CHAPTER 11 - GENDERANG PERANG

Tidak ada hujan di Desa Leduk. Iklim yang mandiri, seolah Leduk punya kemarau sendiri. Pada batas antara rabu dan kamis; Dini hari sebelum pengeras suara masjid berbunyi, pemakaman Astah Dejeh memulai drama penuh pilu, dingin, dan sesak. Yang berbaris di luar gerbang adalah deretan santri dan santriwati. Tidak perlu banyak untuk dramatis. Cukup seratus orang dengan wajah kosong dan hati remuk redam. Lalu, yang berbaris di dalam adalah para Alim Ulama, Ahlul Bait, sahabat, simpatisan dari seluruh penjuru Banyusirih. Berdiri mengelilingi sebuah kuburan baru, dengan tanah yang masih kelihatan basah.

Mengukur besarnya sakit hati mereka, dapat dilihat dari keheningan yang tercipta. Ratusan orang berkumpul di tempat yang sama, namun tidak satupun bersuara. Tidak bicara. Hanya sayup-sayup angin di tepi pantai, dan ombak yang menyusul di bawahnya.

Mahrum bin Bahrudin. Namanya tertulis di batu nisan, kenangannya terpahat di hati para sahabat dan murid-muridnya. Tentu saja setelah apa yang terjadi, kepergian sang Kiai melahirkan dendam di hati para keluarga, dan para pembela yang siap bertaruh nyawa.

"Assalamualaikum, Warahmatullahi, Wabarakatuh," Kiai Ilyas membuka upacara. Sebuah pengantar sebelum semuanya pulang.

"Saya mengerti, sahabat, dan adik-adik sekalian. Setelah ini, langkah kalian akan terasa sangat berat. Jika sampai di rumah nanti kalian sempat mererung dalam duka dan tangisan, atau mungkin dalam dendam. Tolong ingatlah, bahwa Almarhum tidak hanya meminta kalian menahan tangis, tapi juga amarah. Tidakkah pesan terakhir Almarhum sangat kalian junjung tinggi?"

***

"Dengar, kalian berdua. Saat santri –santri saya menjadi sukses di masyarakat, saya ingin ada di sana. Saat anak dan cucu saya dewasa dan bahagia, saya ingin ada di sana. Saat desa kita makmur dan sejahtera seperti tetangga, saya ingin ada di sana. Percayalah, saya ingin begitu. Tapi saya tidak punya tempat di masa depan. Tidak ada peran untuk saya di masa-masa itu. Sayang sekali, saya harus jadi pembuka perang dingin ini. Hehe, memang seorang tua dan lemah seperti saya tidak akan bertahan lama di medan tempur"

"Kiai jangan banyak bicara, sebentar lagi bala bantuan datang!" Seru Emping.

"Berjanji sama saya! Setelah orang-orang desa datang, tolong urus supir saya terlebih dahulu."

"Kiai..."

"Saya percaya pada kalian! Tolong jangan menangis saat datang ke pemakaman, dan jangan dendam saat kalian pulang."

"Man Mahrum! Tolong berhenti bicara. Ya, Allah. Kenapa darahnya tidak mau berhenti."

"Heh, pada akhrinya tukang gali kubur tidak dapat menggali liang lahatnya sendiri. Saya percayakan pada kalian. Saya—ah, mereka datang.—saya sudah siap bertemu Ki Mujur lagi. Saya..."

***

"Tahan air matamu, Emping!"

Anto menepuk bahu Emping. Membuyarkan ingatan pemuda itu akan kalimat terakhir Kiai Mahrum. Masih tersisa sesal di hati Emping. Sampai matipun, ia merasa bahwa semua ini adalah akibat kelalaiannya. Emping terlalu lemah hingga tidak bisa berbuat apa-apa.

"Kamu tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Ingat, ini adalah pilihan Kiai. Beliau sengaja melakukannya agar santrinya selamat."

"Kakak tidak tahu. Kakak tidak tahu betapa pengecutnya saya malam itu."

