CHAPTER 0 - KARMAPALA (PART 4)

Kehadiran Salehudin di tengah-tengah mereka sangat merikuhkan suasana. Semula mereka banyak bicara, sekarang tidak tahu harus berkata apa. Pendopo ndalem bisa jadi panggung kedua bagi kegilaan Salehudin, jika salah satu dari mereka salah bicara. Bahkan Jalu yang tidak sengaja beserdawa saja kepalanya langsung terkena pentung keras dari gagang sapu. Di antara kebekuan itu,  ada hawa mendidih yang masih menguapkan kemarahan  dengan sangat jelas. Gusafar duduk di depan Salehudin, bersila, menatap Salehudin seolah menagih ronde kedua. Belum cukup pulas dia tidur di tanah, pikir Umar.

"Saudara sekalian, urusan pribadi bisa menunggu. Sekarang, mari fokus pada renca--" Imbauan Lora Ilyas terputus.

Masih terdengar geraman macan berkaki dua. Gusafar belum putus asa memprovokasi lawannya, sementara Salehudin hanya diam, mencari suaka bagi pandangannya. Kemana saja, asal tidak melihat kebodohan Gusafar.

"Kita jadi berangkat lusa, Ra?" tanya Jalu.

"Ya. Sebenarnya kami butuh 10 orang, tapi kalau yang bisa cuma segini juga tidak apa-apa."

Semua berangsur masa bodoh dengan Gusafar. Mereka memperhatikan Lora Ilyas, terutama saat Lora mengumumkan tujuan sebenarnya dari ekspedisi tersebut. 

Sopet mengepalkan tangan dengan antusias. Lawang Jerit adalah nerakanya Tapal Kuda. Kapan lagi dia bisa dapat tiket pergi ke sana?

Umar dan Maksum menelan ludah. Kalau salah satu dari mereka mati, mereka takut tidak bisa bicara normal lagi.

"Saporana, Ra. Dari misi yang Jenengan jelaskan barusan, sepertinya akan banyak kejar-kejaran di hutan. Kita juga tidak mungkin berkelompok selamanya. Kita butuh pengalihan."

"Sopet benar, Ra. Kami di sini adalah tukang rusuh, dan tukang rusuh tidak cocok untuk misi penyusupan macam ini. Kita tidak bisa mendobrak pintu satu persatu tanpa membangunkan tuan rumah." Jalu memebenarkan.

"Benar juga," gumam Lora Ilyas, "Sekalem-kalemnya Sunan, kalau sudah ketemu musuh, dia tidak akan lari. Apalagi dia seorang tabib. Perannya penting untuk mati paling akhir. Belum lagi Gusafar. Tidak ada musuh pun, dia akan cari. Cuma Maksum dan Umar saja yang  terampil mengendalikan diri. Sayangnya mereka yang paling muda dan kurang pengalaman. Omongan mereka jarang didengar. Jalu dan Sopet bisa diandalkan untuk cari informasi, tapi mereka yang paling lemah dalam hal beladiri. Terus Salehudin ...." Lora melirik Salehudin yang mulai merasa tidak nyaman karena sejak tadi diperhatikan Gusafar. "Orang ini tidak bisa ditebak jalan pikirannya. Dia pedang bermata dua. Harus ada orang yang mengingatkannya mana lawan dan mana kawan. Duh, di saat begini, Fatah ke mana, sih?"

"Apakah kita kekurangan orang?" tanya Salehudin. Dia baru bicara, dan pendopo itu mendadak jadi miliknya. Semua mendengarkan.

"Ya, kalau bisa, genapkan sepuluh sesuai rencana." jawab Lora.

"Tapi kita tidak kekurangan pendekar. Kita kekurangan pencuri," tanggap Jalu.

"Kalau pencuri yang kalian cari, saya kenal beberapa," ucap Salehudin.

***

Mereka pergi ke pasar hari itu juga. Yang diutus mendampingi Salehudin hanya Umar dan Maksum, tapi entah mengapa semuanya ikut. Kehadiran tujuh orang aneh itu telah menyita perhatian para pedagang. Beberapa tampak melindungi dagangannya, bahkan ada yang sudah menutup pintu toko separuh. Umar dan Sunan merasa risih diperhatikan begitu. Seolah kehadiran mereka adalah musibah. Sementara itu, Salehudin berjalan santai sambil melempar-lemparkan kantong uang, menangkapnya lagi seolah itu mainan.

