CHAPTER 8
Eira terbangun karena suara di kepalanya yang medesak tanpa jeda. Saat matanya terbuka, yang dia dapati adalah dinding bebatuan dengan jeruji besi sebagai pintunya sedangkan suara yang membangunkannya berangsur-angsur menghilang. Sudah pasti dia tidak berada di rumahnya, walaupun gubuk itu tidak lebih baik dari tempatnya berada sekarang. Suara yang tadi membangungkannya juga sudah pasti bukan Nimue, karena dia hanya mendapati dirinya dalam ruangan.
Dengan sedikit dorongan penasaran dan lebih mementingkan keberadaannya sekarang, Eira menyingkirkan rasa sakit dan pusing yang menjalari dirinya. Di balik jeruji besi, yang dia dapatkan hanyalah jeruji-jeruji besi lainnya yang membentang sepanjang ribuan meter tidak berujung, sisi depannya dipisahkan dengan jurang gelap ke bawah. Jika dia simpulkan, Eira berada di dalam penjara bawah tanah dwarf yang berada di bawah gunung.
"Sial!" makinya.
"Eira? Kau sudah sadar?" suara seseorang dari sebelahnya yang sudah tidak asing belakang ini.
"Ini semua idemu, Nimue! Aku dikutuk dan berakhir dalam penjara dwarf!"
Nimue terdiam, seolah menyesali rencananya dan merasa bersalah. "Maafkan aku, tapi tanpa cincin itu kita tidak akan menemukan pedangnya," ujarnya begitu lemah.
"Kita akan membusuk di sini bahkan sebelum mendapatkan pedang itu!" maki Eira lagi. Dia mulai duduk karena tubuhnya masih butuh istirahat akibat perkelahiannya dengan para penjaga. Saat mengingat Jendral Kilorn yang Eira lihat terakhir kali sebelum dia tidak sadarkan diri, membuatnya ingin memberikan bekas luka lagi di wajah lelaki dwarf itu.
Nero yang tidak kunjung datang juga menambah kekesalannya. Jika saja hewan itu muncul, mereka bisa saja lolos. Sekarang, yang bisa dia lakukan hanyalah menunggu keajaiban datang bersamanya, namun sangat mustahil saat dirinya bahkan tengah dikutuk bersama cincin yang tidak mau terlepas dari jarinya.
Tidak ada cahaya yang masuk sedikit pun dari tempat itu, membuat Eira kesusahan untuk menerka waktu yang telah dia habiskan dalam penjara ini, walaupun rasanya tidak lebih dari satu hari. Sambil bersandar di dinding batu, Eira duduk mengamati cincin yang menghiasi jarinya. Lagi-lagi, dia berusaha untuk melepaskannya, yang malah berakhir mendapatkan balasan sengatan hebat dari cincin itu yang kemudian menjalar ke lengan, seolah mengalir bagaikan darah, sengatan itu terus menjalar melalui leher, mencapai wajah dan berakhir pada matanya.
Terkejut, Eira menyudutkan tubuhnya ke dinding, dan tiba-tiba rasa sakitnya semakin menjadi-jadi. Kali ini, matanya seolah mati rasa dan menggelap, dia berteriak karena tidak tahan. Nimue yang berada di balik dinding sebelahnya mulai khawatir apa yang tengah terjadi pada Eira. Dia mencapai jeruji besi untuk melihat jeruji di sebelahnya, tapi tidak bisa terlihat karena jauh dari jangauan penglihatan.
"Eira? Apa yang terjadi?" desak Nimue, menantikan jawaban. Namun yang dia dapatkan hanyalah Eira yang berteriak kesakitan, seolah tengah ada yang menyakitinya.
Eira yang berteriak membuat kebisingan satu penjara. Para tahanan lainnya mulai ribut karena ingin tahu apa yang tengah terjadi. Sedangkan Eira tiba-tiba mendapatkan penglihatan, sebuah gunung, gelap, sebuah kastel terbengkalai, lahar, pedang, tumpukan emas, kemudian muncul seekor naga.
Sesaat kemudian, penglihatan itu menghilang, mengebalikan Eira pada jeruji besi di depannya. Rasa sakit masih menjalari matanya, sedangkan Nimue mendesakknya untuk mengatakan apa yang terjadi.