"Siapapun akan jadi pengecut saat bertemu dengan kematian. Bahkan kakak sekalipun."

Emping mendongak, mencoba melawan Anto dengan kata-kata pamungkasnya, namun melihat mata kakak iparnya basah, Emping jadi mengerti bahwa bukan hanya ia yang sakit hati.

"Kalau kamu mati, apa yang harus kakak katakan pada Marlena?"

Ujar Anto.

Kiai Ilyas masih dengan ceramahnya. Tidak panjang, namun ada pesan yang kuat, yang ia ingin semua orang ingat.

"Jangan terhasut seruan perang! Jangan terhasut ujaran kebencian! Medan perang yang paling pilu, adalah dimana kalian melihat wajah-wajah familiar sedang mengangkat senjata, mencoba memenggal kepala kalian, padahal rumahnya hanya berjarak satu petak. Dan saat ujung senjatanya nyaris menyentuh leher, kalian hanya bisa bertanya, 'kenapa? Apa salah saya?' Kiai Mahrum tidak rela pemakaman ini dijadikan genderang perang. Maka saya minta dengan sangat, jangan nodai persaudaraan ini. Tapal Kuda sudah cukup menderita di tahun-tahun yang lalu. Dan setelah damai ini diperjuangkan, Jangan sampai kalian rusak lagi hanya karena sebuah isu."

Kiai Ilyas berhasil menyalakan api tekad di hati orang-orang, lalu membakar dan mengeringkan mata-mata basah mereka. Setelah menutup ceramahnya dengan salam, Kiai Ilyas pergi meninggalkan pemakaman didampingi seorang santri Sokogede. Sebelum melewati gerbang pemakaman, Kiai menghampiri Edo. Menantu Kiai Mahrum itu terlihat sangat tegar. Hampir tidak ada garis-garis kesedihan di matanya. Ia menyambut Kiai Ilyas dengan senyuman.

"Apa yang akan sampean lakukan selanjutnya, dik?" Tanya Kiai Ilyas. Ia sudah terbiasa memanggil Ustad Edo dengan panggilan Adik.

"Saya akan memulangkan santri. Untuk satu minggu kedepan, madrasah saya liburkan."

"Kalau begitu, biar saya kirimkan orang-orang di pesantren saya untuk memperkuat keamanan Desa Leduk."

"Saya sangat berterima kasih, Kiai." Ujar Edo sembari mencium tangan Kiai Ilyas.

Selanjutnya, seiring langkah Kiai Ilyas meninggalkan Astah Dejeh, barisan belasungkawa itu bubar satu persatu. Pemakanan Kiai Mahrum berjalan seperti yang diharapkan Almarhum. Tidak tangis duka. Semua diam menahannya setengah mati. Tidak tahu seberapa deras yang keluar saat mereka sampai di rumah nanti.

Tiba-tiba di tengah ramainya bunyi langkah kaki orang yang hendak pulang, seorang wanita maju mendekati kuburan Kiai Mahrum. Ia adalah putri kandung Kiai Mahrum, Istri Ustad Edo yang saat ini sedang hamil tua. Ia merunduk lemah di depan kuburan abahnya. Lalu dengan suara lirih berkata...

"Abah, ke sini kah aku harus pergi? Saat kelak cucumu bertanya dimana kakeknya?"

Entah siapa yang memberi aba-aba. Para santri dan semua yang hendak pulang, tiba-tiba berhenti melangkah. 

"Aku habiskan masa muda di pesantren, tapi tidak kau sisakan masa tua untuk kau habiskan bersamaku?"

Serempak semua yang mendengar memejamkan mata. Bibir mereka bergetar menahan bunyi yang mungkin akan terdengar pilu dari mulutnya.

"Abah, bagaimana bisa abah melarang aku menangis sementara mereka; orang-orang jahat itu tertawa melihat semua ini? Aku harus berdoa bagaimana lagi? Abah tidak mungkin kembali, abah tidak mungkin menggendong cucu seperti dulu menggendongku. Kenapa..."