"Pedagang di sini pada pemalu, ya?" celetuk Sopet.

"Mereka takut," sahut Jalu ketus.

"Sama Kakeh?"

"Sama kita lah!"

"Mungkin sama seperti di desaku. Mereka trauma sama yang namanya preman," sopet teringat akan kampungnya.

"Di sana masih ada preman?" Tanya Jalu heran.

"Dulu banyak. Tapi satu persatu dikarungin sama... Kakeh tahulah."

"Ya. Di sini juga. Para pedagang yang terbiasa diperas akhirnya bisa bebas. Sebagai gantinya, mereka harus terbiasa melihat mayat-mayat di tengah jalan, di pinggir toko, di atap rumah. Parahnya, kadang di antara mayat-mayat itu sebenarnya bukan preman," tutur Jalu. Bicara tentang masa kelam seolah sedang berjalan di taman.

"Peluru--"

"--Bayangan."

Sambung Umar dan Maksum.

"Sebagaimana bayangan tercipta karena cahaya. Saat cahaya mereka redup, yang berkuasa adalah kegelapan," Gusafar menanggapi dengan cara bicaranya yang rumit.

"Ini orang yang kita cari rumahnya masih jauh, Leh?" tanya Sopet pada Salehudin.

Jalu memukul kepala sopet dengan pecinya. "Lah, leh, lah, leh cangkemmu!"

"Lah, dia tidak mau dipanggil kakang! Lagipula, kita harus berhati-hati, karena pasar ini seperti panggung..." Sopet berdeham, "Sangat palsu."

"Kita tidak usah mencarinya. Biarkan mereka datang sendiri," sahut Salehudin santai.

Kantong uang Salehudin tidak mendarat lagi di tangannya. Raib. Benda itu hilang bersamaan dengan orang yang berpapasan dengannya barusan. Namun, yang terkejut justru bukan Salehudin. Si pencuri sempat terpekik saat menyadari tangannya sudah dicengkram erat hingga usahanya untuk kabur terhenti. Saat orang itu menoleh, bogem  mentah sudah meluncur, lalu menghantamnya tepat di wajah. Orang itu mental ke tumpukan gabah. Tak buang waktu, Umar dan Maksum langsung menangkapnya.

"Lupakan orang itu. Kita punya masalah yang lebih besar," ujar Sopet yang sudah siaga.

Orang yang sejak tadi berpura menawar ikan, kini sudah menghunus goloknya. Pengemis yang sejak tadi duduk sambil menyembunyikan tangan kirinya, kini sudah mengangkat tinggi garu berkarat. Bapak yang sibuk memberi makan kambing, kini tengah siaga mengancam dengan pentungan.

"Jadi ini yang kamu maksud dengan pasar panggung?" tanya Jalu yang sudah memasang kuda-kuda.

"Bender! Panggung sandiwara. Banyak pembeli palsu."

"Harusnya kamu bilang dari tadi."

"Tidak sebelum tikusnya ke luar."

Sekitar delapan rekan pencopet itu sudah mengepung Jalu dan kawan-kawan. Penyamaran yang nyaris sempurna. Kecuali Sopet, tidak seorang pun menyadarinya.

"Jumlah mereka delapan--"

"--kita hanya bertujuh."

Umar dan Maksum mengkalkulasi kemungkinan menang.

"Berikan empat padaku!" Gusafar sudah menyeringai dengan antusias. Cakarnya sudah menggaruk tanah. Tidak peduli becek dan tai ayam.

Belum juga dimulai, seorang lawan sudah ambruk duluan. Tubuhnya lunglai seperti mengantuk, lemas, lalu tersungkur di tumpukan karung gula.

"8 kurangi 1 sama dengan 7," ujar Sunan datar, sambil masih memegang sebuah jarum beracun. Sebuah lagi sudah menancap di leher korban pertamanya. "Tenang saja, dia cuma mati," lanjutnya tanpa ekspresi.

Dimulai dengan teriakan perang, perkelahian itu membubarkan para pembeli dan pedagang. Semuanya dilakukan dengan cepat dan cermat, seolah mereka sudah terbiasa dengan situasi seperti ini.

Gusafar tidak lantas meladeni lawannya. Dia malah berlari menerjang lawan Jalu. Setelah saling bergocoh, lawannya pun rebah. 

"Asem Gus! Itu bagianku!"

