⭐SEPULUH⭐

Tandai typo

Happy reading
.
.
.
.

🌟Samudra POV

Savita

Satu nama yang mampu membuatku teralihkan sejenak rasa sakit hatiku selama 3 tahun ditinggalkannya.

Dia memilih untuk melanjutkan sekolahnya demi menjadi dokter spesialis, daripada memilih untuk tetap disisiku.

Aku duduk di sofa memperhatikan Savita yang sedang ngobrol dengan Khiran-- adikku sendiri.

Puk

Tepukan di bahuku membuatku mengalihkan pandanganku pada Savita ke arah Xabiru sepupuku dari Melbourne.

"Falling in love with her?" Tanyanya. Aku mengangguk sebagai jawabannya.

"Ya. Aku jatuh cinta padanya"

Xabiru diam dan memandang Savita tanpa berkedip. Entah kenapa aku tidak rela melihatnya.

"I'm falling in love with her too"

Apa?

Xabiru berdiri dan menepuk pundak ku, memasukkan tangannya ke celana yang dia pakai.

"Untuk abang, aku akan mengalah. Jangan sakiti dia, atau aku yang akan maju membalasnya"

Lalu dia masuk ke kamarnya sendiri. Ku abaikan perkataan Xabiru, yang penting dia mengalah itu sudah cukup bagiku. Karena bagiku, Xabiru adalah saingan terberat ku, siapa wanita yang tidak akan jatuh cinta padanya. Lelaki sempurna untuk dijadikan pasangan.

Bahkan masih belum menyandang resmi gelar dokter pun, dia tidak perlu repot-repot mencari tempat koas nantinya. Karena Om Devon sudah menyiapkan rumah sakit yang ada di Melbourne atas namanya.

Sungguh sultan sekali hidupnya.

⭐⭐⭐

Aku berdiri di depan aula, melihat para koas yang baru. Ku lihat disana ada Khiran, Aliana dan Aliando. Dan satu lagi cowok yang ku kenal sebagai sahabat baik Savita.

Mereka resmi menjadi koas di stase bedah, ralat hanya Khiran dan Avi. Dan mereka bisa menjadi as-op siapa saja.

"Baik, mari kita uji pengetahuan kali tentang stase bedah, ikut saya ke ruang OK"

Ajakku pada keduanya. Avi yang kulihat hanya memasang wajah datarnya, mirip seperti Zaqi yang memang berwajah datar ala tentara.

Aku benar-benar sangat memuji kecekatan dan kepintaran otaknya mengikuti menjadi As-op. Avi sungguh berbeda dengan Khiran yang tidak tega melihat langsung bagaimana pasien di bedah.

"Kamu bagus, saya suka kinerja kamu"

"Terimakasih dokter"

"Savita di rumah sakit mana?"

Dia memandangku sejenak sebelum dia menjawab pertanyaan ku yang sangat malas untuk dia jawab.

"RS AD"

Lalu dia pergi meninggalkan ku sendiri yang duduk bersama dengan Khiran.

"Aku suka dia bang"

Aku menoleh menatap Khiran yang baru saja berbicara, dia mengakui perasaannya kalau dia suka Avi. Tapi rasanya aku sangsi melihat Avi yang cuek jika bersama yang lain, tapi bersahabat jika bersama Savita dan seolah hanya dia yang boleh memiliki Savita.

Aku melihat Savita di ruang tunggu dokter bedah. Ku hampiri dia dan duduk di sampingnya.

"Haiy"

"Haiy dokter"

"Vita, saya suka kamu"

Tak ada jawaban apapun dari Savita. Dia hanya diam dan memandang lurus ke depan.

"Beri saya waktu"

⭐⭐⭐

Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit, membawa beberapa rekam medis yang harus aku konsultasikan dengan dokter Gio.

"Masuk"

Aku melangkah masuk dan terhenti saat melihat seseorang yang membuatku merasakan luka yang kembali menganga.

Dia Shanaz, cinta pertamaku yang dengan sengaja meninggalkan ku untuk meraih mimpinya sebagai dokter.

"Ada apa dokter?"

"Saya mau konsultasi, tapi sepertinya dokter sedang sibuk"

"Oh dia anak saya. Kamu tunggu saja di depan"

"Iya Pa"

Jadi dia anak dokter Gio. Astaga Tuhan. Aku tidak pernah mengenal keluarganya selama menjalin hubungan dengannya.

Setelah puas aku berkonsultasi, aku keluar ruangan dan melihat Shanaz masih ada di sana menungguku. Shanaz memelukku tiba-tiba.

"Maaf, aku kangen kamu"

Aku hanya diam mencernanya, hatiku menghangat kembali saat Shanaz memelukku seperti ini.

"Kalau tawaran mu masih berlaku, aku akan kembali ke sisimu"

"Jangan pernah pergi lagi"

Shanaz mengangguk dan kembali memelukku. Ku bisa melihat Savita datang dengan wajah yang tak bisa ku pahami.

"Permisi, apa--"

"Savita"

"Lho kak Shanaz, apa kabar? Kemana aja kakak"

"Hahaha, kamu mau ketemu siapa?"

"Ketemu Avi, ingat gak sama Avi?" Shanaz mengangguk. "Duluan ya Kak, aku ada janji sama Avi dan Bunda. Bye kak"

"Bye, kapan-kapan kita ngobrol ya"

"Permisi dokter"

Savita melewatiku begitu saja, tanpa menoleh atau mengucapkan kata apapun.

⭐⭐⭐

Ku buka pintu rumah kontrakan ku, dan bogeman mentah melayang di pipiku, membuatku limbung ke belakang.

"Biru, Vier, Sam. Duduk kalian"

Suara Ayah ku menginterupsi kami bertiga untuk duduk di sofa ruang tamu.

"Jelaskan"

"Maaf ayah, tapi Biru gak suka kalau Abang bertindak sesuka hati abang. Memberi harapan palsu pada satu gadis, tapi nyatanya abang kembali dengan cinta pertamanya"

Benar.

"Abang tuh kalau emang gak ada niatan serius sama Savita ya jangan deketin dia. Aku yang deketin dia aja abang marah. Plin-plan banget sih jadi laki. Jangan jadi brengsek bang"

Maafkan aku Savita.

Aku menyambar kunci mobil ku untuk segera keluar mencari keberadaan Savita di rumah sakit tempat dia koas untuk meminta maaf.

Ku lihat dia sedang duduk di parkiran, aku segera menemuinya, tapi Savita segera berlari, ku kejar dia sampai berhenti tepat di sebuah mobil suv warna hitam.

"Vita, saya minta maaf"

"Sorry dokter, kita gak pernah ada hubungan apapun"

Ku lihat Zaqi keluar dari mobilnya, dia mendorong ku penuh amarah.

"Jangan pernah bicara ataupun dekat dengan adek gue"

Mampus, aku sudah memercik api dengan sahabat ku sendiri.

⭐⭐⭐

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top