Runtuh sudah pertahanan yang dibangun sejak hati mereka hancur. Bersamaan dengan garis merah di batas langit dan lautan, tangisan para santri dan semua yang hadir di pemakaman memuncak. 

Edo menunduk membiarkan sorban putihnya jadi tameng, agar tidak seorang santripun yang melihatnya berderai air mata. Nyai Ani hanya mematung di samping Edo. Kerudung hitam itu menutup wajah sedihnya. Ia ingin menyusul putrinya dan larut dalam tangis yang sama, tapi tidak sekarang. Tidak di depan orang banyak.

Kiai Ilyas hanya bisa terdiam, ia tidak bisa melarang para santri menangis. Bahkan dalam hatinya berkata...

Begini seharusnya kepergianmu dikenang, Mahrum. Saya pun akan menangis dalam perjalanan, jadi tolong jangan kau benci. Saya hanya satu dari sekian banyak sahabat yang merasa kehilangan. 

Pagi hari itu dibuka dengan tangisan. Hanya berharap, malam itu tidak ditutup dengan pertumpahan darah.

Di bawah pohon kelapa, tidak jauh dari gerbang pemakaman. Dua orang sudah berdiri menunggu Kiai Ilyas. Mereka adalah H. Karim dan Ki Rahwan. Wajahnya berminyak dan tampak sangat lelah. Mereka baru tiba di Sumbergede, dan segera menuju Leduk karena tidak ingin melewatkan kesempatan mengantar kepergian Kiai Mahrum.

"Ah, Karim dan Ki Rahwan. Alhamdulillah, kalian datang di saat yang tepat. Tapi, kenapa dengan wajah itu?"

"Kami belum tidur."

"Lebih tepatnya, saya tidak bisa tidur di Bus karena seorang tua mendengkur lebih keras dari bunyi mesin." Timpal H. Karim.

"Syukurlah kalau sampean sudah terlatih untuk tidak tidur, karena setelah malam ini, tidak ada tidur nyenyak untuk kita. Oh ya, bagaimana kondisi Gandrung saat ini?"

Bertiga mereka pergi meninggalkan Astah Dejeh, dengan diikuti seorang santri yang datang bersama Kiai Ilyas. H. Karim menceritakan semua informasi yang ia dapatkan selama berada di Gandrung.

"Orang-orang Tambangan?"

"Enggih, Kiai. Mereka yang sempat merusuh di pengajian Jenengan dulu."

Kiai Ilyas merenung sejenak sebelum membuka pintu mobilnya. Kemudian mencoba mengatakan sesuatu, namun ia koreksi sebelum sempat diucapkan. 

"Ki Rahwan, berapa orang Karmapala yang bisa sampean kumpulkan nanti malam?"

"Enam, Kiai."

Tidak cukup.  Pikir Kiai Ilyas.

"Dengar. Tentang orang-orang tambangan itu, jangan kalian ceritakan pada siapapun. siapapun." Kata terakhir itu diulang dengan nada lebih tegas. "Nanti malam kita kumpul di pendopo Kiai Fatah. Tolong kabari juga Pak Saleh, beliau tidak datang ke pemakaman Kiai Mahrum, dan itu membuat saya khawatir."

"Baik Kiai," Sahut Ki Rahwan.

"Saya serahkan pada sampean berdua. Assalamualaikum."

Kemudian Kiai Ilyas menutup pintu mobilnya. Mesin dinyalakan. Mobil kijang tua itu melaju pelan meninggalkan H. Karim dan Ki Rahwan yang sebenarnya mengharap tumpangan. Uang mereka habis, dan terpaksa harus berjalan kaki pulang ke Sumbergede. 

"Sampean-sampean mau ikut?" Tanya Kiai Ilyas dari jauh.

H. Karim dan Ki Rahwan mengangkat barang-barangnya dan berlari menuju mobil kijang yang sengaja berhenti itu.


Note : Character Indexnya nyusul yak. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top