CHAPTER 0 - KARMAPALA (PART 2)
TUJUAN KEDUA, DESA UMBUL KABUPATEN GAMBIR
Dari sejak memasuki gerbang desa, sampai di titik terpadat pemukiman, Jalu tidak berhenti berdecak kagum. Dia tergoda oleh perempuan-perempuan desa berkulit kecokelatan yang lalu-lalang. Ada yang masih muda sedang menyisir rambut. Senda gurau di pojok pagar bambu. Ada yang dewasa sedang menenteng bak cucian. Rambut basah terurai, dengan kain membalut tubuhnya, menyisakan pundak-pundak melengkung indah yang membuat Jalu tertegun. Ada yang sedikit berumur sedang menjemur kerupuk, dan menghalau ayam-ayam kelaparan.
Jalu bersyukur dirinya masih hidup. Dia sempat memohon mati ketika disekap Bendera Merah dulu. Kalau tahu pemandangan ini akan ada di masa depannya, harusnya dia memohon hidup lebih lama lagi. Usianya hampir menyentuh angka tiga, dan karena di pesantren hanya ada laki-laki, pemandangan ini benar-benar bersensasi.
Berbeda dengan Jalu, Umar dan Maksum kelihatan biasa saja. Mereka menunduk, memerhatikan jempol dan telunjuk kakinya sedang mengapit bulatan sandal kayu. Apabila tak sengaja matanya menangkap sekelebat bayangan perempuan, mulutnya langsung bereaksi dengan Istighfar.
"Orang kaya kalian ini biasanya cepat mati," celetuk Jalu.
"Kenapa?"
"Kenapa?"
Dari saking terkejutnya, Umar dan Maksum kehilangan sinkronisasi. Tidak lagi saling nyambung satu sama lain.
"Ustaz bilang, orang alim itu dijaga benar oleh Allah. Umurnya tidak panjang. biar tidak banyak kesempatan bermaksiat," Ucap Jalu dengan gaya ceramah, tapi mati-matian menahan tawa. Terlebih reaksi Umar dan Maksum yang saling tatap seperti percaya begitu saja.
Mereka sampai di tempat tujuan. Rumah gedung di hadapan mereka seperti menutup jalan dan membelahnya ke dua arah. Lumayan mewah untuk ukuran desa tersebut. Di serambinya ada kursi panjang bercorak zebra yang sudah bolong. Melihat dua orang anak kecil melompat-lompat di kursi itu, Jalu jadi tidak heran lagi kenapa kursinya bolong.
"Assalamualaikum," ucap Jalu keras-keras.
"Waalaikumsalam," jawab dua bocah itu, lalu bermain lagi.
"Assalamualaikum," Jalu mengulangi.
"Waalaikumsalam," lagi-lagi bocah itu menjawab, tapi kemudian tidak peduli.
"Hei, kalian berdua masih kecilnya pasti begini, ya?" tanya Jalu pada Umar dan Maksum. "Menyebalkan."
"Assalamualaikum!" Kali ini nada Jalu menyentak.
Kedua anak itu kaget. Mereka berhenti melompat-lompat dan berlari ke dalam memanggil orang tuanya. Dari halaman, Jalu, Umar dan Maksum dapat mendengar sayup suara.
"Emak, di depan ada pengemis," kata anak itu dengan polosnya.
Jalu benar-benar putus urat marah. Wajahnya jadi sedatar papan tulis madrasah.
"Memang—"
"—Mirip"
Umar dan Maksum cekikikan.
Keluarlah seorang perempuan sambil menggendong salah satu dari dua anak tadi. "Iya, cari siapa?" tanyanya.
"Ah, kami mau bertemu Kang Sopet, ada?"
"Dari?"
"Sokogede, Patokan."
"Mas Gun sedang di sawah. Sampean bisa ke sana. Biasanya kalau ada tamu juga mereka ke sana. Tinggal lurus lewat jalan ini," perempuan itu mengarahkan. "Kalau boleh tahu, ada apa, ya?"
Jalu memilih tidak menjawab, apalagi bilang kalau ini adalah rahasia. "Kami teman lamanya," jawabnya.
