CHAPTER 0 - MUHAMMAD SALEHUDIN

Salehudin dalam pelarian. Jauh dari rumah. Dikejar dan diburu banyak orang karena dianggap lancang, bahkan jadi incaran pembunuh bayaran. Meskipun setiap pembunuh bayaran yang diutus, tak pernah pulang lagi membawa kabar untuk tuannya. Pelarian itu mengantarkan Salehudin ke tempat ini, sekarang, berhadapan dengan seseorang yang akan memutus rangkaian pelarian.

Syahrul Ibad namanya. Putra seorang Kiai di pesantren, di kabupaten Gandrung. Salehudin dan Syahrul bertemu untuk pertama kalinya, dalam situasi yang mengharuskan mereka untuk saling membenci, mungkin juga saling melukai, atau membunuh? Salehudin akan menentukan itu nanti. Orang bernama Syahrul yang sedang dia hadapi ini terkenal amat sakti. Pernah berkali-kali lolos dari mati, dan sangat ditakuti di dunia hitam kota Gandrung sekalipun. Namun, itu hanya katanya. Salehudin menilai kekuatan seseorang berdasarkan tinju, bukan telinga. Saat inilah waktu yang tepat untuk membuktikan.

"Assalamualaikum," ucap Syahrul.

Salam itu disapu angin. Salehudin tak berniat menjawab. Guru di madrasah bilang, salam yang tidak dijawab, akan membuat malaikat kaget. Salehudin harus minta maaf pada malaikat itu.

"Sepertinya, pertemuan kita di sini sudah ditakdirkan, dan sepertinya bukan sebagai teman." Syahrul tersenyum, mencoba ramah, tapi tidak terlihat begitu.

Mereka hanya berdua di sebuah halaman rumah yang kosong dari manusia, tapi penuh oleh tanaman rambat yang menyembul ke luar jendela dan lubang udara. Tempat itu cukup jauh dari pesantren Syahrul, ia selalu mendatanginya untuk berlatih, bertapa, dan belajar. Tak pernah Syahrul bayangkan akan kedatangan seorang tamu di tempat itu. Atau lebih tepatnya lawan.

"Jadi, dari mana kita harus mulai?" tanya Syahrul.

"Tidak perlu," akhirnya Salehudin bicara, "Karena ini sudah selesai."

Jarak mereka cukup jauh untuk sebuah pertarungan jarak dekat. Salehudin melangkah lebih dulu, disusul Syahrul kemudian. Salehudin mengikat rambut panjangnya ke belakang, Syahrul melepas kopiahnya. Langkah mereka semakin cepat, lalu kemudian berlari menyerang.

Tinju mereka saling bertemu, tepat di titik yang sama. Keduanya sedikit terdorong ke belakang. Anggaplah itu salam perkenalan. Sekarang, masing-masing dari mereka sudah tahu kekuatan lawan.

Pertarungan itu berlangsung cukup lama. Dimulai saat matahari masih sejajar pohon kelapa, berakhir saat malam memadamkan terik. Dan hasilnya, yang terkapar di tanah saat itu adalah Salehudin, dengan sebuah golok menancap di perutnya.

"Kau jauh-jauh ke sini untuk kalah?"

"Aku ke sini untuk menang, atau mati," tukas Salehudin. Sekujur tubuhnya terasa ngilu dan perih. Ia menerima terlalu banyak pukulan, sementara ia tahu kalau Syahrul bukanlah orang sembarangan.

"Aku tidak mau membunuhmu!" tegas Syahrul

"Tentu saja, karena kau tidak bisa melakukannya!"

Syahrul jongkok di samping Salehudin yang terlentang dan hanya bisa menggerakkan mulutnya. Ia mencabut golok yang menancap di perut Salehudin, dan membuangnya ke semak-semak. Pakaian mereka sama-sama compang-camping, wajah mereka sama-sama kotor dan sedikit lebam, yang membedakan hanyalah Syahrul masih bisa berdiri, sementara Salehudin tidak.

"Kenapa kamu sesumbar begitu?" tanya Syahrul. "Sombong itu tanda kelemahan, Leh!"

"BERISIK! Justru kau yang sombong. Mentang-mentang anak Kiai, kau pikir bisa mendapatkan apapun yang kamu mau?"

"Termasuk Ning Zia, kan?"

"TAI KAU!"

"Buahaha! Ya jelas kamu ditolak, Leh. Nasabmu nggak jelas, kerjaanmu nggak jelas, jadi santri juga nggak jelas."

Salehudin cemberut. "Kenapa jadi kamu yang sombong sekarang?"

"EH? Iya, ya. Tapi sekarang semua sudah jelas. Aku yang menang."

"Kau belum membunuhku."

"Gendeng! Kalau kamu kubunuh, nanti aku dipenjara. Ning Zia mau nikah sama siapa?"

