CHAPTER 0 - KARMAPALA (PART 1)

Sokogede lama. Tua dan klasik. Punya segala tampilan khas pedesaan yang elok dipandang. Asrama masih berupa gedung kecil yang hanya mampu menampung sebelas santri. Masjid dan musala sama besar, dan hanya butuh satu pengeras suara untuk mengumpulkan santri agar salat berjamaah. Zuhur yang menyejukkan setelah hujan lebat. Tanah di halaman pesantren masih basah. Masih penuh genangan air di sana-sini yang di atasnya mengambang sandal-sandal tersesat. Sisa air hujan masih mengucur lancar di pinggiran genting dan menciprat ke kayu pendopo. Namun, benar kata mereka. Sokogede selalu bersih. Tidak nampak sampah apapun berlayar di parit maupun genangan air tadi. Kebersihan adalah salah satu prioritas. Tidak ada ilmu barokah di tempat yang bersampah. Begitu Dawuh Kiai Sepuh.

Berbicara tentang kebersihan. Beberapa bulan terakhir fenomena bersih-bersih sedang ramai diperbincangkan. Bukan kotor yang sesuai makna, tapi kotor yang dalam tanda kutip 'Sosial'. Masa-masa dimana julukan 'Sampah Masyarakat' masih terasa kejam. Tidak dalam peradaban modern dimana julukan tersebut jadi sebuah kebanggaan. 

Ini tentang sebuah tempat sampah raksasa di pedalaman Hutan Tambalur. Namanya Lawang Jerit. Sudah ada sejak dulu kala, tapi baru populer setelah sampah menumpuk dan baunya menyengat ke permukaan. Sebelumnya, setiap kali menyebut tentang Lawang Jerit, orang-orang selalu mendahuluinya dengan kata 'Konon', tapi belakangan ini semua jadi fakta. Kebiasaan buruk yang tidak segera diobati, akhirnya mendarah daging dan sulit dihilangkan.

Lawang Jerit menjadi penjara alami. Kecuali di sana tidak ada bebas, dan tidak ada belas. Dosa besar atau kecil, Lawang Jerit jawabannya. Ntah pidana atau belum masuk kategori, Lawang Jerit jawabannya.

Kabar tersebut akhirnya terdengar oleh seorang Kiai karismatik pengasuh Pondok Pesantren Sokogede. Orang-orang memanggilnya 'Kiai Sepuh'. Sokogede adalah jantungnya kecamatan Banyusirih. Mengawasi bilik kiri, serambi kiri, bilik kanan, serambi kanan, menampung darah kotor dan memompa darah bersih. Sepenting itulah peran pesantren Kiai Sepuh ini. 

Di suatu hari yang biasa saja. Jalu sedang menginterogasi seorang santri yang tertangkap basah merokok di belakang madrasah. Bukti yang jalu temukan hanya berubah kulit jagung hangus, tapi dari kelobot itu dia bisa tahu siapa pelakunya. Jelas, semua akan mengaku kalau kakinya direndam ke air panas.

"Ampun, Kang. Saya yang merokok. Saya, kang. Ampun." Teriak si tersangka.

"Bagus. Sekarang, kemana sisa rokoknya?" tanya Jalu.

"Ini, Kang. Di dalam celana!"

"Kamu kan pakai sarung?"

"Celana dalam, Kang!" jawab santri itu malu-malu.

Apa boleh buat, Jalu sedang ingin merokok. Dia merogoh bagian yang disebutkan barusan, lalu menemukan sebungkus rokok kelobot yang masih sisa empat. Tangan Jalu bergidik jijik saat tanpa sengaja ada beberapa helai bulu jagung yang ikut. Bulu jagung. Ya, bulu jagung.

Melihat kejadian itu, serempak para santri yang sebelumnya menonton, langsung menyerahkan semua rokok kelobotnya. Unik. Mereka menyimpannya di tempat yang sama. 

"Sudah tahu dilarang merokok, masih saja ngeyel. Gila. Ini rokok bisa bau anu, atau anu kalian yang bisa bau tembakau. Sudah sana bubar!" usir Jalu dengan tandas.

Tetiba seorang petugas kebersihan mendatangi pria botak berkulit hitam yang wajahnya penuh luka itu.

"Kang Jalu, jenengan di-dikani Kiai Sepuh." bisik petugas kebersihan itu.

"Waduh. Ada apa, ya?"

Jalu menumpuk rokok-rokok rampasannya, memasukkannya dalam gulungan sarung.

"Ndak tahu. Beliau ada di pendopo, bersama Ustaz Umar dan Kang Maksum. Katanya, ini penting sekali."

"Ya sudah. Kamu mau rokok?" Jalu menawarkan, padahal petugas kebersihan itu juga masih santri.