Mereka menuju sawah sesuai yang ditunjukkan perempuan barusan. Jalannya sempit, berpagar kayu setinggi kepala. Tanahnya basah, berlubang dan tergenang air. Begitu jalan menurun, mereka bisa melihat hamparan sawah luas yang menyejukkan. Pemandangan itu membentang jauh sampai di kaki gunung, di seberang.
"Kalau dipikir-pikir, Sumbergede punya segalanya, ya."
"Maksudmu?" tanya Maksum.
"Di utara pesantren ada pantai, di timur dan barat ada hutan, di selatan ada gunung. Aku tidak tahu pemandangan kota seperti apa, tapi keindahan seperti ini apakah ada tandingannya?"
"Kami berkali-kali ke kota--"
"--mengawal Kiai sepuh."
"Memang kalau siang panas--" Umar mengarahkan jempol ke bawah.
"--Tapi gemerlap malam harinya membayar lunas," Maksum mengacungkan jempol.
"Makanannya enak-enak?" tanya Jalu.
"Tidak tahu. Biasanya kami bawa bekal nasi gulung--"
"--Telur asin, sama ikan kering," Mulut Maksum berair membayangkannya. Mendadak dia merasa lapar.
Pada sebuah gubuk di pinggir sawah, mereka melihat jamuan makan siang. Semua masih tertutup kain, tapi aroma sambal terasi itu sudah menginvasi hidung lebar Jalu. Mereka duduk di gubuk itu sambil memerhatikan sekitar. Di tengah sawah para petani masih sibuk bekerja. Setelah lama Jalu perhatikan, dia jadi menyadari sesuatu.
"Eh, ini cuma perasaanku saja, atau di desa ini memang tidak ada laki-laki?"
Umar mengangguk. "Eh, iya, ya."
"Dari tadi aku juga tidak melihat laki-laki. Ada juga cuma anak-anak."
"Hei!" sapa seorang pria bercelana kain dipotong sampai lutut. Kaos putihnya berlubang. Caping usangnya menggelantung di punggung. "Bede apah?" (Ada apa?) tanyanya dengan logat Madura Bangkalan yang khas.
Jalu, Umar dan Maksum langsung memperbaiki posisi duduknya.
"Sopet, masih ingat aku?"
"Ya, siapa yang bisa lupa bau ayam ini." tukas Sopet. Dia menenggak air kendi yang sejuk. "Besok aku berangkat ke Sokogede. Sampaikan sama Kiai."
Ketiga tamu Sopet saling lihat. Terheran-heran.
"Lha, kita kan--"
"--Belum kasih tahu?"
Sopet tertawa. Suaranya mirip gergaji mesin gagal menyala.
"Saya tahu semuanya. Meskipun tinggal di desa ini, tapi telinga saya ada di mana-mana. Oh, ya. Kakeh mare ngakan?"(Kamu sudah makan?)
Jalu, Umar dan Maksum menggeleng dengan mantap dan antusias.
"Kasihan," kata Sopet, dan sampai di situ saja. Tidak ada lanjutan, tidak ada tawaran. Hanya ada wajah-wajah kecewa dari orang-orang berperut keroncongan.
"Saya baru pertama kali ke desa ini. Saya heran, kok sepertinya di sini banyakan perempuan daripada laki-laki?" tanya Jalu.
Sopet menyandarkan punggung pada pilar gubuk. "Kebanyakan merantau, dan sisanya meninggal karena bentrok dua tahun lalu. Masih ada laki-laki, tapi tidak banyak."
"Wah, berarti di sini banyak janda?" tanya Jalu dengan wajah nakal.
Sopet tidak suka cara Jalu bertanya. "Kenapa setiap kali mendengar kata Janda, orang-orang jadi merasa lucu seolah itu candaan. Perempuan yang kalian jadikan candaan, sesungguhnya bisa saja lebih kuat dari kalian, laki-laki bajingan!"
"Ya, tidak perlu marah juga. Lagian itu terasa aneh untuk orang yang sudah menikah empat kali," balas Jalu.
Kendi melayang ke wajah Jalu, kemudian terpental ke samping dan menggelinding di pematang sawah. Umar dan Maksum kebagian cipratan air yang langsung mereka usap dengan pasrah.
"Acarokah?" tantang Sopet.
"Majuh!" Jalu menerima.
"Mulai--"
"--lagi."
Si kembar tepuk jidat.
