CHAPTER 38

Hangatnya matahari pagi menyentuh kulit Eira, membangunkannya dari mimpi buruk yang hampir membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Rasanya, dia baru sebentar memejamkan mata dan matahari telah terlihat di ufuk. Di belakangnya, Castro tengah menikmati pemandangan menakjubkan itu.

"Pagi," sapanya.

"Apa kita berkuda semalaman?" tanya Eira sembari mengusap matanya.

"Ya," jawab Castro. Dia bahkan tidak terlihat lelah sedikit pun.

Hamparan tanah yang luas terlihat sejauh mata memandang. Udara pagi yang begitu sejuk membuat semuanya merasakan sensasi keindahan itu. Suara aliran sungai terdengar tidak jauh dari tempat mereka. Tanpa memedulikan yang lain, Osric membawa karavan menuju sumber suara.

Deras airnya cukup tenang, membuat Osric yang tidak sabaran langsung turun dan meloncat ke dalam. "Sudah lama aku tidak melihat sungai," katanya. "Nimue, cepat ke sini!"

Sama antusiasnya dengan Osric, Nimue melepaskan sepatunya. Dia kemudian meloncat masuk, diikuti Nero yang mengekornya. Keduanya menimbulkan cipratan air ke mana-mana, membuat Osric membalas keduanya. Kini, perang air tak dapat dihindari.

Castro turun terlebih dahulu, dia tersenyum melihat kelakuan dua temannya serta Nero si hewan yang kini sudah nampak ceria dari sebelumnya. Eira turun setelahnya, namun pikirannya masih terdampar pada mimpi buruknya. Selagi Castro mengikat kudanya, perempuan itu pergi untuk mencari tempat menyendiri.

"Kau tidak mengejarnya, Pangeran?" Kramor yang ikut mengikat kudanya menggoda lelaki itu.

"Mungkin dia butuh sendiri," jawab Castro, sedangkan matanya mengekor Eira yang semakin menjauh.

Selagi melangkah, Eira mengingat-ingat mimpinya. Sudah berapa kali dia memimpikan tempat yang sama, walaupun dengan kejadian-kejadian yang berbeda. Namun setiap kali dia bermimpi tetang hal itu, nyanyian para siren selalu terdengar ditelinganya. Membuat dia bertanya-tanya apa yang tengah dimaksudkan oleh nyanyian itu.

Suara aliran sungai di depannya membuat Eira tergoda untuk membersihkan tubuhnya, terlebih setelah pertarungannya dengan bukavac. Semabri berjongkok, Eira membasuh wajahnya dengan air sungai yang dingin. Kini, matanya tertuju pada pantulan wajahnya yang tidak karuan. Kantung mata menghitam, noda-noda kotoran hampir di seluruh wajah, serta rambutnya yang sudah tidak berbentuk.

Kadang, dia merasa sedikit kasihan pada dirinya sendiri—walau hanya sedikit saja—pasalnya, dia hampir tidak pernah memerhatikan keadaan dirinya. Eira sendiri kadang lupa bagaimana dia mendapatkan bekas-bekas luka di tubuhnya yang cukup banyak itu.

Sambil menghela napas panjang, Eira melepas ikatan rambut yang menjuntai di bawah bahu. Sudah berkali-kali dia berniat memotong rambutnya, namun entah mengapa dia selalu mengurungkan niatnya. Perempuan itu tidak pernah memotong di atas bahu, karena hal itu hanya akan mengingatkannya pada saat dia tinggal di Failos. Dan Eira membenci hal itu karenanya.

ditenggelamkan kepalanya ke air, membuat dingin menusuk kulit kepala. Untuk sesaat, Eira menahan napas, kadang hal itu membuatnya berpikir tenang. Genangan air yang menutupi telinga menulikan Eira, membuatnya terisolasi dari sekitar. Mendadak, dia merindukan ketenangan itu. Saat kepalanya diangkat kembali, Castro tengah berdiri di belakangnya.

"Aku belum pernah melihat rambutmu tergerai," kata lelaki itu sambil bersidekap.