"Eh, boleh, Kang."

"Bagus. Kamu nggak boleh kasih tahu orang lain apa yang kamu lihat barusan, mengerti?"

"Siap, Kang!"

***

Sesuai yang dikatakan petugas barusan, di pendopo sudah ada Maksum dan Umar. Keduanya adalah kepala keamanan pesantren Sokogede yang sejak awal sudah mengabdi. Mereka kembar. Jauh-jauh dari Pamekasan untuk mondok di Sokogede, dan mengabdikan diri sebagai kepala keamanan, sekaligus pengawal Kiai Sepuh.

"Orang gila--," kata Umar.

"Sudah datang." sambung Maksum.

Perbedaan keduanya adalah, Umar gundul dan berjenggot panjang, sementara Maksum gondrong dan bersih dari bulu wajah. Belum jelas siapa yang kakak, dan siapa yang adik. Keduanya saling memanggil 'Kang'.

"Saya benci kalian!" Tegas Jalu.

"Kami--"

"Juga."

Balas Umar dan Maksum saling menyambung.

Mereka bertiga duduk bersila di pendopo. Karena hujan membasahi sebagian lantai pinggir pendopo, mereka terpaksa duduk di tengah dan saling berdekatan. Kiai Sepuh belum keluar dari Ndalem. Jalu, Umar, dan Maksum menunggu cukup lama, sampai akhirnya Ilyas dan Fatah yang keluar.

"Kiai mana, Ra?" tanya Jalu.

"Abah mendadak pergi ke kota. Ada acara selametan. Saya yang akan memimpin pertemuan ini."

Para tamu mengangguk. 

"Cuma--"

"--Bertiga, Ra?"

"Ya, ini masih sangat rahasia. Jadi selain saya dan Fatah, hanya kalian bertiga yang Abah percaya."

Lora Fatah tampak antusias dengan pertemuan ini. Dia mengenakan setelan baju silat serba hitam dengan sisa-sisa lumpur di ujung celana dan sikunya. 

"Jadi begini, Kang Umar, Kang Maksum, dan Kang Jalu. Pertemuan ini akan membahas tentang Lawang Jerit."

Sekarang tiga orang itu jadi tahu seserius apa pertemuan tersebut. Lawang Jerit sedang jadi topik panas di musim hujan yang dingin ini, dan belum sekalipun pihak pesantren membahasnya secara serius. Mungkin konflik yang ada sudah terlalu parah, atau para tokoh agama sudah gerah. Lantas apa yang bisa ketiganya lakukan, sehingga harus dipanggil secara khusus begini?

"Saya tidak usah menjelaskan lagi tentang apa dan kenapa tempat itu harus kita waspadai. Saya hanya akan menyampaikan sebuah gagasan yang sudah dirapatkan oleh saya, Fatah, dan tentu saja Kiai."

Lora Fatah mengangguk mantap.

"Jadi, pesantren akan mengutus kalian semua untuk turun ke Lawang Jerit."

Kendati mereka berani mati, tapi untuk gagasan kali ini mendadak Jalu, Umar dan Maksum merasa belum siap. Mereka hanya terlalu tinggi untuk merendah dan berkata, maaf, itu sama saja dengan bunuh diri.

"Bertiga?" tanya Jalu.

"Tidak. Tentu saja tidak. Kalian tidak hanya akan diturunkan, tapi juga ada tugas penting yang harus dilakukan."

"Penting sekali!" sambung Lora Fatah. Masih dengan wajah antusiasnya.

"Jadi, selain kami... apakah Tolak dan kawan-kawannya akan dilibatkan?" tanya Jalu, berharap jawabannya adalah tidak.

Kiai Ilyas geleng kepala. "Sebisa mungkin untuk tidak bocor ke mereka."

"Terus--"

"Siapa?"

Umar dan Maksum mengangkat kedua pundak sambil saling pandang.

Lora Ilyas mengeluarkan selembar kertas, kemudian meletakkannya di hadapan Jalu, Umar dan Maksum. Membuat ketiganya semakin merapat dan kepalanya hampir berbenturan. Pendopo jadi sepi. Mereka sedang mengamati nama-nama yang tertulis di kertas sambil berdecak heran, dan tak henti-hetinya berkata "Apa?" "Kenapa dia?" Ndak ada orang lagi?"

"Ini daftar terburuk kedua yang saya lihat setelah daftar menu di warung pesantren. Kalau diibaratkan lauk, ini daftar isinya kerupuk semua. Kerupuk yang sudah alot." Jalu menganalogikan.

"Yang ada di pikiranmu--"

"Cuma isi perut--"

"Pantas saja kepalamu--"

"Kosong!"