"Eira? Kau baik-baik saja?" Nimue masih berusaha menjangkau Eira.
Menarik napas, Eira masih berusaha mencapai kesadaran penuhnya. "Aku melihatnya," gumamnya.
"Kau melihat apa?" tanya Nimue penasaran.
"Pedang Gram, hartanya, dan naga."
Keheningan sesaat, antara Nimue tidak bisa membalas apa dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Namun tidak dengan Eira, setelah mendapatkan penglihatan itu, dia merasakan sedikit harapan untuknya, sedikit tujuan, dan besarnya rasa penasaran.
"Kita harus keluar dari sini!" Eira mencapai jeruji besi untuk melihat Nimue di sebelahnya.
"Maafkan aku." Hanya itu kalimat yang bisa dia katakan saat ini.
"Aku bersungguh-sungguh, kita harus keluar dari sini." Eira kemudian mengamati sekitar, berusaha mencari ide untuk bisa keluar dari penjara dwarf.
Suara desingan pintu besi terbuka, menggema dalam tempat berdinding bebatuan, membuat Eira bersiaga. Bertanya-tanya siapa yang datang, Eira berharap itu bukan jendral Kilorn yang dengan senang hati akan mengejeknya setelah perkelahiannya.
Butuh beberapa menit untuk seseorang itu sampai di depan jeruji besi Eira. Mata cokelat terangnya menyala dalam remang-remang cahaya, sedangkan suaranya menenangkan dhampir itu. "Eira," ujarnya.
Eira tidak pernah sesenang ini melihat seseorang. Dia bahkan tidak ingat pernah merasakan perasaan itu. "Castro," balasnya.
"Aku akan mengeluarkanmu, kita akan pergi tengah malam," katanya dengan berbisik. Wajahnya yang terlihat khawatir membuat Eira bertanya-tanya.
"Ada apa?" tanyanya.
Castro tidak yakin ingin menjawabnya. Namun tidak adil baginya jika Eira tidak mengetahui tentang keputusan 7 kerajaan pada dirinya. Ditatapnya mata Eira lekat-lekat. "Mereka menetapkan hukuman mati bagimu," katanya.
Nimue yang sejak tadi mendengarkan, kini mulai ikut dalam pembicaraan. "Tanpa masa percobaan?" tanyanya terkejut.
Eira yang justru seharusnya terkejut malah terkekeh.
"Mereka memutuskannya begitu saja, tanpa percobaan. Aku sudah berusaha untuk menentang mereka, begitu juga Raja Elias, namun kami kalah jumlah dan aku juga belum mendapatkan suara." Castro menjelaskan.
"Kami hanya mencuri bukan membunuh," bantah Nimue.
"Kalian mencuri harta kerajaan," tambah Castro. "Tidak ada yang pernah melakukan hal itu sebelumnya."
"Bukan hanya itu saja, mereka memang menantikan saat-saat ini," gumam Eira yang kini bersandar pada dinding yang memisahkan dirinya dengan Nimue.
Castro yang masih memandanginya lekat, terlihat berempati. "Aku berjanji akan mengeluarkanmu, tengah malam ini kita akan pergi."
Nimue yang hanya bisa melihat ekspresi Castro dari balik jeruji besi sangat yakin bahwa Dwarf itu menyukai Eira. Untuk menangi situasi yang agak sedikit canggung, Nimue berdeham. Membuat Castro tersadar bahwa dia harus pergi untuk memastikan rencana pelariannya berjalan lancar.
"Aku pergi, sampai jumpa tengah malam," ujarnya dan pergi meninggalkan mereka berdua dalam kesunyian penjara yang begitu membabi buta.
Selagi menunggu tengah malam, Eira mulai memikirkan Elias yang ternyata peduli padanya. Eira tahu bahwa Elias bukan seseorang yang suka melanggar peraturan, karena itu tidak mungkin baginya ikut campur dalam upaya pelarian dirinya. Namun tetap saja, Elias tidak akan diam saja melihat Eira mendapatkan hukuman mati.
Nimue yang berada di sel sebelah mulai bertanya-tanya mengenai tidak terkejutnya Eira dengan hukuman mati yang baru saja diputuskan untuk dirinya. "Kenapa?" tanyanya.