Syahrul membersihkan pakaiannya. Ia juga menenteng sandalnya yang tersangkut di jendela rumah kosong, dan sebelahnya di atas pohon. Semua berlatar makian dan teriakan Salehudin yang seperti anak kecil.

"BERISIK!"

Syahrul melempar sandalnya tepat ke wajah Salehudin. Begitu Sandal itu jatuh ke tanah, Salehudin melihat Syahrul juga tumbang.

"Lho?"

Syahrul terbujur di tanah tanpa suara, Salehudin jadi khawatir karenanya. Terpaksa ia menyeret tubuhnya, bergerak seperti ular. Sesampainya di tempat Syahrul, Salehudin mendapati anak kiai itu sudah tak sadarkan diri. Darah keluar dari hidungnya akibat luka dalam yang ia terima. Namun, Salehudin pun tak kalah gawat. Darah di perutnya melukis tanah, dan sudah mengalir cukup banyak. Pandangan Salehudin lenyap, dan setelahnya ia tak tahu lagi apa yang terjadi.

DUA BULAN KEMUDIAN

Salehudin terbangun. Ia mendengar seseorang mengucap salam, berlatar suara kokok ayam dan kicau burung, menyadarkan Salehudin bahwa ini sudah pagi. Ia bangun untuk membuka pintu. Satu lagi malaikat yang kaget karena Salehudin tidak menjawab salam. Begitu pintu dibuka, Salehudin yang kaget karena melihat satu wajah familier di antara lima orang yang datang.

"Pulanglah!" kata Salehudin, ketus. Ia kembali menutup pintu.

"Kang Saleh, kita perlu bicara," rayu seseorang dari luar.

"Kalian mau apa lagi dariku?" Hardik Salehudin, sambil menahan pintu kayu rumahnya yang terus digedor.

"Ini masalah pribadi!"

"Pribadi tapi bawa-bawa orang lain!"

"Orang ini adalah penghulu dan beberapa saksi!"

Pintu terbuka dengan canggung. Tampaklah Lora Fatah dan empat orang yang katanya terdiri dari penghulu dan beberapa saksi.

"Mau apa?" tanya Salehudin.

Lora Fatah memerhatikan Salehudin dari ujung kepala hingga ujung kaki. Berantakan sekali. Rambutnya semrawut, wajahnya semrawut, telanjang dada menampakkan bekas luka di perut.

"Cepat mandi dan pakai baju yang rapi!"

"Iya, tapi mau ke mana?"

"Sampean mau kami nikahkan sekarang juga!"

"Heh?"

Satu demi satu, Salehudin memberi tamunya tatapan heran, lalu tatapan itu kembali ke Lora Fatah.

"MENIKAH? DENGAN SIAPA?"

"TIDAK PERLU TERIAK-TERIAK!" Balas Lora Fatah yang kesal. Percakapan sudah sejauh ini, tapi Salehudin masih saja membuka pintunya sedikit, seolah bicara dengan pengemis.

"GIMANA TIDAK TERIAK. PAGI-PAGI DIBANGUNIN DAN DISURUH NIKAH!"

"BANYAK OMONG! SEKARANG MAU ATAU TIDAK?"

Salehudin membanting pintu rumahnya. Semua tamunya nyaris serempak geleng kepala.

"Dengan siapa?" tanya Salehudin dari balik pintu.

"Ning Zia," jawab Lora Fatah.

Pintu itu terbuka lagi, dan kali ini wajah Salehudin sedikit lebih lunak.

"Apakah ini perintah Kiai? Kalau iya, sepertinya aku tidak bisa menolak."

Lora Fatah memberikan isyarat pada keempat orang yang datang bersamanya, kemudian mereka masuk dan menggiring Salehudin untuk ganti baju.

***

Usia Salehudin dan Ning Zia masih tergolong belia, tapi saat itu sudah masuk usia yang sangat wajar untuk menikah. Yang tidak wajar adalah, status mereka. Entah bagaimana caranya seorang Salehudin dan segala sepak terjangnya di dunia hitam, mampu mendapatkan Ning Zia yang masih keluarga Kiai Sepuh.

Ning Zia sendiri sempat dijodohkan dengan Lora Syahrul dari Gentengan. Namun, secara mengejutkan perjodohan itu batal atas kesepakatan kedua belah pihak. Desas-desus yang beredar, ada campur tangan Salehudin dalam batalnya perjodohan itu.

Jodoh tidak lari ke mana. Mungkin benar, tapi Salehudin lari ke mana-mana untuk mendapatkan jodohnya. Ning Zia pun tidak hanya diam menunggu dijemput. Ia berjuang dengan caranya sendiri, merajuk, dan merajuk sampai keluarganya kapok. Benar-benar cara seorang wanita.

Pada suatu hari, Salehudin dan Ning Zia terlibat sebuah diskusi.