Gusafar hanya tertawa seperti maniak. Alih-alih meladeni bagiannya, dia sudah mengunci target pada bagian Sopet. "Minggir kau buaya! Itu makanan macan!" Serunya.

Di sisi lain, Umar sudah mengunci leher lawannya. Sementara Maksum ada di samping memberi ceramah.

"Sesungguhnya, mencopet adalah perbuatan dosa. Kiai selalu bilang, untuk mengajak orang pada kebaikan, tidak mesti dengan kekerasan."

Namun, saat kaki Maksum diinjak lawannya, Maksum menampar orang itu berkali-kali seperti kesetanan. Bergantian dengan Umar. Jika terus dibiarkan, mungkin orang itu akan berubah wajah.

Sopet dan Jalu menggurutu dengan muka masam karena tidak kebagian aksi. Semuanya diambil Gusafar. 

"Tai memang," tukas Jalu.

Sementara itu, Salehudin dan Sunan sedang duduk santai menunggu perang konyol itu selesai. Perang mereka sendiri sudah lebih dulu bubar. Melihat dua orang terkapar di hadapan mereka, sudah jelas siapa yang menang.

***

"Di mana ketua kalian?" Jalu menginjak kepala tangkapannya. Ditekannya sampai membenam pada tanah.

Tujuh orang lainnya dibiarkan kabur. Jalu cukup menangkap satu, menyeretnya ke balik gudang ikan, lalu menginterogasinya dengan sangat profesional.

"Harusnya kita ikuti saja mereka yang kabur," protes Sopet.

"Ya kalau mereka kembali--"

"--Ke markas tuannya. Kalau tidak? Kita bisa main kucing-kucingan."

"Pos--" suara tawanan itu tertahan. Jalu menginjaknya teralalu keras. "Pos penjaga tebu di utara pasar ini--Aduh!"

"Jangan bohong!" Jalu menukas sembari menambah bobot pada kakinya.

"Sumpah! Saya tidak bohong!" Tawanannya memelas.

"Dia tidak bohong. Ada jalur lori di utara sini. Pos angkut terakhir ada di Asembalur, jaraknya dua kilo, sudah sewajarnya kalau pos berikutnya ada di desa ini," Sopet menganalisa.

"Oh, kamu tahu sebanyak itu, tapi tidak tahu di mana markas pencopet ini?" sindir Jalu. Dia benci cara bicara Sopet yang sok tahu.

"Aku juga tidak tahu siapa nama bapak kakeh, tahu alasannya?"

"Karena pengetahuanmu terbatas? Hah?" Tebak Jalu menantang.

"Karena itu nggak penting, gendeng!"

"Terus--"

"--Gimana?"

"Sudah jelas, kan. Kita ke sana!" Salehudin sudah beranjak pergi. Setelah mengikat tawanan itu pada drum minyak tanah, mereka menyusul Salehudin ke arah pos penjaga tebu.

***

Pos yang dimaksud tidak seperti yang mereka bayangkan. Markas para penyamun, begitu Gusafar menyebutnya. Namun, yang terlihat hanya sebuah pos jaga terabaikan dengan bangkai gerbong lori berserakan di halaman. Gerbong lori pengangkut tebu, umunya hanya berupa kerangka gerbong terbuka dengan tiang penyekat untuk menahan muatan. Benda itu terlihat di halaman sebuah gedung tua, dengan dinding berbalur jelaga. 

Jika seorang awam melintas, sudah pasti asrinya pemandangan sekitar akan menyihir, membuat mereka berpikir ini tempat yang pantas untuk liburan. Pohon-pohon rindang berhadapan dengan ladang tebu subur, di kedalaman yang jauh dari ribut-ribut perkampungan. Jalu ingin segera punya istri dan membuat rumah di tempat seperti ini. Saat khayalan itu berputar di kepala botaknya, seekor monyet mendarat dengan mantap di bahu Jalu, kemudian menjitak kepalanya. Monyet itu melompat dengan menjadikan tubuh jalu sebagai pijakan, hingga Jalu tersungkur di tanah berumput.

Sunan segera tanggap. Ia hampiri Jalu dan memberi pertolongan pertama pada luka cakar di pelipis Jalu. Sunan membelalak.

"Hati-hati!" Seru Sunan pada teman-temannya, "Senjatanya beracun. Jangan sampai menggores kalian!"

"Jadi bukan monyet, hah?" Sopet menyingsing lengan.

Umar dan Maksum saling menempelkan punggung, siaga pada dua arah, sementara Gusafar...