Eira yang tidak mengerti lantas bertanya balik. "Apanya yang kenapa?"
"Kenapa kau malah terkekeh saat mendengar dirimu dijatuhkan hukuman mati?"
Tidak seperti Eira yang tinggal sebatang kara, Nimue tidak mengerti seperti apa perjuangan hidup yang harus dia lakukan demi mendapatkan haknya sendirian. "Bukankah kematian hanya kefanaan belaka? Kematian hanya bagian kecil dari hidup yang kita habiskan. Kenapa harus takut kalau pada akhirnya kematian adalah ujung dari semua kefanaan."
Nimue hanya bisa tertegun mendengar perkataan Eira yang terdengar begitu puitis, namun benar adanya. Walaupun dia selalu bertanya-tanya apa yang akan terjadi dengan orang-orang yang ditinggalkan jika dirinya telah mati. Selama ini, hal itu yang terus menghantui Nimue mengenai kematian. Dia takut menghancurkan perasaan ibu, ayah, dan adik-adiknya saat dia pergi. Sama halnya saat dia pergi untuk menemui Eira ketimbang menetap di Aeri.
Bagi Nimue, selalu ada penyesalan dalam setiap pilihan, namun tidak ada jalan kembali untuk menyerah. Lagipula, walaupun dia mati dalam perjalan ini, setidaknya dia melakukan hal yang benar dan mengikuti kemauannya untuk satu kali ini. Sedangkan untuk Eira sendiri, Nimue tahu perkataan dhampir itu terdengar begitu dalam. Seolah Eira mengatakan apa yang bisa aku pertaruhkan lagi jika hanya ada diriku sendiri yang kumiliki.
"Eira?" ujar Nimue.
Eira bergumam untuk membalasnya.
"Aku ada untukmu jika kau ingin tahu, walaupun kita baru bertemu, kau adalah saudaraku. Aku tahu itu terdengar sangat berlebihan, tapi percayalah, aku akan mempertaruhkan nyaku untukmu." Sebuah janji yang tidak seharusnya Nimue lontarkan pada seorang dhampir yang hidup dalam kesendirian.
"Jangan menjanjikan apa-apa padaku. Hidupmu dan kebebasanmu adalah milikmu. Kau boleh mempertaruhkan sesuatu untuk dirimu, tapi jangan untukku atau orang lain, karena belum tentu mereka mau mempertaruhkan sesuatu untukmu," kata-kata itu yang justru keluar dari mulut Eira.
Nimue menunduk, bukan karena dia kecewa atau pun menyesal karena telah mengatakan hal semacam itu, melainkan iba pada Eira. Jika saja dia bertemu Eira jauh sebelum hal ini terjadi, mungkin dia tidak akan berpikir seperti itu sekarang. Namun, itu sama sekali tidak mengecilkan hati Nimue atau bahkan merasa tersindir, semua perkara ini hanyalah masalah waktu dan cepat atau lambat, Eira akan megetahui betapa pentingnya Nimue baginya.
***
Tengah malam datang lebih cepat dari dugaan Castro, dia telah menyibukkan dirinya empat jam belakangan ini di kamar sembari membaca buku. Sebelum itu juga, dia sudah menyiapkan segala keperluannya untuk kabur bersama Eira dan Nimue. Dia bahkan telah memasukkan satu gelas penuh bubuk obat tidur ke dalam galon bir untuk penjaga yang dia racik sendiri dengan bantuan tabib kerajaan, yang sudah dia bayar dengan lima keping koin emas Dwarf tentunya. Sekarang yang dia butuhkan hanyalah mengeluarkan Eira dan Nimue.
Dibukanya pintu kayu kamar perlahan agar tidak menimbulkan bunyi, sambil menyembulkan kepala keluar, Castro memeriksa keadaan sekitar. Setelah merasa yakin bahwa keadaan telah aman, dia mulai keluar untuk menjemput Eira dan Nimue. Sepanjang lorong, dia tidak melihat penjaga di mana-mana, sampai dia berada di depan pintu penjara, dua orang penjaga tengah tertidur sambil terduduk.
