CHAPTER 5

Setelah pertukarannya yang tidak menguntungkan dengan para siren, Eira kembali ke rumahnya yang berada di Arlon. Dia merasakan perbedaan yang begitu kentara setelah memori indahnya diambil. Seperti kehampaan dan kesendirian yang begitu menusuk perasaannya, membuat Eira gelisah setiap kali dia mengingatnya.

Jauh-jauh dia buang perasaan itu, dia tidak ingin berakhir seperti para vampir yang dingin dan tidak berperasaan. Jika boleh memilih, Eira lebih senang menjadi seorang manusia dan hidup singkat, ketimbang menjadi vampir dan hidup panjang dengan kehampaan. Takdir memang kadang tidak adil, namun tidak ada yang bisa dilakukan selain melanjutkan hidup.

Lelah dengan perjalan yang memakan waktu hampir empat hari—mulai dari Troan, kembali ke rumahnya di Arlon, dan mencari Excalibur di Morlon, hingga ke danau mortal, Eira butuh istirahat yang sempat tertunda karena kemunculan Excalibur yang menggemparkan. Begitu pun Nero yang terbang semalaman tanpa henti, hewan itu juga butuh istrirahat seperti dirinya. Bahkan rasa lapar dan haus tersingkirkan oleh rasa lelah yang mendominasi.

Dengan matanya yang hampir tertutup, Eira berusaha menyeret tubuhnya menuju tempat tidur. Bukan sesuatu yang empuk, jika dibandingkan dengan sofa kerajaan, namun cukup bagi Eira memejamkan mata hingga terlelap. Setidaknya lebih baik daripada tidur di rumput yang menusuk-nusuk seperti kemarin malam, ditambah dengan kejadian tidak terduga saat Elias menyerangnya. Yang dia butuhkan saat ini adalah berbaring dan terlelap, setidaknya untuk beberapa menit.

Ketukan di pintu menggangu ketenangannya yang baru saja berbaring melepas kelelahan. Namun, kesabaran sang tamu yang entah siapa, membuat Eira bangkit dari tempat tidurnya, berjalan lunglai menuju pintu. Gedoran di pintu depannya bukan main, seperti seseorang yang sedang dikejar sebagai buronan. Siapa lagi yang berlari ke arah hutan dan berani mengetok pintunya jika bukan untuk bersembunyi.

Dibukanya pintu hingga setengah, hanya untuk melihat siapa yang menggedor rumahnya dengan tergesa-gesa. Seorang perempuan berambut ikal panjang, berkulit gelap, dengan warna mata biru mencolok, sedangkan jubah panjang dan tudung menghiasi dirinya. "Kita perlu bicara," katanya, mendorong pintu untuk lebih terbuka dan masuk tanpa diundang.

"Hey, hey! Aku tidak mengenalmu dan aku tidak menerima tamu sekarang, aku butuh istirahat." Eira yang tidak mau diganggu menarik lengan perempuan itu menuju pintu.

"Kau mungkin tidak butuh istirahat jika mendengar apa yang aku katakan," katanya, sambil menarik lengannya dari Eira.

"Yang aku butuhkan sekarang adalah tidur, setidaknya untuk beberapa jam," ketusnya.

"Aku tahu bagaimana caranya untuk membunuh para iblis." Perempuan itu kini menatap Eira serius.

"Ya, aku juga sudah tahu itu, hanya pedang Excalibur yang bisa dan sangat mustahil siapa pun bisa menariknya dari batu," sergahnya.

Perempuan itu terdiam sesaat, membuat Eira menoleh padanya. Mata birunya yang terang melirik si dhampir dengan seksama, seolah sedang menilainnya. "Aku tidak membicarakan mengenai Excalibur."

Kali ini, Eira yang dibuat bertanya-tanya mengenai siapa sebenarnya perempuan yang masuk ke rumahnya tanpa izin dan menggangu ketenangannya untuk bisa beristirahat. "Maksudmu?" tanyanya penasaran.

"Excalibur adalah pedang para malaikat, pedang itu diberikan untuk manusia agar mereka bisa melawan iblis saat perang dahulu. Sedangkan untuk kita, para makhluk supernatural, pedang itu tidak bisa kita gunakan karena malaikat tidak mempercayai kita pada awalnya, takut jika pedang itu ternodai karena beberapa dari kaum kita membelot dan menolak untuk bergabung dengan para malaikat. Namun, karena semakin banyaknya korban dan jumlah malaikat yang semakin berkurang, mereka memberkati sebuah pedang yang dipersembahkan untuk kaum kita."

Eira yang pada mulanya tidak tertarik dengan cerita perempuan asing itu, kini duduk untuk mendengar kisahnya yang begitu meyakinkan. "Lanjutkan," pintanya.

