CHAPTER 34
"Iblis? Kau pikir semua ini ulah iblis?" Lelaki warlock itu mengikuti Eira yang berjalan menuju karavan.
Tepat di depan sana, Eira menghadapan tubuhnya pada lelaki itu. "Dengar, aku tahu sangat menyenangkan membunuh monster-monster itu, tapi ini lebih berbahaya puluhan kali lipat dari itu." Kini, dia menyembulkan kepalanya masuk karavan.
Dilihatnya Nimue yang tengah mengobati luka Castro. Dia baru saja meminta Osric dan Kramor mencari tumbuhan untuk meracik obat saat Eira muncul dari balik tirai. "Kau baik-baik saja?" tanya perempuan itu.
"Ya, tidak pernah lebih baik," jawabnya sambil terkekeh. Dia kemudian melirik Eira. "Kau baik-baik saja?"
"Ya, aku harus pergi. Seorang perempuan baru saja mengatakan bahwa kakaknya tidak kembali sejak kemarin. Aku berniat untuk mencarinya."
Nimue yang mendengarnya langsung menoleh sembari membersihkan luka Castro. "Bukankah kita sedang terburu-buru?" protesnya.
"Ya, tapi perempuan itu membutuhkanku."
"Kau bisa menyerahkan pada lelaki warlock tadi, dia juga pemburu," tambah Nimue.
"Tidak, dia bahkan tidak bisa membedakan monster-monster itu dan terlebih lagi ...." Eira terdiam sebelum mengucapkan kalimat selanjutnya. "Ini seperti saat kita melawan para bunyip, mereka bermutasi. Aku bisa mencium aroma yang sama dari bekas darahnya."
"Dan itu tandanya kau tidak boleh pergi. Lagipula dia mungkin sudah mati sekarang," kata Nimue sambil menyelesaikan usapan terakhir untuk membersihkan luka Castro.
"Akan selalu ada orang yang mati, Nimue. Tapi jika masih ada kemungkinan terkecil dia masih hidup, aku akan mengambil risikonya."
Menghela napas panjang, Nimue tahu bahwa dia akan selalu kalah saat berdebat dengan Eira yang memiliki tujuannya sendiri. "Baiklah, tapi jawab pertanyaanku sebelumnya. Sudah berapa kali kau bangkit dari kematian?" tanya perempuan itu serius.
Keheningan menyelimuti, Eira melirik Castro sesaat, memastikan dia tidak terkejut dengan pertanyaan yang Nimue lontarkan padanya. Lelaki itu juga balik melirik Eira, dia lebih penasaran dari Nimue, walaupun tidak mengerti sama sekali. "Tiga, jika racun zulu waktu itu dihitung," ungkapnya.
Berdecak, Nimue tidak yakin apa yang harus dia katakan. "Pastikan kau tidak mati lagi kali ini," kata perempuan itu akhirnya.
Mengambil langkah mundur, Eira berniat untuk segera mencari petunjuk menuju hutan. Namun, Castro yang masih kebingungan langsung meloncat turun dari karavan, berusaha menghentikannya. "Tunggu, aku ikut," pintanya.
Berbalik dengan cepat, Eira berhadapan dengan Castro yang bertelanjang dada. "Kau masih terluka." Nada suaranya terdengar rendah sembari melirik daging yang terbuka di bahu lelaki itu.
"Aku masih bisa berdiri," papar Castro. Dia kemudian kembali ke karavan mengambil pakaiannya dan pedang pemberian Eira, walaupun rasa nyeri di bahunya masih menjalar.
"Hey, dengar. Aku tahu kau mengkhawatirkanku, tapi aku bisa menangani ini." Eira berusaha meyakinkan lelaki itu.
"Aku percaya padamu, walaupun aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan dengan Nimue. Tapi aku akan tetap ikut." Lelaki itu memaksa.
Di saat bersamaan, si lelaki warlock menghampirinya kembali. Berniat untuk membicarakan perburuan tersebut dan mengambil koin si perempuan. Eira yang melihat situasi, tidak dapat membiarkan Castro ikut bersamanya, terlalu berbahaya dan Eira tidak ingin sesuatu terjadi lagi pada lelaki itu. "Aku akan membawa dia," papar Eira, menoleh pada lelaki warlock yang kini tepat berada di hadapannya.
