CHAPTER 40
Di seberang ruangan, Kramor yang memanggul kantong-kantong berisi emas tenggelam lebih cepat dari yang lainnya. "Tolong! Aku tenggelam oleh harta-harta ini!" teriakknya.
"Jangan bergerak dan buang harta itu!" Castro menyahut.
"Membuang harta ini? Tidak akan!" Saat Kramor sudah terhisap setengah badannya, dia akhirnya membuang sebagian emas yang diambilnya. Namun sudah terlanjut, tubuhnya semakin terperosok lebih dalam. Hingga seluruh tubuhnya tertelan seutuhnya.
Eira dan yang lainnya sudah tenggelam sepinggang. Castro yang setelahnya menyusul Kramor, Nimue berikutnya, dan Eira. Terjatuh pada tumpukan tulang-tulang dalam posisi tertelumpuk, Eira merasakan sakit di wajahnya yang terbentur. Di sisi lain tempat itu, dia bisa mendengar yang lainnya mengaduh.
"Eira?" suara Castro memanggilnya.
"Aku baik-baik saja," balas perempuan itu. "Nimue? Kramor?"
"Ya." Nimue menjawabnya dengan singkat.
Sedangkan Kramor sedang memunguti harta yang berjatuhan di kakinya untuk dimasukkan kembali ke kantung. Bersamaan dengan itu, sebuah suara geraman pelan terdengar. Dengan cahaya yang kurang, Eira tidak dapat melihat dengan cukup jelas. Diandalkannya penglihatan kelabu untuk memastikan apa yang akan mereka hadapi selanjutnya.
Dari tempat Kramor, Eira dapat melihat sesosok kepala raksasa mendekatinya. "Dwarf, aku bisa mencium keserakahan." Sebuah suara berat terdengar seisi ruangan. "Seorang peri dan seorang dwarf lagi, yang ini tercium seperti ceri. Aku bisa membayangkan rasa manis dari dagingmu di lidah, tidak seperti yang serakan di sana. Akan kurendam kau dalam lahar panas sebelum kumakan."
Kramor langsung bergidik, dia tidak berani untuk bergerak sedikit pun. Dari pandangan Eira, dia melihat sosok naga yang sekarang sedang mengarah padanya dengan jelas. Ukurannya sebesar ratusan Bune dengan sisik sekuat baja yang ditempa.
"Hmmm." Naga itu bergumam. "Seseorang dengan setengah darah manusia, sudah lama sekali aku tidak mencium aroma ini. Beruntung sekali diriku dapat merasakan darah dari setengah manusia yang hanya tersisa dua."
Perkataan itu membuat Eira mengernyit, bagaimana naga itu mengetahui ada seseorang selain dirinya yang memiliki darah setengah manusia? Pikir Eira.
"Kalian para makhluk yang sama rendahnya dengan manusia, penuh keserakahan," ujar naga itu lagi.
Masih diam di tempatnya, Eira melirik buku yang terbawa ke bawah bersamanya tergeletak dekat kaki. Diraihnya perlahan, kemudian membuka halaman terakhir. Sambil membacanya dalam hati, Eira berusaha mengartikan bait-bait yang membingungkan itu. Nimue telah berhasil menyimpulkan bait ketiga dan keempat. Bait pertama mungkin berarti mereka yang baru saja jatuh dari langit-langit. Sedangkan bait kedua, harta yang mereka tinggalkan di atas sana. Lalu, bagaimana dengan dua bait terakhirnya? Pikir Eira lagi.
Ditutupnya buku bersampul kulit itu, kini yang dia pandangi hanya tulisan yang terpampang di depannya. "Buku pengetahuan," gumam Eira. Menyadari sesuatu, dia akhirnya dapat mengerti harta apa yang dicuri oleh Sigurd.
"Akan kumakan kalian satu-persatu dan kusisakan tulang-tulang kalian seperti orang-orang sebelum kalian yang datang ke sini untuk mencari emas." Mengarah pada Kramor, sang naga baru saja akan membuka mulut saat perkataan Eira menghentikannya.