"Obat tidurnya benar-benar bekerja dengan baik," ujar Castro yang perlahan-lahan melewati kedua penjaga itu agar tidak terbangun dan mengambil kunci yang mengantung di salah satu penjaga dengan sangat hati-hati.
Dia kemudian berlari sepanjang menuruni tangga hingga ke sel kedua krimal itu. "Eira, Nimue, ayo, kita harus segera pergi." Castro mulai memasukkan kunci ke dalam lubang satu-persatu.
"Kau yakin kita tidak akan tertangkap?" tanya Nimue.
"Ya, aku sudah memasukkan bubuk tidur ke dalam galon bir penjaga, mungkin setengah dari mereka sedang tertidur sekarang, dan itu cukup untuk kita segera pergi dari sini." Castro yang masih mencari kunci yang cocok untuk sel Eira mulai kesal.
"Tidak ada waktu untuk mencoba kuncinya satu-satu, cari sesuatu untuk membuka selnya," ujar Eira yang mulai tidak sabar.
Castro kemudian memberikan kunci pada Eira sedangkan dia mencari sesuatu untuk merusak pintu sel. Ide yang terlitas dari pikirannya yaitu mengambil kapak dari penjaga yang tertidur di pintu depan. Sambil berlari dia cepat-cepat mengambil kapak dari sisi si penjaga dengan hati-hati, kemudian kembali pada Eira dan Nimue yang masih belum berhasil menemukan kunci yang cocok.
"Mundur sedikit," pinta Castro sebelum dia merusak pintunya dengan kapak. Tentunya, kapak buatan para dwarf adalah yang terbaik, baja sekeras apapun bisa ditembus olehnya.
Setelah berhasil mengeluarkan Eira dan Nimue, Castro memimpin jalan menelusuri penjara bawah tanah yang lembab dan berbau pengap itu. Tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara sepanjang perjalanan melewati lorong sempit penjara. Hingga mereka sampai pada sebuah kolam air di dalam gua. Airnya cukup jernih jika dilihat-lihat, mungkin bisa mencapai kedalaman lima meter dari gelapnya pantulan air.
"Ini jalan keluar kita?" Nimue mulai bertanya.
"Ya, kolam ini terhubung dengan danau di luar kerajaan. Aku sudah menyiapkan kuda dan perbekalan di sana, pedang dan barang-barangmu juga." Castro kemudian melirik ke arah kolam, seolah takut pada kedalaman yang bisa menenggelamkannya.
Eira yang melihat ekspresi Castro mulai curiga. "Kau tidak bisa berenang?" Tangannya bertolak pinggang.
Castro mengegleng. "Bukan itu, aku takut kedalaman," katanya membenarkan.
Bunyi genderang dan terompet di udara membuat ketiga orang itu membelalakan mata secara bersamaan. Castro yang merasa sudah melakukan semua perencanaan dengan matang adalah yang paling terkejut. Sedangkan Eira sendiri sudah tidak asing dengan semua perhitungan matang yang kemungkinannya sangat kecil, walaupun begitu, mereka masih bisa terbebas dari penjara walau para prajurit akan mengejar mereka nantinya.
"Oke, aku duluan." Nimue seketika menyelam ke dalam. Hingga tidak nampak lagi di permukaan.
"Kau duluan, aku akan menyusul di belakangmu." Castro yang masih terlihat tidak yakin untuk manyelam mulai mundar-mandir untuk menenangkan diri sebelum dia menyusul Eira.
Eira sendiri sebenarnya tidak yakin untuk membawa Castro, alasannya tentu karena dia yang seorang pangeran dan sangat berisiko untuk membawanya dalam perjalanan yang akan lebih banyak membawa kesialan daripada keberhasilan. Terutama saat Eira tengah dikutuk oleh cincin yang dia curi. Selain itu, Eira mempertimbangkan Castro yang belum berpengalaman, dia mungkin seorang pangeran yang terlatih, tapi dunia luar tidak seperti yang kerajaan ajarkan, lebih buas dan brutal.
"Castro, maafkanaku," kata Eira yang memposisikan tubuhnya untuk siap melayangkan tinju. Dan dalam sepersekian detik, Castro terjatuh tidak sadarkan diri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top