"Pedang Gram yang dibuat oleh Odin menjadi pedang yang terpilih. Pedang itu memiliki kekuatan yang sama dengan Excalibur."

"Lalu, di mana pedang itu? Aku bahkan tidak pernah mendengarnya," komentar Eira.

"Setelah perang, pedang itu hilang secara misterius. Dulu sebelum pedang itu terpilih, seseorang bernama Sigmund berhasil menarik pedang itu pada pohon Barnstokkr di mana Odin saat itu mengatakan siapa pun yang bisa menariknya dari pohon, akan mendapatkan pedang itu sebagai hadiah dan dia akan tahu bahwa tidak pernah dia membawa pedang yang lebih baik dari pedang itu." Perempuan itu kemudian membuka tudungnya dan mulai bercerita kembali.

"Sigurd anak dari Sigmund menggunakannya untuk membunuh naga Fafnir. Namun kabarnya, Sigurd tidak membunuh naga itu dan mencuri hartanya. Setelah perang, naga itu dipercaya menyembunyikan pedang Gram. Jika kau ingin mencari pedang itu, temukan naga Fafnir dan menukarnya dengan harta yang telah dicuri oleh Sigurd." Perempuan itu menyudahi ceritanya yang membuat Eira bahkan tidak percaya pada apa yang dia dengar, seolah terdengar seperti bualan yang meyakinkan.

"Biar aku simpulkan, jadi kita harus menemukan harta naga yang di curi Sigurd yang entah berada di mana, kemudian mengembalikannya pada naga Fafnir yang keberadaannya juga tidak diketahui, kemudian dia akan memberikan pedang yang memiliki kekuatan sama dengan Excalibur. Siapa kau sebenarnya?" tanya Eira mengakhiri kesimpulannya.

Perempuan itu kemudian melepaskan mantelnya, sebuah sayap yang tersembunyi di baliknya mengembang sesaat mantel itu terlepas, seolah tidak sabar untuk diperlihatkan. "Namaku Nimue, aku seorang Aziza, peri hutan yang membantu para pemburu," katanya memperkenalkan diri.

"Seorang Aziza? Menarik, peri jenismu jarang terlihat di daerah lain selain di Aeri." Eira kini dapat menyimpulkan bahwa Nimue adalah seseorang yang tidak menyukai keterkekangan.

"Ya, anggap saja aku mempertaruhkan segalanya untuk sampai ke sini." Nimue meletakkan tasnya di atas meja dan mengeluarkan semua isi perbekalannya untuk menuju ke sini. "Dengar, kita tidak punya waktu, jika ingin menemukan pedang itu, kita harus berangkat sekarang."

Usulan Nimue yang terdengar begitu menjanjikan untuk bisa menemukan pedang Gram membuat Eira bergidik. Dia tidak ingin terlibat dalam urusan mencari sesuatu yang bahkan tidak jelas keberadaannya. Dia tidak ingin bernasib sama dengan tawaran Siren yang begitu meyakinkan dan berakhir menyesal.

"Tidak, aku tidak bisa. Jika kau ingin mencari pedang itu, cari orang lain yang ingin ikut dalam misimu," tolak Eira.

Nimue yang masih sibuk dengan barang bawaannya kini berhenti dan menatap Eira dengan serius. "Kau pikir aku ke sini secara kebetulan?" ketusnya.

"Memangnya apa kalau begitu?"

Nimue memutar bola matanya. "Aku mendapatkan mimpi aneh, kau, diriku, dan entah dua yang tidak aku kenali. Lalu aku melihat dirimu saat masih kecil, tinggal di Failos bersama seorang raja vampir."

Pada saat itu juga, Eira mengenali mimpi Nimue, yang bukan sekadar mimpi, melainkan memorinya yang hilang setelah diambil oleh para siren. "Itu bukan mimpi, itu memoriku," ujarnya.

"Ya, maksudku, apa kau tidak percaya pada mimpi yang benar-benar seperti nyata? Itu yang aku rasakan saat melihat dirimu."

Mengingat hal itu, Eira jadi teringat pada mimpi anehnya saat dia bermalam di hutan menuju Dark Alpen. Yang sejujurnya, dia yakin itu bukan mimpi, lebih seperti sesuatu yang menuntunnya kepada hal yang belum bisa dia simpulkan. "Tapi mimpimu memang kenyataan, itu memori yang diambil para siren dariku," jelasnya.

Nimue berhenti sesaat, sambil menatap Eira lekat-lekat. "Siren tidak akan mengambil memori tanpa sebab, menurutmu dari mana mereka mendapatkan nyanyian-nyaian itu? Itu adalah memori seseorang yang memiliki jalan takdir yang besar. Yang menjadi pertanyaan, mengapa dia memberikannya padaku?"

Eira menggeleng, sama-sama tidak mengerti mengapa para Siren memberikannya pada Nimue. "Kenapa seorang Aziza?" tanyanya tiba-tiba.