"Karena kau memang belum pernah melihatku membuka ikatan rambut," sahut Eira tanpa menoleh padanya.

"Kau ada benarnya." Kini Castro melangkah lebih dekat.

Eira yang menoleh padanya mulai menaruh rasa curiga. Bukan berarti dia tidak memercayai lelaki itu, hanya saja alasan apa yang membuat Castro pergi mencarinya ketimbang tinggal di istana mewah Troan. "Kenapa kau mengikutiku?" tanya Eira tiba-tiba.

Sambil duduk pada sebuah batu besar dekat Eira, Castro menjawab dengan sejujurnya. "Aku hanya khawatir denganmu." Ekspresinya menunjukkan kesungguhan.

"Bukan itu maksudku," lihir Eira. "Kenapa kau lebih memilih mencariku ketimbang menuruti perkataan ayahmu."

Castro menatap perempuan itu lekat-lekat, tentu dia sangat tahu jawaban dari pertanyaan itu tanpa harus memikirkannya. "Tidak perlu alasan untuk menentang tujuan ayahku hanya karena ingin menghukum mati dirimu. Kau adalah pahlawan, Eira. Kau tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti itu."

Tawa sinis tercelos dari mulut Eira. "Aku bukan pahlawan, aku hanya melakukan sesuatu yg membuatku sedikit merasa ... tidak seperti seorang vampir."

Dari nada bicara yang Castro dapat tanggap, dia mendengar sebuah penyesalan. "Setidaknya kau membuat dunia lebih baik."

Menoleh pada Castro, Eira mengerutkan keningnya tidak percaya. "Jika menjadi raja kau bisa membuat dunia lebih baik. Kau bisa membenarkan peraturan yang cacat. Kau akan menjadi raja yang baik."

"Ya, pada awalnya aku berpikir begitu. Namun semakin dipikirkan hal itu membuatku takut. Hanya dua hal yang dapat kau pilih saat menjadi seorang raja, menjadi raja yg baik dan bijak atau menjadi raja yg buruk dan serakah. Dan aku tidak ingin menjadi seperti pilihan kedua."

"Kau sangat jauh lebih baik dari ayahmu, Castro. Kau akan menjadi raja yang baik dan bijak, aku percaya itu."

"Tapi setelah aku bertemu denganmu, aku belajar bahwa melakukan suatu kebaikan dan perubahan tidak harus memiliki jabatan yg tinggi. Melakukan hal-hal kecil disekitarmu sudah membuat dunia menjadi tempat yg lebih baik, sekecuil apa pun kebaikan itu." Mata Castro menangkap iris mata Eira yang berwarna keemasan.

Eira tersenyum. "Kau bahkan lebih bijak dari seorang penasehat kerajaan," pujinya.

Lelaki itu membalas dengan senyuman. Dia kemudian ingat mengenai kunjungan Tallon waktu itu ke istana Troan, membuatnya bertanya-tanya apakah yang dikatakan Tallon bukan omong kosong belaka. "Omong-omong soal penasehat kerajaan, sebelum aku pergi dari Troan kulihat Tallon menemui ayahku. Apa kau tahu tentangnya?"

"Lebih dari yang kau bayangkan, tapi hanya sebatas ingin menusuk jantung lelaki itu dan membakarnya." Eira jadi agak kesal jika nama itu disebut-sebut, terlebih setelah mengetahui semua kebusukannya.

Castro mengangguk, dia dapat menyimpulkan hubungan keduanya. "Ini bukan urusanku, tapi aku mendengar Tallon mengatakan bahwa dia sangat ingin kau mati. Baginya, kau adalah penghalang bagi sang Raja Failos untuk mengambil keputusan. Dan dia mengatakan bahwa kau menyukai Raja Elias. Apa itu benar?"

Eira memalingkan muka, alih-alih menjawab pertanyaan Castro dia menelusur rambutnya untuk menjalin kembali rambutnya. Tidak ingin mendesak, Lelaki itu seolah mengerti bahwa Eira tidak ingin membahasnya.