"Pengetahuan, harta yang Sigurd curi adalah pengetahuan. Dan itu adalah hal paling berharga melebihi tumpukan emas di atas," paparnya.
Kini, perhatian sang naga seutuhnya mengarah pada Eira. Melesat dengan sayapnya, wajah sang naga berada tepat di hadapan perempuan itu. Napasnya terdengar berat, serta panas.
"Aku salah menilaimu. Apa yang kau inginkan, The Last Dhampir?" tanya sang naga dengan memberikan sebutan pada Eira.
"Pedang Gram, aku ingin kau memberikanku pedang Gram."
"Hmmm," gumam sang Naga. "Kau satu di antara orang-orang yang menginginkan pedang itu."
"Aku menginginkannya untuk memerangi para iblis," balas Eira.
Sang naga kini memutari perempuan itu, sembari menilai kelayakan dirinya. "Kau tahu apa yang terjadi pada seseorang setelah memiliki pedang itu?"
Eira menggeleng, namun apa pun konsekuensi yang akan dia dapatkan, tidak akan sebanding dengan kemenangan iblis. Karena itu, siap atau tidak dia akan menerima akibat yang harus ditanggungnya.
"Aku tidak akan memberikan pedang Gram padamu," katanya. "Namun aku bisa mengantarkanmu pada pedang itu."
"Kalau begitu, bawa diriku pada pedang itu," pinta Eira lagi.
"Naiklah." Sang naga menundukkan kepalanya agar Eira dapat memanjat.
"Aku akan ikut denganmu." Nimue yang bersuara langsung dibungkam oleh sang naga yang menoleh padanya.
"Hanya satu orang yang boleh dibawa untuk satu perjalanan dalam seratus tahun." Mata sang naga yang bercorak kuning keemasan dengan bercak-bercak merah menyala memaksa Nimue untuk tidak bicara lagi setelahnya.
Eira yang menoleh pada Nimue dan Castro hanya memberikan anggukan sekali agar mereka tidak mengkhawatirkannya. Saat sang naga melebarkan sayapnya, mereka melesat naik menembus langit-langit. Sambil berpengangan pada sisik-sisik naga yang agak licin, Eira beruaha untuk tidak jatuh. Kini, mereka telah berada di luar bangunan tersebut yang entah bagaimana caranya Eira tidak habis pikir.
Semakin naik ke permukaan, tekanan udara semakin rendah. Membuat Eira harus menarik napas dalam-dalam untuk sesaat. Ini bahkan lebih tinggi saat dia berkendara dengan Nero. Tentu saja karena ukuran tubuh sang naga yang lebih besar ratusan kali lipat dari Nero membuat kecepatan terbangnya juga jauh berbeda.
Saat sang naga merasa cukup tinggi, dia menukik dengan cepat dan melesat ke bawah. Kuat-kuat Eira mencengram sang naga sampai akhirnya dia tidak dapat menahan pegangan dan terjun tanpa tunggangan. Saat semakin dekat dengan permukaan tanah, di bawahnya dia dapat melihat kawah panas yang meluap-luap. Dia berpikir, sang naga berusaha membunuhnya dan jika itu benar, maka hal itu akan menjadi kematian paling sakit yang pernah dia alami. Eira tidak akan membayangkan terbangun di kawah itu dan berusaha keluar dari sana hanya untuk mati kembali.
Hanya tingga dua kaki lagi dari kawah itu, Eira menutup matanya. Namun sang naga menangkapnya dengan kaki depan hingga akhirnya mereka masuk ke kawah panas itu. Tidak ada rasa sakit, bahkan hawa panas yang menyengat kulit Eira. Saat dia membuka mata, mereka berada di bawah kaki gunung.
"Itu adalah pengalaman yang sangat tidak menyenangkan," papar Eira sembari menenangkan jantungnya yang memburu. Dia kemudian menoleh sekeliling, jauh di atas mereka, cahaya dari air kawah yang jernih dapat dilihatnya.