Castro yang ikut menoleh, mendapati si lelaki warlock tengah berdiri di belakangnya dengan ekspresi tidak tertuga. Untuk sesaat, dia terdiam seolah menimbang-nimbang. "Dia sudah pasti akan meninggalkanmu jika terjadi sesuatu," protesnya.
"Setidaknya dia pernah memburu monster." Eira berusaha membela lelaki warlock itu. Walaupun dia sangat tidak ingin kata-kata itu keluar dari lidahnya sendiri.
Masih menimbang-nimbang, Castro akhirnya menyetujui. "Oke," katanya. Dia kemudian kembali menoleh pada lelaki warlock itu. "Aku akan membunuhmu jika kau menyetuhnya lagi," ancamnya.
Mengangkat kedua tangan di udara, lelaki warlock itu tidak mengatakan apa-apa setelahnya. Dia kemudian menoleh pada Eira. "Aku Thoraval, tapi kau bisa memanggilku Rav," katanya memperkenalkan diri.
Menoleh pada lelaki itu, Eira yang pada awalnya tidak ingin dia ikut bersamanya harus menelan kekecewaan demi membuat Castro menetap. "Pertama-tama, kau hanya boleh bicara jika aku menyuruhmu bicara. Dan yang kedua ...." Bergeming, seketika Eira melayangkan tinju pada wajah Rav. "Itu untuk melukai Castro."
Secara mendadak, Rav terdorong ke belakang. Sambil memegangi wajahnya yang terkena bogem mentah Eira, dia mengikuti perempuan itu tanpa memprotes. "Sialan!" gerutunya.
Mengikuti petunjuk yang telah diberikan, keduanya menuju hutan tempat di mana pertama kali perempuan itu mendapati kain lusuh berlumur darah milik kakaknya. Kain itu ditemukan tersangkut di bonggol kayu dan dari yang Eira lihat, dia menyimpulkan bahwa korban diseret dan berusaha untuk melawan.
Disekeliling sana, dia juga menemukan bekas seretan darah yang mengering sepanjang beberapa kaki. Eira mengikutinya sampai dia kehilangan jejak itu, berakhir pada sebuah kubangan air seluas enam kaki.
"Sudah kukatan, ini pasti bunyip." Rav yang berdiri di belakang ikut mengamati sambil memprotes bahwa dugaannya sudah pasti benar.
"Shhh!" desis Eira, membungkam lelaki itu. Menghunuskan pedang, dia mengelilingi kubangan sambil bersiaga.
Rav yang melihat ikut menggapai pedangnya. Bersamaan dengan itu, seekor laba-laba raksasa berkaki enam meloncat dari dalam kubangan, menyambar Rav yang kini tersungkur di bawah. Sebuah kantung raksasa sukuran tubuh manusia menggantung di bagian bawah tubuhnya, dilapisi oleh jaring putih yang kini dilesatkan ke tubuh Rav.
Sontak Eira berlari ke arahnya, berusaha menolong lelaki itu. Sambil meloncat naik ke atas tubuh sang monster, dia menusukkan pedangnya tepat di kepala. Muntahan lendir berwarna hitam memenuhi seluruh tubuh Rav. Namun bersamaan dengan itu, sang monster bangkit kembali. Membalikkan tubuh ke arah Eira dan menyerangnya dengan jeratan jaring yang keluar dari mulut.
Rav yang tubuhnya sudah setengah terbungkus tidak bisa bergerak. "Makhluk apa itu?" teriaknya panik.
"Aku kita kau seorang pemburu monster!" ejek Eira, sedangkan dirinya sudah tahu bahwa bukavac adalah monster yang sedang dihadapinya sekarang. Monster itu memang terbilang cukup langka, tidak heran Rav belum pernah melihatnya.
Eira sendiri hanya pernah bertemu sekali di daerah barat Morlon dan sekarang saat dia dihadapkan kembali dengan monster itu, dia harus menghadapinya lebih kuat sepuluh kali lipat karena mutasi iblis.