"Bolehkah?" Castro mengisyaratkan untuk membantu Eira, berusaha mengalihkan pembicaraan.

Mengerutkan kening, Eira sedikit ragu. "Kau bisa mengepang rambutku?" tanyanya meyakinkan.

"Oh ayolah, lihat rambutku." Lelaki itu memang memiliki rambut yang cukup panjang sebahu. Namun Eira tidak pernah membayangkan sebuah kepangan menjadi salah satu model yang pernah dipilihnya.

Menyetujuinya, Eira membiarkan Castro untuk merapikan rabutnya kembali. Saat tangan lelaki itu menyentuh rambutnya yang agak kasar, Eira akhirnya menjawab pertanyaannya. "Itu sudah sangat lama, aku menyalah artikan rasa sayang Elias padaku." Untuk beberapa saat Eira urung memberikan penjelasan lebih, namun dia berubah pikiran. "Sekarang tidak lagi, perasaan itu sudah hilang sejak aku pergi dari Failos. Aku bukan seseorang yang sama lagi."

Ada sedikit kelegaan membasahi kerongkongan Castro. Tentu dia mengetahui kebenaran ucapan Tallon namun kejadian itu sudah tidak berlaku lagi bagi Eira. Dia bahkan dapat melihat sebuah kesedihan dalam ucapan perempuan itu. "Masa lalu adalah masa lalu, kita tidak dapat mengubahnya. Tapi apa pun yang kau alami dahulu, aku tidak peduli. Kau adalah kau yang sekarang dan aku menyukainya." Bersamaan dengan itu, Castro menyelesaikan ikatan terakhirnya.

Eira kembali menghadap ke arah lelaki itu, dia sedikit tersipu mendengarnya, namun berusaha memalingkan wajah agar tidak kentara. Tidak lama berselang, Nimue dan Osric menemukan mereka, menyelamatkan Eira dari kecanggungan yang sesaat itu.

"Kita harus melanjutkan perjalanan," ujar Nimue pada keduanya.

Untuk kali ini, Eira setuju dengan Nimue. Kembali ke karavan dan kuda-kuda mereka, akhirnya perjalanan berlanjut. Hari-hari berikutnya, hampir tidak ada kendala. Mereka hanya berhenti beberapa kali untuk istirahat dan makan. Dalam gerombolan itu, Osric yang paling sering mengeluh, Kramor yang sering membalasnya dengan ejekan, dan berahir dengan tawa dari semuanya. Untuk kali pertama, Eira tahu bagaimana rasanya menjadi sebuah bagian dari kelompok.

Pada hari kedelapan, tepat tengah malam mereka sampai pada tempat yang dituju, Wana Tirtaganda. Sebuah gunung menjulang di depan mereka dengan bukit-bukit yang mengelilingi. Disekitarnya hingga tempat mereka berpijak jalanan berpasir memenuhi. Tidak jauh dari sana juga mereka melihat asap mengepul yang berasal dari sebuah kawah panas.

Menelusur ke sekitar, Eira rasanya cukup mengenal tempat itu. Seolah dia pernah ke sana, namun dengan sedikit pemandangan yang berbeda. Diingatnya penglihatan yang didapatkan dari cincin yang melingkari jarinya. Namun rasanya tidak sama persis seperti yang dia lihat pada saat itu.

"Sekarang kita harus ke mana?" tanya Osric yang menyadarkan Eira dari rasa kecurigaannya.

"Kita harus menjadi sebuah bangunan tua di sekitar sini," jawab Eira, matanya masih mengarah ke depan.

"Tempat ini cukup luas, kita bisa berhari-hari menemukannya." Kramor menyahut, namun dia ada benarnya.

Pada saat ini, kekuatannya harus diandalkan. Kadang Eira jadi berpikir bahwa kekuatan-kekautan itu sangat menguntungkannya, jika mengesampingkan asal kekuatan itu yang sampai sekarang masih menjadi pertanyaanya. Di atas kudanya, Eira perlahan menutup mata sambil bergumam kalimat ajaibnya. Warna kelabu memenuhi matanya, saat dia membuka kembali sebuah warna merah sepanjang beberapa meter di depannya membuat dia yakin bahwa itu adalah yang dicarinya.

