CHAPTER 35

"Kenapa kau selalu mengikutiku?" ketus Eira, dia kemudian menurunkan pedangnya.

"Kenapa kau selalu mencari masalah?" Kazimierz mengulangi pertanyaannya.

Menghiraukan lelaki itu, Eira kembali melangkah untuk mencari jalan keluar. "Aku tidak memintamu untuk mengikutiku saat ada masalah. Lagipula berhenti mengikutiku seperti seekor hewan," protesnya.

Terkekeh, Kazimierz mengikuti Eira di belakangnya. "Bukankah si pangeran yang terus mengikutimu seperti hewan piaraan?" tukasnya.

Berbalik dengan cepat, Eira menatap Kazimierz. "Bagaimana kau tahu Castro seorang pangeran?" tanyanya penasaran.

"Aku bisa melihatmu menggunakan sigil, kau ingat?"

Kini, Eira tidak yakin dengan pernyataan lelaki itu. Apa saja yang dapat dilihatnya dengan sigil itu? pikirnya. "Kau dapat melihat semuanya?" Kening Eira mengerut, menuntut jawaban.

"Ya, termasuk saat kau tertidur di bahunya," papar Kazimierz.

Sontak, Eira mendorong Kazimierz ke dinding sambil menodongkan pedang ke lehernya. "Jangan pernah menggunakan hal itu lagi padaku!" ancamnya.

"Ya, ya. Lagipula kau tidak akan tahu saat aku menggunakannya." Kazimierz menyeringai.

Memandang lelaki itu dengan kesal, Eira berbalik, menghiraukannya untuk mencari jalan keluar. Hingga dia kembali menoleh pada lelaki itu. "Tunggu! Dari mana kau datang?" tanyanya penasaran.

"Aku bisa datang dari mana saja," jawabnya.

Eira menggeleng, menuntut penjelasan lebih dari sekadar pernyataan yang bermakna ambigu.

"Aku bisa pergi sesukaku ke mana saja dengan cepat," tambah Kazimierz sambil melipat kedua lengannya di dada.

"Kau bisa teleportasi?" Eira menyimpulkan.

Kazimierz mengerutkan keningnya. "Kurang lebih seperti itu, tapi aku tidak akan mengataknnya begitu."

"Kalau begitu kau bisa mengeluarkanku dari sini," pinta Eira sembari menatap lelaki itu.

"Mungkin bisa, tapi kenapa aku harus melakukannya? Kecuali kau menyetujui permintaanku."

Kini Eira menyilangkan kedua lengannya, bersidekap. "Pertama, aku tidak akan ikut dalam apa pun yang kau rencanakan. Dan yang kedua, itu bukan sebuah pertanyaan."

"Dan jawabanku berarti tidak." Kini lelaki itu berjalan melewati Eira, berencana untuk pergi dan meninggalkannya.

Berdecak tidak percaya, Eira memutar bola matanya. "Oke, akan kucari jalan keluarnya sendiri. Bodohnya diriku, mengharapkan pertolongan dari seorang iblis," gerutunya.

"Aku akan di luar jika kau butuh sesuatu," ledek Kazimierz. Baru saja lelaki itu akan menggunakan kekuatannya untuk keluar dari tempat itu, saat dia menyadari ada sesuatu yang tidak beres.

Berbalik, Eira masih mendapati Kazimierz di sana. "Aku kira kau akan menunggu di luar," katanya mengejek.

"Ya, tadinya. Tapi aku tidak bisa menggunakan kekuatanku." Kazimierz bergeming, berusaha memusatkan dirinya untuk keluar dari tempat itu.

Eira yang melihatnya mulai curiga. "Kau tidak bisa menggunakan kekuatanmu?" tanyanya.

"Entahlah, sesuatu seperti menahanku." Lelaki itu masih berusaha untuk mengeluarkan dirinya dari sana.

Menoleh ke sekeliling, kecurigaan Eira mulai terjawab. Namun dia belum begitu yakin, hingga mencoba kekuatan sihirnya kembali. "Itulah kenapa aku juga tidak dapat menggunakan kekuatanku." Cepat-cepat dia kembali pada dua tengkorak yang dia lihat di sana. Diamatinya tengkorak-tengkorak itu, hingga dia menyadari sesuatu.

"Kau mau ke mana?" tanya Kazimierz saat melihat ekspresi Eira yang melangkah pernuh kecurigaan.

"Jika dugaanku benar, berarti ...." Sampai pada pintu besar di depannya, Eira mendorongnya. "Tengkorak-tengkorak ini bukan manusia, tapi para Eternals seperti kita."

Kazimierz yang menyusul Eira di belakang tidak terkejut sama sekali saat melihat puluhan tengkorak memenuhi ruangan. Bagi dirinya, pemandangan ini adalah hal yang biasa. Bahkan lebih dari itu, dia telah melihat ratusan darah dan nyawa melayang dengan mata kepalanya sendiri. Yang bisa dia bayangkan dari pemandangan itu hanyalah jeritan penuh nestapa, memohon demi hidup mereka.