Dengan membakar jaring-jaring yang memenuhi tubuhnya, Eira berhasil bebas dengan mudah. Sang monster dengan kaki-kaki lincahnya berlari dengan cepat menuju Eira, namun dia berhasil menghindar. Dari yang dia lihat, kantung yang berada tepat di bawah monster itu adalah korban yang dia cari.
Kemungkinan korban masih hidup adalah sangat kecil. Namun jika Eira amati, dia masih bisa melihat turun naik dada korban, walaupun hampir tidak kentara. Dengan menggunakan penglihatan kelabunya, Eira berhasil menghindari serangan demi serangan. Walaupun terkadang, dia masih belum terbiasa dengan apa yang dilihatnnya, tubuhnya bergerak seolah telah diatur sedemikian rupa mengikuti arah.
Cepat-cepat, dia menuju Rav yang masih menggeliat di tanah karena jeratan jaring bukavac. Dengan pedangnya, Eira merobek jaring itu dengan sekali sebat. "Alihkan monster itu, aku akan berusaha mengeluarkan korban yang ada di bawah perutnya."
Rav mengangguk, dia kemudian mengacungkan pedangnya. "Monster lain dan kesenangan lainnya," katanya bersemangat. Padahal, dia baru saja menjerit saat melihat monster yang belum pernah ditemuinya.
Setengah berlari menuju si monster, Rav mengayunkan pedangnya yang berhasil menebas salah satu kakinya. Namun lima kaki lainnya masih berdiri dengan kokoh, membuat monster itu murka dan menyerang Rav dengan brutal. Dengan kewalahan, lelaki itu berlari dan berguling saat jaring-jaring ikut dilesatkan ke arahnya.
Di sisi berlawanan dengannya, Eira tengah siap untuk menyerang monster itu. Dengan mengganti pedangnya menggunakan belati sebagai pilihan untuk membuka kantung jaring itu, Eira berlari dengan cepat. Tentu dia memilih belati takut kalau-kalau melukai orang yang berada dalam jaring tersebut.
Tepat saat sang monster teralihkan dengan Rav, Eira meluncur menuju perut sang monster dan merobek kantung itu. Cairan hitam beserta orang di dalamnya muntah ruah ke tanah. Sang Monster yang menyadari bahwa santapannya terlepas, menoleh ke bawah dan melesatkan jaring-jaring ke arah mereka.
Dengan cekatan, Eira membakar jaring itu sebelum sempat menangkapnya. Sambil menyeret sang korban yang masih belum sadarkan diri, Eira menjauh dari monster itu. Rav yang melihat kesempatan, meloncat ke atas kepala monster dan menungganginya. Namun sambil menggeliat-geliat, dia berhasil melontarkan lelaki itu hingga terjatuh. Bunyi tulang patah menambahkan luka-lukanya.
"Arggg!" Rav mengaduh saat wajahnya terkena goresan oleh kaki bukavac. Darah membanjiri tangan yang menutupi separuh wajahnya dan mungkin juga beberapa tulang rusuknya telah patah.
Eira cepat-cepat mengeluarkan api dari tangannya sebelum sang monster berhasil menyerang Rav kembali. Separuh badan monster itu telah termakan oleh api, namun amarahnya justru semakin membringas. Pusat perhatiannya kini mengarah pada Eira dengan membajiri serangan bertubi-tubi.
"Bawa dia dari sini!" perintah Eira pada Rav.
Dengan masih menutupi separuh wajahnya, Rav terseok-seok menuju korban yang masih tidak sadarkan diri. Sambil membopongnya, dia pergi dari arena pertempuran. Bagi Eira, akan lebih mudah baginya untuk melawan sang monster saat tidak ada siapa pun yang harus dia khawatirkan, selain dirinya sendiri.
Menggeliat-geliat, monster itu berhasil memadamkan api saat melompat masuk kembali ke kubangan. Eira yang berpikir pertarungan itu telah selesai dikejutkan saat monster itu meloncat dan menyerangnya. Pelindungnya yang sejak tadi menyala-nyala saat serangan diarahkan ke dadanya berhasil menagkal hewan itu untuk melukai dirinya.