"Ikuti aku," ujar Eira sambil memimpin jalan.

Warna merah dalam penglihatan kelabunya itu mengantarkan mereka pada sebuah jalan setapak beberapa kilometer dari tempat mereka sebelumnya. Hingga berakhir pada sebuah jalan masuk yang sekelilingnya disusun oleh bebatuan merah. Eira turun dari kudanya untuk memeriksa tempat itu. Lorong gelap entah sepanjang berapa meter membuatnya penasaran sampai mana tempat itu akan membawanya.

"Kita akan berjalan dari sini," kata Eira, dia tengah bersiap untuk melangkah masuk saat Nimue memberhentikannya.

"Seseorang harus ada yang berjaga di luar."

Kramor yang tidak mau ketinggalan untuk melihat tumpukan harta yang menjadi tujuannya langsung menolak. "Bukan aku tentunya."

Nimue melirik Osric yang baru saja akan membalas Kramor. Rupanya, Eira juga melirik ke arahnya. Saat kedua perempuan itu menatap padanya, dia mulai mengeluarkan ocehannya lagi. "Oh, ayolah!" keluh lelaki itu. Namun akhirnya dia mengalah. "Baiklah, jangan lama-lama."

Meninggalkan Osric sembari menjaga Nero, mereka akhirnya masuk ke lorong panjang itu. Sebelumnya, Eira telah membuat api ditangannya untuk mendapatkan penglihatan sepanjang lorong sesuai petunjuk yang diberikan. Dia kemudian memimpin jalan, diikuti Nimue dibelakang, Kramor, dan Castro sesuai urutan.

Semacam wewangian aneh mulai tercium saat mereka mendekati ujung lorong. Seperti campuran bunga yang dicampur minyak kemudian dibakar. Tepat saat mereka berada di akhir lorong, wewangian itu semakin pekat. Karena cahaya yang terbatas, Eira hanya dapat melihat beberapa meter di depannya. Namun di beberapa sudut dia dapat menemukan obor yang dapat digunakan untuk menerangi.

"Tunggu di sini, aku akan menyalakan obor." Sembari melangkah maju, dia mendekat pada salah satu obor yang menempel di dinding. Setelah menyala, dia menelusur sekitar lagi untuk mencari obor selanjutnya agar dapat menerangi ruangan tersebut.

Setelah berhasil menyalakan tiga obor, pandangan lebih jelas saat menelusur. Menuju obor keempat, Eira merasakan sebuah pergerakan menuju ke arahnya. Dari bagian tergelap yang belum dia telusuri, sebuah bayangan seolah bergoyang-goyang. Namun kemudian menghilang tepat saat dia menyalakan obor.

Mata Eira menelusur sekitar untuk memastikan, hingga dia berakhir menatap teman-temannya yang memberikan ekspresi penuh pertanyaan. "Ada apa?" tanya Nimue yang suaranya bergema sepanjang tempat itu.

"Shhh!" Satu jari Eira di bibir, mengisyaratkan untuk tidak berbicara lebih lanjut. Sedangkan telinga dan matanya tengah memastikan.

Lagi-lagi, sebuah bayangan bergoyang dapat Eira lihat di bagian gelap tempat itu. Mengambil pedangnya dari punggung, dia melangkah mendekat. Ketiga orang yang berada di ujung lorong langsung bersiaga saat melihat Eira menghunuskan pedangnya, tanda bahwa ada sesuatu selain mereka di tempat itu.

Mengambil langkah seribu, bayang-bayang itu menghilang kembali. Namun saat Eira semakin dekat, sesosok makhluk setinggi tiga meter dengan bulu lebat di sekujur tubuhnya muncul di hadapan. Matanya merah menyala, saat makhluk itu terkena cahaya obor, gigi-giginya terlihat jelas mencuat keluar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top