"Yang artinya?" Kazimierz yang biasa saja justru bingung dengan kesimpulan Eira.

"Tempat ini dibuat untuk mengurung para Eternals." Eira kembali melangkah menuju dua tengkorak sebelumnya. Kazimierz yang masih bingung, mengekornya. "Mereka, berusaha untuk menyelamatkan orang-orang yang berada di dalam, namun mereka malah terkurung juga di sini," paparnya.

"Jadi, kita juga tidak bisa keluar dari sini?" tanya lelaki itu lagi.

"Tempat ini membuat kita tidak bisa menggunakan sihir dan kekuatan supernatural lainnya," tambahnya.

"Apa? Tidak! Aku harus keluar dari sini!" Lagi-lagi Kazimierz berusaha untuk meggunakan kekuatannya, namun alhasil dia hanya mendapatkan kekecewaan. "Orang-orang di sana, mereka pasti masuk melalui pintu, kan? Jika menemukannya kita bisa keluar dari sini." Lelaki itu mundar-mandir dengan gelisah.

Sedangkan Eira, mungkin di sanalah tempat untuknya berakhir. Kematian yang selama ini dia nantikan, mungkin akan berakhir di sini. Karena, jika semua kekuatan supernatural tidak dapat digunakan di sana, yang berarti kemampuan untuk bangkit dari kematian juga tidak akan berguna.

Dengan pasrah, Eira duduk berseberangan dengan dua tengkorak yang berada di hadapannya. "Walaupun kita menemukan pintu itu, sudah pasti tertimbun tanah. Lagipula, pintu itu juga pasti dimantrai agar tidak ada siapa pun yang bisa keluar dari sini. Hadapi saja, kita akan berakhir seperti dua tengkorak itu dan kumpulan tengkorak di sebelah sana."

"Tidak! Kita akan keluar dari sini! Aku tidak ingin mati di sini!" Terdengar sedikit emosi dari nada bicara Kazimierz.

"Hey, tenang! Kau sudah hidup beradab-abad, mungkin ini adalah waktunya—"

Belum juga Eira menyelesaikan kalimatnya, Kazmierz sudah memotongnya penuh emosi. "Untuk mati? Tidak terima kasih, kematian adalah penistaan pada kekekalan."

Eira mengerutkan keningnya, dia tidak mengira akan ada seseorang yang begitu mencintai keabadian. Sedangkan baginya kehidupan adalah kematian yang ditunda. Sama-sama menyakitkan dan tidak terduga. "Ya, aku mengerti. Kau seorang iblis yang mencintai kekekalan sebagai penyiksaan untuk manusia."

Kini pandangan Kazimierz sepenuhnya teralihkan pada Eira. Matanya mengisyaratkan emosi yang tidak terbendung. "Kau sendiri dhampir yang berusaha untuk menjadi seorang manusia. Untuk apa? Membuktikan bahwa kau lebih baik dari yang lainnya? Seberapa besar usahamu, mereka hanya akan memandangmu sebagai seseorang yang hina. Ratusan kebaikan akan tertutup oleh satu kesalahan."

Eira tersenyum rendah mendengar perkataan Kazimierz. Tidak mengira akan ada orang yang menuduhnya seperti itu. "Aku tidak akan pernah bisa menjadi seorang manusia. Tidak seorang pun dari kita." Sambil bersandar pada dinding di belakangnya, pikiran Eira menjelajah pada ingatan yang hampir tidak bisa diraihnya.

Mendengar nada bicara Eira yang cukup rendah, Kazimierz dapat merasakan kepedihan yang mungkin hampir sama dengan dirinya. Emosinya mereda, dia kemudian ikut duduk di samping perempuan itu. Untuk beberapa saat, keduanya terdiam. Sampai Kazimierz mulai bertanya kembali. "Kenapa begitu?" tanyanya.

"Kita tidak akan pernah mendapatkan keistimewaan dari kematian yang mengajarkan kita untuk menghargai hidup. Saat kita memiliki hidup yang panjang, yang kita khawatirkan hanyalah diri kita sendiri. Sedangkan saat kita memiliki umur yang pendek, yang dikhawatirkan adalah apa yang kau tinggalkan setelahnya."

Keheningan menyelimuti keduanya kembali dan lagi-lagi Kazimierz yang memecahkan suasana kecanggungan antara mereka. "Apa kemampuan untuk bangkit dari kematian itu yang membuatmu tetap hidup sampai saat ini?" tanyanya lagi.

Eira menggeleng. "Bukan," jawabnya singkat.

"Bagaimana rasanya? Kematian?"