GOENAWAN ABRORI A.K.A SOPET
"Kalian bertiga sudah kenal. Pastinya. Dulu dia pernah nyantri di Sokogede, sebelum pulang ke kampung halamannya, di Gambir. Sopet termasuk Abdi Ndalem. Dia dibesarkan oleh neneknya, karena bapak Sopet gugur dalam perang, dan ibunya pergi meninggalkan Sopet sejak masih bayi. Kiai Sepuh membawa Sopet ke sini, sampai dia dirasa cukup bekal untuk kembali ke kampungnya," tutur Lora Ilyas.
"Saya tidak pernah akur sama orang ini. Saya justru senang dia berhenti dari pesantren." celetuk Jalu.
"Kami juga senang--"
"--kalau kamu berhenti dari sini!"
Sahut Umar dan Maksum.
***
Kembali ke Desa Umbul. Sepuluh menit kemudian. Mereka terbahak-bahak sambil menikmati makan siang. Duduk beralas kain di atas tanah, di samping gubuk yang sudah rubuh.
"Buahaha! Jadi, sekarang si Nanang sudah jadi ustaz di madrasah?" Sopet makan sambil tertawa. Hidungnya berdarah, dan pelipisnya bengkak, seperti bola pingpong yang dicelup tinta ungu. hampir menutupi mata kanan.
"Iya. Aku juga tidak percaya. padahal orangnya latah. Gimana kalau pas ngajar dia kaget, terus bilang anu... anu... ah, itu pokoknya! Hahaha," Jalu menyusul tawa Sopet. Warna merah di giginya bukan karena sambal terasi, tapi karena darah.
Mereka ini seperti anak-anak. Barusan berantem, sekarang sudah tertawa seperti saudara.
Sepertinya misi ini tidak akan berhasil tanpa baku hantam lebih dulu.
Gumam si kembar dalam hati.
"Omong-omong, maaf kalau aku salah bicara tadi." kata Jalu. Ekor ikan asinnya menjulur di mulut. Jalu benar-benar merasa tidak enak. Dia baru tahu kalau istri pertama Sopet ternyata meninggal karena sakit. Istri keduanya selingkuh, dan istri ketiganya kabur. Sopet mengasuh keenam anaknya sendirian, sampai akhirnya dia menikah lagi dengan istri keempat.
"Tidak usah dipikirkan lagi. Tadi aku emosi. Habisnya mulutmu tidak pakai rem kalau ngomong."
"Jadi, kapan--" tanya Umar.
"--Sampean berangkat?" Lanjut Maksum.
"Besok pagi. Siang sudah sampai ke Ndalem," jawab Sopet.
TUJUAN KETIGA, PENDOPO NDALEM, SOKOGEDE.
Esoknya. Separuh undangan sudah berkumpul di pendopo. Jika seperempat dari mereka saja sudah bikin gaduh, maka setengahnya pasti menggemparkan. Pendopo jadi ribut gara-gara Gusafar membawa enam ekor kucing yang dia temukan dalam perjalanan, dan kucing itu buang kotoran di pendopo. Sopet tertangkap basah sedang mengintip lewat celah pagar ke asrama putri, dia harus berurusan dengan keamanan pesantren, meskipun akhirnya keamanannya yang babak belur. Mengumpulkan mereka memang terasa sangat melelahkan, tapi menyatukan mereka dalam satu wadah nyaris mustahil.
Siang itu, di pendopo sudah kedatangan satu anggota lagi. Kali ini tidak usah dijemput, orang itu datang sendiri. Dia sedang duduk bersila dengan ekspresi mati, sementara Gusafar mengelilinginya sambil mengendus-endus.
Gusafar tertarik pada kepala kecil tanpa rambut, telinga yang lumayan besar, dan matanya yang sipit, serta diamnya yang misterius. Belum lagi pakaiannya yang berbeda dan sangat mencolok. Jika yang lain mengenakan sarung, dan seragam silat, orang tersebut mengenakan pakaian mirip pendekar kungfu.
"Gus, jangan ganggu tamu kita!" tegur Jalu.
"Kalian tidak bilang kalau kita akan berteman dengan orang china?" tanya Gusafar, kemudian mengusap-usap kepala. Kepala orang di hadapannya.