Sedikit kewalahan, Eira masih juga belum bisa mengetahui kelemahan monster itu. Matanya yang kini berubah kelabu kembali mulai mengamati setiap pergerakan. Hingga dia menemukan detak jantung monster itu yang berada tepat di sela-sela anatara perut dan kepalanya. Namun karena masih terengah-engah, dia memutuskan untuk berlari dan bersembunyi sebelum menyerang kembali.
Di antara deretan-deretan pepohonan, Eira belari. Saat napasnya mulai tersenggal-senggal, dia memperlambat laju kakinya, hingga secara tidak sadar sebuah lubang menanti di depan. Terperosok, dia meluncur masuk dengan sangat cepat. Di atasnya, sang monster ikut terjerumus bersamanya. Bongkahan-bongkahan bebatuan dan tanah berjatuhan menimpanya saat si monster mengeliat-geliat untuk naik.
Saat dia akhirnya berada di dasar, dengan pedangnya yang diacungkan ke atas, sang monster melaju ke arahnya. Dengan begitu, saat monster itu sampai di dasar, pedang menusuk tepat ke jantungnya. Bunyi erangan kuat hingga melemah menandakan sang monster telah menjemput ajal.
Sambil mendorong tubuh monster itu, Eira menyingkirkannya agar tidak tertindih. Takut kalau-kalau sang monster bangun kembali, dia berusaha untuk membakar tubuhnya hingga habis, memastikan tidak akan menyerangnya secara tiba-tiba. Namun saat dia mencoba mengeluarkan api dari tangannya, hal itu justru tidak terjadi.
"Sial! Aku masih harus belajar mengendalikannya," gerutu Eira.
Diliriknya monster itu kembali. Untuk memastikan makhluk itu tidak bangkit, Eira membelah perut monster itu, masih ada detakan pelan saat dia membukanya. Diraba pinggangnya untuk meraih belati pemberian Castro, sambil menarik napas dalam-dalam Eira menikam jantung monster itu berkali-kali hingga tidak ada gerakan lambat yang dirasakannya.
"Sekarang, bagaimana aku bisa keluar?" Eira bertanya-tanya sambil menengadah ke arah lubang yang jaraknya saat jauh dan tidak memungkinan dirinya untuk memanjat.
Sambil berkeliling, dia mendapati berbagai macam benda aneh di dalam kotak-kotak kaca yang telah berdebu. Dari debu yang dia lihat, rasanya tempat itu sudah ada dan ditinggali ratusan tahun. Namun benda-benda di dalamnya masih utuh dan terlihat sempurna. Hingga dia menemukan dua tengkorak di sudut ruangan.
Salah satunya adalah seorang peri dengan sayap yang masih utuh seolah baru mati kemarin. Namun saat Eira akan menyentuhnya, sayap itu melebur bagaikan debu. "Tempat macam apa ini?" tanyanya, sedangkan matanya masih menelusur sekitar.
Di depan, sebuah pintu besar tanpa kenop dipenuhi debu tebal berabad-abad. Namun dari lamanya waktu yang bisa Eira perkirakan, pintu itu terlihat tidak wajar. Saat dia mendorong pintu terbuka, betapa kaget dirinya mendapati pemandangan menyeramkan yang membuat dirinya bergidik.
Puluhan tengkorak memenuhi seisi ruangan, tulang-belulang berbagai macam usia dapat dia lihat sejauh matanya menelusur ke dalam. "Orang-orang ini mengurung dirinya sendiri di dalam sini," gumamnya.
Tidak mau berlama-lama melihat pemandangan itu, Eira menutup kembali pintu. Tepat saat dia berniat kembali menuju ruangan sebelumnya, suara langkah kaki berderap menuju ke arahnya. Cepat-cepat, dia menghunuskan pedangnya dan bersembunyi. Begitu sang pemilik langkah itu semakin dekat, Eira menodongkan pedang ke arahnya.
"Kenapa kau selalu mencari masalah?" protes si pemilik langkah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top