"Monyet?" katanya antusias. Wajahnya sudah seperti kucing kelaparan, dan cakarnya sudah siap mencabik ikan.

Dedaunan menghujani mereka seperti musim semi yang tak pernah ada. Lalu, melesatlah sosok yang sama dengan yang menyerang Jalu. Melompat di pohon-pohon sekitar, lalu menerkam salehudin dengan cepat. Sayang sekali, sosok itu menghantam tanah dengan lancar, membuat debum yang mantap, setelah Salehudin memukulnya dengan kepalan tangan bagian dalam. 

"Sudah selesai?" Sopet penasaran, karena ini terlalu mudah.

"Kasihan. Sepertinya--"

"--Dia salah pilih lawan."

"Belum. Belum selesai." sahut Salehudin.

Dari belakang, seseorang sudah mempersempit jaraknya dengan Gusafar. Umar dan Maksum tidak terlalu panik. Mereka mengira, kawanan pencopet itu salah sasaran lagi, karena untuk ukuran kekuatan, Gusafar jelas berada nomor dua setelah Salehudin.

Gusafar membalik badan, menangkis pukulan menyilang. Lawannya adalah seorang pria bertelanjang dada, mengenakan celana kain berwarna hitam, berambut panjang terurai, dan lebih tinggi dari Gusafar, tapi... walaupun benci mengakuinya, Gusafar merasa bahwa orang itu  lebih gesit darinya. Tangan Gusafar serasa nyeri menangkis pukulan yang terasa sangat berat.

Setelah serangan pertama, keduanya kembali ke posisi netral. Tak buang waktu, Gusafar memilih menyerang duluan.

Dalam sedetik sebelum bentrokan, Gusfar merasakan sensasi yang aneh. Cara orang itu berdiri, pertahanan yang terbuka, aura dingin yang memuakkan, seolah meremehkan lawan yang sedang menyerang, Gusafar pernah merasakan ini semua. Namun, mundur bukanlah pilihan. Gusafar mengayunkan cakarnya dengan kekuatan paling prima, tapi berakhir seperti gebukan sapu lidi di tilam kapuk. Orang itu tidak bergerak sedikitpun. Cakar Gusafar tidak menggores apapun. Tenaganya seolah netral dan berakhir seperti tamparan anak kecil.

Untuk kedua kali dalam hidupnya, Gusafar merasakan takut. Dia siap menerima serangan balasan, tapi sudah pasti hasilnya akan sama. Gusafar yakin dia akan kembali tidur di tanah.

"CUKUP!" Seru Salehudin, tepat sebelum orang itu menghantarkan tinjunya.

Orang itu menatap, menyelidik dengan tidak yakin, sampai akhirnya ternganga dengan antusias. "Kak tuan?" katanya, dan langsung menjatuhkan lutut, memberi hormat.

"Kalau kamu di sini, itu artinya orang ini ..."

Monyet gesit yang sudah pulih dari terkaman Salehudin kini uring-uringan. Menyumpal hidung berdarahnya yang mengalir seperti sungai. Sambil menggerutu, "Sialan. Mereka tidak bilang kalau yang datang adalah Kak Tuan."

"Leh, mereka kah orang yang Kakeh Maksud?" tanya Sopet.

"Ya. Yang menyerang Jalu barusan adalah Rahwan, sedangkan si gondrong di samping Gusafar itu adalah Rodin."

Umar dan Maksum langsung memprotes di kedua sisi Salehudin. 

"Jadi mereka orang yang--"

"--ingin sampean ajak?"

"Ajak ke mana?" Rahwan bigung. Dia mengemas cakar besinya ke dalam kantong. 

***

"Di-dikani Kiai?" Rahwan seolah tidak percaya. 

"Jangan senang dulu! Yang merekomendasikan kalian adalah Salehudin, dan sudah disetujui oleh Lora Fatah," ujar Jalu. Pelipisnya sudah diobati Sunan. Beruntung racunnya belum menyebar.

Rahwan dan Rodin saling pandang. Kemudian mereka mengangguk sepakat.

"Kami menolak!" tegas Rahwan.

"Jadi, kalian lebih memilih hidup sebagai kriminal?"

"Jangan sok tahu! Uang hasil kerja kami, kami bagikan pada orang-orang di pasar. Jual beli di desa ini jadi kacau sejak konflik Tambangan. Terlalu banyak penjual dari pada pembeli, dan sejak dibukanya pasar di Sokogede, tidak ada yang mau datang jauh-jauh ke sini."