"Kau tidak mengetahui apa-apa ya menegenai jenisku?" tanya Nimue balik yang dijawab dengan kerutan di dahi Eira. "Peri jenis kami dulunya adalah teman manusia bagi para pemburu. Saat umur kami cukup, kami dapat memilih seorang pemburu untuk menjadi pendamping."

"Seperti Fairy God Mother or Father?"

"Ya, namun ada beberapa peri yang telah ditakdirkan untuk bersama seorang pemburu tertentu sejak lahir dan hal itu sangat jarang sekali. Setelah kepunahan manusia, jenis kami tidak pernah memilih seorang pemburu lagi dan memutuskan untuk tidak pernah pergi dari Aeri untuk melestarikan hutan dan hewan-hewannya."

Keheningan menyelimuti secara tiba-tiba. "Dan pada saat memoriku muncul dalam mimpimu?" tanya Eira, berhasil memecahkan keheningan yang hampir berubah mencadi kecanggungan.

"Aku tahu saat itu, takdirku adalah untuk menemanimu. Orang tuaku bahkan melarangku untuk pergi, dia tidak percaya pada pemilihan takdir seperti dulu." Nimue menunduk, berusaha menyembunyikan ekspresi kesedihannya dari Eira.

Seumur hidupnya, Eira tidak pernah menemukan seseorang yang bertaruh demi dirinya. Dia sendiri bahkan tidak percaya pada takdir yang terlalu rumit untuk dimengerti. Namun melihat semangat Nimue yang begitu meledak-ledak, dia tidak pernah merasa sepenting ini. Mungkin, memori indahnya memang telah di ambil, namun tidak menghilang seutuhnya.

"Cukup bersedihnya, kita harus pergi sekarang sebelum seseorang mendahului kita." Setelah mengeluarkan semua isi tasnya di atas meja, Nimue membuka sebuah kaleng berisi sebuah laba-laba dan mengeluarkan hewan itu dari tempatnya. "Pertama-tama, kita harus mengambil cincin Andvaranaut di Troan."

"Hmm ... untuk apa cincin Andvaranaut dan untuk apa laba-laba itu?"

"Cincin Andvaranaut adalah cincin ajaib yang bisa mencari emas yang tersembunyi."

Eira mengamati Nimue yang memainkan laba-laba di tangannya, seolah hewan itu seperti piarannya. "Memangnya ada cincin seperti itu? Walaupun ada, para Dwarf pasti sudah menggunakannya untuk mencari gundukan emas."

"Mereka memilikinya, namun tidak menggunakannya." Nimue kemudian mendekatkan tangannya ke bibir, seolah berbisik pada si laba-laba.

"Dan laba-labanya?" tanya Eira yang sejak tadi penasaran.

"Laba-laba ini akan menjaga rumahmu selagi kita pergi."

Eira tertawa, berpikir bahwa perempuan yang datang tiba-tiba ke rumahnya ini benar-benar gila karena menyuruh seekor laba-laba menjaga rumahnya. Namun dibiarkannya perempuan itu berkeliling, mencari tempat yang cocok untuk sang laba-laba.

"Nah, sekarang kita harus pergi ke Troan, jika berangkat sekarang, kita akan sampai malam hari, tepat sekali untuk menyusup ke dalam istana," katanya santai, seolah hal itu sudah sewajarnya mereka lakukan.

Eira yang biasanya suka menyusup ke dalam istana saat pertemuan 7 kerajaan malah terkejut mendengar perkataan Nimue yang terkesan enteng. "Apa? Menyusup ke istana Troan? Cincin itu berada di istana?"

"Di dalam galeri harta raja yang di jaga ketat," tambahnya.

"Bagus sekali," keluhnya. "Ada hal lainnya yang belum kau katakan padaku?"

Nimue menggeleng. "Kita siap untuk berangkat," serunya bersemangat.

Eira bangkit dari kursinya, matanya terpejam sesaat sebelum akhirnya dia membuka lagi, melirik perempuan yang telah mengganggu ketenangannya untuk beristirahat pagi ini. Haruskah dia percaya padanya? Sebagai seseorang yang tidak percaya pada takdir yang kadang menuntun siapa pun untuk melakukan hal tidak masuk akal, Eira seharusnya menolak. "Yakinkan padaku sekali lagi, kenapa aku harus percaya padamu?" tanyanya.

Berbeda dengan Nimue, yang terlahir sebagai seorang peri Aziza, sudah sepatutnya dia mempercayai hal-hal semacam takdir, walaupun jenisnya saat ini telah membuang jauh perihal takdir dan lebih memilih untuk menetap di hutan Aeri. Namun, bukan hanya itu saja, baginya kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali seumur hidup dan Nimue telah menantikan petualangan hebat yang menantinya.

"Sebaiknya kau percaya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top