Sejujurnya, Eira tidak dapat menggambarkan apa yang dirasakannya. "Aku mati pada saat itu. Namun setiap kali aku bangkit dari kematian, sesuatu dalam diriku ikut menghilang. Sesuatu yang ikut mati pada saat itu namun tidak kembali lagi. Aku tidak tahu apa itu. Tapi aku bisa merasakannya sampai ke tulang, dingin, menusuk, dan menyakitkan." Pandangannya menerawang ke depan.

Sesaat, Kazimierz dapat merasakan apa yang digambarkan oleh Eira. Sama seperti pada saat dia mendapatkan cap yang membakar punggungnya, sebuah tanda yang tidak dapat dia hilangkan. "Aku tidak meminta untuk menjadi diriku yang seperti sekarang, manusia yang membentuk diriku seperti seorang monster."

"Tidak ada yang bisa memilih untuk menjadi siapa, tapi kau bisa membentuk dirimu sendiri untuk menjadi siapa." Eira menoleh pada Kazimierz yang berada di sampingnya, namun lelaki itu tidak memandang ke arahnya.

"Aku tidak pernah mengenal ayahku dan ibuku membuangku sejak kecil karena membawa sial untuknya. Aku tinggal dipenampungan selama lima belas tahun dan saat mereka tahu bahwa aku adalah setengah iblis, mereka menyiksaku. Berusaha untuk mengusir bagian iblis dari diriku dengan berbagai cara, namun itu adalah hal yang bodoh. Sampai Leviathan menemukanku."

Eira masih menoleh pada Kazimierz, dia mendengarkan penuh perhatian. "Cap yang berada di punggungmu, apa itu salah satu hal yang mereka lakukan?" tanyanya.

Kazimierz tersenyum lirih, sedangkan kepalanya yang bersandar di dinding kini menunduk. Membuat Eira bertanya-tanya lagi, apa yang membuat bibir lelaki itu merekah dengan perlahan. "Tidak ada yang pernah mengucapkan cap saat pertama kali mereka melihatnya," gumamnya sambil bangkit.

Memang pada awal Eira melihatnya, dia mengira itu adalah sebuah tato ketimbang sebuah cap. Namun, di bawah cahaya bulan yang pada saat itu cukup terang, dia dapat melihat seperti bekas luka yang tidak akan bisa hilang walaupun sudah berpuluh-puluh tahun. "Bolehkah aku melihatnya?" Eira menengadah untuk melihat wajah Kazimierz.

Lelaki itu bergeming, tidak ada seorang pun yang pernah memintanya untuk menunjukkan cap di belakang punggungnya. Dia sendiri bahkan tidak bangga dengan hal itu, seperti sebuah penghinaan akan dirinya. Namun untuk kali ini, hanya untuk kali ini saja dia membuat pengecualian. Membuka bajunya, Kazimierz memunggungi Eira yang bangkit dan beridiri di belakangnya.

Jari-jari Eira kini menelusuri punggung lelaki itu, membuat Kazimierz terlonjak untuk sesaat karena sensasinya. Seperti dugaannya, warna hitam yang agak pudar diakibatkan oleh luka bakar. Namun bukan hal itu saja yang kini semakin jelas, dia dapat melihat gumpalan daging yang sedikit menonjol, membuat punggung lelaki itu tidak rata karena luka yang tidak dapat disembuhkan.

Kini, jari-jarinya menelusur pada simbol-simbol yang berada di setiap sudut yang total ada lima. Eira belum pernah melihat simbol seperti ini sebelumnya. Rasanya untuk ukuran umurnya yang cukup tua, simbol itu terlihat lebih tua dari dirinya. "Simbol-simbol ini, apa kau tahu artinya?" tanya Eira selagi tangannya masih menelusur.

Kazimierz hanya menggeleng. Dia kemudian berbalik, menatap Eira dengan jarak yang sangat dekat. Lelaki itu dapat merasakan napasnya beradu dengannya, serta detak jantungnya yang seirama. Hingga Eira mengalihkan padangan pada dada kirinya. Tangannya berusaha meraih dada lelaki itu, namun Kazimierz menangkap pergelangan tangannya.

Luka yang memanjang setidaknya sebesar satu telapak tangan menghiasi dada lelaki itu. Luka yang dia dapatkan untuk bayaran hidup abadinya. Sesaat, Eira melirik lelaki itu, hanya untuk memastikan bahwa dia mendapatkan persetujuan. Cengkraman kuat tangan Kazimierz di pergelangan tangannya akhirnya mengendur, membuat perempuan itu beralih kembali pada luka di dadanya.

Sesaat, Kazimierz melirik tangan Eira sampai dia menyentuh kulitnya kembali, memberikan sensasi dingin yang sebelumnya tidak dia sadari. Kini, matanya beralih pada perempuan itu dan menyadari bahwa tatapan Eira pada dirinya adalah hal yang belum pernah dia rasakan oleh siapa pun. Tidak ada penghakiman, tidak ada rasa takut, hanya murni keingintahuan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top