Lagi-lagi Umar dan Maksum meledek. 

"Otak kalian yang setengah-setengah! Lihat saja dari cara ngomongnya!" Jalu sebal.

Jalu benar. Memang Kiai Sepuh terkenal sebagai pribadi yang mudah berbaur dengan segala golongan, termasuk golongan yang tersudut di masyarakat. Perampok, preman, pembunuh, segala macam pendosa datang mencuci diri. Kiai tidak melebur dosa, Beliau mengarahkan. Santrinya bukan hanya mereka yang bersarung dan mengenyam pendidikan di madrasah, tapi juga mereka yang menjaga sudut-sudut desa. Menebus kekacauan yang pernah tercipta, dengan garangnya menjaga. Membentengi Banyusirih dari usik dan intrik.  Mereka tersebar luas di masyarakat. Mencoba memperbaiki diri sebelum memperbaiki orang lain.

Ingin rasanya mereka bertanya 'kenapa harus orang-orang ini?' tapi itu akan terdengar seperti meragukan keputusan Kiai sepuh. Seorang pendekar sakti yang Belanda saja takut mendengar namanya. 

"Jadi, empat orang ini yang akan ikut kita ke Lawang Jerit? Kapan mereka datang, Ra?" tanya Jalu.

"Mereka tidak akan datang kalau tidak kita jemput," sahut Lora Fatah.

"Jadi kita harus--"

"Mendatangi keempat orang ini--"

"--Satu persatu?"

"Ya. Sekarang biar saya beri gambaran sedikit tentang saudara-saudara kita ini, agar kalian tidak terlalu kaget." tutur Lora Ilyas.

"Kaget?" Jalu mengernyit.

"Duh, bagaimana, ya... mereka ini sedikit nyentrik, tapi bisa diandalkan. Lagipula, kita tidak punya banyak waktu. Rencana ini harus segera dilaksanakan, sebelum Lawang Jerit jadi kawasan siaga, dan pastinya dijaga ketat."

Jalu, Umar dan Maksum mengangguk. "Siap!" seru mereka.

TUJUAN PERTAMA, HUTAN RANDAWASA.

Esok harinya. Jalu, Umar dan Maksum sudah sampai di kaki Gunung Cermi, di sebuah desa terpencil, di pinggiran hutan. Ada sekitar puluhan kepala keluarga di sana. Rumah-rumah mereka tidak jauh beda dengan gambaran pedesaan di Sumbergede. Kayu, bambu, jerami, genting tanah liat, semua sama saja. Bau-bauan angin yang berembus di kayu-kayu basah juga sangat familiar di hidung Umar.

Setelah bertanya pada penduduk sekitar tentang orang yang dimaksud, mereka bertiga diantar ke sebuah gubuk kecil berlapis kain-kain merah. Mungkin pemiliknya ingin memberi kesan indah, tapi di mata Jalu dan kawan-kawan malah seperti kandang orang gila. 

Di samping rumah itu, tampak seorang pria sedang berdiri telanjang dada di depan sebuah kuburan. Dia menutup wajah. Berdoa. Berduka. Mendadak Jalu dan yang lain merasa tidak enak. Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk bicara. Namun amanah tetaplah amanah. Jalu berdiri di belakang pria itu, disusul Umar dan Maksum yang lalu ikut berdoa. 

"Kalian siapa?" tanya pria berambut keriting dengan ikat kepala loreng macan di dahinya. Lalu, bekas luka cakaran di pipi, pelipis, leher, bahkan dada dan punggungnya juga punya bekas yang seolah satu pola. Hidung orang itu mancung, alisnya tebal. Cukup sekali melihat, semua tahu bahwa pria itu punya darah campuran.

"Gus Ahmad Farouk?" Jalu memastikan.

Orang itu seperti tidak senang dengan kehadiran ketiga tamunya. "Panggil Gusafar saja," katanya sambil berlalu. Dia duduk di bangku bambu di depan gubuknya.

"Maaf kalau kedatangan kami kurang tepat. Kalau boleh tahu, siapa yang meninggal?" tanya Jalu.

"Monyet saya," jawab Gusafar, sekaligus menghentikan bacaan Yasin Umar dan Maksum yang sudah memasuki ayat ke empat belas.

"Benar-benar--"

"--Monyet!"

Gerutu si kembar

AHMAD FAROUK A.K.A GUSAFAR

"Kedua orang tuanya  adalah saudagar rempah-rempah yang berkeliling pulau jawa dan sempat singgah di pesantren ini dulu; saat pesantren masih berpagar hutan. Saat itu Gusafar masih kecil, tapi ada satu hal yang menarik dari anak gesit tersebut. Sebuas apapun serigala, anjing, bahkan macan sekalipun, semua jadi jinak hanya dengan sekali gertakan."