Sang naga kemudian masuk lebih dalam, menghiraukan Eira yang tengah terpana. Sambil mengekor, matanya berkeliling. Hingga mereka berhenti pada sebuah pohon yang anehnya berada di sana. Mata Eira kini semakin tidak percaya saat melihat sebuah pedang yang tertancap di akar pohon itu. "Jika kau pantas bagi pedang itu, maka kau akan dapat menariknya dari pohon," jelas sang naga.
"Apa? Jadi tidak semua orang dapat menarik pedang Gram?" tanya Eira terkejut. Matanya membelalak, dia tidak pernah berpikir bahwa pedang itu akan meminta sebuah kelayakan hanya untuk menariknya.
"Setelah Sigurd berusaha membunuhku dengan pedang itu dan setelah diberkati oleh para malaikat, tidak semua orang dapat menariknya."
Berdecak frustasi, Eira tidak akan mengira hal ini akan terjadi. Yang dikhawatirkannya adalah bagaimana jika dia tidak dapat menarik pedang itu. "Seharusnya Castro atau Nimue yang ikut ke bawah sini. Mereka lebih pantas ketimbang diriku," sesalnya. Terlebih lagi, mereka hanya memiliki satu kesempatan dan harus menunggu seratus tahun setelahnya untuk mencoba orang berikutnya. Lagi-lagi, sebuah beban berat yang tidak dapat Eira janjikan akan berhasil.
"Aku akan di sini saat kau siap untuk menarik pedangnya."
Untuk beberapa menit, Eira hanya mundar-mandir di depan pedang Gram sambil sesekali menoleh pada sang naga. Dia gugup, takut, sekaligus tidak percaya diri. Jika Castro berada di sisinya, lelaki itu pasti akan mengatakan hal-hal yang dapat membuatnya tenang. Suatu kalimat yang akan membuat Eira percaya bahwa dirinya dapat menarik pedang itu.
Diliriknya lagi pedang Gram, hingga akhirnya dia siap untuk mencoba. Melangkah lebih dekat, kini tangannya perlahan menyentuh ujung pedang. Sang naga menoleh untuk menyaksikan kegagalan Eira, setidaknya itu yang dia pikirkan.
Menarik napas dalam-dalam, kini kedua tangan Eira menyentuh pedang, siap untuk menariknya jika dia memang layak. Perlahan, dia merasakan sengatan yang hampir sama saat mencoba menarik Excalibur. Menghitung dalam hati, Eira hanya dapat berharap semua yang dilakukannya atas dasar apa pun dapat menjadi kelayakan akan dirinya.
Satu, dia masih berpikir untuk melepaskan pedang itu. Dua, tangannya mulai mengendur dan berniat untuk tidak mencobanya. Tiga, Eira akhirnya berubah pikiran saat nyanyian para siren mulai terdnegar kembali di telinganya. Ditariknya pedang itu dengan cepat, kilauan cahaya keemasan memenuhi seisi tempat itu. Sang naga bangkit dari duduknya saat melihat pedang tersebut berhasil ditarik dari empunya.
Tidak percaya, butuh beberapa waktu untuk Eira sadar bahwa dia berhasil menarik pedang itu. "Aku berhasil," gumamnya. "Aku bisa membunuh para iblis dengan pedang ini."
Mendekati Eira, kini pandangannya terhadap perempuan itu jauh berbeda dari sebelumnya. Dia pikir, Eira sama halnya dengan Sigurd yang hanya menginginkan kekuatan dan kekuasaan. Namun, dengan keberhasilannya tentu menandakan sebuah perbedaan yang sangat jauh. Sigurd menginginkan pedang untuk dirinya sendiri, sedangkan Eira menginginkan pedang itu untuk melindungi orang lain.
"Aku terkesan, The Last Dhampir," ujar sang naga. "Kau telah membuktikan bahwa dirimu adalah yang terakhir dan layak untuk itu. Tapi, kuingatkan padamu bahwa pedang itu hanya dapat membunuh para iblis jika Excalibur telah tercabut dari batunya. Jika tidak, pedang itu memang dapat membunuh makhluk apa pun, termasuk diriku. Namun tidak dengan iblis."