"Itu--"

"--tetap saja salah!" Si kembar menasihati.

"Diam kau! Nakula dan Sadewa!" Sergah Rahwan.

"Ya, sudah." Salehudin bangun. "Kita tidak memaksa. Ayo pergi."

Jalu dan kawan-kawannya meninggalkan pos itu. Setelah semua rintangan yang mereka lewati, mereka tidak dapat apa-apa kecuali penolakan. Tampak Rahwan dan Rodin menutup pintu dengan keras. Menolak kedatangan kembali tamu-tamu yang menurut mereka tidak terhormat. Namun, di balik pintu ....

"Asem! Kita direkomndasikan sama kak, tuan! Gila tidak?"

Rodin mengangguk antusias.

"Itu artinya kita bisa satu misi dengan dia. Kita bisa mencuri ilmunya lebih banyak, goblok."

Rodin mengacungkan jempol.

***

Terdengar suara pintu terbuka dari belakang, disusul sebuah teriakan.

"Karena kalian memaksa, kami ikut!"

Namun, sudah tidak ada yang peduli. Jalu dan kawan-kawannya sudah pergi. Mereka tidak sekadar menoleh, berjalan tanpa suara, memberi kesempatan pada bunyi jangkrik untuk melatari kecanggungan itu.

"Mungkin mereka tidak dengar," Rahwan mencoba positif. "Ya, sudah, yang penting kita ikut!"

Rodin mengacungkan jempol. Kedua penyamun itu menyusul rombongan Salehudin. Meninggalkan markas besar yang entah kapan akan mereka singgahi lagi. 

***

"Saleh." Gusafar mendekat. Berjalan berdampingan dengan Salehudin, seperti hendak membahas sebuah rahasia.

Salehudin tidak mengelak. Dia hanya tidak kelihatan menyambut juga.

"Rembung Karang. Amalan itu diijazahkan oleh Al-Maksum Pamekasan hanya pada segelintir orang, kan?" Bisik Gusafar, terdengar menukas.

Salehudin tampak tidak suka topik itu. Mereka terus berjalan. Sebentar lagi sudah kembali ke pasar. Selagi teman yang lain asyik mengerjai Rahwan dan Rodin, Gusafar mencoba melanjutkan percakapan itu.

"Aku pernah ke sana. Aku hanya gagal di ujian ketiga. Hanya saja, yang aku tahu, Rembung Karang tidak boleh diwariskan pada siapa pun, termasuk keturunan pengamalnya sendiri."

"Kemana arah pembicaraan ini?" Sergah Salehudin.

"Jangan pura-pura bodoh. Orang bernama Rodin itu... "

"Aku tidak kenal!" Salehudin menyentak. Menarik perhatian yang lainnya hingga berhenti berjalan. "Dan kamu terlalu berlebihan." Salehudin mengendus, "Dan baumu seperti babi hutan," pungkasnya.

Mereka pulang tanpa pernah membahas hal itu lagi. Gusafar dan Salehudin akan jadi rekan dalam misi besar. Walaupun sulit bekerja sama, setidaknya mereka harus belajar. Formasi mereka sudah lengkap, hinga di hari yang sudah ditentukan, mereka berangkat.

***

Tarhim masih mengalun pada 4 dini hari. Nelayan baru pulang, petani sudah berangkat. Dapur-dapur pedagang berasap, dan para penjaja sedang memilah sayur-mayur segar. Aktivitas pedesaan yang wajar akan segera dimulai. Di antara para pekerja keras itu, ada sepuluh orang yang sudah bangun lebih dulu. Tak kalah semangat dari para pencari kayu. Mereka sudah berbaris rapi, derap langkah penuh semangat melewati ladang jagung. 

Usai salat subuh, mereka berkumpul di jembatan gantung. Terletak di sisi utara Banyusirih, berbatas pantai dan hamparan tanaman bakau. Di seberang jembatan itu adalah sesuatu yang lain. Hutan yang menyatu dengan Tambalur. Bisa dibilang ekornya tambalur, dan mereka akan masuk dari situ.

"Akhirnya, misi kita dimulai, tretan. Senang bisa berjuang bersama kakeh semua!" Sopet menyeringai girang. Seperti anak kecil hendak tamasya. Sama seperti rekan-rekannya, Sopet sudah menggendong tas hitam besar berisi sesuatu pemberian Kiai Sepuh kemarin. Satu hadiah, untuk satu orang. Namun, yang semangat hanyalah Sopet. Semua rekannya justru sedang kompak memerhatikan seseorang.