"Sakti--"

"--Mandraguna."

"Ya, kemampuan itu akan sangat kita butuhkan untuk ekspedisi ini." Lora Ilyas menambakan.

"Apakah ada jaminan Farouk ini akan patuh pada kiai?" Jalu menaruh ragu.

"Jangan khawatir. Kendati kedua orang tuanya sudah meninggal, Farouk dan golongannya adalah abdi setia pesantren ini. Semacam hutang budi pada Kiai Sepuh."

***

"Jadi, ada kepentingan apa hingga Sampean-Sampean ini jauh-jauh datang hanya untuk menemui saya? Sejujurnya, saya terbiasa melihat kekacauan, tapi tidak sebesar kemelut di wajah-wajah Sampean ini."

"Maksudnya?" Jalu tidak menangkap dengan baik omongan Gusafar yang berbelit-belit.

"Artinya wajah sampean berantakan. Saya sedikit takut."

Gila benar. Terbiasa bicara dengan hewan, orang ini jadi lupa caranya bicara sama manusia. Gerutu Jalu. "Kami mendapat amanah dari Kiai Sepuh, Sokogede. Kehadiran Sampean sangat diharapkan di sana."

"Untuk apa?"

"Untuk sebuah misi rahasia."

"Misi apa?"

"Sebuah ekepedisi ke tempat yang berbahaya."

"Katanya rahasia, kok saya dikasih tahu"

Sampai di sini kening Jalu mulai berurat. Sudah sepekan dia kalah sabung ayam berturut-turut, dan orang bernama Gusafar ini adalah faktor yang tepat untuk melampiaskan amarah. Jalu mengepalkan tangan. Menatap tajam-tajam orang bertelanjang dada yang sedang duduk bersila di bangku kayu. Satu hal yang bisa Jalu tangkap dari aura Gusafar yang menguar dengan kuat dan mengaktifkan sinyal awas pada Jalu, Umar dan Maksum. Buas. Benar-benar buas.

Bangku kayu terpental ke belakang karena dorongan kuat kaki gesit Gusafar yang sudah melompat rendah seperti macan hendak menerkam mangsanya. Terdengar suara berdebum, dan debu-debu menyamarkan sekilas pemandangan itu. Begitu debu menipis, keempat orang itu beku dalam situasi yang gawat.

Gusafar menahan kedua lengan Jalu yang terkapar di tanah, sementara Jalu menahan mulut Gusafar dengan sarung pisau. Gusafar mengigitnya seolah itu sebuah tulang lezat yang dilemparkan majikan. Di kedua sisi, Umar dan Maksum sudah mengarahkan celurit masing-masing, membuat silang peringatan di atas leherGusafar.

"Lepaskan--"

"--Atau kepalamu kami tebas"

Ancam si kembar.

Gusafar berhenti menggeram. Dia melepaskan gigitannya pada sarung pisau. Barulah Jalu merasa betapa kuat tenaga orang bernama Farouk itu. Tangan Jalu sampai hampir lemas menahan dorongannya.

Gusafar berdiri. Umar dan Maksum menyingkirkan celuritnya. Gusafar menepuk-nepuk celana, menerbangkan abu-abu yang menempel sambil tebatuk-batuk.

"Sampaikan sama kiai. Saya akan ke sana dua hari lagi." ucap Gusafar. 

"Baiklah. Kami akan menunggu." jawab Umar.

"Apa maksudnya tadi menyerang tiba-tiba, hah?" Jalu tidak terima. Dia mengisyaratkan terbukanya ronde kedua.

"Baumu seperti ayam, dan saya sedang lapar." Jawab Gusafar. "Saya bosan di sini. Jalan-jalan sedikit ke kabupaten sebelah, rasanya tidak terlalu buruk. Ah, akhirnya  saya bisa meninggalkan hutan," Ucap Gusafar penuh kelegaan. "Kalau boleh tahu, kemana kita akan pergi?"

"Ke hutan." jawab Maksum.


---

Semoga masih ada orang di sini. Dua minggu pertama saya habiskan untuk membaca ulang semua bab, sekadar ritual untuk masuk kembali ke banyusirih. Feel dan semangat yang sempat hilang harus segera kembali, dan satu chapter ini anggaplah sebagai pembuka. Ada empat chapter 0 untuk Karmapala. Ada banyak informasi dan masa lalu para tokoh di chapter 0 ini. Tapi seperti biasa, teman-teman bisa skip bagian ini untuk dibaca belakangan atau tidak sama sekali.

Selamat bergabung kembali. Terima kasih banyak untuk antusias teman-teman. :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top