"Dia sahabat Lora Fatah. Saya juga tidak kenal, sih, tapi mengendus orang seperti itu tidak sopan!" Sopet menasehati.
"Kalau hidung liarku berdosa, berarti mata keranjangmu adalah jahanam."
Sebuah kendi melayang ke arah Gusafar, tapi berhasil dihindari hingga menghantam kepala orang yang sejak tadi diam. Oh, dia tetap diam walaupun teh panas megaliri wajahnya.
"Bagaimana kalau kita uji kemampuannya?" kata Gusafar.
"Gus, sebaiknya--"
"--Kamu duduk!"
Kali ini si kembar ikut menegur.
Gusafar duduk jongkok di depan orang bermata sipit itu. Mirip seperti sikap monyet. Melihat ketegangan yang dibangun, Umar dan Maksum sudah bersiaga. Mereka siap untuk melerai perkelahian yang sepertinya akan terjadi.
Gusafar menarik napas, orang bermata sipit itu menatap tajam.
"128 dikali 270 dibagi 4 sama dengan?"
"Delapan ribu enam ratus empat puluh!" Jawab si mata sipit, mantap.
"Benar!" sahut Gusafar, meskipun dia sendiri tidak tahu jawabannya.
Semua yang ada di pendopo serentak berkata, "Wow," kemudian tepuk tangan. Hanya Lora Fatah saja yang tepuk kening.
SUNAN A.K.A SUNAN
"Saudara-saudara, beliau adalah Kang Sunan. Beliau masih sahabat saya ketika berguru di jawa barat dulu. Mungkin beliau akan lebih banyak diam, karena tidak mengerti bahasa kita, tapi tolong jangan dibuat marah. Sekali beliau marah, biasanya akan mengomel sampai seharian. Saya tegaskan. Tidak peduli Sampean hitam, putih, Madura, India, Jawa, China, kembar, dan gila, selama berada di sini, berarti kita abdi pesantren. Selama berjuang untuk Bumi Pertiwi, berarti kita abdi negara."
Semua mengangguk membenarkan ucapan Lora Fatah. Meskipun Jalu bingung, pada ras, suku, dan kategori yang disebutkan barusan, sebenarnya dia berada di mana?
"Lora, untuk menjemput anggota terakhir besok, kami bertiga akan berangkat agak siang. Kalau subuh, dingin dan gelap," kata Jalu.
"Tidak. Untuk yang satu ini, saya ingin Sampean semua berangkat."
"Semua?" tanya Sopet, "Tidak terlalu banyak, Ra?"
"Bagaimana, ya, yang satu ini mungkin akan jauh lebih merepotkan. Sedikit berbahaya. Penuh kejutan, dan... saya sendiri tidak berani ke sana."
Jalu, Umar dan Maksum mengerti. Benar-benar mengerti. Alasan mereka ingin berangkat siang, adalah agar mudah minta tolong warga kalau terjadi apa-apa. Rumah orang itu memang yang paling dekat, tapi ada alasan kenapa didatangi paling akhir. Benar kata Lora, mereka butuh lebih dari tiga orang. Bukan meragukan kepatuhan orang itu pada Kiai sepuh, tapi sudah banyak santri yang pulang babak belur padahal mereka hanya ingin belajar.
"Siapa? Bajingan, kah?" tanya Gusafar.
"Tidak tahu. Tidak ada sebutan yang tepat baginya. Orang-orang memanggilnya Kang Musa. nama aslinya adalah, Muhammad Salehudin."
Gusafar, Sopet, bahkan Sunan yang sejak tadi diam ikut terbelalak. Tentu saja nama itu pernah mereka dengar.
NOTE : Saya terharu teman-teman. Chapter terakhir kemarin tembus ratusan komentar padahal baru sehari. T_T saya mau bales juga kewalahan. Belum pesan di dinding dan inbox. Tolonglah dimaafkan. Itu notifikasi dikit lagi udah mirip gaji sebulan.
Oh ya, kita ngobrolnya di medsos aja yak. Banyak sih teman-teman pembaca yang chat saya di medsos. Teman-teman juga banyak dapat info tentang cerita-cerita gendeng saya lainnya. Cek IG saya : ahmaddanielo
Twitter : danieloahmad
FB : ItsDanielAhmad
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top