membiarkan Pak Saleh masuk adalah kesalahan besar. Polisi hampir kehilangan tahanannya karena Pak Saleh tidak hanya bicara dengan mulut, tapi juga dengan tangan.

"Kakek! Lepaskan tanganmu dari lehernya!" Bentak seorang aparat.

Pak Saleh menurut. Ia melepaskan cengkraman tangannya dengan sangat kasar, hingga kepala tersangka membentur dinding.

"Dia bahkan bukan orang Banyusirih," Kata Pak Saleh.

Pak Saleh duduk bersila di depan pembunuh yang sudah babak belur itu. Anehnya, orang itu masih saja tertawa seolah semua rasa sakitnya adalah lelucon.

"Kamu bisa terus menyiksa saya seharian, Salehudin! Saya sudah katakan semuanya pada mereka, bahwa dalang dibalik pembongkaran makam Sumbergede adalah Mahrum! Kamu mengaku sebagai sahabat, tapi tidak tahu kalau sahabatmu adalah tukang san.."

Kaki Pak Saleh lebih dulu sampai ke mulut tersangka.

"Hei, kakek!" Lagi-lagi seorang aparat memberi peringatan.

"Apa boleh buat, Kaki saya gerak sendiri." Alasan Pak Saleh, seraya menurunkan kakinya. "Hei, monyet! Kamu pikir saya akan percaya dengan bualanmu itu."

"Hahaha, kamu boleh tidak percaya, Salehudin. Tapi, seseorang di luar sana tahu betul apa yang saya ucapkan. Dia akan menyadari bahwa selama ini para penganut ilmu hitam sedang hidup dengan makmur di Banyusirih. Anehnya, kalian justru memuja, meminta doa, dan melindungi orang-orang busuk itu layaknya raja."

"Siapa..."

SIAPA ORANG YANG KAMU MAKSUD?

***

Desa Leduk, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan

Hari pertama Tahlil di kediaman Almarhum Kiai Mahrum. Halaman rumahnya yang luas tidak mampu menampung orang-orang yang datang.  Mereka yang berdzikir masih membawa sisa kesedihannya, hingga tidak sedikit yang meneteskan air mata. Kiai Mahrum adalah pahlawan bagi warga Leduk. Seorang yang banyak berjasa membangun desa pesisir itu, terutama di bidang pendidikan agama. 

Di asrama yang kecil, para santri dan santriwati dijaga dengan ketat agar tidak keluar area pesantren. Di luar sudah berjaga sedikitnya enam orang petugas gabungan Sumbergede, Tambangan, dan Lindung, mengingat Leduk adalah satu-satunya desa yang minim petugas. 

Malam itu semua kelihatan sangat tegang. Di benaknya mulai menebak-nebak siapa yang akan jadi korban selanjutnya. Dari penelusuran siang tadi, ditemukan enam tanda silang merah di seluruh banyusirih. Anehnya, tanda itu justru muncul di rumah guru ngaji yang hanya mengajar di mushallah setiap maghrib. Atau seorang yang bukan tokoh agama, tapi punya pengaruh besar di masyarakat. Hal ini membuat warga semakin risau. Pembunuh yang sejak awal hanya mengincar Kiai-Kiai besar, kali ini mulai menebarkan teror pada kalangan bawah. Jangankan keluar untuk mengamankan para Kiai, warga mulai berpikir untuk menyelamatkan diri sendiri.

Sementara itu, ditengah khusyuknya acara tahlilan, Seseorang justru menyelinap masuk ke halaman belakang rumah Kiai Mahrum. Orang itu baru saja turun ke dalam sumur yang ternyata sudah lama kering. Tidak mudah menuruni sumur yang dindingnya masih berlumut itu, tapi orang tersebut naik ke permukaan tidak dengan tangan kosong. Ia membawa sesuatu yang dibungkus tas plastik berwarna hitam.

Kiai Mahrum. Saya sangat mengagumi jenengan. Saya ta'dzim sebagai murid. Jadi tolong, jangan kecewakan saya. Jangan sampai isi bungkusan ini mengubah penilaian saya terhadap jenengan. Saya mohon.

Orang tersebut adalah Bowo. Dibukanya tas plastik itu dengan hati-hati, lalu dengan penerangan seadanya, Bowo melihat isi tas itu yang benar-benar diluar dugaan. Ada banyak boneka kayu kecil, rambut, potongan kain kafan, dan benda-benda lain yang tidak asing baginya. Bowo mengikat kembali tas plastik itu, dan pulang dengan perasaan tidak karuan.

Ayolah, bisa saja pembunuh itu yang meletakkannya di dalam sumur. Ya, bisa saja begitu. Saya harus berpikir positif. Harus. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top