"Kamu siapa?" tanya Jalu.

"Kenapa pakai--"

"--topeng segala?" sambung Umar dan Maksum heran.

"Jangan-jangan dia mata-mata Rantai Hitam. Haruskah aku buang ke jurang?" Gusafar sudah memegang kepala orang yang dimaksud.

"Aku pikir, kita anggota terakhir yang direkrut?" Gumam Rahwan.

Rodin mengangguk setuju.

Kecuali Salehudin, Sopet dan Sunan, semuanya sedang memperhatikan seorang pria bertopeng hitam yang berdiri di antara mereka. Pria bertopeng itu adalah anggota kesepuluh. Tidak tahu dari mana, siapa yang bawa, siapa namanya, bagaimana wajahnya, tiba-tiba saja dia datang bersikap seolah sudah jadi bagian dari kelompok itu.

"Kita telanjangi!" Goda Jalu.

"Jangan ganggu dia!" Tegas Salehudin.

"Saleh benar. Sebelum ini, kita tidak saling kenal. Namun, misi kita ada di depan mata. Begitu kita melewati jembatan ini, kita adalah saudara!" Tutur Sopet tanpa sedikitpun menaruh curiga.

Semua mengamini pidato singkat Sopet. Mereka sudah tidak sabar ingin masuk ke neraka bernama Lawang Jerit.

"Ngomong-ngomong, kelompok ini diberi nama apa?"

Semua berpikir. Semua bermaksud menyumbangkan nama, tapi melihat kapasitas otak mereka, yang keluar hanyalah nama-nama bodoh.

"Gusafar dan kawan-kawan!" usul Gusafar dengan bangga.

"Oreng Gileh!" Usul Sopet.

"Gudang Garam!" Jalu tak mau kalah.

KARMAPALA

Salehudin tidak berniat mengusulkan nama. Dia hanya membaca tulisan di tas hitam pemberian Kiai Sepuh.

"Nama yang bagus. Baiklah, Karmapala..."

KITA BERANGKAT!

***

Mereka menyeberangi jembatan. Meninggalkan dunia, menuju serambi neraka. Katanya. Dalam perjalanan yang sunyi, karena hutan di depan mereka memberi aura negatif yang kuat, sehingga tidak banyak candaan yang terlontar, tiba-tiba Jalu teringat sesuatu.

"Ngomong-ngomong, Lora Fatah ke mana, ya?"

"Eh, iya. Aku tidak melihat--" 

--beliau dari kemarin," sambung Umar dan Maksum.

"Waktu pertemuan dengan Kiai Sepuh kemarin, beliau juga tidak hadir," lagi-lagi Jalu heran.

"Mungkin ngambek, gara-gara tidak boleh ikut kita ke hutan!" Tebak Gusafar.

Salehudin tersenyum kecut. "Peduli apa pada anak kiai pengecut itu!" katanya terang-terangan.

"Agak sombong juga kalau boleh aku nilai," kata Rahwan.

"Hati-hati, dia calon Kiai. Kalau sampai omongan kalian didengar, bisa bahaya. Emang kalian tidak takut?" Sopet mengingatkan.

"Tidak! Aku bisa menendang kepalanya dengan mudah." Gusafar menyahut mantap.

Tetiba, si topeng hitam bersin-bersin. Anggota kesepuluh yang misterius itu tidak sedang flu, tapi entah kenapa hidungnya gatal. Di balik topeng hitamnya, dia menggeram. "Kurang ajar kalian!"

KARMAPALA - END

PS. Jadi, ceritanya saya nulis di komputer, nih, abis itu ganti nulis di handphone, pas mau update lewat handphone, ternyata hasil nulis di komputer nggak kesimpen. Kan kam***.  Di history edit juga nggak ada. Akhirnya nulis lagi dari awal, nih, cuma modal kerangka kasar. Kalau boleh saya bilang, Karya saya yang paling mahal bukanlah Midnight Restaurant dan Post Meridiem, tapi Eksekusi Tapal Kuda ini. Soalnya, teman-teman harus membayarnya dengan waktu. Tapi, terima kasih antusiasnya. Ngehehe. Selamat membaca teman-teman.

Abis ini, kita kembali ke Time Line utama.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top