Mendengar perkataan sang naga, Eira langsung membelalakan matanya. Jadi perjalanan jauhnya hingga mendapatkan pedang Gram sia-sia saja. Dia masih belum bisa membunuh para iblis. Karena itu nyanyian para siren terus menghantui telinganya, mendesak untuk menemukan sang manusia terakhir. Karena itu firasatnya untuk mencari manusia lebih besar dari mencari pedang Gram.
Saat kembali ke tempat bersemayam sang naga, teman-temannya tengah menunggu dengan gelisah. Castro langsung menghampiri saat melihat Eira turun dari kepala sang naga dengan sebuah pedang di tangannya. "Kau berhasil," katanya dengan antusias.
"Kau berhasil," pungkas Nimue. Namun dia menyadari ada rasa kekecewaan dari ekspresinya. "Ada apa? Kau terlihat tidak senang dapat menemukan pedang Gram."
"Kita memang seharusnya mencari manusia itu terlebih dahulu. Pedang ini tidak bisa membunuh iblis tanpa pedang Excalibur yang tercabut dari batunya," jelas Eira dengan penuh kekecewaan.
Nimue jelas-jelas tidak tahu menahu mengenai hal ini. Yang dia yakini hanyalah mendapatkan pedang Gram agar bisa membunuh para iblis. Para malaikat tentu tidak akan semudah itu memercayai kaum mereka, karenanya pedang Excalibur tetap dibutuhkan untuk menjadi sumber satu-satunya untuk mereka memerangi iblis.
Berbekal kekecewaan, penyesalan, dan sedikit harapan, mereka kembali pada Osric yang betapa terkejut mereka saat mendapati pasukan Jenderal Kilorn telah berada di sana. "Wah, wah, wah," gumam sang Jenderal. Dia kemudian melirik pedang yang Eira genggam. "Jatuhkan senjatamu atau kugorok leher temanmu."
Salah satu prajurit menarik belati dari pinggannya dan menodongkannya di leher Osric, berusaha mengancam mereka. Diletakkannya perlahan pedang tersebut ke tanah, sedangkan matanya melirik pada karavan. Tidak ada tanda-tanda dari Nero di sekitar sana dan karavan yang terbuka tidak juga memperlihatkan hewan itu di dalamnya.
"Kau juga, Pangeran," kata sang jenderal saat melihat Castro berusaha meraih pedangnya. Sedangkan Kramor, tidak perlu menunggu untuk diminta dia sudah menjatuhkan kapak miliknya dengan kesal.
"Dengar, ini bukan tentang aku. Jika kau membawaku kembali ke Troan, kita tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk membunuh iblis."
Jenderal Kilorn terkekeh. "Untuk sesaat, alasanmu hampir membuatku percaya," ejeknya.
"Oh, ya? Atau kau lebih suka aku melukai wajahmu lagi, Jenderal?" ejek Eira balik.
Jenderal Kilorn kini menatapnya dengan penuh kebencian. Para prajuritnya hampir menahawan tawa saat emosinya membawa. "Diam!" geramnya. Dia kemudian menyambar belati dari tangan prajuritnya dan menghampiri Eira.
Dhampir itu bergeming saat belati menyentuh wajahnya. Namun saat Jenderal Kilorn menggerakkan tangannya untuk memberikan goresan, tangan Eira menangkap belati itu. Sambil menahannya, Eira menyulutkan panas api dari tangannya ke belati tersebut tanpa Jenderal Kilorn sadari. Sontak, dia melepaskan belati itu yang terjatuh di tanah dengan tidak berbentuk karena sebagian telah meleleh.
Menatap Eira dengan tidak percaya, Jenderal Kilorn mundur beberapa langkah. "Iblis," cecarnya.
"Oh, kau salah, Jenderal. Aku bukan seorang iblis, aku lebih buruk dari itu." Mata Eira menatap tajam sang Jenderal, hampir tidak ada keraguan darinya untuk membunuh.
Tepat saat Eira meraih pedang Gramnya, kepulan asap hitam di langit muncul, bergerombol membuat sekeliling menjadi gelap dan berangin. Hingga asap itu berputar-putar menjadi pusaran dan sesosok makhluk muncul dari sana. "Eira si Dhampir," gumamnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top