"Kamu punya pilihan untuk tetap tinggal di pesantren. Rumahku jelek sekali. Aku takut kamu tidak betah," kata Salehudin, saat sedang mencari rumput. Tentu saja istrinya ikut. Mereka cari rumput sama-sama.

"Kamu mau tinggal di hutan pun aku tetap ikut," Ning Zia bersikukuh.

"Rencananya aku mau jual sapi, kita bisa bikin rumah sendiri."

"Eh, jangan, sayang sekali kalau dijual."

"Tidak apa-apa, aku lebih sayang sama istri."

Ning Zia tersipu, ia melemparkan bakul bekal makanan yang sudah kosong ke kepala suaminya, lalu memukulnya dengan ranting kering.

Hari sudah mulai gelap. Rumput sudah sekarung penuh. Mereka memutuskan untuk pulang. Berjalan berdampingan sambil bergandeng tangan.

"Eh, baru ingat. Itu kan sapi-sapinya paman. Kamu hanya menggembalakan saja?" kata Ning Zia.

"Oh, masa?" kata Salehudin pura-pura lupa.

***

Kebahagiaan Salehudin dan Ning Zia semakin lengkap saat Abdul Karim lahir. Mereka mengasuh putra pertamanya dengan penuh kasih sayang. Dengan segala keunikan Salehudin, dan kecerdasan Ning Zia, Abdul Karim tumbuh menjadi anak yang kuat dan cerdas.

Namun, kebahagiaan itu tak selalu berada di tingkat tertinggi. Perlahan-lahan menurun seiring penyakit Ning Zia yang semakin parah.

***

"Bagaimana?" tanya Salehudin pada Sunan, "Kau bisa menyembuhkannya?"

"Aku bisa menyembuhkan banyak luka peperangan, tapi tidak dengan yang satu ini," sahut Sunan.

"Kau tidak berguna!" hardik Salehudin.

"Kita semua tidak berguna, Leh.

Ning Zia terbaring lemah. Ditemani Karim yang masih setia memijiti kaki sang ibu. Sudah satu minggu sejak kepulangan Salehudin dari Lawang Jerit, Ning Zia tidak bisa lagi berjalan. Kakinya lemah sekali. Bahkan untuk mengunyah nasi saja Ning Zia harus bersusah payah.

"Kau bilang setiap penyakit pasti ada obatnya, kan?" lagi-lagi Pak Saleh memaksa.

"Ya, tapi tidak setiap dokter punya obatnya. Tidak juga seorang tabib sepertiku, Leh. Tapi begini saja, aku akan tetap di sini sampai istrimu sembuh. Tapi dengan syarat, sebaiknya istrimu tinggal di pesantren dulu. Maaf, bukannya merendahkan, tapi rumahmu yang ini sangat tidak layak."

Sunan benar. Butuh waktu untuk merayu Ning Zia agar mau pindah ke pesantren sementara waktu, tapi demi Salehudin dan Karim, Ning Zia mau. Dia tidak ingin egois. Dia harus sembuh. Ada anak yang harus dia rawat, dan seorang suami yang harus ia jaga.

***

Takdir berkata lain. Ning Zia meninggalkan Salehudin dan Karim terlalu cepat. Kekosongan yang ditinggalkannya pun terlalu hebat. Pemakaman Ning Zia penuh dengan luapan air mata, tapi yang berdiri paling dekat di gundukan tanah baru itu, justru yang paling kuat. Salehudin dan Karim tidak menangis. Namun, bukan berarti mereka tidak bersedih.

Mereka berjanji untuk tidak bertengkar lagi, untuk saling bekerja sama sebagai ayah dan anak.

"Abah," bisik Karim.

"Ya?"

"Apa nanti abah juga akan pergi?" Karim menggenggam erat tangan Salehudin.

"Pasti. Tapi saat itu terjadi, abah pastikan kamu sudah jadi orang yang kuat. Jadi, kamu bisa baik-baik saja meskipun tanpa abah."

Salehudin mengusap kepala Karim yang sudah setinggi pinggangnya. Masih separuh perjalanan sampai Karim menjangkau kepalanya. Salehudin berjanji pada Almarhum Ning Zia agar mendidik Karim dengan kasih sayang. Jika kelak tinggi Karim sudah sejajar dengannya, Karim akan jadi pria yang kuat dan bertanggung jawab. Tidak kasar dan bodoh seperti abahnya. Satu lagi janji Salehudin pada almarhum istrinya. Yakni, setiap kali Salehudin merasa rindu dan sedih, ia harus tertawa. Memang terdengar konyol, tapi begitu pemakaman selesai, dan Salehudin mendapatkan ruang untuk sendiri di rumahnya yang memang sudah terasing dari keramaian, hal pertama yang Salehudin lakukan adalah tertawa. Tawa yang berair mata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top